Kampung Adat Kasundaan Orsinil Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Garut Selatan


Konsep Pemukiman Kampung Adat Kampung Dukuh kecamatan Cikelet Pameungpeuk Garut dibamgun seseuai dengan adat tradisi leluhur kasundaan atau Kabuyutan Sunda yang terdiri dari 40 susuhunan Rumah. Sementara itu, keunikannya berupa keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukiman msyarakat, hanya terdiri puluhan rumah yang tersusun pada kemiringan tanah bertingkat, namun setiap tingkatan terdapat deretan rumah membujur dari barat ke timur. 

Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim.


Kampung adat ini terletak di antara tiga gunung, yakni Gunung Batu Cupak, Gunung Dukuh, dan Gunung Batu. Kampung Adat Dukuh Dalam namanya. Sebuah kampung adat yang masih memegang teguh adat istiadat para leluhur mereka.

Memasuki kampung ini, Anda akan melihat pemandangan rumah-rumah yang atapnya terbuat dari serabut alang-alang dan ijuk. Kesan tradisional masih sangat terasa di kampung yang letaknya di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, ini.

Semua rumah yang berada di kampung ini memang terbuat dari kayu dan ada larangan untuk tidak menggunakan kaca, tembok, dan genteng. 






Di sini, ada satu rumah yang terlihat lebih besar dari rumah lainnya. Rumah itu adalah milik sang juru kunci Kampung Adat Dukuh Dalam.




Rumah-rumah di kampung adat ini berjumlah 40 buah dengan satu balai rakyat tempat warga berkumpul untuk mengadakan pertemuan. 



Di Kampung Adat Dukuh Dalam ini, terdapat satu rumah yang dikhususkan bagi tamu yang mau melakukan penyepenan atau menyepi sambil menjalani ritual di dalam rumah.

Selain rumah-rumah warga, di kampung ini juga terdapat sebuah mushala untuk tempat beribadah warga kampung dukuh. 





Ada juga madrasah yang diperuntukkan bagi anak-anak di kampung ini bersekolah sekaligus belajar agama.
 

Warga Kampung Adat Dukuh di Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Jawa Barat, selain berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii.

Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat.

Bahkan idealisme itu, juga berpengaruh pada struktur bangunan penduduknya yang tidak membolehkan menggunakan dinding dari tembok, atau atap dari genteng serta tidak boleh membuat jendela dari kaca, katanya.

Dengan alibi apapun yang bersifat kemewahan, akan mengakibatkan suatu sistem masyarakat menjadi tidak harmonis, malahan tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio, yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan banyak kemudaratan.

Sedangkan peralatan makan yang digunakan, hanya terbuat dari pepohonan seperti layaknya bangunan, diantaranya bambu batok kelapa dan bahan kayu lainnya, karena material itu dipercaya memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan karena tidak mudah hancur atau pecah sekaligus dapat menyerap kotoran.

Perkampungan adat yang berjarak sekitar 1,5 km dari Desa Cijambe atau 120 km arah selatan dari pusat Kota Garut, bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum hingga Kecamatan Cikelet, dilanjutkan dengan jasa angkutan ojeg sampai lokasi.

Luas kampungnya 1,5 Ha, yang terdiri tiga wilayah meliputi Kampung Dukuh Dalam, Dukuh Luar serta kawasan khusus Makam Karomah, ungkap pemuka pemuda setempat Yayan ketika dihubungi  dari Garut.

Dia mengatakan, wilayahnya merupakan perkampungan tradisional atau adat yang masih menganut kepercayaan nenek moyang, dan masyarakat disini juga masih mematuhi "Kasuaran Karuhun" atau yang dikenal dengan istilah Tabu sesuai dengan nasihat Leluhurnya.

Ada satu tempat yang dianggap sakral oleh warga di kampung ini, yakni makam leluhur Kampung Adat Dukuh Dalam Syekh Abdul Jalil. Untuk menuju area makam, pengunjung harus mendaki kaki Gunung Dukuh. Makam Syekh Abdul Jalil tepat berada di dalam hutan gunung tersebut.

