Polemik Riwayat Dalem Wirawangsa Sukapura

 A. Ringkasan Silsilah
Dari tulisan di Srimanganti Sumedang dari catatan kepunyaan Rd. Endom Soeria Kartakoesoemah, wadana ti bupati Sumedang penngsiun tanggal 6 Mei 1957, sewaktu beliau tinggal di Paviliyun Srimanganti Sumedang.
1. Bupati Pengging Pajang, mempunyai anak diantaranya :
1.1 Mas Krebet Mas Kiayai Jaka Tingkir (Panembahan Adiwijaya Sinuhun Padjang), mempunyai anak salah satunya :
1.1.1 Pangeran Banawa Adipati Jipang yang terus pindah ke Pajang, mempunyai anak salah satunya :
1.1.1.1 Pangeran Ngabehi Koesoemahadiningrat (makamnya di Padarek) x  NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah putri no.4 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) mempunyai anak :
1.1.1.1.1 Sareupeun Dawageung, yang menurunkan keturunan di Mangunredja Tasikmalaya.
1.1.1.1.2 Sareupeun Cibeuli, yang menurunkan keturunan di Parakanmuncang.
1.1.1.1.3 Sareupeun Manangel, yang menurunkan keturunan di Sumedang.
1.1.1.1.4 Sareupeun Cibuni Ageung, yang menurunkan keturunan ke Sukapura.
1.1.1.1.5 Sarepeun Cihaur Beuti, yang menurunkan keturunan ke Sukapura.
1.1.1.1.4 Sareupeun Cibuni Ageung, makamnya di Cibogo Sukaradja mempunyai anak yaitu :
1.1.1.1.4.1 Nyi Rd. Ageng   
1.1.1.1.4.2 Entol Wiraha atau Dalem Wiraha atau Umbul memperisteri Nyi Rd. Ageng putranya Sang Adipati Imbanagara I (Dalem Gegembung), makamnya di Cikopo Nagara Tengah Sukaradja  

• Dalem Wirawangsa (Abdullah Wangsa) yang bekerjasama dengan Kanjeng Dalem Wirabangsa dari Limbangan yang mampu mengelabui Sultan Mataram untuk  “memenggal kepala Kanjeng Adipati Ukur” lalu diberikan kepala tersebut kepada Sultan Mataram, padahal kepala yang diberikan adalah kepala  raja Perompak yang sangat meresahkan masyarakat pada waktu itu yang kebetulan raut mukanya sangat mirip sekali dengan Kanjeng Adipati Ukur sehingga oleh Sultan Agung Mataram kepala tersebut disangkanya benar-benar kepala Kanjeng Adipati Ukur  yang pada gilirannya Kenjeng Adipati Ukur bisa terselamatkan dan meninggal seperti biasa sebagai ulama di Gunung Batara Guru Limbangan Garut ( Sejarah ini insya Alloh akan penyusun jelaskan bada bagian buku berikikutnya ), sehingga atas jasa-jasanya itu Dalem Wirawangsa Sukapura berhak meminta imbalan!  Dengan kepiawian beliau sebagai diplomat kelas wahid sekaligus sebagai seorang raja yang sangat menyayangi rakyatnya beliau meminta beberapa imbalan diantaranya yaitu  “agar rakyat Sukapura dan Limbangan dibebaskan dari pajak dan membayar upeti” yang sangat mencekik pada saat itu, dan tidak tangung-tanggung beliau meminta dibebaskan sampai tujuh keturunan!! Dan sesuai kesepakatan terpaksa permintaan tersebut harus dikabulkan oleh Sultan Mataram demi mencegah terjadinya pemberontakan yang akan lebih dahsyat lagi dibanding dengan pemberontakan sebelumnya yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati Ukur.

• Dalem Wirawangsa yang menurunkan ulama-ulama terkemuka Jawa Barat, dan beliau adalah leluhur dari pihak ibunya Al Alamah Sayyid Mohammad Naquib Al Attas “Pendekar sejarah Melayu-Indonesia dan salah satu cendikiawan Muslim kelas Dunia asal melayu”!

Putra dan putri Raden Wirawangsa / Tumenggung Wiradadaha I (Abdullah Wangsa):
01. Rd. Wangsadipura
02. Rd. Anggawangsa
03. Rd. Kartijasa
04. Nyi Rd. Wanadapa
05. Rd. Djajamanggala
06. Nyi Rd. Pelang
07. Rd. Anggadipa
08. Nyi Rd. Parnati
09. Rd. Wangsadikusumah (Muhammad Akrom, Panghulu Sukapura)
10. Nyi Rd. Adjeng
11. Nyi Rd. Ajoe
12. Rd. Poespawidjaja
13. Rd. Pranadjaja
14. Rd. Darmamanggala
15. Rd. Ardimanggala
16. Rd. Puspamanggala
17. Rd. Tjandradipa
18. Rd. Kartadipa
19. Rd. Doekoeh 
20. Rd. Wangsataruna
21. Rd. Digajasa
22. Nyi Rd. Djampang
23. Rd. Wirandana
24. Nyi Rd. Purba
25. Rd. Gentoer
26. Nyi Rd. Sampan
27. Nyi Rd. Katempel
28. Nyi Rd. Widuri
Penggantinya adalah Rd. Jayamanggala.


B. Keprihatinan Raden Wirawangsa Sukapura
B.1. Kondisi Ekonomi Tatar Pasundan tahun 1600-1635M
Saat Mataram berkuasa atas Pasundan, masyarakat melalui para Adipati/Bupati diwajibkan untuk membayar upeti setiap tahunnya kepada Mataram, hal ini sangat membebani masyarakat karena upeti yang dibebankan sangat berat dan sangat mencekik. Hal itu bisa difahami juga karena Mataram gemar memperluas expansi kekuasaan dan sangat berambisi untuk menguasai seluruh Nusantara sehingga banyak membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kondisi ekonomi masyarakat saat itu diperparah oleh situasi politik yang mana kaum lelakinya tidak banyak yang bekerja di sawah dan ladang milik mereka, akan tetapi banyak yang diharuskan/diwajibkan untuk ikut berperang melawan VOC ataupun berperang melawan serangan dari luar untuk mempertahankan tanah dan ladang mereka, yang pada gilirannya ladang dan sawah banyak yang terlantar yang berakibat masyarakat secara mayoritas menderita kelaparan dan kemiskinan, bahkan kaum laki-laki yang sudah cukup umur yang dibawa perang dan tidak sedikit diantara mereka itu tidak kembali ke kampung halamannya masing-masing gugur di medan perang yang berakibat pula banyak janda-janda yang ditinggal mati oleh suami, ataupun para ibu yang kehilangan anak kesayangannya, yang berakibat banyak sekali anak yatim bertebaran dimana-mana. 

