Melacak Jejak Floklore Sumedang, Medal Kamulyan Abad Ke 3 Masehi

Dalam sebuah pantun dinyatakan :
Nyukcruk Sumedang kapungkur
inget kana purwadaksi
Asal ti Medal Kamulyan
Jembar manah wening galih
Nu sajatining manusa
ngagem kana jati diri
Riwayat Medal Kamulyan
Jaman Salakanagara
Cirina Gunung Tampomas

Lalakon Dayeuh Sumedang
Kakoncara di Sumedang
Riwayat Medal Kamulyan


 Diriwayatkan pada masa Kerajaan Salakanagara yang rajanya bernama Digwijagakasa dengan istrinya bernama Sri Ningsih, merupakan Raja ke-2 yang berkuasa sekitar tahun 168 M – 195 M. Digwijagakasa adalah putra Dharmalokapala dengan Larasati. Dan Larasati adalah putra Aki Tirem (Sanata).

Digwijagakasa berputra dua orang, yang sulung bernama Singha Sagara Bimayasanagara dan yang bungsu bernama Dharma Satyanagara. Putra yang sulung menggantikan sebagai Raja ke-3 pada tahun 195 M – 238 M, kemudian kekuasaannya dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Dharma Satyanagara yang menjadi Raja ke-4 di tahun 238 M – 252 M, dengan istrinya yang bernama Sanghyang Dewi Ningrum, dikarunia tiga orang putra yakni:
  1. Dharma Satyajaya Warunadewa menjadi Raja ke-5yang memerintah di tahun 252 M – 290 M, menikah dengan Mahisa Nursari (Sri Nurcahya) putri dari Sanghiang Prabuwisesa (Satria Prawiranagara) dengan Sanghyang Dewi Kancana;
  2. Ganayana Dewa Linggabumi (menjadi Raja ke-6 yang memerintah tahun 290 – 309 M), menikah dengan Karnia Ganayati, dikarunia putra 2 orang yaitu Bhima Digwijaya Satyaganati (menjadi Raja ke-7 di tahun 309 M – 341 M) dan Rani Spati Karnawa Warmandewi alias Dewa Warman  menjadi Raja ke-8 yang terahir di Salakanagara di tahun 343 M – 364 M;
  3. Dewi Santika, menikah dengan Kroda Maruta (Raja penyelang yang memerintah tahun 341 M – 343 M).
Ketika Dharma Satyajaya Warunadewa memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai Raja ke-5, putra-putranya yang sebanyak tujuh orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pedalaman (pegunungan), yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang. Ketujuh putra Dharma Satyajaya Warunadewa tersebut adalah Jaya Sampurna, Indrasari, Sumaradira, Jayabuana Ningrat, Larasakti dan Sari Hatimah.


BERDIRINYA NEGERI MEDAL KAMULYAN

Pada awal abad ke-3, wilayah Sumedang dahulu masih hutan belantara. Para putra Raja Salakanagara ini mendirikan sebuah negeri yang bernama Medal Kamulyan, dimana Gunung Gede (Tampomas) dijadikan sebagai tanda / simbol. Di kaki gunung tersebut, Sumaradira berdiam dan menjadi seorang Raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara, makamnya saat ini terletak di Blok Ciemutan Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua.

Negeri Medal Kamulyan lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Dan simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. Di kawasan ini terdapat obyek yang diduga cagar budaya (situs) yang menghadap ke Gunung Tampomas.