Makam ini ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di Indonesia setiap Hari Sabtu. Sebelum menuju makam, para peziarah diwajibkan untuk mandi dan berwudhu di sebuah jamban yang sudah disediakan warga.

Pada awalnya kampung didirikan oleh Sembah Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dan Syekh Pamijahan Tasik yang bermukim disini untuk menyebarkan agama Islam dan melakukan kholwat ditempat ini oleh petunjuk gurunya, namun karena dalam kholwatnya tidak mendapatkan petunjuk akhirnya beliau hijrah setelah ayahnya Sembah Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) meninggal dunia dikampung ini. Di sini Syekh Pamijahan bermukim selama 1 tahun (1685 - 1686 M), kemudian beliau mengembara ke Tasikmalaya ke daerah Pamijahan dan akhirnya menemukan tempat yang sesuai untuk kholwatnya yaitu di Goa Pamijahan, hingga akhirnya beliau menetap dan menyebarkan agama Islam di sana.

Menurut sejarah dukuh Sembah Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dari Sumedanglarang seorang kepala Penghulu dan juga orang kepercayaan pada masa Adipati Sumedanglaran Pangeran Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) Mp. 1656 - 1706  , datang bermukim di sini dan membangun kampung Dukuh. 

Menurut sesepuh kampung Dukuh, Pak Haji Oing dan Pak Haji Ahmad yang kebetulan ada pertalian saudara dengan istri saya, karena dari Cikelet Pameungpeuk.
 
"Mimitina anu datang ka Cikelet teh nyaeta Sembah Lebe Warta Kusumah, teras Syekh Pamijahan, di dieu Syékh Pamijahan (Syékh Haji Abdul Muhyi) nyebarkeun agama Islam bari neangan tempat anu dituduhkeun ku Guruna pikeun tirakatan, ngan di ieu tempat Syékh Pamijahan teu pati lila cicingna kurang leuwih ngan sataun (1685-1686 M). Nya didieu oge ramana Syékh Pamijahan ngantunkeun nyaeta Sembah Lebe Warta Kusumah dimakamkeun di sisi Cikaengan.

Salain ti Makam Syekh Abdul Jalil, ada juga makam Eyang Dukuh luluhur urang Kampung Dukuh. 


Baheula, jaman tatar Sunda aya dina kakawasaan Mataram, kira abad ka - 17, anu jadi panghulu di Kadaleman Sumedang téh nya Syékh Abdul Jalil.

Ari nu jadi dalemna mangsa harita Rangga Gempol II (
Raden Bagus Weruh). Hiji mangsa, waktu mangkat ibadah haji ka Mekah, aya dua utusan ti Kasultanan Banten anu menta sangkan Dalem Sumedang taluk ka Banten, lain ka Mataram. Tapi éta pamenta téh ditolak ku Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan, malah utusan Banten téh tuluy diusir.

Sanggeus amitan, éta utusan téh balik deui ka Banten, ngan ditengah jalan dipateni kalawan parentah Dalem Sumedang. Da tangtu lamun éta utusan laporan ka Sultan Banten, nu pasti bakal aya riributan.

Sanggeus Syékh Abdul Jalil balik deui ka Sumedang, éta kajadian téh dirusiahkeun pisan. Tapi lila-lila mah aya nu ngabejakeun ka Syekh 
Syékh Abdul Jalil. Puguh baé Syékh Abdul Jalil téh bendu kabina-bina. Dalem Sumedang dianggapna geus nyieun codeka. Nepi ka antukna Syékh Abdul Jalil  téh ingkah ti Sumedang, lunta ka pakidulan Garut.

Nu Ahirna, Syékh ngababakan jeung bubuara di tempat nu ayeuna katelah jadi Kampung Dukuh. Katurunanana Syékh Abdul Jalil téh ngajarkeun hirup basajan jeung pageuh nyekel bag-bagan Islam.

Nepi ka ayeuna gé naon anu diajarkeun ku Syékh Abdul Jalil téh dijalankeun jeung dijaga pisan ku rundayanana. Sabada ngantunkeun, Syékh Abdul Jalil dimakamkeun di makam karomah anu dikaramatkeun pisan. Anu badé jarah ka dinya teu bisa sagawayah," Katanya.


