Pertempuran Batavia: Penyebab, Kronologi dan Dampaknya

Pertempuran Batavia adalah serangan tahun 1628 dan 1629 yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram ke Batavia.  

Kala itu, Batavia merupakan pusat VOC atau persekutuan dagang Belanda di kepulauan Nusantara, sehingga pertempuran ini bertujuan untuk mengusir VOC dari Pulau Jawa. 

Tanggal 29 Agustus, Mataram melemparkan serangan pertamanya kepada Batavia. Namun, serangan itu berhasil dihalau oleh 120 pasukan VOC yang dipimpin oleh Jacob van der Plaetten. Kemudian, pada Mei 1629, 

Mataram melakukan serangan kedua. Akan tetapi, dalam serangan kedua ini, Mataram kembali gagal menaklukkan Batavia.  Akibatnya, VOC berhasil memperluas pengaruhnya dengan mengakuisisi dataran tinggi Priangan serta pelabuhan pantai utara Mataram, seperti Tegal, Kendal, dan Semarang.


Penyebab 
Pertempuran Batavia bermula pada 1961, saat Mataram menjalin hubungan dengan VOC.  Kala itu, VOC mengirimkan duta besarnya untuk mengajak Sultan Agung agar mengizinkan VOC mendirikan loji-loji dagang di pantai Utara Mataram. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Sultan Agung, karena jika ia memberi izin, maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai oleh VOC.  

Penolakan ini kemudian membuat hubungan antara Mataram dan VOC merenggang. Tahun berlalu, pada 1969, VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten yang kemudian mengganti namanya menjadi Batavia.  

Markas VOC lantas dipindahkan ke Batavia.  

Menyadari bahwa Batavia dipenuhi oleh VOC, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingannya menghadapi Surabaya dan Kesultanan Banten. 

Setelah Surabaya berhasil ditaklukkan oleh Mataram, mereka menyerang Banten.  Akan tetapi, untuk dapat menyerang Banten, Mataram harus mengatasi Batavia terlebih dahulu.  

Bulan April 1628, Kyai Rangga, Bupati Tegal, dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai kepada VOC. Namun, tawaran tersebut ditolak, sehingga Sultan Agung memilih untuk mengibarkan bendera perang.


Kronologi 22 Agustus - 3 Desember 1968 
Pada 25 Agustus 1628, garda depan angkatan laut Sultan Agung tiba di Batavia.  Armada angkatan laut Mataram membawa perbekalan dalam jumlah besar, yaitu 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 kelapa, dan 12.000 karung beras.  

Awal mula kedatangan Mataram ke Batavia, mereka mengaku ingin berdagang di sana.  Namun, karena ukuran kapal pihak Mataram berukuran besar, hal ini membuat Belanda curiga.  Keesokan harinya, Belanda mengizinkan sapi untuk dikirim, dengan syarat hanya satu kapal mataram saja yang berlabuh.  

Kemudian, datang lagi tiga kapal Mataram. Mereka mengklaim bahwa Mataram ada di Batavia untuk meminta izin perjalanan untuk berdagang dengan Malaka. Pihak Belanda merasa semakin curiga dengan peningkatan jumlah kapal secara tiba-tiba ke Batavia. Berlanjut lagi, pada sore hari sejumlah 20 lebih kapal Mataram tiba dan mulai menurunkan pasukannya di utara benteng. 

Peristiwa ini membuat Belanda memperingatkan pasukannya untuk menarik semua prajurit ke dalam benteng dan mulai menembaki orang-orang Jawa yang masuk.  Pada 28 Agustus 1628, sebanyak 27 kapal Matarm memasuki teluk dengan berlabuh cukup jauh dari Batavia.  

