Identifikasi Situs Di Kecamatan Buahdua Kabupaten Sumedang
IDENTIFIKASI SITUS DI KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG
Oleh : Dedi E Kusmayadi Soerialaga
Gmail : sumedangpressrilis@gmail.com
Panata Keraton Sumedang Larang Kamatren Budaya dan Kesejarahan
I. PENDAHULUAN
1.1 Petilasan (Situs) dan Kabuyutan
Patilasan-patilasan atau kabuyutan merupakan tempat berlangsungnya proses sejarah atau kegiatan keagamaan, yang selanjutnya petilasan (situs) dan Kabuyutan dikeramatkeun oleh masyarakat.
Literatur Sunda menegaskan yang disebut dengan Kabuyutan sama dengan maandala yaitu tempat mencari atau mendidik keilmuan. Berdasarkan kepada penemuan masayarakat petilasan-petilasan karuhun mempunyai sumber kakuatan gaib.
Yang disebut petilasan itu adalah artefak, ekofak, situs makam karuhun yang mengandung subtasial, karena itu situs tidak bisa dipindahkan sebab ada tiga unsur terintegrasi yaitu : material, spiritual dan sakral. Beda dengan makam secara harfiah makam dapat dipindahkan dan diperbaiki dengan aturan agama dan adat setempat.
Yang disebut petilasan itu adalah artefak, ekofak, situs makam karuhun yang mengandung subtasial, karena itu situs tidak bisa dipindahkan sebab ada tiga unsur terintegrasi yaitu : material, spiritual dan sakral. Beda dengan makam secara harfiah makam dapat dipindahkan dan diperbaiki dengan aturan agama dan adat setempat.
Material artinya perkara-perkara yang nyata (faktual) terlihat wujudna. Spiritual artinya mengandung pancaran kejiwaan atau suasana kebatinan, sedangkeun yang disebut Sakral yaitu langgeng. Kaabadiannya menjadi dasar keyakinan, bahwa situs sejarah mesti dirawat supaya tidak dirusak oleh napsu manusa, yang sengaja baik secara perorangan maupun kelompok yang mempunyai itikad untuk memusnahkan petilasan-petilasan sejarah. Bercampur baurnya tiga tersebut unsur bersatu menjadi satu memancarken energi mistik alam semesta serta ada kaitannya dengan mahluk-mahluk gaib (astral) yang menjaga tempat-tempat keramat.
Tata diri keyakinan masyarakat kepada perkara-perkara gaib (supranatural) hidup, tumbuh dan padamnya, yang dilakukan dengan upacara-upacara (ritus) yang ditopang oleh syarat norma ajaran dengan berbakti, membaku agar berpijak dalam jalan kebenaran.
Hukum kebenaran itu terasa oleh rasa, terjangkau oleh pemikiran (logis), dan terasa oleh hati, nyata untuk orang-orang yang yakin, sebaliknya untuk orang-orang yang sangsi kepada perkara-perkara gaib, tentu hilang rasa membenarkannya dengan anggapan tahayul.
Mengenai hal-hal kejadian luar biasa (diluar nalar pemikiran manusa) dianggap keilmuan kasaktian, gambaran nyata tingkah laku karuhun yaitu dengan membangun keseimbangan antara rohani dan jasmani, juga benar-benar arif bijaksana, orientasi pemikiran spiritual sampai menciptakan kasalehan ritual dan kasalehan sosial.
Telaah Muclas dalam Al Qur’an menegaskan yang dsebut benar ada empat perkara yaitu, benar kata ilmu pengetahuan, benar dari pengalaman, benar kata / menurut panca indra, perkara tersebut bergantung kepada tajamnya rasa (sensitivitas) indra masing-masing.
Benar kata ilmu ilmiah berdasarkan kepada bukti-bukti nyata eksperimental terstruktur uji metodologi. Benar kata filsafat yaitu hasil dari proses dalamnya mendalami rasional, sistematika, universal, radikal, sifat subjektif dan benarnya wahyu yaitu ilmu dari Allah tergantung daripada keimanan (subjektif).
Praktek-praktek perjalanan spiritual yang dilaksanakan oleh raja-raja, atau pemingpin meliwati upacara di tempat-tempat keramat tujuannya untuk mencari kesaktian dalam rangka memepertahankan nagara dalam ancaman bahaya, sedangkan di kalangan resi mencari kesucian jati diri sejati supaya menjadi sempurna menjadi manusia.
Masyarakat yang melakukan upacara-upacara sakral (magis) berdasarkan kepada keyakinan bahwa ruh-ruh karuhun ngaping ngajaring tur ngauban kahirupan. Dimensi alam gaib bisa ditempuh melewati perjalanan spiritual untuk mendatangkan kulminasi puncak kaarifan yang sempurna.
Masyarakat yang melakukan upacara-upacara sakral (magis) berdasarkan kepada keyakinan bahwa ruh-ruh karuhun ngaping ngajaring tur ngauban kahirupan. Dimensi alam gaib bisa ditempuh melewati perjalanan spiritual untuk mendatangkan kulminasi puncak kaarifan yang sempurna.
1.2 Letak dan Geografis
Geografis kawasan Buahdua merupakan kawasan yang pada masa lampau termasuk ke dalam Kawedanaan Buahdua, dan sekarang sudah Wilayah Kecamatan Buahdua dikelilingi oleh wilayah Kecamatan Surian dan Tanjungkerta di sebelah barat, Kecamatan Cimalaka di sebelah selatan dan Kecamatan Conggeang di sebelah timur.