 

Pemangku Adat Kampung Dukuh (Mama Uluk / Mama Lukman  - Tengah)

Syékh Abdul Jalil meninggalkan Sumedanglarang, sewaktu Sumedanglarang bentrok dengan Banten pada masa kekuasan Mataram.

Menurut cerita Syékh Abdul Jalil sewaktu menjadi kepala penghulu, lalu jabatannya dan meninggalkan Sumedanglarang  karena merasa kecewa, sewaktu mendapat perintah dari Pangeran Panembaha untuk mengaburkan/siasat agar tidak jadi bentrok perang dengan Banten, dimana utusan Banten tersebut dibunuh oleh suruhan Pangeran Panembahan dan mayatnya dibuang di Cadas Pangeran. Karena kecewa akhirnya beliau hijrah dari Sumedanglarang dan sampai ke tempat ini, sambil menyebarkan membangun kembali tradisi Islam tradiosinil yang berlandaskan pada ajaran tassawuf.

Keturunan Kampung Dukuh dilarang menjadi pegawai negeri mungkin awalnya dari kisah ini, yang menjadi pegawai pemerintah penuh dengan intrik politik dan kekuasaan.

Setelah meninggal beliau, istrinya dan kedua Anaknya dimakamkan di suatu bukit Gunung Dukuh yang kelihatan sakral sekali. Sebelum melakukan Ziarah yang mana disini dikhususkan pada hari Sabtu saja, yang datang dari berbagai tempat pun, tidak diperbolehkan ziarah/tawassul pada hari bukan hari Sabtu, dan bagi yang datang dari jauh mereka ditempatkan menginap oleh pengurus adat kampung dukuh di rumah-rumah penghuni kampung dukuh ini.

Menurut pak haji Ahmad, tanahnya Syekh Abdul Jalil ini, luas sekali membentang dari barat sampai ke timur di daerah kampung dukuh, yang kini ditanami oleh Tanaman padi, Pohon Cengkeh dan kebun-kebun pohon Jati. 

"Bahkan ada tanah tanah khusus bagi orang sumedang, kalo mau tinggal disini" katanya.

Untuk melakukan Ziarah/Tawassul bersama ke makam syekh Abdul Jalil pada hari Sabtu, dengan syarat memakai sarung (tanpa Celana Dalam) memakai baju Sunda hitam atau putih polos tanpa gambar, tidak membawa/memakai perhiasan, tidak membawa peralatan eletronik kamera, android. Kecuali baju yang dipakai yang diharuskan oleh pengurus adat atawa membawa tasbeh, sesuai dengan adat ziarah kampu
ng dukuh setelah mandi dan berwudlu, ditempat pemandian umum kampung dukuh atau mandi di rumah warga kampung dukuh.

Tempat pemandian umum kampung Dukuh dekat lokasi ke arah Makam

Sebelum berjiarah pengunjung ziarah di kampung dukuh dikumpulkan di lokasi di bawah ke arah makam syekh Abdul jalil yang berada di puncak bukit. pengunjung ziarah duduk bersila  pada batu-batu alami yang ada di daerah tersebut yang terkonsep rapi, seperti tempat pertemuan dari batu, dan kemudian mendapatkan pengarahan ziarah, doa-doa, sholawatan nabi, sebelum ziarah ke makam Syekh Abdul Jalil yang dipimpin oleh Sesepuh / Ustad di kampung Dukuh. Jikalau melihat kehidupan sehari-hari dan kegiatan keagamaan di Kampung Dukuh, secara garis besar berlandaskan pada pemahaman ilmu Tassawuf. Terlihat juga dalam cara dzikirnya karena pertama kali yang menyebarkan agama Islam di Kampung Dukuh berlandaskan Tassawuf dari Syekh Abdul Qodil al Jailani yaitu Syekh Pamijahan.