Dari selatan Batavia, pasukan Mataram yang berjumlah 1000 orang mulai berdatangan. Tanggal 29 Agustus, Mataram melemparkan serangan pertamanya kepada Batavia. Serangan mereka lancarkan terhadap Benteng Hollandia, yang terletak di tenggara kota.  Namun, serangan itu berhasil dihalau oleh 120 pasukan VOC yang dipimpin oleh Jacob van der Plaetten.  Bulan Oktober, tentara Mataram tiba dengan jumlah 10.000 pasukan.  

Mereka memblokade semua jalan dari selatan hingga barat kota, serta mencoba membendung Sungai Ciliwung untuk membatasi pasokan air Belanda.  Akan tetapi, serangan mereka ini tidak menghasilkan apa-apa, justru hanya memberikan kerugian besar bagi Mataram. 

Memasuki bulan Desember, Mataram sudah kehabisan persediaan.  Karena kegagalannya, pada 2 Desember, Sultan Agung mengirim algojo untuk menghukum salah dua prajuritnya, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja.  Esok harinya, Belanda mendapati Matarm telah meninggalkan Batavia dan 744 mayat anak buahnya yang tanpa kepala.  


Mei - September 1629  
Setelah gagal di serangan pertama, Sultan Agung menemukan penyebab kekalahannya. Ia menyadari bahwa rintangan utamanya terletak pada logistik, jarak yang sangat jauh (300mil). 

Untuk itu, ia memutuskan mendirikan banyak desa pertanian padi yang dikelola oleh petani Jawa di pantai utara Jawa Barat, dari Cirebon hingga Karawang. 

Setelah banyak orang Jawa menduduki Batavia, pada Mei 1629, Mataram siap melakukan serangan kedua.  

Serangan kedua terdiri dari dua kekuatan, yaitu tentara Sunda Dipati Ukur, Bupati Priangan, serta tentra utama Jawa, dipimpin Adipati Juminah. Total pasukannya adalah sekitar 20.000 orang. Rencana awal, 

Dipati Ukur diminta menunggu pasukan utama bertemu dengannya di Priangan dan kemudian berangkat bersama pada bulan Juni.  Namun, karena kekurangan persediaan, Ukur memutuskan untuk menyerang Batavia terlebih dahulu.  

Saat Juminah tiba di Priangan, ia merasa marah terhadap apa yang Ukur lakukan.  Ukur berniat untuk mundur dari pertempuran tersebut. Namun, ia teringat atas apa yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja.  

Sultan Agung paling tidak menyukai kegagalan. Ukur akhirnya memutuskan untuk bertahan.  Pasukan Mataram kemudian mendirikan perkemahan di selatan Batavia, yang dikenal sebagai Matraman.  

Mereka mengepung Batavia dengan mencemari Sungai Ciliwung, sehingga menyebabkan wabah kolera tersebar di Batavia.  Akibatnya, pemimpin VOC, Jan Pieterszoon Coen tiba-tiba meninggal pada 21 September 1629.  

Karena mengalami masalah internal di antara komandan mereka, adanya penyakit, dan kekurangan pasokan, pasukan Mataram terpaksa mundur. 


Dampak 
Setelah Mataram mundur, Belanda berhasil mempertahankan kedudukannya di Jawa.  Kegagalan Batavia ini membuat Sultan Agung mengalihkan ambisinya ke timur dengan menyerang Blitar, Panarukan, dan Blambangan di Jawa Timur.  Karena kedisiplinan Sultan Agung terhadap kegagalan, sejumlah besar pasukan Jawa menolak kembali ke Mataram. 

Banyak dari mereka memutuskan menikahi wanita lokal dan menetap di desa-desa Jawa. Dekade-dekade berikutnya, VOC memperluas pengaruhnya dengan mengakuisisi dataran tinggi Priangan serta pelabuhan pantai utara Mataram, seperti Tegal, Kendal, dan Semarang. 


Referensi:  
Bertrand, Romain. (2011). Kisah Pertemuan Timur-Barat. Paris: Seuil. hlm. 420-436.

Baca Juga :

Tidak ada komentar