Geografis kawasan Buahdua merupakan kawasan yang pada masa lampau termasuk ke dalam Kawedanaan Buahdua, dan sekarang sudah Wilayah Kecamatan Buahdua dikelilingi oleh wilayah Kecamatan Surian dan Tanjungkerta di sebelah barat, Kecamatan Cimalaka di sebelah selatan dan Kecamatan Conggeang di sebelah timur.
Demikian pula posisi wilayah Sumedang yang strategis, menghubungkan pesisir utara dan pedalaman Jawa Barat, memberikan dugaan bahwa di wilayah ini pada masa lampau pernah dimanfaatkan sebagai jalur masuknya pengaruh budaya dari luar sehingga melahirkan beberapa benda budaya yang merupakan hasil percampuran budaya asli dan pendatang, serta tidak tertutup kemungkinan adanya budaya lama yang masih bertahan yang muncul kembali. Kondisi demikian melahirkan artefak tinggalan budaya baik dalam bentuk struktur permukiman, transportasi, perdagangan, teknologi dan persebaran situs yang beragam.
Dalam studi arkeologi situs tinggalan budaya dapat diklasifikasi, berdasarkan fungsi dan jenis aktivitasnya, seperti situs habitasi, situs perdagangan, situs penjagalan, situs penambangan, situs penguburan, situs seremonial, dan situs perbengkelan (Sharer, 1979: 68-100). Demikian pula persebaran situs-situs apabila dilihat dari aspek keletakannya pada dasarnya juga sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia dalam memilih tempat untuk melakukan aktivitas baik sebagai tempat hunian maupun pemujaan sesuai kebutuhan hidupnya. Hal ini juga tidak lepas dari pertimbangan keberadaan sumberdaya alamnya.
Terdapatnya sebaran tinggalan budaya berupa fitur punden dan kubur di wilayah Buah Dua yang terletak pada kordinat 06o 42’ 6,72” LS; 107o 57’ 13,19” BT dan ketinggian 318 meter di atas permukaan laut (mdpl), pada dasarnya merupakan suatu hasil aktivitas manusia masa lampau. Tinggalan budaya materi berupa sisa- sisa hasil kegiatan manusia baik yang berupa struktur batu atau lainnya, tetapi diduga sebagai tinggalan budaya adalah merupakan salah satu unsur yang memberikan indikasi adanya aktivitas manusia yang pernah berlangsung di wilayah ini pada masa lampau. Demikian pula sisa-sisa struktur batu di suatu situs memberikan indikasi bahwa di lokasi tersebut pernah berlangsung suatu aktivitas membangun suatu bentuk dengan pola tertentu yang berkaitan dengan fungsi situs. Di wilayah ini berhasil diinventarisir sejumlah situs dengan artefak berbahan batu alam, batu papan (slab), punden, fragmen gerabah dan keramik.
Demikian halnya sebagian besar penempatan situs-situs tinggalan budaya di tempatkan pada lahan yang tinggi dan jauh dari pemukiman. Tradisi yang berasal dari masa pra Islam ini terus berlanjut sampai sekarang. Apabila pernyataan tersebut dikaitkan dengan pendapat Sukendar, bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat bersemayam arwah nenek moyang berkaitan dengan kepercayaan yang telah ada sejak pra-Islam (Sukendar, 1981: 85). Alasan lain pemilihan lokasi bangunan makam di gunung atau bukit ini tampaknya juga atas pertimbangan kesakralan tanahnya (Mustopo, 2001: 185).
Berdasarkan kenyataan tersebut, permasalahan yang diangkat pada tulisan ini adalah, untuk mengungkap situs-situs tradisi megalitik yang masih berlangsung hingga sekarang ini yang berhubungan dengan konsepsi religi. Penelitian ini bertujuan menggali sisa-sisa tradisi berlanjut dalam kehidupan masyarakat walau Islam sudah berkembang dan dianut oleh masyarakatnya pendukungnya.
Pembahasan pada penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif, sehingga survei dilakukan untuk memperoleh data dan mengetahui keadaan objek secara langsung, kemudian diperoleh data yang dapat dianalisis untuk mengetahui perpaduan budaya yang terdapat pada situs-situs arkeologi tersebut. Pengumpulan data dilakukan di wilayah Buahdua dan sekitarnya. Interpretasi dilakukan dengan mengintegrasikan bentuk- bentuk nisan dengan hasil wawancara dan studi pustaka yang berkaitan dengan sejarah Islamisasi dan tradisi- tradisi lokal yang berkembang di wilayah penelitian.
II. IDENTIFIKASI DAN PEMBAHASAN
2.1 Situs-Situs Bercorak Tradisi Megalitik
Tinggalan budaya materi berupa artefak atau fitur merupakan suatu indikasi adanya aktivitas manusia yang pernah berlangsung di suatu lokasi. Demikian pula adanya batu datar, batu berdiri, fitur struktur batu dengan batu tegak atau menhir merupakan indikasi adanya pemanfaatan sumberdaya alam yang pernah digunakan untuk kegiatan budaya, baik yang bersifat profan atau sakral. Hal inimemberikan gambaran bahwa pada masa lampau wilayah Buahdua dan sekitarnya pernah dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat pendukung budaya tradisi megalitik tempat melakukan aktivitas ritual. Pemilihan lokasi Buahdua sebagai tempat beraktivitas, tentunya didasari oleh berbagai pertimbangan seperti letak yang strategis dan keadaan alam yang memungkinkan, misalnya dekat dengan sumber air, dikelilingi perbukitan sebagai pertahanan dan tanah yang subur. Walaupun Islam masuk dan berkembang, tetapi anasir-anasir budaya lokal tidak hilang begitu saja dalam kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Hingga sekarang ini, sebagian masyarakat masih mempertahankan tradisi megalitik pada beberapa situs makam kuna. Berdasarkan informasi penduduk situs-situs makam atau kubur di kawasan Buahdua dan sekitarnya masih menggunakan nisan batu tegak merupakan salah satu bentuk kontinuitas tradisi megalitik.