Dapat kita bayangkan pada saat terjadi pertempuran di tahun 1628M yang dipimpin oleh Adipati Ukur dari jumlah 4000 orang yang tersisa hanya sekitar 400 orang, jadi saat itu yang gugur berjumlah 3600 orang! Dari jumlah tersebut pasti kesemuanya adalah pria dan pasti mereka mempunyai keluarga yang ditinggal dikampung halamannya masing-masing, tidak dapat dibayangkan pula akan kesedihan dan penderitaan para orang tua, istri dan anak-anak saat ditinggal wafat oleh para pahlawan kita tersebut! Akan tetapi Raja Mataram yang diktator itu sepertinya tidak mau tahu akan nasib dan penderitaan rakyat Pasundan tersebut, yang penting bagi dia bagaimana kerajaan-kerajaan di Nusantara saat  itu berada dibawah gemgamannya secepat mungkin. Dan dengan pemberontakan Dipati Ukur terhadapa Mataram dan juga perlawanannya terhadap VOC sudah barang tentu masyarakat saat itu lebih lebih menderita dan sangat memprihatinkan. 
Catatan :
Raden Wirawangsa tidak ikut serta dalam penyerangan yang kedua kalinya disamping tidak tertarik akan prilaku pasukan Mataram yang sangat menjijikan juga tercium bahwa sesungguhnya pimpinan pasukan Mataram yaitu Tumenggung Narapaksa sesungguhnya adalah seorang pengkhianat!
Dan hal itu lah yang menjadi beban fikiran Kanjeng Dalem Wirawangsa  saat itu, akan tetapi apa boleh buat beliau hanyalah seorang umbul yang kekuasaanya saat itu sangatlah terbatasmasyarakat yang beliau pimpin tidak lebih dari 5000 jiwa, dan walaupun beliau mempunyai keberanian dan kepiawaian negoisasi yang sangat tinggi tetapi beliaupun ahli strategi sehingga faham betul dalam pemamfaatan situasi, dan berdasarkan pertimbngan dan perhitungan beliau belum saatnya untuk mengusulkan pada Raja Mataram supaya masyarakat Pasundan tidak dibebani oleh berbagai upeti yang sangat memberatkan mereka jika Suntan Agung tidak sedang berada kondisi yang sangat terjepit! apalagi memberi masukan kepada sultan Agung agar sementara waktu menghentikan expansi ke wilayah lain ditengah-tengah situasi penyerangan ke Batavia tahun 1628M. Disamping beban karena memikirkan penderitaan rakyat Rd Wirawangsa pun merasa sangat bersedih dan prihatin dikarenakan saudara dari ibunya yaitu Rangga Geude dari sumedang yang pada  saat itu masih di penjara di Mataram oleh Sultan Agung  karena dianggap bersalah oleh Sultan Agung atas kekalahannya dari serangan pasukan Banten.

Kekhawatiran belaiu terhadap nasib sepupunya berdasarkan pengalaman bahwa Rangga Gempol I pun mati di racun oleh Sultan Agung Mataram sehingga putra Rangga Gempol I bekerjasama dengan Kesultanan Banten untuk menyerang Sumedang, dan Rangga Geude mengalah kepada keponakan tirinya itu yang berakibat Rangga Geude di anggap main mata oleh Sultan Agung.

B.2. Kondisi Politik Tatar Pasundan setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun (Sumedang Larang)
Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Tahun 1620, karena terjepit oleh tiga kekuasaan (Mataram di timur, Banten dan Kompeni di barat), Aria Suriadiwangsa memilih menyerahkan diri ke Mataram (ibunya, Ratu Harisbaya, adalah saudara Sutawijaya). sejak saat itu, Sumedang Larang diubah menjadi Kabupaten Sumedang di bawah kekuasaan Mataram, demikian pula wilayah lainnya yang kemudian menjadi bawahan Mataram yang diawasi oleh Wedana Bupati Priangan. Untuk jabatan Wedana Bupati Priangan, Sultan Agungmemilih Aria Suriadiwangsa dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I, 1620-1624).Bersamaan dengan itu sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat. 

Ketika kekuasaan Priangan dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (mewakili Rangga Gempol yang ditugaskan untuk menaklukkan daerah Sampang, Madura dan menurut sejarah Limbangan bertindak sebagai patih/senapati dalam penaklukan tersebut adalah Kanjeng Dalem Wirabangsa dari Limbangan), Sumedang diserang Banten. Karena tidak mampu mengatasi serangan Banten, Rangga Gede kemudian ditahan di Mataram, sedangkan Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat harus merebut Batavia dari VOC. Dipati Ukur saat itu menjabat Wedana Bupati Priangan di wilayah Bandung saat ini, yang membawahi wilayah Sumedang, Sukapura, Bandung, Limbangan, serta sebagian Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem. 

Seperti yang telah kami uraian ahli sejarah Tatar Pasundan pada DASARNYA dibawah kekuasaan VOC jauh lebih menguntungkan dibanding dibawah kekuasaan Mataram. Akan tetapi dalam pertimbangan yang lain ada yang jauh lebih penting yaitu dalam hal ideologi, VOC sudah barang tentu membawa missi yang lain yaitu missi agama ( kristenisasi), dan atas pertimbangan itu lah maka Priangan ( Sumedang, Ukur, Sukakerta, Cirebon dll) terpaksa bersedia bergabung ke Mataram untuk bersama-sama membendung program kristenisasi para orientalis barat, dengan harapan dan pertimbangan sejelek apapun kerajaan Mataram masih tetap beragama Islam! Dan adapun kekuasaan kekuatan  kesultanan Banten saat itu masih dibawah Mataram.

Posisi Raden Wirawangsa (1620-1635) saat itu  hanya merupakan umbul saja (Umbul Sukakerta/setingkat Kecamatan berada dibawah kekuasaan Kewadanaan Ukur/Sumedang menurut sejarah Mataram berada dibawah kekuasaan Cirebon), dan sudah barang tentu dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Raden Ngabehi Wirawangsa hubungannya dekat dengan Mataram dibandimg dengan Adipati Ukur dan Rangga Geude dikarenakan ayahanda beliau yaitu Raden Suryadiningrat adalah penasihat Mataram tahun 1595M untuk expansi kekuasaan Mataram di Priangan timur yang pada saat itu Raja Mataram adalah Raden Sutawijaya/Senapati Ngalaga. Disamping itu salah satu istri Adipati Suryadingrat adalah putra Raden Sutawijaya. Raden Wirawangsa tidak menyerahkan diri untuk dibawah kekuasaan Banten padahal kekrabatan antara beliau dan sultan Banten dekat sekat dikarenakan Umbul Sukerta saat itu berada dibawah naungan Sumedang, sehingga secara politis harus taat kepada kebijakan Keadipatian Sumedang yang saat itu dipimpin oleh Kanjeng Adipati Ukur yang menjabat sebagai Wedana Priangan.

B.3. Misi Penyebaran Agama Islam
Kutipan dari Catatan ASRAF DI TANAH PERSIA oleh Sayid Bahrudin Baalwi Al-Husaini :
Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena didalam pasukan beliau banyak terdapat keturunan Melayu Malaka.Raden Surya di tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.

