Larangan Menyebut Ucing Di Desa Cipancar dan Baginda Sumedang


Sampurasun Salam Rahayu Waluya Jati Sampurna Insun Medal Insun Madangan

Tradisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat merupakan nilai dalam masyarakat yang diakui kegunaannya dan berlaku dalam masyarakat. Apabila diamati dengan cermat serta seksama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, tradisi itu erat kaitannya dengan nilai-nilai yang mencerminkan suatu pranata yang meliputi tata cara dan adat kebiasaan akan diupayakan kelestariannya oleh masyarakat penduduknya. 

Namun dengan adanya perkembangan zaman adat kebiasaan meskipun intinya atau isinya tidak berubah seperti apa yang diwariskan oleh para leluhur, tetapi dapat saja bentuknya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan itu dapat terjadi akibat munculnya nilai-nilai baru yang mempengaruhinya. Itu semua tergantung pada masyarakat, bagaimana tanggapan masyrakat dengan adanya nilai-nilai baru.

Menurut penuturan cerita turun-temurun setempat, bahwa asal usul Desa Cipancar itu berawal dari Ratu Pancar Komara alias Dewi Komala Sari alias Sunan Pancer alias Sunan Baeti. Ratu Pancar Komara alias Dewi Komala Sari alias Sunan Pancer alias Sunan Baeti dan Wiradi Kusuma alias Sunan Pamret putra-putrinya Prabu Purbasora Raja Galuh Pakuan antara 716-723 masehi datang ke Cipancar, ketika mereka datang ke Cipancar, masyarakat Cipancar sudah menganut kepercayaan Kara wiwitan Sunda atau agama karuhun. 

Ketika ajaran Islam datang di abad ke 7 masehi ke Desa Cipancar respon masyarakat setempat menyambutnya dengan baik. Tetapi mengenai ajaran islam datang ke desa Cipancar di abad ke 7 masehi ini, menurut juru kunci Pak Ali Mahmud (almarhum), belum pasti jadi masih dalam penelitian. Yang jelas pikukuh atau ajaran orang Sunda pada jaman dahulu sudah monoteisme.

Di namakan Cipancar karena berkaitan dengan tokoh Cipancar Hilir, Ratu Pancar Komara atau Sunan Baeti atau Dewi Komalasari dan Wiradi Kusuma. Ratu Pancar Komara atau Sunan Baeti atau Dewi Komalasari memiliki berbagai macam kelebihan, salah satunya yaitu beliau bisa mengobati penyakit lahir-batin serta beliau dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Sedangkan kakaknya Wiradi Kusuma membenahi padukuhan atau Padepokan Cipancar Hilir yang kini menjadi pemakaman umum atau Astana Cipancar di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan. 

Selain itu masyarakat Sumedang menganggap Ratu Pancar Komara atau Sunan Baeti atau Dewi Komalasari sebagai akar pancar nenek moyangnya dengan kata lain Cipancar sebagai pusat atau induk asal muasal, karena beliau adalah ibunya Prabu Guru Aji Putih, Raja Tembong Agung Sumedang antara 678-721 masehi.

Cipancar juga pada masa kerajaan Galuh Pakuan ada dua wilayah yaitu Cipancar Girang dan Cipancar Hilir, dalam arti satu pertalian saudara kakak beradik putra-putrinya Prabu Purbasora Raja Galuh Pakuan antara 716-723 masehi, yaitu : Wijaya Kusuma alias Prabu Wijaya Kusumah di Padukuhan Cipancar Girang (Limbangan sekarang), Wiradi Kusuma alias Sunan Pamret dan Dewi Komalasari alias Sunan Pancer alias Sunan Baeti di Padukuhan Cipancar Hiilir Sumedang. 

Ketiga saudara tersebut sebagai nenek moyangnya asal dari Kerajaan Galuh Pakuan atau Zaman Medang Kamulyan. Dan dua cucu Dewi Komalasari alias Sunan Baeti, yaitu : 
1. Prabu Permana Dikusuma pendiri Karang Kamulyan Ciamis, Raja Galuh antara 724-725 masehi
2. Prabu Tajimalela pendiri Sumedang Larang, antara 721-773 masehi.

