Siapakah Bagus Sutapura Adipati Kawasen, Penakluk Dipati Ukur?
Dalam naskah Babad Bupati Bandung, silsilah Dipati Ukur dikaitkan dengan dua tokoh yang berpengaruh di Bandung yaitu Adipati Kertamanah yang menurunkan keluarga Bupati Batulayang dan Raden Haji Abdul Manap atau lebih dikenal sebagai Dalem Mahmud.
Menurut F. De Haan dalam bukunya "Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het Nederlansche bestuur tot 1811 deel I" (1910), Batulayang dahulu merupakan sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Bandung, sebelah timur Kabupaten Cianjur, sebelah barat Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara Kabupaten Sukapura. Pada tahun 1802 Kabupaten Batulayang dibubarkan dan wilayahnya kemudian digabungkan dalam Kabupaten Bandung.
Sebagai kabupaten yang bertetangga, hubungan Kabupaten Bandung dengan Batulayang memiliki keterkaitan secara silsilah melalui perkawinan. Sebagaimana keluarga Kabupaten Bandung, silsilah keluarga Batulayang juga mengambil puncuknya yaitu tokoh Prabu Siliwangi.
Silsilah Adipati Kertamanah, yang kemudian menurunkan keluarga Bupati Batulayang dan juga terkait dengan tokoh Dipati Ukur, puncuknya berawal dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran, yang memiliki putra bernama Prabu Kunter/Sunten yang berkuasa di negaranya di Gunung Patuha. Prabu Kunter memiliki anak bernama Prabu Jaya Pakuan. Sedangkan Sang Adipati Kertamanah adalah cucu dari Prabu Jaya Pakuan dari putranya bernama Prabu Larang Jiwa.
Adipati Kertamanah adalah anak tertua dari Prabu Larang Jiwa, sedangka putra bungsunya bernama Kyai Ageng. Sang Adipati Kertamanah yang setelah wafat dikuburkan di muara Sungai Cisondari mempunyai tiga orang putera: Ki Gedeng Rungkang, Ki Gedeng Kerti Manggala dan Raden Tumenggung Suryadarma Kingking. Keterkaitan Sang Adipati Kertamanah dengan Dipati Ukur terjadi melalui perkawinan putra sulungnya yaitu Ki Gedeng Rungkang yang menikah dengan puteri Kyai Dipati Ukur. Garis silsilah anak tertua Sang Adipati Kertamanah ini yang kemudian menurunkan anak keturunannya di daerah Cipatik.
Masih dalam nasakah Babad Bupati Bandung, tokoh Dipati Ukur juga terkait dengan silsilah Dalem Haji Abdul Manap atau Eyang Mahmud. Seperti juga silsilah Adipati Kertamanah, silsilah Raden Haji Abdul Manap juga dimulai dari tokoh Prabu Siliwangi. Dituliskan bahwa Prabu Siliwangi memiliki putra bernama Prabu Guru Gantangan. Putra dari Prabu Gantangan yaitu Prabu Lingga Pakuan memiliki putra yaitu Prabu Panda Ukur. Raden Haji Abdul Manap merupakan cucu dari Prabu Panda Ukur dari putranya yang bernama Dalem Natadireja yang dikuburkan di Sentak Dulang.
Prabu Pandan Ukur menurut nasakah Sadjarah Bandung, adalah penguasa Timbanganten yang merupakan kerajaan bawahan (vasal) Pajajaran. Keturunan Prabu Panda Ukur kemudian adalah Dipati Agung dan Dipati Ukur. Saat Rangga Gempol dicopot dari kedudukannya sebagai Wedana Bupati Priangan, Sultan Agung menunjuk Dipati Ukur sebagai penggantinya. Salah satu tugas besar yang kemudian diberikan kepada Dipati Ukur oleh Sultan Agung adalah menyerang kedudukan Belanda di Batavia. Karena gagal menjalankan tugas yang diembannya, Dipati Ukur kemudian memilih untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Mataram. Pemberontakan ini kemudian berhasil dipadamkan dan Dipati Ukur berhasil ditangkap untuk dibawa ke Mataram.