Jadi visi dan misi sesungguhnya kehadiran ayahandanya di Tatar pasundan tidak terlepas dari penyebaran agama islam yang dimotori oleh Sunan Gunung Jati Cirebon, dan fisi dan missi itu sekarang sudah berada di pundak beliau berikut saudara-saudaranya. Dengan situasi politik dan ekonomi yang saat itu sudah jelas akan banyak menghambat tujuan beliau yang sesungguhnya, dikarenakan tatar Pasundan saat itu belumlah cukup kuat untuk melawan ataupun mengimbangi tiga kekuatan besar saat itu yaitu Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten dan Kekuatan VOC ( Belanda) yang bercokol di bumi pertiwi.

Pada saat kondisi Tatar Priangan seperti a,b dan c, diperparah lagi dengan munculnya seorang pimpinan perompak di sekitar priangan barat yaitu disekitar Bandung Barat sekarang (Cililin), perompak tersebut bernama Ki Setra Bungaok yang gagah sakti mandraguna. Pimpinan perompak tersebut dengan dalih bergabung dengan pasukan Dipati Ukur kerap kali membuat masyarakat menjadi sangat resah yaitu dengan melakukan berbagai kriminal dan kejahatan dengan cara memeras, merampok dll. Karena wajahnya mirip sekali dengan kanjeng Adipati Ukur terutama rambutnya yang sama-sama gondrong, Ki Setra Buangaok seringkali melakukan kejahatan dengan mengaku sebagai Dipati Ukur sehingga nama baik Dipati Ukur di berbagai tempat menjadi tercemar! Ki Setra Bungaok banyak memiliki anak buah yang ditebar ke berbagai tempat termasuk ke belahan timur Pasundan, sehingga membuat Ki Wirawangsa menjadi sangat prihatin mengingat Dipati Ukur adalah juga kakah ipar misan ( suami saudara sepupu) beliau.
Catatan 1 :
Menurut Kiai Hadad pengurus makom Dalem Anggayuda Cicapar Cililin, Ki Setra Bungaok hidup pada zaman setelah Syech Abdul Manaf, akan tetapi menurut penyusun Ki Setra Bungaok hidup pada kurun Dipati Ukur. Syahdan menurut Kiai Hadad Ki Setra Bungaok sangat gagah sakti, tak ada satupun yang bisa mengalahkannya, sat itu hanya ada seorang lelaki dari Limbangan menurutnya yaitu Syech Ja’far Siddik yang bisa mengalahkannya, akan tetapi menurut penyusun bukan Syech Ja’far Sisik ( embah wali Gunung Haruman)  sebab menurut riwayat turun temurun Syech Ja’far Siddik tidak ada cerita pernah mengalahkan seorang pimpinan perampok di wilayah Cililin.
Catatan 2 :
Patilasan bermunjat pria asal Limbangan tersebut  (untuk mengalahkan Ki Setra Bungaok) sampai sekarang masih ada, yaitu di daerah Bumi Buana tidak jauh dari tempat makom karomah Eyang Satowan Kobul (Syech Zakariya)  di Kampung Bumi Buana dekat Mahmud Bandung.
Foto salah satu keturunan Tumenggung Wiradadaha I/Eyang Dalem Wirawangsa Sukapura, mungkin wajah Eyang Raden Ngabehi Wirawangsa sedikit banyaknya menurun pada cucunya ini.
Kiai Haji Hasan Mustapa bin Raden Usman Sasra Manggala, ulama, Pujangga, Panghulu Besar Bandung. (keturunan dalem Sukapura melalui jalur Adipati Tanubaya/Tuemggung Wiradadaha VII ), beliau memakai sorban khas Persia. (pakain beliau khas Persia akan tetapi beliau adalah seorang ulama madzhab Imam Syafi’i tulen)

B.4. Habis gelap terbitlah terang
Dalam kebingungan Ki Wirawangsa seperti tadi, tiba-tiba datang lah  Tumenggung Narapaksa utusan dari Sultan Agung Mataram, yang meminta beliau untuk bermusyawarah untuk mencari solusi dalam mengatasi gejolak politik (pemberontakan Dipati Ukur) di tatar Pasundan, dan sesungguhnya saat itu lah saat yang paling di tunggu-tunggu oleh Ki Wirawangsa karena beliau sudah merencanakan berbagai siasat.

Singkat cerita pada saat itu lah Raden Wirawangsa tidak ragu-ragu lagi  untuk mengajukan beberapa usulan yaitu cita-cita dan keinginan beliau yang selama ini beliau simpan selama bertahun-tahun, Ki Wirawangsa menjamin semua wilayah tatar Pasundan tetap berada dibawah kekuasaan Mataram dan juga sanggup  untuk menangkap Adipati Ukur dengan berbagai usulan yang harus disetujui oleh Sultan Agung, yaitu : 
• Dalem Rangga Geude harus segera dibebaskan dan dikembalikan ke posisi semula.
• Tatar Priangan tetap dibawah bingkai kekuasaan Mataram asalkan rakyat pasundan harus dibebaskan dari berbagai upeti yang selama ini berjalan, sampai tujuh keturunan.
• Umbul Sukakerta dirubah menjadi ke-Adipatian

Seandainya posisi politik Mataram saat itu tidak sedang berada di ujung tanduk, bukan sifat Sultan Agung kalau dengan mudah bisa menyetujui keinginan dari Ki Wirawangsa tersebut, akan tetapi apa boleh buat, kondisi saat itu yang memaksa Sultan Agung untuk mengalah dan mau tak mau harus menyetujui semua usulan dan keinginan Ki Wirawangsa, dengan catatan pemberontakan Adipati Ukur secepatnya harus segera dihentikan! 

Disinilah kepiawaian seorang Kanjeng Dalem Ngabehi Wirawangsa dalam hal bernegoisasi, padahal beliau saat itu hanyalah seorang Umbul yang tingkatannya dibawah seorang Adipati dan sudah barang tentu sangat jauh jika dibanding dengan kekuasaan Sultan Agung Raja Mataram seorang raja terbesar saat itu, akan tetapi beliau sangat pandai dan lihai memamfaatkan situasi, dari kelemahan dan kondisi di tatar Pasundan yang tidak menentu diputar balikan menjadi sebuah kekuatan untuk menekan Sultan Agung yang saat itu sudah terjepit. Dan sekaliber Sultan Agung pun terpesona dengan tutur bahasa Raden Wirawangsa sehingga merasa yakin sekali hanya Ki Wirawangsa lah yang bisa menyelesaikan masalah Adipati Ukur. 