Situs Pertama
Di wilayah Buahdua adalah Situs Haur Koneng berada di Blok Haur Kuning, Dusun Curug, Desa Hariang. Masyarakat menamakan makom atau petilasan Eyang Dalam Suryawetcana berasal dari Cirebon.
Photo 1. Situs Eyang Dalam Suryawetcana (Photo Dokumen Pribadi) |
Unsur megalitik terlihat pada jirat makam yang terbuat dari susunan batu-batu gunung berbentuk melingkar ditandai dua nisan batu tegak di atasnya. Di tengah-tengah makam ditumbuhi pohon haur kuning menurut cerita Rahtim (51 tahun), bahwa pada awalnya adalah tongkat Eyang Dalam Suryawetcana yang ditancapkan dan akhirnya tumbuh pohon haur kuning. Luas areal makam 280 cm x 330 cm berada di tanah milik desa. Makom terlihat sering dikunjungi para peziarah dari masyarakat sekitar dan terletak jauh dari pemukiman penduduk.
Unsur megalitik terlihat pada jirat makam yang terbuat dari susunan batu-batu gunung berbentuk melingkar ditandai dua nisan batu tegak di atasnya. Di tengah-tengah makam ditumbuhi pohon haur kuning menurut cerita Rahtim (51 tahun), bahwa pada awalnya adalah tongkat Eyang Dalam Suryawetcana yang ditancapkan dan akhirnya tumbuh pohon haur kuning. Luas areal makam 280 cm x 330 cm berada di tanah milik desa. Makam terlihat sering dikunjungi para peziarah dari masyarakat sekitar dan terletak jauh dari pemukiman penduduk.
Situs Ke Dua
Di kawasan Buahdua adalah situs Gunung Harendong. Masyarakat menamakan makom Eyang Soeriaatmadja atau nama lain Pangeran Mekah, karena beliau wafat di Mala Mekkah dan ini merupakan petilasan. Makom atau Petilasan tanda yang dibuat, terletak di bawah pohon beringin diberi cungkup serta dikelilingi pagar bambu. Makam berada di perbukitan, dengan keletakan berada pada ketinggian 300 mdpl. Jirat makam sudah diperbaharui diganti keramik dengan nisan asli berupa batu tegak berbentuk pipih. Luas areal makam 530 cm x 950 cm. Makam sering dikunjungi peziarah terutama pada malam senin dan malam jumat dengan maksud dan tujuan mendoakan dan untuk masa depan lebih baik.
Photo 2 : Petilasan Eyang Soeriaatmaja Pangeran Mekah (Photo Dokumen Pribadi) |
Situs Ke Tiga
Kemudian situs ketiga yaitu Situs Hariang atau Situs Guriang. Situs ini ditandai dengan tumpukan batu alam di bawah pohon beringin. Situs terletak di dekat aliran sungai Hariang. Situs berada di tanah milik desa dekat dengan lahan persawahan penduduk.
Photo 3. Makam Eyang Guriang (Photo Dokumen Pribadi) |
Masyarakat menamakan makam Eyang Guriang dan dikeramatkan. Di makam tersebut ditemukan bekas-bekas sesaji yang dibawa oleh peziarah yang datang dari luar kota di antaranya dari Bandung, Jakarta, Cirebon. Pada bulan Maulud makam Eyang Guriang banyak dikunjungi peziarah dengan maksud dan tujuan untuk memohon hidup yang lebih baik
Situs Ke Empat
Berikutnya
Situs Astana Tengah berada di Blok Astana Tengah, Dusun Hariang, Desa
Hariang. Ciri dari tradisi megalitik situs Astana Tengah yakni pada
makam ditandai dua nisan batu tegak yang berorientasi timur-Barat.
Nisan bagian timur bahan batu alam yang berbentuk empat persegi
berukuran tinggi 32 cm, lebar 22 cm, tebal 8 cm, sedangkan nisan bagian
barat bahan dari batu alam berbentuk pipih berukuran tinggi 49 cm,
lebar 15 cm, tebal 8 cm. Sementara makam berada digundukan tanah kering
tanpa jirat yang dikelilingi sawah penduduk. Masyarakat menamakan makam Buyut Siluman dan dikeramatkan.
Photo 4. Nisan batu tegak Situs Buyut Siluman di Astana Tengah (Photo Dokumen Pribadi) |
Situs Ke Lima
Selanjutnya Situs Candi Karang berada di Blok Candikarang, Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua. Lahan situs merupakan perbukitan berada pada ketinggian 717 m dpl. Di sebelah timur laut dari bukit ini mengalir Cilogang yang bermuara ke Cijurai yang merupakan anak Cikandung dan sungai ini bermuara ke Cimanuk di Indramayu. Cilogang merupakan batas alam dari Desa Bojongloa dan Desa Cikurubuk.
Situs ini masyarakat menamakannya Makam Eyang Candi Karang dan isterinya Eyang Candi.
Situs ini masyarakat menamakannya Makam Eyang Candi Karang dan isterinya Eyang Candi.
Photo 5. Situs Candi Karang di Blok Candikarang, Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua.