Susuhunan atau Sunan adalah gelar yang merujuk pada penguasa kerajaan atau keturunannya, meskipun digunakan kaum bangsawan penggunaannya juga ditujukan kepada orang yang dihormati. Gelar ini berasal dari bahasa Jawa Kuno susuhunan yang berakar dari kata suhun. Istilah susuhunan, dapat diartikan sebagai junjungan.

Di pulau Jawa gelar ini tidak hanya digunakan pada penguasa monarki tetapi juga oleh ulama anggota Wali Songo, yang merupakan penyebar agama Islam. Selain di Jawa, gelar ini dipakai juga oleh penguasa tertentu di Kesultanan Banjar dan Kesultanan Palembang.

Masyarakat Sunda memakai sunan untuk menyebut orang yang memiliki kedudukan terhormat alias Susuhunan. Salah satu contohnya adalah penyebutan tokoh Sunan Ambu, sosok perempuan mulia yang merupakan ibu dari kebudayaan Sunda.

Mengenai tradisi lisan yang ada di Desa Cipancar masih dipercayai atau diyakini oleh masyarakat Cipancar, hal itu dikarenakan :
1. Tabunya masyarakat menyebut nama “Ucing atau Kucing”, karenanya adanya larangan dari karuhun alias leluhur yang dulunya ia mempunyai nama belakang “Ucing”, dan apabila ada seseorang yang tidak menuruti perintah karuhun itu maka akan terjadi peristiwa, maka oleh masyarakat setempat nama kucing itu diganti dengan “Enyeng”.

2. Oleh masyarakat Cipancar, kucing diperlakukan sebagai binatang yang sangat disakralkan. Ini terbukti dengan adanya upacara pemandian kucing, yang dilakukan oleh masyarakat setempat, khususnya apabila terjadi musim kemarau berkepanjangan di desa tersebut. 

Si Kucing diarak dengan memakai kurung adalah kandang binatang yang terbuat dari bambu, kemudian oleh masyarakat setempat kucing itu disirami. Tetapi upacara ini sekarang sudah tidak dilakukan lagi. Upacara ini hanya berlangsung sampai generasi ke 14 dan untuk generasi yang sekarang upacara tersebut tidak dilakukan lagi. Mereka nampaknya lebih mendekatkan pada masalah keagamaan, yakni dengan melakukan sholat istisqo.

3. Untuk menghormati leluhur tersebut, maka masyarakat Cipancar tidak berani menyebut nama kucing dan diganti dengan sebutan enyeng, berdasarkan hasil wawancara yang kami peroleh dikarenakan ada hubungannya dengan seorang leluhur terdahulu yaitu Pangeran Madu Ucing alias Pangeran Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar.

Ketika datang ke Sumedang, Sutra Bandera alias Pangeran Sastra Pura Kusumah dan Sutra Umbar alias Pangeran Istihilah Kusumah, putra-putranya Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Surya Kencana alias Panembahan Pulosari alias Prabu Harismaung yang bertahta di Kadu Hejo Pulosari Pandeglang antara 1567–1579 masehi, dari Istrinya Nyimas Harom Muthida alias Nyimas Oo Imahu, waktu itu masih menganut ajaran wiwitan Sunda Pajajaran, sebelum diislamkan oleh Pangeran Santri.

Setelah kedua saudara itu masuk Islam pada tahun 1573 masehi. Kemudian tinggal di Daerah Cipancar dan diangkat menjadi senapati unggulan kerajaan Sumedang Larang  Pangeran Sastra Kusumah mendapat gelar Dalem Sutra Bandera dan Pangeran Istihilah Kusumah mendapat gelar Dalem Sutra Umbar.  dan menjadi murid Pangeran Santri dalam mengembangkan konsep-konsep keagamaan Islam ke Cirebonan.

