BERAKHIRNYA KEKUASAAN DI PAJARAJARAN



Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati yang lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaludin Akbar. Ibunda beliau adalah Nyai Rara Santang, puteri seorang Raja yang memerintah di Kerajaan Sunda, Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyi Subang Larang.

Pada waktu Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon, ia kemudian diangkat menjadi guru agama untuk menggantikan Syeikh Datuk Kahfi yang telah wafat. Oleh pamannya, Walangsungsang ia dinobatkan menjadi penguasa Cirebon.

Pada awalnya kekuasaan atas Cirebon dipegang sendiri oleh Pangeran Walangsungsang atas restu ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Namun karena rasa sayangnya yang besar kepada Rarasantang, sang adik, ia pun kemudian menyerahkan tahta Cirebon kepada Syarif Hidayatullah. Sedangkan Walangsungsang bertindak sebagai pelindungnya.

Atas dukungan para wali lainnya, tahun 1404 Saka (sekitar April 1482M), Syarif Hidayatullah memproklamirkan Cirebon sebagai kerajaan merdeka dengan melepaskan diri sebagai bawahan Kerajaan Galuh.

Hal ini tentu saja mengganggu perasaan Sri Baduga Maharaja sebagai penguasa di Tanah Sunda. Beliau kemudian mengutus Tumenggung untuk menyelidiki masalah ini. Konon kabar, sang Tumenggung tidak pernah kembali. Pada saat berada di Gunung Sembung, pasukannya disergap oleh prajurit gabungan Cirebon - Demak. Mengetahui utusannya tidak kembali, Sri Baduga kemudian memerintahan pasukannya untuk menyerang Cirebon.

Namun niat Sri Baduga berhasil dicegah oleh Ki Purwagalih, seorang Purohita atau pendeta tertinggi kerajaan dengan pertimbangan bahwa Syarif Hidayatullan adalah cucu Sri Baduga yang diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh putera Sri Baduga sendiri yaitu Walangsungsang.

Saran dari Purohita itu pun berhasil meyakinkan Prabu Siliwangi untuk tidak memerangi Cirebon. Dalam buku rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, pandeta tersebut menyarankan bahwa: "Seorang kakek yang memerangi anak (Walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayatullah) tentu akan dicemoohkan orang" .

Begitu pun dari pihak Cirebon, ada keengganan untuk memerangi Sri Baduga Maharaja yang masih dianggap leluhurnya. Perasaan dan keterkaitan keluarga dari kedua belah pihak ini yang berhasil meredakan perseteruan antara Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan para penguasa Cirebon.
Keengganan dan rasa hormat Cirebon pada Kerajaan Pajajaran mulai sirna setelah Sri Baduga Maharaja wafat. Mungkin hal ini muncul atas desakan untuk melakukan ekspansi perdagangan, karena serangan pertama yang dilakukan gabungan Cirebon - Demak adalah menaklukan pelabuhan-pelabuhan utama yang dikuasai Pajajaran. 

Peperangan tersebut terjadi setelah Pajajaran dipimpin oleh Surawisesa, saudara satu ayah Walangsungsang, namun beda ibu yaitu Kentring Manik Mayang Sunda. Perang yang terjadi antara Cirebon dan Pajajaran diperkirakan berlangsung selama lima tahun.

Dalam Carita Parahyangan, peperangan tersebut terjadi selama 15 kali dan berakhir di sebelah barat Sungai Citarum. Saat itu, kedua pihak saling menunggu, bahkan gabungan pasukan Demak - Cirebon tidak berhasil menembus jantung pertahanan Pajajaran, begitu pun dengan pasukan Pajajaran yang tidak mampu merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasai mereka.

Di wilayah timur, Galuh berusaha menguasai Cirebon, pemimpin Galuh mengirmkan surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung dengan Galuh, mengingat Galuh adalah negara yang memiliki hak sejarah atas Cirebon.

Tapi permintaan untuk bergabung itu ditolah mentah-mentah oleh Syarif Hidayatullah, ia justru meminta bantuan Fadillah Khan untuk memperkuat Pakungwati. Fadillah Khan mengirimkan 700 orang pasukan untuk membantu pertahanan Cirebon.

Kekalahan fatal Pajajaran terjadi di wilayah timur. Cirebon berhasil mengalahkan Galuh di daerah Bukit Gundul Palimanan, kemudian merebut jantung pertahanan Galuh di Talaga. Perang antara Cirebon dan Galuh diperkirakan berlangsung antara tahun 1528 - 1530 M. Pada saat itu, Cirebon berhasil menguasai Galuh.