Selanjutnya, saudara-saudara Prabu Daniswara menyebar sebagai berikut :
1. Prabu Danishwara atau Sumaradhira, menjadi Prabu Resi di suku Gunung Tampomas sebagai pusat kerajaan dan kenegaraan Kerajaan Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara di Sumedang, antara 252-290 Masehi atau antara abad ke 3 sampai dengan abad 4 Masehi, situs makamnya di Cilumping Desa Ciemutan Pangkalan Hariang Kecamatan Buah Dua.
2. Jaya Sampurna atau Jaya Sakti, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang ke sebelah Selatan, situs makamnya di Dusun Parigi Kecamatan Pasanggrahan Baru Kecamatan Sumedang Selatan.
3. Indra Sari atau Gajah Handaru, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi  di Sumedang ke sebelah Selatan, situs makamnya di Dusun Parigi Kecamatan Pasanggrahan Baru Kecamatan Sumedang Selatan.
4. Lara Sakti, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang ke arah Timur, situsnya di Cisusuru Cisahang Desa Ambit Kecamatan Situraja namun ada juga situs makamnya di Kampung Cieunteung Cidempet Conggeang Sumedang kilometer 16.
5. Sukmana atau Resi Cupu, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang di sebelah Selatan, situs makamnya di Gunung Cupu, kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.
6. Banas Banten atau Jagat Buana Ningrat), menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang di sebelah utara, Situs makam Banas Banten di Dusun Banasbanten, Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang.
7. Sanyak - Sari Hatimah - Tumenggung Surabima menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang di sebelah utara, situs makamnya di Makam Umum Kampung Cieunteung - Cidempet Desa Cipta Mekar, Kecamatan Conggeang 

Ketujuh putra Raja Salakanagara tersebut saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu dan lahirnya sebuah ajaran yang disebut dengan istilah INSUN MEDAL.

Adapun di pusat negeri Medal Kamulyan dimana Prabu Daniswara bertempat tinggal, daerah itu  disebut Kadatuan (tempat tinggal Raja), berada di sebelah barat sungai Cimamut. Dan ke sebelah selatan Kadatuan terdapat daerah yang bernama Tari Kolot. Di sebelah barat Tari Kolot terdapat sebuah tempat yang dinamakan Gandawesi (tempat Mpu Pande membuat perkakas). Kemudian, Prabu Daniswara menjadi seorang pertapa/resi di Cieumutan dekat sebuah mata air yang berada di sebelah timur sungai Cimamut atau Kadatuan.

Selanjutnya, negeri Medal Kamulyan lebih dikenal sebagai negeri Kahyangan, tidak ada Raja lagi sampai 300 tahun lamanya, dan kemudian muncul lagi Raja yang berkuasa di abad ke-6 dengan berdirinya negeri Medang Kamulyan dan selanjutnya lahir istilah “INSUN MEDANG”.

Di samping itu, survey tinggalan budaya disekitar lereng Gunung Tampomas di Buahdua dan sekitarnya telah dilakukan oleh Tim Arkeologi Kemendikbud dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung. Hasil survey banyak ditemukan artefak berupa kubur batu tempayan, gerabah awal sejarah (abad 2 sampai 3 M) dan keramik Cina dari berbagai Dinasti, serta benteng.

TUJUH OBYEK TINGGALAN BUDAYA PADA MASA SUMEDANG AWAL

Dibawah ini merupakan obyek tinggalan budaya berupa struktur yang memiliki kaitan nilai sejarah tentang asal-usul riwayat Sumedang di abad ke-3, sebagai berikut:

1. SITUS DI GUNUNG SUSURU
Situs berupa struktur yang tersusun dari batuan andesit yang menyerupai punden berundak, dan dikenal oleh masyarakat sebagai makam Jaya Sampurna dan Dalem Tumenggung (Indrasari), berada di Kampung Genteng, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Situs tersebut terletak pada koordinat 6º86’90,8” LS dan 107º91’21,5” BT, berada pada ketinggian 666 m dpl. Vegetasi yang terdapat disekitar situs antara lain pohon karut, nangka, aren, pisang, bambu, jeungjing, mahoni. Kondisi situs pada struktur bangunannya masih utuh, tapi pada makam Jaya Sampurna yang ditandai dengan sebuah batu andesit yang cukup besar, ada penambahan yakni sudah diplur dengan semen. Situs sangat perlu dilakukan ekskavasi (penggalian), karena banyak struktur bangunan yang tertutup tanah. Situs ini sungguh menakjubkan, karena di area puncak terdapat banyak sebaran struktur batu yang tertata. Situs ini sangat menarik dan menyimpan misteri.