Penyebutan Pangeran Madu Ucing atau Embah Ucing sebutan nama pertama tidak pantas disebut lagi bagi beliau, karena merupakan nama seekor hewan, maka sesudah namanya diganti, masyarakat Cipancar tidak boleh lagi atau “Tabu” menyebut kata ucing karena merupakan sebuah penghinaan bagi beliau. 

Pangeran Istihilah Kusumah atau Sutra Umbar memerintahkan kepada masyarakat untuk tidak menyebutkan Ucing, dan barang siapa yang menyebutkan nama hewan yang dilarang tersebut maka beliau mengeluarkan semacam sumpah atau kutukan, yaitu  “barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut maka akan terjadi musibah kepadanya khususnya bagi masyarakat yang ada di sana”.

Dalam kepercayaan mereka, apabila masyarakat Cipancar melanggar hal itu, maka akan terjadi sesuatu yang sifatnya “musibah” secara umum, khususnya bagi yang melanggarnya. Uniknya hal ini berlaku bagi masyarakat pendatang yang sudah diberitahu akan larangan itu.

Mitos yang bakal terjadi bagi masyarakat pendatang bila melanggar menyebut Ucing  akan ada suatu peristiwa misalnya terjadi hujan yang lebat, tabrakan dan lain-lain yang memang pernah terjadi akibat dari melanggar ketentuan masyarakat Cipancar. Ketentuan itu telah diakui oleh seluruh elemen masyarakat Cipancar baik orang tua sampai anak kecil sekalipun, semuanya meyakini bahwa hal itu memang dilarang untuk diucapkan. Bahkan masyarakat Sumedang pun mengakui akan adanya tabunya menyebut ucapan Ucing  dan diganti dengan ucapan enyeng.
 

Ulasan Sejarah Sutra Bandera dan  Sutra Umbar 
Dewi Setyasih dinobatkan menjadi Ratu Sumedang Larang antara 1530-1579 masehi, bergelar Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umum. Pada awal kekuasaannya memindahkan keraton dari Ciguling ke Kutamaya, terletak diantara dua sungai Cipeles dan Cisugan. Dipersunting oleh ulama besar Cirebon yaitu Pangeran Santri. kemudian Islam berkembang di lingkungan keraton. Dalam perkembangannya Islam menjadi agama pilihan rakyat sehingga mendorong terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban.

Pangeran Santri menerjemahkan ayat-ayat Qur’an kedalam bahasa Sunda, selain itu menerjemahkan sastra-sastra padalanganJawa-Cirebon ke dalam bahasa Sunda, sebagai media syiar Islam. Pada fase ini, 

Ratu Inten Dewata mengangkat Gajah Lindu menjadi Patih, Sutra Bandera, Sutra Umbar diangkat menjadi panglima perang, Aji Mantri diangkat menjadi Panata Agung. 

Pajajaran runtuh pada tahun 1579 masehi, akibat diserbu tentara gabungan Banten Cirebon. Kandaga Lante Pajajaran Jaya Perkasa, Nangganan, Pancarbuana, dan Terong Peot, diperintah Prabu Nusiya Mulya alias Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Pucuk Umum Pulosari  alias Prabu Harismaung, agar menyerahkan mahkota Binokasih lambang kebesaran Pajajaran kepada Pengagung Sumedang Llarang. 

Pasukan berkuda melintasi daerah hutan Bogor, dihadang oleh pasukan Senapati Banten, terjadilah pertarungan seru. Pasukan Jaya Perkasa lolos dari kepungan, singgah di Galuh Limbangan berunding dengan Prabu Jaya Kusumah alias Sunan Rumenggong, yang dipertuakan oleh pengagung Pajajaran.

Ke empat Kandaga Lante Pajajaran mempertimbangkan rencana penyerahan Mahkota Binokasih, diserahkan kepada Sumedang Larang atau kepada Cirebon. Atas pertimbangan Prabu Jaya Kusumah alias Sunan Rumenggong, mahkota lambang kebesaran Pajajaran diserahkan kepada Sumedang Larang.