Perjanjian Damai
Kalahnya pasukan dari kerajaan Sunda di wilayah timur membuat Surawisesa harus mengambil langkah politis melalui perjanjian Perdamaian.

Niatan itu dilakukannya dengan mengirimkan utusan ke Pakungwati. Susuhunan Cirebon menerima tawaran damai tersebut, maka pada tahun 1531 terjadilah perdamaian.

Secara garis besar, isi dari perjanjian damai itu menyetujui bahwa kedua belah pihak (Cirebon dan Pajajaran) saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat, dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga Maharaja.

Dalam suasana damai tersebut, Surawisesa membuat sebuah prasasti sebagai sakalala untuk mengenang kejayaan sang ayahanda Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, sekaligus juga sebagai ungkapan kesedihan atas peperangan yang terjadi setelah Sri Baduga wafat. Prasasti itu kemudian dikenal dengan nama Prasasti Batutulis.

Setelah membangunkan sasakala untuk mengenang mendiang ayahnya Sri Baduga Maharaja, tahun 1535 M Surawisewa wafat. Ia kemudian digantikan oleh putranya Prabu Déwatabuanawisésa atau Ratu Dewata. Tapi berbeda dengan ayahnya yang gagah perkasa, Ratu Dewata dikenal sangat alim dan taat kepada agamanya.

Pewaris tahta Pajajaran ini cenderung mengabaikan urusan duniawi dan lebih memilih untuk menjadi raja resi. Kegiatannya sehari-hari adalah berpuasa, tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu, juga melakukan upacara sunatan.

Hal itu dilakukannya lantaran ia terlalu percaya penuh kepada perjanjian damai antara Pajajaran - Cirebon (1531) yang pernah dilakukan oleh sang ayah, sehingga Ratu Dewata lupa, bahwa sebagai pimpinan sebuah negara besar, ia harus tetap bersiaga untuk menjaga segala kemungkinan.

Naskah Carita Parahyangan juga menyebutkan sindiran terhadap Sang Ratu Dewata, 
“Ya hati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa.” 

Mungkin amanah tersebut dimasa kini dapat dipahami sebagai perlunya menjaga keseimbangan antara dunia dan masalah akherat.

Meskipun begitu, sang Raja masih cukup beruntung karena masih memiliki para perwira-perwira tangguh yang pernah mendamping ayahnya dalam beberapa kali pertempuran.

Di lain pihak, Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir merasa sangat tidak setujut atas perjanjian damai yang terjadi antara Pajajaran dengan Cirebon. 

Perjanjian itu menurutnya hanya aman bagi Cirebon saja tapi dapat menjadi ancaman bagi Banten. Ia terpaksa setuju dengan perjanjian tersebut lantaran taat kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.

Tapi, Panembahan Hasanudin sudah memiliki niatan untuk menguasai Pakuan. Hal itu pun dilakukannya secara terselubung, yaitu dengan membentuk pasukan khusus tanpa identitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan.

Kalau melihat garis keturunan, Panembahan Hasanudin adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja dari alur daerah Kawunganten maupun dari Susuhuhan Jati, sehingga jika dipandang dari segi agama maka ia merasa berhak atas tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Semasa pemerintahan Ratu Dewata, pasukan Hasanudin menyerang ibukota Pakuan Pajajaran. Namun serangan itu mendapat balasan dari pasukan Pakuan di alun-alun Pakuan (Alun-alun Empang). Serangan mendadak itu berhasil menewaskan Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda dari pihak Pakuan.

Peperangan tersebut tercatat dalam Carita Parahyangan yang isinya:
“Datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”.
Terjemahan :
Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang.

Namun serangan itu tidak berhasil menembus pertahanan kota. Kokohnya benteng Pakuan menjadi satu hal yang membuatnya tidak mudah dimasuki musuh. Selain itu, tebing-tebing yang terjal serta adanya parit pertahanan kian mempersulit gerakan musuh untuk menembus benteng.

Benteng pertahanan itu adalah mahakarya dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, seperti disebutkan dalam Pustaka Nagara Kretabhuni I/2:
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"

Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.

Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.

Setelah gagal menyerang Pakuan, pasukan Panembahan Hasanudin bergerak mundur, lalu kembali menyerang dari arah utara, kemudian ke Sumedang, Ciranjang, hingga ke Jayagiri.


Wafatnya Sang Ratu Dewata
Pada tahun 1543, Sang Ratu Dewata wafat, ia kemudian digantikan oleh putranya, Ratu Sakti. Namun Raja baru Pakuan Pajajaran ini menjalankan roda pemerintahan dengan tangan besi, dan dikenal sebagai raja yang kejam.