2. SITUS GUNUNG CUPU
Situs terletak di Gunung Cupu, Lingkungan Pasarean RT.02 RW.05, Kampung Sayang Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan. Terletak pada koordinat 6º85’51,7” LS dan 107º92’09,7” BT, di ketinggian 514 m dpl.
 
Situs ini oleh masyarakat dikenal dengan makan Eyang Cupu (Sukmana). Sayangnya situs ini sudah rusak berat, banyak batu situs yang hilang dan struktur bangunan situs sudah tidak bisa dilihat karena sudah dihuma. Situs lainnya juga terancam rusak karena lahan situs beralih hak kepemilikan, dijual belikan dan di huma. Sumur tua di lokasi situs ini juga sudah hilang. Di sekitar situs ini juga terdapat makam Sunan Munding Saringsingan dan Nyi Mas Pasarean (istri Prabu Geusan Ulun).

3. SITUS CIEMUTAN
Situs terletak di Blok Ciemutan Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua. Terletak di sebelah timur Sungai Cimamut, pada ketinggian 734 m dpl dan pada koordinat 6º81’60,6” LS dan 107º89’0,45” BT.
Terdapat makam Prabu Daniswara (Sumaradira), salah satu pendiri negeri Medal Kamulyan pada abad ke-3 di jaman Salakanagara. Makam ini dahulunya hanya sebuah batu tegak, namun sekitar tahun 1980 sudah dirombak dibuat dengan semen dan dipagar bata (sudah tidak asli lagi). Vegetasi di sekitar situs ini terdapat pohon bambu, pohon kiara. Di sebelah barat situs Prabu Daniswara kira-kira berjarak 50 m terdapat mata air Ciemutan dan di mata air tersebut terdapat sebuah batu datar.


4. SITUS BANAS BANTEN
Lokasi situs berada di Kampung Banas Banten, Desa Babakan Asem, Kecamatam Conggeang, terletak pada koordinat 6º85’51,8” LS dan 107º92’09,7” BT, di ketinggian 514 m dpl. Situs ini oleh masyarakat disebut dengan nama Eyang Banas Banten (Jayabuana Ningrat). Kondisi situs sudah mengalami perubahan yaitu dirubah dengan bentuk makam islam.

 
5. SITUS CIEUNTEUNG
Situs ini berada di Dusun Cieunteung, Desa Cipamekar Kec.Conggeang, terletak di ketinggian 570 m dpl dan pada koordinat  6º75’86,3” LS dan 108º00’00,6” BT. Menurut tradisi lisan, situs ini merupakan makam Sari Hatimah (Sanyak). Dan untuk masa sekarang, oleh masyarakat sekitar disebut dengan nama Dalem Tumenggung Surabima. Kondisi situs kurang terawat dan banyak batu yang hilang dari tempatnya yaitu sebuah batu yang disebut dengan nama “Batu Aji Sadepok” yang terletak di bawah struktur makam Surabima. Di sekitar struktur makam Surabima tersebut sudah banyak makam-makam baru.

6. SITUS GUNUNG CISUSURU
Situs berada di Dusun Sahang, Desa Dayeuh Luhur, Kec.Ganeas. Terletak di sebelah selatan Pasir Dayeuh Luhur kira-kira 1 KM ke selatan, pada koordinat 6º89’44,7” LS dan 107º98’49,1” BT, dengan ketinggian 877 m dpl.


Situs masih dalam kondisi asli (insitu), karena menempati tanah kas desa. Situs dikenal sebagai makam Larasakti, atau oleh masyarakat dikenal dengan nama Eyang Haji atau Eyang Santri atau Kyai Larasakti.


Di lokasi situs terdapat 2 buah struktur batu mirip sebuah makam yang menghadap Timur-Barat, yang masing-masing berdiri 2 buah batu tegak. Karena kurang terawat, keadaan situs terancam rusak oleh akar-akar pohon.

Salam Santun


Baca Juga :

Tidak ada komentar