Makam Syekh Abdul Jalil di Puncak Gunung Dukuh (Photo dari Wisata Garut
Posisi makam Syekh Abdul Jalil berada di puncak bukit (Gunung Dukuh) tersendiri dengan batu balay alami dan dibawahnya ada makam kedua anaknya bernama Hasan dan Husen, mungkin diambil dari nama anak Cucu Rosulullah SAW. Dan disampingnya makam anaknya syekh Abdul Jalil terdapat pula makam-makam kuno yang hanya dicirikan oleh batu-batu nisan tanpa nama. Seperti halnya makam-makam kuno di Daerah Darmaraja Sumedang.
 
Kampung Dukuh juga ramai diziarahi orang pada waktu Bulan Maulud Rosulullah. Bahkan menurut pak Haji Oing. "Cep Dedi, upami bulan Maulud mah ziarah ka dieu teh pinuh pisan", katanya.


Penulis Ketika mengunjungi Kampung Dukuh Pameunpeuk bersama sahabat (bawah)



Ritual Adat di Kampung Dukuh

Di Kampung Dukuh mereka juga melaksanakan upacara "Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk memberikan hasil pertanian kepada pemerintahan setempat.

Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 ha tediri 7 ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 ha Kampung Dukuh Dalam serta sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat pula areal yang dikenal wilayah "Karomah". sebagai lokasi makam "Syekh Abdul Jalil", ujar Yayan.


Kang Yayan.

Di kampung "Dukuh Dalam" hanya terdapat 40 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40 Kepala Keluarga (KK) atau 172 orang, sedangkan Kampung "Dukuh Luar" dihuni 70 KK, dengan mata pencaharian utamanya bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau serta memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.

Pola budaya aspek non fisiknya berupa ritual budaya antara lain "ngahaturan tuang" (menawari makan), merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar.

Jika memiliki keinginan tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam, kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan.

Kemudian "nyanggakeun" (menyerahkan),  kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada "Kuncen" (juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak dirbolehkan memakan hasil panennya sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.

Selanjutnya "tilu waktos" (tiga waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan membawa makanan ke dalam "bumi alit atau bumi lebet" (rumah kecil atau rumah dalam) untuk "tawasul",  Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa, yang biasanya dilakukan pada 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam.

"Manuja", yakni penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk perayaan.

"Moros",  merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat pemerintah seperti lurah dan camat.

Cebor Opat Puluh, adalah mandi dengan empat puluh kali siraman air dari pancuran yang dicampur dengan air khusus namun telah diberi doa-doa pada jamban umum.

Jaroh, merupakan bentuk kegiatan berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak.

Shawolatan, dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen, berupa Sholawatan Karmilah sejumlah 4.444 kali yang dihitung dengan menggunakan batu.
 
Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah, Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.

Terbang Sejak, merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan pernikahan, yakni sebagai pertunjukkan pertunjukan debus.

Maka terdapat hari-hari penting dan hari besar di Kampung Dukuh antara lain, 10 Muharam, 12 Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari pentingnya Sabtu (Pelaksanaan Ziarah), Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Sapar).

Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan untuk digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud dipercaya sebagai hari paling baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh, juga terdapat tradisi 30 bewah sebagai persiapan menjelang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kata Kang Yayan.




Membuka Sejarah Siapakah Syekh Abdul Jalil di Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Garut

ADA KENASABAN KELUARGA PESANTREN GENTUR CIANJUR DENGAN SYEKH ABDUL JALIL KAMPUNG DUKUH CIKELET PAMEUNGPEUK GARUT

Ahmad Syathibi al Qonturi Al 'Alim Al 'Allamah Al Kamil Al Waro Asy Syaikh Ahmad Syathibi bin Muhammad Sa'id Al Qonturi Asy Syanjuri Al Jawi Asy Syafi'i. 

Lahir di Cianjur, Hindia Belanda, sekitar tanggal 12-18 tanpa diketahui secara pasti bulan dan tahun kelahirannya - meninggal di Cianjur, Indonesia pada Rabu 14 Jumadil Akhir 1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei 1946) atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok ulama Tatar Pasundan yang bergelar Al Alim Al 'Allamah Al Kamil Al Wara.

Kakak kandungnya antara lain Hajjah Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur), Mama Hajji Ilyas (alias Mama Hajji Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi), dan adik kandung yakni Mama Hajji Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur).