Dalam mengkaji sosok seorang Dipati Ukur merupakan julukan untuk Bupati daerah Ukur atau Tatar Ukur. Menurut kelompok saya sepak terjang Dipatu Ukur sendiri tidak bisa dikatakan sebagai seorang pemberontak atau pengkhinat malah sejak awal Dipati Ukur sendiri telah diperintah kan oleh Susuhunan Mataram untuk melaksanakan penyerangan terhadap kumpeni Belanda di Batavia. Saat itu dalam penyerangannya Dipati Ukur bersama pasukan Mataram dari Kartasura yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa.
Ketidak sabaran Dipati Ukur untuk langsung menyerang Batavia(kumpeni Belanda) dengan memerintahkan pasukan nya untuk menyerbu. Kekuatan pasukan Dipati Ukur tidak bisa mengimbangi kekuatan yang akhirnya pasukan Dipati Ukur harus menderita kekalahan yang membuat Dipati Ukur tertekan dan melarikan diri ke hutan sekaligus mengurungkan niatnya untuk menyerbu kembali ke Batavia. Bertubi-tubi tekanan yang harus dirasakan oleh Dipati Ukur yang membuat dia berniat bertemu dengan Bupati Sunda Lainnya untuk menyerukan mengurungkan penyerbuan terhadap Batavia karena percuma menyerang kumpeni yang memiliki kekuatan yang kuat dibandingkan kekuatan pasukan Mataram.
Karena seruan Dipati Ukur seolah-olah sebagai suatu pemberontakan atau pengkhinatan yang akhirnya Mataram memerintahkan Tumenggung Narapaksa untuk menangkap Dipati Ukur yang akhirnya berhasil ditangkap dan dibawa ke Kartasura untuk diserahkan kepada Susuhunan Mataram. Dipati Ukur dengan pasukan nya akhirnya mati dibunuh. Mengapa Dipati Ukur ini ada yang menganggap pemberontak?, dan apa yang menyebabkan Dipati Ukur seolah-olah memberontak?.
Yang pertama adalah Dipati Ukur telah melakukan beberapa kali malakuakan penyerbuan terhadap Batavia dan beberapa kali itulah kekalahan yang harus diterimanya yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kekuatan pasukannya. Yang kedua adalah setelah kekalahan itu Dipati Ukur dengan pasukannya melarikan diri ke Hutan tepat nya daerah Pegunungan, disitu Dipati Ukur merasakan ketakutan akan hukuman yang diterima nya setelah pelariannya itu. Yang ketiga Dipati Ukur syirik dengan Mataran karena hampir beberapa daerah pasundan atau tanah Sunda berhasil didudukinya yang membuat Dipati Ukur merasa seperti dijajah oleh kekuatan Jawa saat itu. Yang keempat suatu ketika Dipati Ukur sempat meminta bantuan Raja Banten untuk membantunya melawan Mataran tetapi Raja Banten tak mengubris Dipati Ukur, akhirnya Dipati Ukur mengutus beberapa pengikut untuk datang ke Batavia menghadap kumpeni Belanda untuk diminta kesediaannya membantu Dipati Ukur dan akhirnya kumpeni Belanda menyanggupinya dengan kesepakatan dan syarat-syaratnya. Dan kesimpulannya adalah tekanan dan rasa iri yang membuat Dipati Ukur tidak mau tunduk kepada Mataram itu dalam perspektif sejarah lokal dan untuk sejarah nasional terbentuknya daerah Bandung yang dulunya sebagai Tatar Ukur tidak bisa dipisahkan akan sosok Dipati Ukur yang dimana pemimpin yang asli berasal dari pasundan yang memang ingin sekali tanah pasundan ini dikuasai oleh orang pasundan sendiri tidak ingin diduduki oleh kekuatan lain.
Kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan di bawah naungan Tarumanegara yang didirikan pada tahun 612 oleh Wretikandayun dan berhasil ditaklukan oleh kerajaan Islam Cirebon pada tahun 1528. Cerita lengkapnya sendiri adalah bahwa pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, olehSultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon, membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai Banten. Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang). Dan puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan.
Dari beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda. Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama Batavia untuk mendirikan kongsi dagang disana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan Mataram. Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali ditahun 1629 tetap gagal. Pemberontakan Dipati Ukur Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur) membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa.
Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka. Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang,Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian lagi tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Pernahkan Anda singgah berkunjung ke Banjarsari Ciamis atau sekedar melewatinya? Daerah ini ternyata menyimpan banyak cerita masa lalu yang mungkin sudah dilupakan oleh sebagian besar warga Ciamis khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Selain jarang diungkap, penyebarluasan informasinya pun memang terasa masih minim dan nyaris tidak terdengar, sehingga masyarakat umumnya tidak mengetahui sejarah Banjarsari.
Tahun 1628 Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa. Namun Bahureksa tidak mengadakan hubungan dengan Dipati Ukur. Oleh karena itu Dipati Ukur tidak dapat melakukan perundingan dengan Bahureksa.
Pada waktu yang telah ditentukan, Dipati Ukur memimpin pasukannya bergerak menuju Batavia untuk menyerang Kompeni. Ketika pasukan dipeti Ukur tiba di Batavia, ternyata pasukan Mataram belum datang. Oleh karena itu, Dipati Ukur gagal mengusir Kompeni dari Batavia. Kegagalan itu terjadi karena ketidakseimbangan persenjataan dan tidak mendapat dukungan dari pasukan Mataram. Padahal seharusnya pasukan Mataram yang menjadi kekuatan ini penyerangan, dibantu oleh pasukan Dipati Ukur.
Atas kegagalan menjalankan tugas dari raja Mataram, rupanya Dipati Ukur berpikir, daripada ia menerima hukuman berat dari Sultan Agung, lebih baik ia tidak setia lagi terhadap Mataram. Dipati Ukur beserta sejumlah pengikutnya mengabaikan kekuasaan Mataram dan melakukan gerakan memberontak terhadap Mataram.
Sikap Dipati Ukur tersebut segera diketahui oleh penguasa Mataram. Pihak Mataram berusaha keras menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Bila pemberontakan itu tidak segera ditumpas, akan merugikan pihak Mataram.
Akhirnya pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan. Menurut versi Mataram, Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram. Menurut Sajarah Sumedang (babad), pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram berakhir pada tahun awal tahun 1632.
Berikut adalah cuplikan naskah Leiden Oriental yang menceritakan tentang penangakapan Dipati Ukur oleh Adipati Kawasen (Bagus Sutapura) :
“Nunten pada guneman lan para bupati kabeh. Daweg pada angulati srana kang bhade bisa nyekel Dipati Mogol punika. Nunten kyai Dhipati Galuh Bendanagara angsal sanunggal santana Kawasen westa bagus Sutapura, gawena lagi ambhating raga, sanggem anyekel Dipati Ukur. Sarta lajeng kumanabang sareng sareng samenek ing Gunung lumbung punika. Nunten dipun tibani watu Westa Munding Jalu dipun capakeun dening Bagus Sutapura, dipun balangakeun sumangsang wonten sainggiling lajeng leles. Mangke nyataning Batulayang sareng sampun sumangsang watu puniku. Nunten Bagus Sutapura angamuk pribadi, katah kiang pejah balanipun Dipati Ukur punika sarta dipun besta dibakta dateng Ghaluh.”