(Photo Dokumen Pribadi)
(Photo Dokumen Pribadi)
Dari Buku Jati Sampurna memberikan penjelasan yang dimaksud Eyang Candi Karang adalah Sanghyang Hanjuang Beureum (Eyang Candi Karang), diberi nama Sanghayang Hanjuang Beureum di Zaman Medal Kamulyan Kerajaan Tembong Agung tahun 678 - 721 Masehi, ssal Galuh Pakuan ini ?
Hanjuang Beureum (merah) dalam siloka sunda menyimbolkan keturunan Galuh, Hanjuang Hejo (hijau) menyimbolkan keturunan Sunda (Pajajaran), oleh karena itu Senapati Jaya Perkasa di jaman Prabu Geusan Ulun menanam pohon "Hanjuang Hijau", ketika suksesi antara kerajaan Sumedang dengan Kesultanan Cirebon.
Sakawayana (mbah Jalul) atau Sanghiang Ajisaka putra no 2 dari Prabu Aji Putih dan Dewi Nawang Wulan, menikah dengan Sari Legawa atau Surya Legawa atau Antra Legawa atau Sari Mujijad, berputra Sanghyang Hanjuang Beureum atau Jaga Diwangsa atau Jaga Raksa.
Sanghyang Hanjuang Beureum (Jaga Diwangsa atau Jaga Raksa) beristrikan Raga Legawa (Sari Ningrum) putranya Mbah Jago dan Anita Sari, berputra :
1. Imas Mala Ati, dipercaya sebagai Dewi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan.
2. Jagadinata (Husmaeni), Talagawarna kahiangan Gunung Tampomas
Situs Makam Candi Karang yang berada di Dusun Cilumping RW 02/ RT 06, Desa Cikurubuk, Kacamatan Buah dua. Sejaman dengan Sakawayana (mbah Jalul) putranya Prabu Guru Aji Putih.
Jadi kemungkinan Eyang Candi (Sanghyang Hanjuang Beureum) segenerasi dengan Prabu Gajah Agung, yang meneruskan wilayah karesyian Sakawayana (Embah Jalul) berada di wilayah Suku Gunung Tampomas..
Menurut informasi Wiria (63) ini bukan makam akan tetapi petilasan dahulu tempat berkumpulnya para leluhur Sumedang dalam strategi menyebarkan Islam.
Di permukaan areal situs juga banyak sebaran fragmen tembikar polos dengan teknik pijit dan tembikar hias garis-garis namun sudah sangat aus, selain itu ditemukan sebaran keramik Cina.
Situs Ke Enam
Selanjutnya, situs berada di Blok Ciembutan, Dusun Cilumping, Desa Cikarubuk, terletak di lereng perbukitan jauh dari pemukiman penduduk. Situs ditandai makam atau kubur tua dan masyarakat menyebutnya makam Sanghyang Ciembutan atau Prabu Daniswara.
Photo 6. Situs Prabu Danishwara (Sumara Dira)
Di Blok Ciembutan, Dusun Cilumping, Desa Cikarubuk Kecamatan Buahdua (Photo Dukemen Pribadi)
Menurut Sumber Sejarah Prabu Daniswara adalah pengiring Medal Kamulyan Zaman Kerajaan Salakanagara di Sumedang, kerajaan yang bercorak Hindu awal di Jawa Barat, putranya Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (Sanghyang Jagat Jaya Nata), Mp 262 -290 Masehi.
Ketika Dharma Satyajaya Waruna Dewa memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai raja ke lima, putra-putranya yang sebanyak 7 orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pegunungan yang sejuk, dan kemudian hidup sebagai seorang pertapa (Resi), yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang.
Ketika Dharma Satyajaya Waruna Dewa memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai raja ke lima, putra-putranya yang sebanyak 7 orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pegunungan yang sejuk, dan kemudian hidup sebagai seorang pertapa (Resi), yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang.
- Jaya Sampurna atau Jaya Sakti, yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah Selatan wilayah Sumedang pengiring Medal Kamulyan Kerajaan Salakanagara, situsnya di lingkungan Parigi Kelurahan Pasanggrahan Baru kecamatan Sumedang Selatan.
- Indra Sari atau Gajah Handaru disebut sebagai Dalem Tumenggung, yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah Selatan wilayah Sumedang Pengiring Medal Kamulyaan Kerajaan Salakanagara, situsnya di lingkungan Parigi Kelurahan Pasanggrahan Baru kecamatan Sumedang Selatan.
- Suksmana atau Eyang Cupu, yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah Selatan wilayah Sumedang pengiring Medal Kamulyan Kerajaan Salakanagara, situsnya di Pasarean, Kel. Kotakulon Kec. Sumedang Selatan.
- Prabu Danishwara (Sumara Dira), sebagai penguasa dan juga sebagai Prabu Resi yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah Utara wilayah Sumedang pengiring Medal Kamulyan Kerajaan Salakanagara sekitar suku Gunung Tampomas, situsnya di Blok Ciemutan Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua.
- Jayabuana Ningrat, disebut Banas Banten yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah itara wilayah Sumedang pengiring Medal Kamulyan Kerajaan Salakanagara sekitar suku Gunung Tampomas, situsnya di Kampung Banas Banten Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang.
- Larasakti, yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah Timur wilayah Sumedang pengiring Medal Kamulyan Kerajaan Salakanagara wilayah Cisusuru, situsnya di Gunung Cisusuru Dusun Sahang, Desa Dayeuh Luhur Kec. Ganeas.
- Sari Hatimah (Sanyak) dan Dalem Tumenggung Surabima, yang menyebarkan ajaran Hindu di sebelah Utara wilayah Sumedang pengiring Medal Kamulyan Kerajaan Salakanagara sekitar suku Gunung Tampomas, situsnya di Cieunteung Desa Cipamekar, Kecamatan Conggeang.