B.5 Pra penaklukan Kanjeng Adipati Ukur
Sesampainya pulang di Sukakerta Rd Wirawangsa tidak menunggu lama-lama beliau langsung mengundang yang sekiranya sehati dan satu pandangan  dengan beliau, yaitu : Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti dan Ki Somahita, Umbul Sindangkasih. Dalam sebuah pertemuan yang sangat rahasia Rd Wirawangsa menyampaikan hasil kesepakatan dengan Sultan Agung, dan juga rencana beliau yaitu :
1. Membujuk Dipati Ukur untuk sesegera mungkin untuk menghentikan pemberontakan terhadap Mataram demi ketentraman rakyat Pasundan demi pemulihan  ekonomi yang selama ini sudah sangat terpuruk dan juga demi kelancaran penyebaran agama islam dan juga sebagaimana usulan beliau yang telah disetujui oleh Sultan Agung Mataram.
2. Menumpas gerombolan perompak yang dipimpin oleh Ki Setra Bungaok yang selama itu sangat meresahkan masyarakat, lalu jika Ki Setra Bangaok tidak bertaubat maka kepalanya harus dipenggal dan disetorkan kepada Mataram seolah-olah itu adalah kepala Dipati Ukur.
Tentu saja kedua rencana Ki Wirawangsa itu sangat disetuji oleh kedua umbul tadi,  akan tetapi untuk melaksanakan kedua rencana itu bukan perkara yang gampang. Dipati Ukur disamping gagah sakti juga sudah jelas tidak mungkin dengan mudah bisa dibujuk karena beliau terkenal sangat keras kepala serta  kuat dalam pendirian sama halnya dengan Sultan Agung, yaitu sama-sama keras kepala walaupun dalam jalan yang berbeda, Dipati Ukur keras kepala karena didasari kekuatan dan ketaatan terhadap ajaran Agama sedang Sultan Agung keras kepala Karena ambisi kekuasaan. Apalagi harus menangkap pimpina perompak yang terkenal sangat sakti mandraguna.

Setelah lama berfikir dan bermusyarah akhirnya ada jalan keluar juga, yaitu : untuk membujuk Dipati Ukur untuk segera menghentikan perlawanan terhadap Mataram dan menangkap Ki Setra Bungaok jatuh pada putra terbaik Limbangan yaitu Raden Wirabangsa yang merupakan sahabatnya Dipati Ukur walaupun dalam usia Raden Wirabangsa dibawah Dipati Ukur, semua sudah tahu akan kredibilitas dari Raden Wirabangsa, dan beliau ini yang bersama-sama dengan Rangga Gempol I dalam penumpusan pemberontakan di Sampang Madura. Pemuda ini sangat berpengaruh dan sangat disegani di wilayahnya walaupun tidak memegang tumpuk kekuasaan di pemerintahan karena beliau lebih tertarik berada di posisi keulamaan.

Sebenarnya Raden Wirabangsa lebih menonjol di bidang ke-ulamaan akan tetapi beliau lebih dikenal akan kesaktiannya. Dan Ki Wirawangsa menyadari jika beliau yang langsung datang kepada Dipati Ukur walaupun Dipati Ukur adalah suami sepupunya maka dijamin tidak akan membuahkan hasil sebab sejak penyerangan yang kedua kalinya terhadap VOC di Batavia mereka berdua sudah berbeda sudut pandang. Maka dengan itu dibutuhkan seseorang yang bisa memediasi antara Ki Wirawangsa dan Dipati Ukur, dan orang itu adalah Raden Wirabangsa. Akan tetapi bukankan Raden Wirabangasa  sangat mendukung akan perjuangan Kanjeng Dipati Ukur!? Dan beliau lah satu-satunya yang mengetahui akan markas dimana Dipati Ukur berada! Dan untuk tugas meyakinkan Raden Wirabangsa sudah tentu dibebankan kepada Raden Wirawangsa yang saat itu masih menjadi umbul Sukakerta.
Setelah waktu yang telah ditentuka berangkatlah Ki Wirawangsa menghadap Raden Wirabangsa yang merupakan putra Sunan Demang Wanakerta di Limbangan. Ki Wirawangsa sangat mengenal Raden Bagus Wirabangsa dikarenakan Rd Wirawangsa pernah tinggal di Kawasen. Antara beliau dan Raden Wirabangsa masih ada keterkaitan kekerabatan, disamping sama-sama satu perjuangan dalam hal penyebaran ilmu agama islam.

Setelah bertemu dengan Raden Wirabangsa maka beliau langsung mengutarakan akan maksud dan tujuan beliau jauh-jauh datang ke Limbangan, cukup alot pembicaraan anatara keduanya dan sudah barang tentu melalui berbagai argumentasi yang meyakinkan dan juga berbagai sanggahan, akan tetapi yang membuat Raden Wirabangsa sangat tertarik adalah usulan-usulan Ki Wirawangsa yang telah disetujui oleh Sultan Agung Mataram, dan kelebihan dari Raja Mataram tersebut adalah beliau itu sangat pantrang untuk ingkar janji!! Setelah melaui pertimbangan dan teropongan lahir dan batin maka Raden Wirabangsa menyanggupi untuk melaksankan kedua tugas tadi yang saat itu dibebankan sepenuhnya kepada pundak beliau.

B.6 Gambaran Pertemuan Dalem Wirabangsa dan Kanjeng Adipati Ukur
Kanjeng Adipati Ukur sangat gembira atas kedatangan Raden Wirabangsa, disamping dianggap sekutu beratnya juga beliau sangat tertarik akan kebaranian, ilmu agama juga prilaku dan ahlak yang Raden Wirabangsa miliki. Sehingga Kanjeng Adipati Ukur terlintas dalam hati dan fikiran baliau untuk mengambilnya sebagai menantu. Akan tetapi betapa terkejutnya Dipati Ukur setelah berbincang-bincang kesana-kemari cukup lama pada saat mendengar penyampaian akan maksud dan tujuan sahabat karibnya datang ke tempat beliau. Tentu saja Kanjeng Adipati Ukur bertanya-tanya siapa yang telah mempengaruhi sahabatnya itu sehingga berubah seratus delapan puluh derajat!? Lalu beliaupun mencoba untuk mempengaruhi kembali Raden Wirabangasa yang telah berubah fikiran itu. Akan tetapi tidak membuahkan hasil akhirnya terjadialh perdebatan dan semakin lama perdebatan itu senakin sengit, sama-sama mempertahankan iztiahad politiknya masing-masing.

