Tutunggul Situs Prabu Lembu Agung Bukan Asli


Berita, Situs - Situs Astana Gede merupakan situs yang berada di Kampung Astana Gede Desa Cipaku. Lokasinya berada di pemakaman umum warga setempat, sehingga aksesnya cukup mudah berada di pinggir jalan masuk ke Desa Cipaku. Berdasarkan data topografi, situs Astana Gede berada pada ketinggian 230 meter di atas permukaan laut.

Di situs ini ada empat buah makam yang sering diziarahi yaitu Makam Prabu Lembu Agung, Makam Kiyai Demang Cipaku, Makam Mbah Jalul  (Sakawayana) dan Makam Nyi Mas Siti Sujiah. Sampai sekarang makam-makam ini masih diziarahikan oleh masyarakat, baik masyarakat setempat maupun masyarakat luar daerah.

Situs Astana Gede berupa bangunan teras berundak terdiri dari tiga teras. Teras paling atas berukuran lebih kecil, terdapat makam Embah Jalul (Sakawayana), dan dua teras berikutnya terdapat makam Prabu Lembu Agung dan makam Embah Dalem Demang Cipaku. Pada teras-teras itu terdapat gundukan batu berbentuk empat persegi dengan satu sampai tiga undakan, berorientasi utara-selatan.

Lingga (semu), menhir atau bagian batu tegak berbentuk kubus dengan atap berbentuk trapesium diletakkan di bagian utara permukaan puncak punden. Di sekitaran makam ini terdapat pemakaman umum dengan luas sekitar 35 x 30 meter.




- Makam Prabu Lembu Agung
Makam Prabu Lembu Agung Pertama kali ditemukan di Gunung Sanghiyang, kemudian dipindahkan ke Astana Gede yang terletak di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja.

Prabu Lembu Agung merupakan salah satu raja Kerajaan Sumedanglarang. Makam Prabu Lembu Agung berada di bagian paling dalam atau paling utara lahan yang dikeramatkan. Makam dikelelingi pagar kayu dengan pintu masuk di bagian selatan pagar. Makam berupa struktur batu berteras dua dengan batu tegak di puncaknya sebagi nisan. Makam berorientasi utara-selatan.

Berdasarkan informasi Tutunggul Satu makam Prabu Lembu Agung bukan yang aslinya karena yang aslinya telah hilang.

"Tutunggul yang asli prabu Lembu Agung yang asli telah hilang dan yang dipakai sekarang bukan aslinya", Kata teh Away Kurnia, Kang Fajar dan Kang Maxilimilam dari Cipaku.

Prabu Lembu Agung dinobatkan menjadi Raja Sumedanglarang pada saat bulan gelap tahun Saka. Namun beliau tidak lama memangku tahta kaprabon, tahta kekuasaan diserahkan kepada adik kembarnya atau Prabu Gajah Agung, kemudian beliau menjadi Resi (ngaresi) yang mempunyai kewajiban menata agama.

Selama menata agama, telah berhasil membangun sarana-sarana ibadah di kawasan Gunung Sanghiyang (Cibugel), pegunungan Penuh, Mandalasakti, Gunung Simpay. Kemudian mendirikan perkampungan di daerah Bagala Asih Panyipuhan dengan membuka hutan angker yang disebut Negara Keling (Negara Hitam) tempat bersemayamnya makhluk jin.

Setelah menjadi pemukiman diganti namanya menjadi Karang Kawitan (Karang = tempat, Kawitan = yang pertama). Tempat tersebut dijadikan tempat pertemuan para resi dan keluarga raja atau petinggi kerajaan.

Selain itu beliau sebagai pengembang ilmu Kadarmarajaan, suatu ilmu yang memberi petunjuk terhadap kemulyaan hidup, melalui penjabaran yang nyata. Landasan panca kaki merupakan landasan untuk saling mengenal, saling memahami dan saling pengertian diantara sesame manusia.

Prabu Lembu Agung  mempersunting Putri Galuh yaitu Banon Pujasari, dari perkawinan tersebut melahirkan para pemuka agama di Bumi Sumedang. 