Artinya :
“Hasil musyawarah para Bupati yang akan diberi tugas menangkap Dipati Ukur yang memberontak, kemudian Kyai Ghaluh Bandanagara mendapatkan Senopati dari Kawasen (Bagus Sutapura) yang orang sedang bertapa untuk menangkap Dipati Ukur. Bagus Sutapura lalu maju untuk berperang. Ia naik gunung lumbung. Begitu Bagus Sutapura naik ke Gunung Lumbung, Bagus Sutapura dijatuhi batu yang bernama Munding Jalu oleh Dipati Ukur. Batu itu kemudian ditangkap oleh Bagus Sutapura, kemudian dilemparkan dan nyangkut di pohon leles. Berhubung dengan ditangkapnya Batu itu (Munding Jalu), maka tempat itu dinamakan Batulayang. Kemudian Bagus Sutapura menyerang sendirian sampai pengikut Dipati Ukur banyak yang tewas. Akhirnya Dipati Ukur dapat ditangkap oleh Bagus Sutapura dan diikat kemudian dibawa ke Galuh”
Sejarah Galuh yang disusun oleh Raden Padma Kusumah merupakan salah satu naskah yang memuat tentang penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Diantara naskah tersebut yang menceritakan Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) adalah:
255 : Heunteu kocap dijalanna – Di dayeuh Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris – Gunung Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung ngan hiji -Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia – Batuna digulang galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna sok pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang – Didinya Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada mikir – Emut ku Dipati Galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma bangkit – Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna kawula meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti – Nanging kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira sagede leuit – Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan nanjak – Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung datang – Dibunuh geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak – Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur – Ngarana batu layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur enggeus ruksak – Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang – Eta maneh bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati
279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga – Jeung bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih
Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura.
Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen (wilayah Kawasen pada saat itu antara Pamotan (Kalipucang) sampai Bojong Malang (Cimaragas sebelah Barat) berpusat di Kawasen-Banjarsari).
Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya). Bagus Sutapura memerintah Kawasen sampai dengan 1653 M.
Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.
Demikianlah untaian cerita nyata yang pernah terjadi tentang Pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura Adipati Kawasen. Dari berbagai sumber yang ada tentang Jasa Bagus Sutapura yang telah berjasa mengagalkan pemberontakan yang dilakukan oleh Dipati Ukur.
Selanjutnya Tahun 1963 Bagus Sutapura diangkat sebagai Dalem Kawasen dengan gelar Tumenggung Sutanangga. Kadaleman Kawasen sekarang bernama Banjarsari.
Kadaleman Kawasen resmi dibubarkan pada tahun 1810 M berdasarkan Besluit yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral Herman Deandels.
Peninggalan-peninggalan dari kebesaran Kadaleman Kawasen yang tersisa sampai saat ini hanya berupa makam-makam dari para Dalem Kawasen yang berkuasa di Kawasen beserta para pejabat kawasen. Di Banjarsari sendiri orang kebanyakan hanya tahu Kawasen itu adalah salah satu Desa di Kecamatan Banjarsari yang tidak ada sejarahnya. Selain itu sekarang tidak tampak Bahwa di Banjarsari dulu adalah sebuah kabupaten yang besar dan masyhur di Tatar Parahiyangan dengan nama Kawasen. Hal ini terjadi karena Kurangnya kesadaran masyarakat untuk kembali menelusuri sejarah “Nyakcruk Galur Mapay Patilasan”.
Sepertinya pemerintah setempat khususnya Ciamis kurang memperhatikan sisa-sisa peninggalan dari Kadaleman kawasen. Seandainya Pemerintah ciamis sadar bahwasanya di Banjarsari masih ada sisa-sisa kebudayaan dalam hal ini Kadaleman kawasen, maka Kawasen ini layak dijadikan sebagai Situs Wisata Budaya yang ada di Bumi tatar galuh Tercinta.
Semoga tulisan singkat mengenai kebesaran kadaleman kawasen ini dapat memberikan hikmah suri taulada kepada kita semua tentang jiwa Patriotisme Bagus Sutapura yang tercermin dalam jiwa dirinya.
Post a Comment