B.7 Gambaran Pertarungan Raden Wirabangsa dan Kanjeng Adipati Ukur
Perdebatan antara Raden Wirabangsa dan Dipati Ukur tidak ada titik temu sama sekali, akhirnya mereka sepakat untuk diakhiri dengan adu ilmu yang masing-masing miliki, baik ilmu kenegaraan, agama, dll. Yang mana jika salah satu ada yang kalah maka dari salah seorang yang kalah harus mengikuti faham yamg mejadi lawannya. Jika Dipati Ukur kalah maka Dipati Ukur harus segera  menghentikan pemberontakan terhadap Mataram ataupun VOC demi kesejahteraan rakyat Pasundan, akan tetapi sebaliknya jika Raden Wirabangsa yang kalah maka suka ataupun tidak Raden Wirabangsa harus membantu sepenuhnya perjuangan Adipati Ukur! Sebenarnya istri Dipati Ukur ( Nyi Rd Sari Banon ) sangat sependapat dengan Raden wirabangsa, akan tetapi beliau tidak berani mengemukakan pendapat apa-apa sebab apapun keputusan sang suami adalah yang terbaik juga untuk beliau.
Hari ke-1 (satu) :
Untuk menghormati kepada yang lebih tua maka Dipati Ukur dipersilahkan untuk mengajukan masalah yang harus dijawab oleh Raden Wirabangsa atau Raden Bagus Sutapura, Dipati Ukur mengajukan sepuluh masalah dan kesemuanya bias dijawab oleh Raden Wirawabangsa.
Hari ke-2 (Dua) :
Di hari kedua giliran Raden Wirabangsa mengajukan sepuluh masalah dan itu pun bisa dijawab dengan mudah oleh Dipati Ukur.
Hari ke-3 (Tiga) sampai hari ke-40 ( Empat puluh ):
Di hari ke tiga sampai hari ke empat puluh begitu seterusnya seperti hari ke satu dan ke dua, dari mulai masalah kenegaraan, kesusastraan, perbintangan, strategi perang, fiqih agama, tauhid dan tasawuf juga saling membuka mukasyafah kewalian masing-masing, akan tetapi kesemuanya tidak ada yang kalah dan menang, alhasil keduanya seimbang.
Hari ke-41 (empat puluh satu) hari terakhir :
Setelah dalam hal ilmu apapun tidak ada yang kalah dan menang, maka keduanya sepakat untuk menentukan siapa yang lebih unggul maka disepakatilah untuk mengadu ilmu kanuragan dengan kesepakatan yang sama seperti tadi yaitu yang kalah harus mengikuti yang jadi pemenang!
Kami (penyusun) sangat sulit untuk menggambarkan akan ketangkasan dan keperkasaan  kedua ksatria pahlawan pasundan yang gagah berani, akan tetapi  berbeda dalam hal pandangan politik tersbut. Sebagai gambaran keduanya bisa dilihat dari keperkasaan dari salah satu keturunannya masing-masing berikut ini :
1. Keturunan Dipati Ukur 
• Keperkasaan :
Menurut sumber yang bisa diperca, salah satu  keturunan Syech Abdul Manaf Mahmud Bandung ( Syech Abdul Manaf Mahmud adalah keturunan Dipati Ukur ) pernah ditantang oleh juara sumo dari Jepang yang berbadan sangat besar dan kuat, pertandingan itu diselenggarakan di Gelora Bandung, singkat cerita cucu Mahmud tersebut dijepit dengan sangat kuatnya oleh tangan juara sumo tersebut, akan tetapi tiba-tiba si juara sumo menjerit dan badannya yang besar terpental jatuh ke luar lapangan. Dan tangan yang dipakai untuk menjepit tadi kulitnya terkelupas dan berlumuran darah, si juara sumo langsung dibawa ke rumah sakit untuk diobati.

Pernah ada seorang suami sebut saja namanya Asep yang melihat istrinya diganggu oleh seorang preman di kampung dimana Asep dan istrinya tinggal, mayarakat saat itu tidak ada yang berani dikarenakan konon si preman mempunyai ilmu iblis yaitu aji rawarontek, yang bila darahnya jatuh ke tanah maka badan ataupun anggauta badanya akan dengan segera menyambung kembali. Asep sakit hati lalu berguru pada salah seorang sesepuh di Mahmud, setelah empat puluh hari asep menantang si preman tersebut. Terjadilah pertarungan sengit antara si preman dan Asep yang pada akhirnya si preman bisa dikalahkan dan di bunuh oleh Asep yang istrinya di perkosa itu, pihak kepolisian menangkap Asep dikarenakan di mata hukum Asep tetap bersalah, akan tetapi masyarakat di wilayah itu memprotes keras dan mengadakan demo terhadap Kepolisian sebab dengan terbunuhnya si preman tadi masyarakat menjadi tentram dan Asep dianggapnya pahlawan. 

• Karakter :
Bedasarkan keterangan dari sesepuh Cigonewah, jurus-jurus Mahmud adalah jurus yang mematikan, akan tetapi manakala bertarung janganlah sekali-kali mengeluarkan tenaga penuh dan bilamana lawan kita terjatuh cepat-cepat tolong jangan sampai terjatuh ke tanah sebaba dikhawatirkan lawan kita itu adalah masih kerabat kita. Dan seandainya lawan kita itu benar-benar masih kerabat maka kita akan malu sama orang-orang karena telah bertarung dengan saudara disamping itu akan menghambat jalannya silaturahmi antara saudara.

2. Keturunan Raden Wirabangsa Limbangan
• Keperkasaan :
Menurut keterangan dari saudara penyusun, ada seorang ulama besar di Limbangan yang merupakan keturunan Dalem Wirabangsa, beliau pernah marah pada seseorang akan tetapi untuk melampiaskan kemarahan tersebut beliau meludah yang di arahkan pada semak belukar, dan sesudah kena air liur dari keturunan Dalem Wirabangsa tersebut semak belukar tadi jasi hangus terbakar!
Karakter :
Karakter dari cara bertarung keturunan Dalem Wirabangsa hampir sama yaitu jangan sampai lawan menjadi cacat!
Budaya :
Keturunan Dipati Ukur dan Raden Wirabangsa mempunyai adat dan istiadat yang sama persis, ikatan tali persaudaraan yang sangat erat disamping ketaatan dalam menjalankan perintah agama, dan itu ditunjukan dari keturunan dari kedua tokoh tersebut banyak yang menjadi ulama terkemuka pada zamannya masing-masing. Sebut saja :
1. Syeh Abdul Manaf Mahmud (keturunan Dipati Ukur)
2. KH Rd Syafi’I/Ama Cijerah (keturunan Dipati Ukur)
3. Mama Zakaria/Mama Rende (keturunan Dipati Ukur)
4. Syech Ja’far Siddik, Gunung Haruman Cibiuk (Keturunan Dalem Wirabangsa)
5. Dalem Papak (Keturunan Dalem Wirabangsa)
6. KH Rd Mahfud pesantren Wates (Keturunan Dalem Wirabangsa)
7. KH Rd Uding Muhyidin Pesantren Wates (Keturunan Dalem Wirabangsa)
Jadi dari uraian a,b dan c dilihat dari sisi apapun tokoh yaitu Dipati Ukur dan Raden Wirabangsa adalah sangat seimbang, sulit untuk menentukan siapa di antara mereka yang lebih unggul? Dan saat itu kedua tokoh tersebut harus saling berhadapan dalam perselisihan perbedaan iztihad dalam politik dan mereka saling mempertahankan pandangannya masing-masing yang mau tidak mau harus diselesaikan melalui sebuah pertarungan.

B.7.1 Akhir Pertarungan
Kami sangat sulit untuk melukiskan kedahsyatan pertarungan antara kedua tokoh kita itu, sebagai gambaran di akhir pertarungan tenaga Dipati Ukur terkuras akan tetapi pengalaman Raden Wirabangsa tetap dibawah Dipati Ukur, pada satu kesempatan Raden Wirabangsa terkecoh dan terpental jatuh dari lereng tebing yang sangat tinggi jatuh ke sebuah lembah. Dipati ukur terperanjat kaget karena beliau tidak bermaksud untuk membinasakan Raden Wirabangsa, beliau berteriak lalu dengan tergesa-gesa hendak menolong sahabatnya itu turun kebawah, akan tetapi ada batu yang sangat besar yang berada tepat di pinggir tebing terdorong oleh Dipati Ukur yang mengakibatkan batu besar tersebut jatuh kebawah persis searah dengan jatuhnya Raden Wirabangsa. Terdengar pepohonan yang tekena oleh batu besar tersebut. Dipastikan jika batu besar tersebut menghantam badan Raden Wirabangsa sudah barang tentu badan Raden Wirabangsa akan hancur berkeping terkena oleh hantaman batu yang besarnya seukuran dengan dua kamar besar. Dipati Ukur hanya bisa melongo karena kagetnya, akan tetapi ditengah kekhawatiran beliau tiba-tiba dari dasar lembah terdengar suara yang sangat nyaring laksana membelah langit, dan suara itu sepertinya benturan dua benda yang sangat keras dari jenis yang berbeda (batu) bertemu dengan benda keras lainnya (besi baja).