Informasi dari masyarakat awalnya kubur tersebut merupakan batu tegak, namun kemudian direnovasi oleh masyarakat pendukungnya menjadi berjirat dengan dua nisan di atasnya.
Sementara sekitar 200 m ke arah tenggara dari kubur ini terdapat mata air alam Ciembutan yang sangat besar debitnya. Di permukaan Ciembutan terdapat batu alam dengan permukaan datar digunakan sebagai tempat menaruh sesaji.
Photo 7. Batu Alam Dengan Permukaan Datar Dekat Mata Air Ciembutan. (Photo Dokumen Pribadi)
Situs Ke Tujuh
Survei idetiifikasi lokasi makam di Kecamatan Buah Duah dilanjutkan di Situs Malandang, terletak komplek makam yang dikenal sebagai makam Malandang. Di komplek makam ini terdapat 4 makam/kubur yang ditandai dengan nisan batu alam tanpa jirat dan masing-masing diberi nama sebagai Eyang Wirakusuma, Eyang Wirakutamaya, Eyang Agus Salam, dan Eyang Siti Candra Komalasari. Keempat orang ini berasal dari Cirebon.
Survei idetiifikasi lokasi makam di Kecamatan Buah Duah dilanjutkan di Situs Malandang, terletak komplek makam yang dikenal sebagai makam Malandang. Di komplek makam ini terdapat 4 makam/kubur yang ditandai dengan nisan batu alam tanpa jirat dan masing-masing diberi nama sebagai Eyang Wirakusuma, Eyang Wirakutamaya, Eyang Agus Salam, dan Eyang Siti Candra Komalasari. Keempat orang ini berasal dari Cirebon.
Menurut Memet Kusnadi (71) juru kunci makam, Situs Malandang adalah makam leluhur Kampung Malandang. Lahan makam ini mempunyai luas 500 bata. Di areal situs terdapat pohon-pohon tua yang tidak diperbolehkan untuk diambil oleh masyarakat umum maupun keturunan karuhun sendiri. Di areal situs terdapat dua kelompok makam ; kelompok pertama dikelilingi pagar besi dan mempunyai luas 5 x 10 m, terletak di bagian barat dan merupakan makam dari Agus Salam, Eyang Wirakusuma, Eyang Wirakutamaya.
1) Makam Agus Salam. Makam ini ditandai 3 batu alam dengan bentuk tidak beraturan berorientasi utara-selatan. Batu tegak bagian utara berukuran tinggi 36 cm, lebar 25 cm dan tebal 9 cm. Batu bentuk bulat di bagian selatan berukuran panjang 40 cm, lebar 30 cm dan tinggi 20 cm, dengan jarak antar nisan 90 cm. Makam Agus Salam tidak berjirat terletak di bawah pohon kemuning.
Photo 8. Makam Agus Salam di Situs Malandang. (Photo Dokumen Pribadi) |
2) Makam Eyang Wirakusuma, terletak 267 cm ke arah barat dari makam Agus Salam, ditandai dengan satu batu tegak terletak di bagian utara, berukuran tinggi 22 cm, lebar 11 cm, dan tebal 10 cm, dan makam tidak berjirat, dan
3) Makam Eyang Wirakutamaya, berada 83 cm ke arah barat dari makam Eyang Wirakusuma. Makam tidak berjirat ditandai 2 nisan batu tegak berorientasi utara-selatan. Nisan bagian utara berukuran tinggi 21 cm, lebar 11 cm dan tebal 11 cm, sedangkan nisan bagian selatan kondisi rebah berukuran anjang 28 cm, lebar 20 cm dan tebal 12 cm, dengan jarak nisan 70 cm.
4) Sementara pada jarak 45 m ke arah barat dari komplek makam Agus Salam terletak makam Eyang Ratu Siti Candra Komalasari dikelilingi oleh pagar bambu.
Makam menyerupai kubur batu berbentuk empat persegi yang merupakan susunan Batu-batu Papan (slab) atau masyarakat menyebut sebagai Batu balai / rubak / tatapakan atau lempengan batu (slab). Kubur tersebut berukuran panjang 180 cm dan lebar 114 cm, dan kubur ini dikelilingi pagar bambu berukuran 3 x 3 m.
Makam menyerupai kubur batu berbentuk empat persegi yang merupakan susunan Batu-batu Papan (slab) atau masyarakat menyebut sebagai Batu balai / rubak / tatapakan atau lempengan batu (slab). Kubur tersebut berukuran panjang 180 cm dan lebar 114 cm, dan kubur ini dikelilingi pagar bambu berukuran 3 x 3 m.
Photo 9. Makam Kubur Batu Berbentuk Empat Persegi
Susunan Batu-Batu Papan di Situs Maladang.
(Photo Dokumen Pribadi)
Situs Ke Delapan
Masih di wilayah Buahdua ditemukan Situs Barujul berada di Dusun Barujul, Desa Gandereh. Masyarakat menamakan makam Buyut Burujul atau Eyang Kumis. Makam dikeramatkan dan sering dikunjungi peziarah.
Di komplek makam ini terdapat dua kelompok batu yang disusun memanjang utara-selatan tanpa jirat. Area komplek kubur ini dibatasi oleh dinding susunan batu berbentuk persegi empat dengan ukuran 8,30 x 4,70 m dan yang masih tersisa di bagian sebelah timur dan selatan dengan tinggi 60 - 80 cm.