Putra - putra Mama Ajengan Gentur antara lain : Mama Haji Hidayatullah (Aang Baden), Mama Haji Rohmatullah (Aang Eyeh), Mama Haji Hasbullah (Aang Abun), Mama Haji Abdul Haq Nuh (Aang Nuh), Hajjah Siti Aminah (Ibu Hajjah Mas Noneh), Hajjah Mas Ucu Qoni'ah, dan semua putranya menjadi Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.

Konon salah satu putranya yaitu Mama Haji Abdul Haq Nuh alias Mama Aang Nuh Gentur merupakan sosok ulama tanah pasundan yang al'alim al alamah al kamilil wara secara rutin sering berziarah ke makam karomah kampung dukuh Syeikh Abdul Jalil.

Menurut yang diyakini oleh Mama Aang Nuh Gentur bahwa Syeikh Abdul Jalil adalah eyangnya yang tiada lain adalah ayahanda Syeikh Abdul Muhyi yakni Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah.

Nasab silsilah Mama Aang Nuh Gentur sebagai berikut :
Ayahnya   : Mama Haji Ahmad Syathibi (Gentur, Warungkondang, Cianjur)
Kakeknya : Mama Haji Muhammad Sa'id (Gentur, Warungkondang, Cianjur)
Buyutnya : Mama Haji Abdul Qodir (Ciawi, Ciawi, Tasikmalaya)
Baonya     : Syekh Nur Hajid (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya)
Jangawarengnya : Syekh Nur Katim (Seulakopi, Cianjur)
Udeg Udegnya     : Syekh Dalem Bojong (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya)
Kakait Siwurnya  : Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya) bin Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah alias Syekh Abdul Jalil (Makom Karomah Kampung Dukuh, Cikelet, Garut Selatan).

Dengan adanya keterangan tentang adanya hubungan kenasaban antara pesantren Gentur Cianjur dengan kampung dukuh ini, maka semakin menambah keyakinan bahwa Syekh Abdul Jalil itu merupakan nama lain dari ayahandanya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya yakni Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah.



EYANG DUKUH
Selain makam Syeikh Abdul Jalil / Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah (penghulu sewaktu pemerintah kabhupatian Sumedang pada jaman Pangeran Panembahan, yang diutus oleh kasultanan Mataram, menjadi kepala penghulu Agama di Sumedang. Karena beliau berasal dari parahyangan yang menimba ilmu di Pasantren di Mataram dan mendirikan pasatren buhun diperbatasan Sumedang Majalengka yaitu Pesantren Tonjong Majalengka.

Menurut keterangan Eyang Dukuh, adalah berasal dari Pajajaran yang mengungsi ke Kampung Dukuh, sewaktu Pajajaran Burak (Sirna Ing Bhumi). Eyang Dukuh yang mengasingkan diri ke Kampung Dukuh yang menganut Sunda wiwitan (ageman Sunda Pajajaran), setelah kedatangan syeikh Abdul Jalil atau Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah. Lalu eyang Dukuh berguru agama Islam pada Syeik Abdul Jalil (Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah). Karena pada dasar secara Hakekat agama wiwitan (awal) dan Agama Islam tak jauh perbedaannya sama-sama menyembah Tuhan yang MaHa Esa dan Maha Kuasa, yang berbeda hanya dalam hal tata cara dan syareat, sehingga Agama Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Kampung Dukuh. 

Setelah meninggal Syeik Abdul Jalil, eyang Dukuh mengurus makamnya. Salah satu keturunan Eyang Dukuh generasi ke 14, diberikan kepercayaan untuk menjadi pupuhu / Ketua Adat Kampung Dukuh sekarang, yaitu mama Uluk (mama Lukman)

Semoga tulisan ini bermanfaat, bagi yang ingin tahu sejarah Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut.

Wallahu alam Biroomudih

Salam Santun. 












Writer participant:

- Oos Supyadin (NKKD)

- Idpan Yudarda (NKKD)

- Dedi Sumamiharja (NKSL)

- Luky Djohari Soemawilaga (NKSL)

- Cikelet Rumah Budaya


Beberapa Video Yang Menceritakan Kampung Dukuh



Baca Juga :

Tidak ada komentar