Dengan diliputi rasa khawatir secepatnya Dipati Ukur turun ke bawah menuju dasar lembah. Sesampainya di bawah beliau dikejutkan oleh pemandangan yang beliau lihat dengan mata sendiri,  beberapa kali beliau mengusap wajah sambil membaca subhanalloh, antara percaya dan tidak. 

Ternyata batu besar tersebut sudah terbelah menjadi dua, dan di tengah-tengah belahan batu tersebut berdiri dengan gagahnya Raden Wirabangsa sementara tangan kananya memegang sebuah golok hitam yang bagian tengah golok tersebut sudah cacat karena dipakai untuk menangkis batu. Rupanya saat Raden Wirabangsa jatuh ke lembah sebagai lelaki yang gagah sakti beliau tidak luka apapun, akan tetapi tiba-tiba datang batu besar mengarah pada badan beliau, secepat kilat Raden Wirabangsa mencabut golok pusaka dari pinggangnya, dan dengan tenaga dalam sepenuhnya batu besar itu ditahan dengan golok pusaka, dan akhirnya terbelah lah batu besar tersebut menjadi dua bagian.

Setelah itu Dipati Ukur secara legowo menghentikan pertarungan itu dan mengakui akan kegagahan lawannya yang sekaligus sahabatnya juga, disertai rasa bersyukur karena Raden Wirabangsa ternyata selamat, dan juga sesuai perjanjian beliau mengikuti iztihad politik Raden Wirawangsa untuk menghentikan pemberontakan terhadap Mataram. Alangkah senangnya istri Dipati Ukur mendengar hal itu, karena sejak saat itu beliau bisa dengan tenang mendidik putra-putri beliau hasil dari buah pernikahan dengan suami yang sangat ia cintai. Dan sejak saat itu pula tak satu pun orang yang mengetahui keberadaan Dipati Ukur, dikabarkan beliau menjadi seorang Ulama dengan bermacam-macam gelar keulamaan. Dan tak lama setelah itu Raden Wirabangsa dinikahkan dengan salah satu putri kesayangan Kanjeng Adipati Ukur.


B.8 Penangkapan Ki Setra Bungaok seorang pimpinan perompak.
Tugas pertama sudah diselesaikan dengan baik oleh Raden Wirabangasa, dan selama beberapa tahun kedepan demi menjaga keamanan, Dipati Ukur dilarang tampil ke permukaan dan beliau ditempatkan oleh Raden Wirabangsa di suatu tempat yang agak jauh dari keramaian. Dan kini saatnya Raden Wirabangsa untuk melaksanakan tugas yang kedua. Untuk tugas yang kedua ini serempak Ki Wirawangsa, Ki Astamanggala, Ki Somahita terjun membantu terjun ke lapangan, ditambah lagi oleh sebahagian pasukan Kanjeng Adipati Ukur. Sudah barang tentu dengan sangat mudah kawanan perompak tersebut yang dipimpin oleh Ki Setra Bungaok dapat dikalahkan, mereka ditemukan disarangnya di Cengkereng tidak jauh dari wilayah Cililin. Akan tetapi Ki Setra Bungaok yang sakti itu tidak mau menyerah begitu saja dengan mudah, ia melakukan perlawanan dengan gigihnya, akan tetapi dapat dilumpuhkan oleh Raden Wirabangsa sehingga kepala pimpinan perompak tersebut dipenggal! Bukan hanya itu para pengikut yang setia Ki Setra Bungaok yang berjumlah 8 orang ikut dipenggal juga.


B.9 Penyerahan “kepala” Dipati Ukur palsu (Ki Setra Bungaok)  kepada Sultan Agung Mataram.
Tugas ini diserahkan sepenuhnya kepada Ki Wirawangsa, dan tentunya dengan resiko yang sangat tinggi yaitu : seandainya diketahui bahwa “kepala” yang dibawa adalah palsu sudah dipastikan dihukum mati. Untuk menghindari hal tersebut maka diputuskan yang pertama kali dikelabui adalah Ki Narapaksa, sebelum berangkat ke Mataram persembahan itu harus diperiksa terlebih dahulu oleh Tumenggung Narapaksa. Dan saat diperiksa, betapa senangnya Ki Narapaksa begitu melihat musuh kebuyutannya hanya tinggal kepala tampa badan. Dengan terbunuhnya Dipati Ukur menurut ia maka selamat pula lah ia dari hukuman mati. Atas anjuran Tumenggung Narapaksa maka yang harus menyerahkan “kepala” Dipati Ukur adalah ketiga umbul yang sangat berjasa terhadap Mataram sedangkan ia hanya mendampingi saja. 
Catatan :
Menurut riwayat dari para sesepuh Limbangan, agar supaya kepala Ki Setra Bungaok yang sudah tidak berbadan itu diserahkan ke Sultan Agung, wajah Ki Setra Bungaok “di-usap” terlebih dahulu oleh Raden Wirabangsa dengan kekuatan karomah yang beliau miliki, maka “kepala” Ki Setra Bungaok tersebut menjadi benar-benar mirip dengan Kanjeng Adipati Ukur!
Sesampainya di Mataram, Sultan Agung pun merasa gembira dengan hasil ketiga umbul tadi, maka sesuai janji beliau :
1. Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[4]:
2. Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
3. Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
4. Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Pengangkatan ketiga umbul tadi ditulis dalam Piagam Sultan Agung bertanggal 9 Muharam tahun Alip (menurut F. de Haan, tahun Alip sama dengan tahun 1641 Masehi, tetapi ada beberapa keterangan lain yang menyebutkan bahwa tahun Alip identik dengan tahun 1633), akan tetapi berdasarkan perhitungan Sayid Bahrudin tahun tersebut jatuh pada tahun 1635M.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan. Bukan hanya Sultan agung Mataram  pun membebaskan pajak/upeti sampai dengan tujuh keturunan. Sehubungan dengan Raden Bagus Sutapura tidak menginginkan jabatan maka beliau diberi gelar oleh Sultan Agung menjadi WIRABANGSA. Adapun Ki Wirawangsa karena dianggapnya sangat berjasa terhadap Mataram maka beliau diberikan gelar kebangsawanan Mataram yaitu  “NGABEHI” di awal nama beliau.
Dengan demikian tecapailah semua cita-cita dan keinginan Raden Ngabehi Wirawangsa yang secara de Facto terlepas dari tekanan Mataram karena keadipatian Sukapura adalah wilayah otonomi yang bebas, akan tetapi secara de yure Sukapura tetap dibawah naungan Kerajaan Mataram.