Ketika kondisi Kerajaan Pakuan Pajajaran sedang memburuk, ia tidak lagi peduli pada etika kenegaraan. Ia banyak membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat tanpa rasa malu, tidak berbakti pada orang yang sudah tua, serta senang menghina para pendeta.

Ratu Sakti juga senang menikahi "rara hulanjar" atau gadis yang sudah bertunangan, dan puncaknya adalah ketika ia menikah dengan ibu tirinya. Karena perangai buruknya itu, Ratu Sakti kemudian diturunkan dari takhta Pajajaran pada tahun 1551 M.

Kelemahan Pajajaran ini pun tidak sempat dimanfaatkan oleh Banten, karena saat itu Panembahan Hasanudin sedang membantu pasukan Trenggono di Pasuruan.

Sepeninggal Surawisesa, Pajajaran sudah tidak sekuat dulu. Jalannya pemerintahan yang sudah mengalami pergeseran seperti Ratu Dewata yang lebih memilih sebagai raja resi ketimbang mengurus negara, atau Ratu Sakti yang justru memerintah dengan sangat kejam dan lalim. Alhasil, setelah dua periode masa kepemimpinan itu, Pakuan Pajajaran mengalami masa Kaliyuga. 

Masa Kaliyuga adalah masa ketika pemerintahan sudah sedemikian bobrok, rakyat dilanda kelaparan, kemiskinan dimana-mana, kejahatan dan maksiat terjadi di berbagai penjuru. Kerajaan Pajajaran pada masa itu diperintah oleh Prabu Nilakendra  (1551-1567).

Frustasi akan kondisi tersebut, disertai dengan ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat mendorong raja beserta para pembesarnya untuk memperdalam aliran keagamaan Tantra.

Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran ini.

"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Prabu Nilakendra lebih senang berpesta ketimbang mengurus rakyatnya yang sedang kesusahan. Ia selalu menggelar acara pesta pora, makan enak, disertai minum-minum tuak sampai mabuk.

Ia membuat bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalay / dihampari batu, mendirikan bangunan megah 17 baris yang dilukis dengan emas, yang dindingnya digambari dengan berbagai macam cerita.

Bagi Raja Pajajaran yang kelima ini, tidak ada ilmu yang disukainya kecualinya makanan lezat yang sesuai dengan kekayaannya. Pajajaran telah memasuki masa Kalyuga, dan tengah berada di ambang kehancurannya. Harta Kerajaan dihabiskannya untuk bersenang-senang dan mempercantik keraton.

Pada masa ini, serangan kembali datang dari pasukan tak dikenal yang secara membabi-buta menggempur ibukota Pakuan. Dalam serangan ini, Prabu Nilakendra terpojok tapi berhasil melarikan diri meninggalkan keraton Pakuan. Hingga saat ini, tidak diketahui dengan pasti kapan wafat dan dimana dimakamkannya. Atau mungkin juga ia meninggal di tengah hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara.

Peristiwa ini dikisahkan dalam Carita Parahyangan:
“Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan”
(Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).

Nasib Pakuan sebagai ibukota Kerajaan Pajajaran diabaikan begitu saja, kelangsungannay dipercayakan pada semua pembesar yang tidak ikut melarikan diri bersamanya. Alhasil para pembesar itu pun dengan segala daya dan upaya berusaha mati-matian mempertahankan Pakuan dari serangan musuh.

Sekali lagi, berkat Benteng dan parit pertahanan yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Keraton Pakuan bisa diselamatkan.

Pajajaran Sirna - Setelah serangan Banten yang kedua kalinya ke wilayah Pakuan, para tokoh yang pernah menjadi saksi dan penanda tangan perjanjian damai antara Pajajaran - Cirebon satu persatu menutup usianya, yaitu :
  • Sanghiyang Surawisesa (Raja Pajajaran) yang wafat lebih dulu, tahun 1535 M.
  • Susuhunan Jati, yang wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M.
  • Fadillah Khan, penerus Susuhunan Jati, wafat pada 1570 M.
  • Panembahan Hasanudin, wafat pada 1570 M.
Panembahan Hasanudin kemudian digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf, putra dari hasil pernikahannya dengan putri Indrapura. Maulana Yusuf kelak menikah dengan Ratu Winaon dan berputrakan Pangeran Muhammad yang dikemudian hari akan mewarisi takhtanya. Makam Panembahan Yusuf terletak di luat Kota Banten yang dikenal dengan sebutan Pangeran Pasarean.

Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf membangun saluran-saluran dan benteng yang dibuat dari batu-bata mereh dan karang. Ia pun memperluas Masjid Agung yang dibangun Maulana Hasanudin, serta mendirikan Masjid di Kasunyatan. Di masa kepemimpinannya, Banten terkenal hingga ke penjuru dunia sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat dan perdagangan.

Panembahan Yusuf memiliki keinginan untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Jawa Barat. Ia pun memperkuat negaranya dan melakukan persiapan dengan sangat matang, terutama setelah kegagalan yang dialami pendahulu sewaktu menyerang Pakuan Pajajaran.

Serangan yang langsung dikomandoi oleh Panembahan Yusuf ini dilakukan setelah sembilan tahun beliau bertakhta di Kerajaan Surasowan. Dalam serangan ini, ia mendapat bantuan dari Kerajaan Cirebon sehingga disebut pula sebagai serangan besar-besaran ke Pakuan.

Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten :
Nalika kesah punika Ing sasih muharam singgih Wimbaning sasih sapisan Dinten ahad tahun alif Puningka sangkalanya Bumi rusak rikih iki
(Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).

Adapun kondisi Pakuan Pajajaran setelah ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak lagi berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduknya telah mengungsi ke wilayah Pantai Selatan, dan membuat pemukiman baru di daerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan untuk mengungsi ke wilayah timur, dari mereka terdapat para pembesar kerajaan, senopati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.

Sebagian penduduk yang masih ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton memilih ikut mengungsi dengan satu-satunya Raja yang bersedia meneruskan takhta kerajaan, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra dari Prabu Nilakendra. Mereka kemudian berangkat ke wilayah  barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung  Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Namun begitu, tidak semua penduduk ikut mengungsi, sebagian memilih bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga serta mempertahankan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Meski tidak lagi berfungsi sebagai sebuah ibukota, namun kehidupan di Pakuan kembali pulih.

Prabu Ragamulya Suryakancana bersama para pengikutnya berupaya untuk menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, kali ini dengan ibu kota di Pulasari. Prabu Ragamulya adalah Raja Pajajaran yang bertakhta tanpa mahkota, karena semua perangkat dan atribut kerajaan telah dibawa oleh Senopati Jayaprekosa untuk diselamatkan.

Pemilihan Pulasari sebagai ibukota Pajajaran mungkin ada kaitannya dengan masih adanya raja daerah, Rajatapura, bekas ibukota Salakanagara. Tapi ada juga yang menyebut kalau Pulasari bukanlah ibukota sebagaimana yang lazim dalam sebuah pemerintahan, namun lebih condong sebagai Kabuyutan, atau daerah yang dikeramatkan. Daerah yang digunakan Suryakancana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.

Menurut Yosep Iskandar, : Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ket itik-asal (purbajati). Mungkin juga ia “mengetahui” melalui bacaan lontar, catatan tentang “Rajakasawa” yang mengisahkan “Karuhun” (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan “dorongan batin” yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.

Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.

Sementara itu di Pakuan, aktivitas berlangsung seperti biasa, namun sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat kedudukan untuk Raja Pajajaran beserta kerabat dan keluarganya. Keraton-keraton di Pakuan kini hanya berisi para pembesar yang dijaga oleh para pengawal dan prajurit yang tersisa. Walau Pakuan masih memiliki benteng dan parit pertahanan yang sangat kuat, namun sifat soliditias dan ketangguhan para prajurit membuat keraton ini masih kokoh berdiri.

Menurut versi Banten, hancurnya Pakuan adalah karena adanya penghianatan dari "orang dalam yang sakit hati", yang konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia meminta untuk bertugas menjaga pintu gerbang Pakuan yang berada di Lawang Gintung. Tanpa gerakan mencurigakan, ia membuka gerbang untuk dimasuki para pasukan Banten yang telah menunggu di luar gerbang pada malam hari.

Tak ayal lagi, setelah pintu gerbang terbuka, pasukan Banten mulai melancarkan serangan dan berhasil memporakporandakan Keraton Pakuan, lalu membakarnya. Terbukanya gerbang pakuan juga berarti maut bagi para penduduk yang tersisa, mereka dibinasakan tanpa ampun, rumah-rumah mereka turut dibakar.

Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
"Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala".

Yang artinya, Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.

Serangan itu juga terjadi pada Suryakancana dan para pengikutnya di Pulasari. Namun pada akhirnya, Ragamulya Suryakancana gugur di tangan pasukan Surosowan.

Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357), Berjuluk Prabu Wangi,
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
------------------
Bahan bacaan :
- Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, jilid 4, 1983 – 1984.
- Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar, Geger Sunten – Bandung, 1997

Baca Juga :

Tidak ada komentar