Area dibagi menjadi dua bagian timur dan barat yang dibatasi oleh susunan batu alam jarak antara kumpulan batu sebelah barat dan timur 5,36 m. Kelompok susunan batu sebelah timur berukuran panjang 160 cm dengan dua nisan batu alam posisi rebah, batu sebelah utara berukuran panjang 54 cm, lebar 14 cm, sedangkan nisan batu tegak bagian selatan berukuran tinggi 36 cm, lebar 13 cm dan tebal 28 cm, dengan jarak antar nisan 110 cm. Sedangkan kelompok batu sebelah barat berukuran panjang 100 cm dipermukan ditandai dengan batu tegak di sebelah selatan berukuran tinggi 30 cm, lebar 12 cm dan pada jarak 50 cm ke utara terdapat batu datar berukuran diameter 25 cm dan tebal 6 cm.
Situs Ke Sembilan
Survei dan deskripsi juga diarahkan pada situs Hariang Tonggoh, di Dusun Hariang Tonggoh, Desa Boros, Kecamatan Tanjungkerta. Masyarakat menamakan makam Buyut Enden dan dikeramatkan. Situs ditandai oleh tatanan batu-batu alam pipih dan batu tegak. Fitur tatanan batu ini terletak di tanah desa yang merupakan tempat pemakaman umum Dusun Hariang Tonggoh. Situs dikelilingi pagar bambu dengan luas areal kubur 13 x 9 m. Permukaan areal situs ini terbagi menjadi 3 bidang persegi empat yang memanjang dari tenggara-barat laut. Kubur Buyut Enden terletak di sebelah tenggara yang ditandai dengan dua batu tegak berjajar arah tenggara-barat laut, dan hamparan tatanan batu papan (slab). Bentuk persegi empat ini berukuran 2,7 x 3,10 m.
Photo 10. Makam Buyut Enden di Situs Hariang Tonggoh.
(Photo Dokumen Pribadi)
Situs Ke Sepuluh
Masih di kawasan Tanjungkerta terdapat situs Gunung Datar berada di Dusun Gunung Datar, Desa Gunung Datar, dan terletak di areal pemakaman umum desa. Masyarakat menamakan makam Buyut Entin dan masih sering dikunjungi peziarah. Kubur ditandai dengan dua nisan tegak tidak beraturan, serta jirat persegiempat dari tatanan batu alam. Nisan sebelah utara berukuran tinggi 45 cm, panjang 67 cm, lebar 35 cm, sedangkan nisan sebelah selatan berukuran tinggi 38 cm, panjang 60 cm, dan lebar 27 cm. Tidak banyak diketahui tokoh tersebut menurut Yatie Turyati (65 tahun) beliau terkenal dengan kesaktiannya dan sampai saat ini sering dikunjungi peziarah yang datang dari Cirebon, Jawa, Banten, Ciamis.
Photo 11. Nisan Batu tegak Makam Buyut Entin di Situs Gunung Datar. (Photo Dokumen Pribadi) |
Situs Ke Sebelas
Selain situs Gunung Datar, terdapat pula situs Cipela terletak di Dusun Cipela, Desa Tanjungmekar. Menurut informasi Emak Ntar (56), makam di situs ini merupakan makam Eyang Haji Pangencar berasal dari Cirebon. Makam ditandai tumpukan batu-batu alam tidak bernisan. Jirat berukuran panjang 350 cm, dan lebar 230 cm. Lebih kurang 140 cm arah barat dari makam Eyang Haji Pangencar terdapat makam istrinya bernama Eyang Siti Dewi.
Photo 12. Makam Eyang Haji Pangencar Cipela. (Photo Dokumen Pribadi) |
Situs ke Dua Belas
Seperti yang telah disebut diatas pengiring Medal Kamulyan di Sumedang Zaman Kerajaan Salakanagara kerajaan yang bercorak Hindu awal di Jawa Barat, adalah putranya Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewa atau Sanghyang Jagat Jayanata atau Sanghyang Jagat Jaya Ningrat, Mp. 262-290 Masehi, yang berputra 7 orang, yaitu :
1. Jaya Sampurna (Gajah Handaru)
2. Indra Sari
3. Cupu (Sukmana)
4. Prabu Danishwara (Sumara Dira)
5. Jaya Bhuana Ningrat (Banas Banten)
6. Lara Sakti
7. Sanyak (Sari Hatimah) dan Dalem Tumenggung Surabima.
Survei dan deskripsi juga diarahkan pada Situs Cieunteung berada di lahan pemakaman umum di tanah desa di Blok Cipamekar, Desa Cipamekar, Kecamatan Conggeang. Masyarakat menamakan makam Dalem Tumenggung Surabima dan Mbah Sanyak (Sari Hatimah) yang dikeramatkan. Ditandai dengan punden yang terdiri dari empat teras berundak, berupa fitur kubur dari susunan batu papan (slab).
Photo 13. Makam Dalem Tumenggung Surabima dan Mbah Sanyak (Photo Dokumen Pribadi) |
Di teras teratas (4) terletak kubur yang tertutup oleh susunan batu papan dengan batu tegak di sisi bagian utara berukuran tinggi 44 cm, lebar 11 cm, tebal 14 cm dan nisan selatan berukuran tinggi 25 cm, lebar 11 cm dan tebal 8 cm. Jirat berukuran panjang 280 cm dan lebar 170 cm. Luas areal makam 9 x 8 m berbentuk persegi empat dengan tangga naik di bagian pojok tenggara. Tangga naik terdiri dari 4 anak tangga, tangga pertama tinggi 43 cm, tangga kedua tinggi 22 cm, tangga ke tiga tinggi 20 cm, dan tangga ke empat tinggi 15 cm.