PIAGAM PENGANGKATAN BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG DARI SULTAN AGUNG
Penget srat piagem *)
Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen.
Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang, kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon, pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija, papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe. Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.
Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiraangunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami. Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu.
Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi raja, jurutulis.
*) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”,

B.10 Akhir Kehidupan Ki Narapaksa si Pengkhianat.
Akhir kehidupan Ki Narapaksa konon adalah akhir kehidupan yang sangat mengerikan, akhirnya ia ketahuan juga belangnya oleh Sultan Mataram. Dan hal ini tentu saja membuat Sultan Agung Mataram menjadi sangat murka. Ki Narapaksa dihukum mati dan dikubur didepan pintu masuk pemakaman Raja-Raja Mataram. Setiap orang yang mau bekunjung ke komplek makam tersebut diharuskan melangkahi kuburan Ki Narapaksa supaya menjadi peringatan untuk generasi berikutnya! 

Adapun orang kepercayaan Ki Narapaksa sebut saja si “pendusta” berhasil melarikan diri, ia menuju ke Tatar Priangan, akan tetapi jauh dari harapan, ternyata para Bangsawan priangan tak satupun dari mereka yang bersedia menerimanya, akhirnya sampailah ia ke sebuah tempat. Di tempat tersebut ternyata ada sebuah pesantren kecil yang jauh dari kota. Dan  betapa terkejutnya Si Pendusta manakala saat melihat pengasuh pesantren tersebut keluar dari mesjid. Ia sangat mengenali pimpinan pengasuh pesantren itu yang tiada lain adalah musuh kebuyutannya ( Dipati Ukur) yang ternyata masih hidup, apalagi saat melihat ada wanita setengah tua mengikuti di belakangnya yang mana wanita tersebut sangat ia kenali, walaupun sudah agak tua akan tetapi sisa-sisa kecantikannya masih begitu nampak.apalagi sekarang ditambah wajahnya yang bening bersinar sebagai tanda wanita salehah. 

Mungkin karena kaget bercampur gugup, secepat kilat ia mencabut kerisnya dan langsung menyerang musuh kebuyutannya itu, akan tetapi sebelum serangannya sampai pada sasaran ada benda tajam yang telah masuk kedalam perutnya. Ternyata musuhnya itu jauh lebih tangguh dan waspada dari si Pendusta. Tak lama kemudian si pendusta menghembuskan nafas terakhirnya!!

B.12 Kehidupan keluarga Dipati Ukur Pasca Pemberontakan
Menurut cerita rakyat disebuah media elektronik (versi bahasa sunda) Kanjeng Dipati Ukur menjalani kehidupan seterusnya focus kepada bidang ke-agamaan, beliau kembali ke asal jati dirinya  yaitu menjadi seorang Kiai, beliau pulang ke rahmatullah dipangkuan istrnya tercinta yaitu ibu Saribanon putri Pangeran Geusan Ulun. Setelah suaminya wafat ibu Saribanon dibawa oleh putra Sulungnya buah pernikahan dengan Kanjeng Adipati Ukur, putra sulungnya saat itu telah menjadi ulama terkemuka di sekitar Cicaheum Bandung. Beliaupun sempat menyaksikan pernikahan putra bungsunya dengan cucu misannya yaitu cucu Raden Wirawangsa Sukapura yang saat itu telah menjadi Kepala Daerah Sukapura. Adapun salah satu putrinya saat itu telah berumah tangga di Limbangan. Akhirnya Ibu Saribanon istri Sang Pahlawan sunda wafat, beliau di makamkan di Jati Handap Cicaheum, dan sampai saat ini makam beliau cukup ramai dikunjungi baik oleh keturunan beliau sendiri maupun para sejarawan Sunda.

B.13 Kesimpulan
Menyimak dari berbagai riwayat yang beredar sekarang ini seperti halnya kutipan berikut ini :
Kutipan :
“Dipati Ukur tertangkap di daerah Cengkareng oleh tiga umbul Priangan Timur, kemudian dibawa ke Mataram, dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati. Ketiga umbul yang ikut menangkap Dipati Ukur adalah Umbul Surakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita. Ketiga umbul tersebut juga menangkap delapan umbul lainnya yang biluk (setia) kepada Dipati Ukur. Atas jasanya, ketiga umbul tersebut diangkat menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala diangkat menjadi mantri agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi mantri agung Parakanmuncang digelari Tumenggung Tanubaya.” 
Dari kutipan diatas bisa disimpulkan dengan kegagahan Raden Ngabehi Wirawangsa maka Kanjeng Adipati Ukur berhasil ditemukan dan  ditangkap dari tempat persembunyian di sebuah Gunung, setelah itu Kanjeng Adipati Ukur dipersembahkan oleh Raden Ngabehi Wirawangsa ke Raja Mataram untuk di eksekusi, di versi yang lain langsung dibunuh ditempat persembunyiannyai! Atas jasa-jasa keberhasilan dan kesetiaan Raden Ngabehi Wirawangsa  tersebut maka  Raja Mataram yang saat itu Sultan Agung menganugrahkan dengan mengangkat Raden Ngabehi Wirawangsa sebagai Bupati Sukapura dengan gelar Wiradadaha, lalu ada pula yang meriwayatkan yang  melengkapi tulisan diatas sebagai berikut  : 
“rupanya pengangkatan Raden Ngabehi Wirawangsa belum cukup, maka Sultan Agung Mataram juga membebaskan rakyat Sukapura dari membayar upeti setiap tahunnya kepada Raja Mataram selama tujuh keturunan”!! 
Jika ditelaah secara cermat hasil tulisan diatas tersebut maka sipapapun akan berpendapat :
1. Raden Ngabehi Wirawangsa adalah Pahlawan Mataram bukan pahlawan Tatar Pasundan.
2. Demi sebuah kedudukan beliau rela mengorbankan saudaranya yaitu Kanjeng Adipati Ukur.

Kami penyusun buku ini adalah salah satu yang ada kaitan keturunan dari Kanjeng Adipati Ukur : tidak menerima dan menolak tulisan yang menyudutkan Kanjeng Adipati Ukur apalagi cerita bahwa RadenNgabehi Wirawangsa seolah-olah sebagai ABDI DALEMNYA MATARAM!!walaupun memang saat itu Sukapura dibawah kekuasaan Mataram.

Tulisan Riwayat tersebut harus di rekonstruki ulang dan dikaji  kembali dengan menggali dari sumber-sumber yang lain dan terpercaya dan riwayat mengenai Kanjeng Ngabehi Wirawangsa yang beredar sekarang ini bersifat provokatif dan berbau fitnah yang mana pada gilirannya akan menimbulkan perpecahan!!Kami disini tidak mempersoalkan bukti sejarahnya, akan tetapi yang kami persoalkan disisni adalah BUMBU TULISAN yang mungkin agar supaya lebih menarik sehingga diseratai bumbu-bumbu berdasarkan selera penulis riwayat sehingga dianggap bahwa itu adalah riwayat yang benar!