Sebelum menyerahkan Mahkota Prabu Jaya Kusumah alias Sunan Rumenggong berunding dulu dengan Gajah Lindu, Sutra Bandera, Sutra Umbar, dan Aji Mantri yang sedang berada di Cisurat  Wado. Kandaga Lante Pajajaran memenuhi nasihat itu, berunding di Cisurat untuk menentukan hari penyerahan Mahkota tersebut. 

Setelah Kandaga Lante menyerahkan Mahkota Binokasih kepada Ratu Inten Dewata, kemudian Ratu Inten Dewata mengangkat kamdaga Lante menjadi Senapati untuk memperkuat angkatan perang Sumedang Larang. 1)


Silsilah Sutra Umbar dan Sutra Bandera 
Prabu Nusiya Mulya alias Panembahan Pulosari, Raja Pajajaran terakhir yang bertahta di Kadu Hedjo Pandeglang Banten 1567-1579 masehi makamnya di Pangeureunan Limbangan Garut, menikah dengan Nyimas Harom Muthida alias Nyimas Oo Imahu, mempunyai anak :
Anak ke 1, Harim Hotimah, makamnya di Bogor.

Anak ke 2, Pangeran Sastra Pura Kusumah alias Sutra Bandera, makamnya di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, menikah dengan Nyimas Hatimah putrinya Kusnaedi Kusumah alias Hosobi dan Nyimas Harsari, mempunyai anak ; Sutra Mulud alias Eyang Haji Baginda, Mara Suda, Rohim dan Nyimas Asidah. Nyimas Asidah ditikah oleh Dipatii Rangga Gede mempunyai anak Raden Bagus Weruh alias Dipati Rangga Gempol ke 2. 

Anak ke 3, Pangeran Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar, makamnya di Makam Keramat Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar menikah dengan Nyimas Rangga Pamadeu putra ke 11 Prabu Geusan Ulun dari istrinya Ratu Tjukang Gedeng Waru alias Nyimas Raden Sari Hatin, mempunyai anak : Duhiman alias Eyang Lurah Cipancar, menikah dengan Nyi Raden Nalawangsa anak ke 29 Dipati Rangga Gede dari salah satu istrinya Nimas Romlah, mempunyai anak : Manggala, Nata, Wirya
dan Wijaya.
 
Anak ke 4, Suniasih alias Suntana, makamnya di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, ditikah oleh Jaya Perkasa, mempunyai anak : Nyimas Rangsana dan Agus Kulha.

Anak ke 5, Sari Atuhu alias Buyut Eres, makamnya di Parugpug Desa Cijambe Kecamatan Paseh. Nyimas Sari Atuhu ditikah oleh Pangeran Bungsu alias Santowan Awiluar, putra nya Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata, mempunyai anak Arasuda. Arasuda menikah dengan Ngabehi Mertayuda putrinya Prabu Geusan Ulun dan Ratu Tjukang Gedeng Waru alias Nyimas Sari Hatin, mempunyai anak Romlah yang ditikah oleh Dipati Rangga Gede.

Anak ke 6, Kokom Ruhada alias Buyut Lidah, makamnya di Parugpug Desa Cijambe Kecamatan Paseh, Nyimas Kokom Ruhada alias Buyut Lidah ditikah menjadi salah satu isterinya Dipati Rangga Gede.

Di makam Keramat Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, selain makamPangeran Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar ada juga makam Jaya Perkasa, Makam Jagatlaya, Makam Mustafa Haer, Makam Kusnaedi Kusumah Makam Sumaenah, Makam Harsari, Makam Hosiyah, Makam Anta Wahab dan  Makam Arasuda.

Salam Santun.
Shema Pun Nihawah















_____________
Sumber : 
- Penelitian Ajid Tohir, Fakultas Adab dan Humaniora - UIN BANDUNG.
- Medar isi Buku Waruga Jagat Darmaraja
- Jati Sampurna Cipancar Sumedang Selatan.

Baca Juga :

Tidak ada komentar