Situs Ke Tiga Belas
Berikutnya survei di Kecamatan Tanjung Medar tepatnya di Blok Medang, Dusun Cisae, Desa Jingkang terdapat Situs Medang. Situs berada di puncak bukit jauh dari pemukiman penduduk berada pada ketinggian 644 mdpl. Tinggalan budaya yang terdapat di situs ini berupa sebaran struktur batu alam dengan areal situs luas 70 x 60 m. Situs ditandai kumpulan batu-batu alam besar tidak beraturan, dan tampaknya batu-batu tersebut dimanfaatkan untuk pemujaan. Menurut Oyo Suryani (81 tahun) bahwa situs tersebut yang disebut Sumedang.
Batu-batu alam yang berkelompok tersebut masing-masing mempunyai nama sebagai : Embah Mangkunegara, Prabu Siliwangi, Embah Waris, Kanjeng Dalem, Uyut Sempreng, dan Eyang Zaenem. Kemudian lebih kurang 20 m ke arah tenggara situs Medang terdapat makam Embah Jaya Perkosa
2.2 Situs-Situs Buah Dua Sebagai Sarana Pemujaan
Di beberapa wilayah Nusantara kelangsungan tradisi megalitik terus berlanjut dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya, walau masa prasejarah sudah berakhir. Perkembangan tradisi ini, berlangsung cukup lama yaitu dari masa neolitik hingga sekarang (Van Heekeren, 1958: 44). Unsur tradisi prasejarah atau pra Islam terlihat dalam sistem kepercayaan yaitu pemujaan terhadap arwah para leluhur. Di Indonesia tradisi dan ritual tersebut biasanya dilakukan masyarakat dalam pemakaman dan penguburan. Kebiasaan tersebut menggambarkan religi sebagai tradisi yang berlanjut yang terus hidup dan berlangsung di tengah-tengah kehidupan beberapa kelompok masyarakat di Indonesia.
Menurut Prasetyo, apabila manusia tidak mampu menghadapi masalah yang menggelisahkan, maka untuk mengatasinya dengan memanipulasi makhluk dan kekuatan supernatural. Hal ini jelas bahwa agama atau religi dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku digunakan manusia untuk mengendalikan aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya. Manusia meminta bantuan pada dunia supernatural dilakukan melalui doa, sesajian dan kegiatan ritual umum (Prasetyo, 2004: 161).
Makam dalam tradisi megalitik biasanya diwujudkan dalam bentuk sederhana. Demikian halnya makam- makam keramat yang tersebar di wilayah Buahdua dan sekitarnya hanya berupa susunan batu dengan nisan-nisan batu tegak/menhir berukuran sedang dan kecil, dengan bentuk persegi panjang, pipih, bulat, lonjong atau tidak berbentuk. Di wilayah Buahdua dan sekitarnya meskipun Islam terus berkembang, namun budaya lokal yang cenderung megalithis terus berlangsung dan mungkin tak bisa dihilangkan begitu saja dalam kehidupan oleh pendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat makam-makam kuna tersebut dikeramatkan dan disucikan, bahkan kadang secara keliru dijadikan sebagai tempat meminta suatu keberkahan. Pengkeramatan makam, merupakan tradisi sebagian besar masyarakat muslim di wilayah Nusantara, terutama di Jawa. Aktivitas mengunjungi makam atau ziarah merupakan bentuk perkembangan dari budaya megalitik yang berkembang pada masa prasejarah Ambary (1998: 43).
Makam dalam tradisi megalitik biasanya diwujudkan dalam bentuk sederhana. Demikian halnya makam- makam keramat yang tersebar di wilayah Buahdua dan sekitarnya hanya berupa susunan batu dengan nisan-nisan batu tegak / menhir berukuran sedang dan kecil, dengan bentuk persegi panjang, pipih, bulat, lonjong atau tidak berbentuk. Menurut Sukendar (1983), menhir merupakan tinggalan tradisi megalitik yang sangat banyak ditemukan diberbagai situs dan berbagai masa setelah periode Neolitik, yang terus berkembang hingga masa pengaruh Hindu, Islam bahkan hingga masa sekarang (Sukendar, 1983:93). Menhir atau batu tegak, menurut Sukendar (1983) secara umum mempunyai tiga fungsi : yaitu batu tegak yang berfungsi dalam upacara penguburan, upacara pemujaan dan batu tegak yang tidak berfungsi religius (Sukendar, 1983: 100).
Menurut Kartodirjo (1975) yang dikutip Wuri Handoko, menjelaskan bahwa menhir dalam alam kepercayaan masyarakat megalitik berfungsi sebagai medium penghormatan, menjadi tahta kedatangan roh, sekaligus lambang dari orang-orang yang diperingati. Dengan demikian kontinuitas tradisi megalitik yakni penggunaan menhir sebagai nisan kubur, menandai karakteristik Islam yang sangat akomodatif terhadap paham-paham lokal yang merupakan bentuk kepercayaan terhadap leluhur yang diwarisi sejak zaman megalitik dan terus bertahan hingga persentuhannya dengan Islam (Handoko, 2014: 37). Sedangkan pendapat Wiyana, bahwa pemberian tanda berupa menhir pada masa prasejarah dan nisan pada masa Islam, secara prinsip mempunyai kesamaan, yaitu sebagai tanda adanya penguburan (Wiyana, 2008: 311).