Buah perkawinan Prabu Lembu Agung dengan Banon Pujasari melahirkan Santapura. Sejak kecil tinggal bersama ayahnya di Kampung Muhara Leuwihideung Darmaraja. Setelah Lembu Agung turun tahta, Santapura tinggal di padepokan Lemah Sagandu atau Cpeueut (Cipaku). Disanalah Santapura bersama kerabat diwirid ilmu keagamaan dan ilmu kadarmarajaan sebagai cikal bakal ilmu kasumedangan. Ilmu Kadarmarajaan banyak menerangkan tentang kepemimpinan dan membat petunjuk tentang cara-cara untuk memperoleh kekuatan gaib. Untuk memperoleh ilmu tersebut diharuskan melakukan ilmu tapabrata di tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Dengan cara itulah Resi Peteng Adji (Lembu Agung) menempa mental anak cucunya. Rupanya Lembu Agung sengaja mempersiapkan Santapura untuk mensiarkan Agama Tauhid (Suci) di daerah Darmaraja.

Suatu waktu, Santapura diperintah bertapa di tepian sungai Cimanuk yang tidak jauh dari Cipeueut. Di tepi sungai Cimanuk berderet pohon-pohon besar, diantara pepohonan itu terdapat pohon Tanjung yang usianya sudah tua. Oleh penduduk setempat dianggap memiliki kekuatan Bathin. Di bawah pohon Tanjung terdapat batu persegi empat dengan warna kehitam-hitaman, sebagai tempat bertapa nenek moyang. Disanalah ia bertapa untuk  mendapatkan ketajaman panca inderanya dan selama bertapa mendapat pengawalan saudara dekatnya.


Setelah selesai bertugas, ia menancapkan tongkat di dekat pohon Tanjung, tiba-tiba keluar air harum semerbak. Santapura berkata kepada pengawalnya; “nyeungitan di Ciwangi, mancuhkeun di Cipaku (mengharumkan air wangi, menguatkan seperti paku). Sejak itulah tempat tersebut dikenal Ciwangi dan disitu pulalah Santapura mendirikan padepokan kecil yang asri, yaitu tempat berguru ilmu lahir dan bathin. Padepokan tersebut banyak di datangi oleh penduduk yang haus ilmu, lalu berguru agamam selanjutnya menetap di situ dan sampai menutup usia di sana.

Selain itu terdapat juga makam : 

- Makam Embah Jalul (Sakawayana)
Makam Embah Jalul berada di sebelah selatan makam Prabu Lembu Agung. Makam terdiri dari jirat berupa struktur batu alam dan nisan berupa batu berdiri. Makam berorientasi utara-selatan.

- Makam Nyi Mas Siti Sujiah
Makam Nyi Mas Siti Sujiah berada pada bagian paling selatan kompleks makam yang dikeramatkan. Bagian makam ini dikelilingi pagar dari susunan batu setinggi sekitar 80 cm hingga 1 m, dengan ketebalan 80 cm. Bagian halaman yang berpagar ini berdenah empat persegi berukuran sekitar 7 x 8 m. Pintu/jalan masuk berada di sisi selatan. Tepat di sebelah dalam jalan masuk terdapat batu datar. Makam terdiri dari jirat dan nisan. Jirat berupa struktur batu alam berdenah segi empat berorientasi utara-selatan sedikit menyerong ke arah timur laut–barat daya. Nisan bagian selatan berukuran lebih besar bila dibandingkan dengan nisan bagian utara. Kedua nisan terbuat dari batu yang dipangkas sehingga berbentuk papan batu.

Situs Astana Gede banyak dikunjungi oleh peziarah yang berasal dari luar daerah Cipaku. Biasanya peziarah melakukan ritual doa, membakar kemenyan, menabur bunga dan menyiram makam dengan air.  (dediesmd - 2/3/2016)


==========================
Sumber : Diolah dari berbagai Sumber

Baca Juga :

Tidak ada komentar