Kebiasaan lain yang masih terus berlanjut hingga sekarang oleh sebagian masyarakat wilayah Buahdua dan sekitarnya ternyata tidak hanya mendatangi atau menziarahi makam- makam keramat, namun petilasan- petilasan atau tapak-tapak yang bukan makam juga dikunjungi untuk diziarah. Salah satu petilasan dibentuk seperti makam dilengkapi dengan jirat dan dua nisan batu tegak, yaitu situs Gunung Harendong. Masyarakat menamakan makam Eyang Suryaatmaja atau Pangeran Mekah karena beliau wafat di Mekkah. Sampai sekarang masih dikunjungi untuk diziarah dengan membawa sesaji berupa rokok, kemenyan, kopi dan lainnya.
Demikian pula situs berupa kumpulan batu-batu alam letaknya berada di puncak bukit yang jauh dari pemukiman penduduk oleh pendukungnya dimanfaatkan untuk pemujaan. Situs tersebut adalah situs Medang yang terletak di Desa Jingkang, Kecamatan Tanjung Medar. Situs Medang ditandai kumpulan batu-batu alam besar dan kecil dengan bentuk tidak beraturan terletak pada ketinggian 644 m dpl.Batu-batu alam yang berkelompok tersebut oleh masyarakat pendukungnya masing-masing diberi nama sebagai Embah Mangkunegara, Prabu Siliwangi, Embah Waris, Kanjeng Dalem, Uyut Sempreng, dan Eyang Zaenem, sampai sekarang dikunjungi untuk maksud dan tujuan tertentu dengan membawa sesaji yang dipimpin oleh juru kunci situs.
Bukti-bukti arkeologis di wilayah Buahdua menunjukkan bahwa masyarakat di satu pihak telah mendapat pengaruh budaya Islam, namun secara fisikal masih memperlihatkan dominasi unsur budaya lokal, yakni memperlihatkan kesinambungan dengan anasir budaya Pra Islam, yang oleh Ambary (1986; 1991) dikutip oleh Handoko disebut sebagai permanensi etnologis (Handoko, 2014: 43). Bahkan kemungkinan berkembangnya Islam di wilayah Buahdua dan sekitarnya masa itu berjalan lamban karena faktor lingkungan alam. Lokasi desa-desa wilayah Buahdua dan sekitarnya hingga sekarang terletak di perbatasan, pedalaman, perbukitan, dan kawasan terpencil, sehingga kurang mendapat pengaruh atau kontak budaya luar yang lebih terbuka. Hal- hal tersebut dapat mengakibatkan unsur lokal semakin kuat/dominan mengakar dalam tata laku dan kepercayaan lama (penghormatan terhadap arwah leluhur) yang dianut, karena masyarakat prasejarah lebih banyak mempengaruhinya dengan pola pikir sederhana. Dengan demikian menggambarkan bahwa meskipun Islam telah dianut namun budaya lokal yang cenderung megalithis sulit atau bahkan mungkin tak bisa dihilangkan.
III. PENUTUP
Penelitian arkeologi di beberapa desa wilayah Buahdua dan sekitarnya Kabupaten Sumedang dapat menggambarkan bagaimana dinamika budaya sebagian masyarakatnya yang masih berpegang teguh pada kepercayaan leluhur. Keyakinan dalam hidupnya diwujudkan dengan tindakan berkunjung ke tempat yang dianggap keramat. Pemujaan terhadap leluhur atau arwah nenek moyang, tampaknya merupakan kepercayaan masih sangat kuat dan terus berlanjut meskipun Islam telah berkembang dan dianut. Masih hidupnya unsur-unsur lokal, yaitu tradisi praIslam hal ini menunjukkan adanya kompromi kultural.
Fenomena pola keletakan situs di perbukitan, penempatan situs jauh dari pemukiman penduduk, penanda makam nisan batu tegak, dan ziarah makam, hal ini menunjukkan kehidupan religi tradisi megalitik yang terus berlanjut. Selain itu, terlihat adanya kesejajaran makna dan fungsi petilasan/tapak bukan makam dengan bangunan makam yang sebenarnya. Ke tempat-tempat tersebut sering didatangi masyarakat pendukungnya dengan berbagai maksud dan tujuan dengan membawa sesaji. Selain itu, pemujaan masih dilakukan pada situs berupa kumpulan batu-batu alam, masing-masing diberi nama sebagai media lambang dari leluhur oleh masyarakat pendukungnya.
Melalui penelitian arkeologi akhirnya dapat mengungkap sejarah budaya masyarakat di wilayah Buahdua dan sekitarnya pada masa lalu dan sekarang, bahwa Islam berakulturasi dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur. Meskipun Islam telah dianut sebagai agama, namun kepercayaan terhadap leluhur masih terus berlanjut dan tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
- Handoko, Wuri. 2014. Tradisi Nisan Menhir pada Makam Kuno Raja-Raja di Wilayah Kerajaan Hitu. Kapata Arkeologi 10 (1): 33-46.
- Heekeren, H.R.Van. 1958. The Bronze Iron Age of Indoneisa, VKI XXII. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
- Mustopo, Moehammad Habib. 2001. Kebudayaan Islam di Jawa Timur Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan. Yogyakarta: Jendela Grafika.
- Prasetyo, Bagyo, dkk. 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah Di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
- Sharer, Robert.J 7 Wendy Ashmore.1979. Fundamental of Archeology. Menlo Park, California: The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc.
- Sukendar, Haris. 1981. Peninggalan Tradisi megalitik di daerah Cianjur, Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
- Wiyana, Budi. 2008. Dari Menhir ke Nisan: Suatu Dinamika Budaya. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi. Kediri, 23-28 Juli 2002. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
- Buku Jati Sampurna Sumedang.
Post a Comment