Terlepas dari penilaian apapun para pembaca terhadap kami, penolakan  kami mengenai riwayat Raden Ngabehi Wirawangsa atas dasar :
Jadi dengan kegagahan Raden Ngabehi Wirawangsa maka Kanjeng Adipati Ukur berhasil ditemukan dan  ditangkap dari tempat persembunyian di sebuah Gunung, setelah itu Kanjeng Adipati Ukur dipersembahkan oleh Raden Ngabehi Wirawangsa ke Raja Mataram untuk di eksekusi, di versi yang lain langsung dibunuh ditempat persembunyiannyai! Atas jasa-jasa keberhasilan dan kesetiaan Raden Ngabehi Wirawangsa  tersebut maka  Raja Mataram yang saat itu Sultan Agung menganugrahkan dengan mengangkat Raden Ngabehi Wirawangsa sebagai Bupati Sukapura dengan gelar Wiradadaha, lalu ia pun  melengkapi tulisannya sebagai berikut  : “rupanya pengengkatan Raden Ngabehi Wirawangsa belum cukup, maka Sultan Agung Mataram juga membebaskan rakyat Sukapura dari membayar upeti setiap tahunnya kepada Raja Mataram selama tujuh keturunan”!! 
Terlepas dari penilaian apapun para pembaca terhadap kami, penolakan  kami mengenai riwayat Raden Ngabehi Wirawangsa atas dasar :
1. Kami mempunyai bukti yang cukup, berupa cerita turun temurun yang telah ditulis oleh salah satu keluarga kami yaitu Raden Achmad Djubaedi baik mengenai Kanjeng Adipati Ukur, Raden Wirawangsa dan juga leluhur kami yang lain yang tidak tertulis dalam sejarah yaitu Raden Wirabangsa dari Limbangan!
2. Ibu kami Hj Rd Siti Marhamah adalah putri dari Hj Rd Siti Khodijah yang mana Hj Rd Siti Khodijah adalah keturunan Dipati Ukur dari jalur laki-laki!
3. Kami mempunyai bukti fisik mengenai keberadaan Kanjeng Adipati Ukur berupa letak dimana makom beliau dan sampai sekarang kami terjalin hubungan yang sangat baik dengan keturunan beliau ( Kanjeng Adipati Ukur ) karena merasa sama-sama berasal dari leluhur yang sama!!
4. Perlu diketahui salah satu cucu Raden Wirawangsa/Tumenggung Wiradadaha I yaitu Nyi Rd.Ajeng Lengan binti Rd. Djaya Manggala (Dalem Tamela) bersuamikan Kiai Janglengan putra Kanjeng Adipati Ukur, dan silang pernikahan tersebut diikuti pula oleh silang pernikahan genersai berikutnya, diantaranya yaitu:
o Pernikahan antara Kiai Agung Zainal Arif (Keturunan Syech Abdul Muhyi Pamijahan dan masih ada keturunan dari Sukapura) dengan Nyi Mas Dewi Karsinah (keturunan Adipati Ukur melelui Syech Abdul Manaf Mahmud Bandung  ) pada pertengahan abad 17M
o Pernikahan akhir abad 17M Mama Antapani (KH.Rd. Mohammad Ali masih ada Keturunan dari Sukapura) dengan Nyi Mas Siti Asiah (Keturunan Adipati Ukur melelui Syech Abdul Manaf mahmud ) yang dikaruniai putra KH.Rd. Mohammad Zarkasyi/Mama Cibaduyut Bandung.
o KH Rd Mohammad Nasir (keturunan Sukapura salah satu pendiri Pesantren Cibadak Tanggeung Cianjur Selatan tahun 1810 M) menikah  dengan Nyi Rd Murdiyah putri Kiai Mahmud ( Keturunan Adipati Ukur )
5. Perlu diketahui keturunan kedua tokoh diatas (Raden Ngabehi Wirawangsa dan Kanjeng Adipati Ukur) secara turun temurun saling menghormati dan saling mengasihi karena mempunyai riwayat yang mirip mengenai leluhur masing-masing walaupun hanya menerima dari cerita dari mulut ke mulut!
6. Mengenai riwayat Kanjeng Adipati Ukur  para pembaca bisa menghubungi atau menanyakan langsung kepada para sepuh-sepuh Limbangan terutama di Pesantren Cikelepu, Pesantren Wates Limbangan atupun Pesantren Assa’adah Limbangan yang mana belaiu-beliau itu sangat erat kaitannya dengan riwayat Kanjeng Adipati Ukur!
Berdasarkan bukti-bukti yang kami miliki dan cerita yang turun temurun yang ada pada keluarga kami dan disesuaikan dengan bukti-bukti riwayat sejarah Sukapura maka kami menyimpulkan bahwa : RADEN NGABEHI WIRAWANGSA ADALAH PAHLWAN PASUNDAN, PAHLAWAN AGAMA ISLAM, POLITIKUS ULUNG, DIPLOMAT YANG PIAWAI yang dengan kepiawaian beliau mampu memamfaatkan situasi politik saat itu yang mana posisi Sukapura diuntungkan oleh dua pengaruh kerajaan besar yaitu kerajaan Mataram dan kesultanan Banten yang saling berebut pengaruh di tatar Priangan Timur sehingga atas sokongan dan hasil kerjasama dengan Kanjeng Dalem Wirabangsa dari Limbangan dan juga Kanjeng Adipati Ukur sendiri telah berhasil mengelabui seorang Raja besar saat itu yaitu Sultan Agung Mataram, untuk :
1. Menyelamatkan Kanjeng Adipati Ukur!
2. Membebaskan masyarakat Sukapura dan Tatar Priangan Timur dari upeti yang sangat mencekik dan menyengsarakan rakyat Sukapura saat itu dimana mereka secara rutin diwajibkan membayar  upeti ke Mataram setiap tahunnya!
3. Melindungi  para Ulama yang mayoritas saudara-saudara beliau sendiri sehingga Agama Islam bisa menyebar dengan pesat di Tatar Pasundan Timur tampa gangguan dan tekanan dari Kerajaan Mataram dan itu berlaku sampai tujuh generasi hampir menjelang kemerdekaan Republik ini! 

Dengan demikian poin 1,2 dan 3 diatas bukan merupakan “hibah” dari Sultan Agung Mataram, diduga kuat Sultan Agung Mataram saat itu terpetak komflikan oleh Raden Ngabehi Wirawangsa dkk, dan demi kepentingan politik expansinya Sultan Agung Mataram  mau tidak mau harus memberi otonomi seluas-luasnya kepada wilayah Sukapura dengan catatan Sukapura  tetap bergabung dalam bingkai bawahan Kerajaan Mataram.  Karena jika Sultan Agung Mataram tidak bersikap lunak terhadap Dalem Sukapura maka bisa dipastikan Kedaleman Sukapura akan dengan mudah berubah kiblat dan bersekutu dengan  Kesultanan Banten atau berdiri sendiri menjadi kesultanan/Negara yang mandiri! 

Dan Raden Ngabehi Wirawangsa berkat kerja keras beliau telah berhasil untuk mencari solusi yang terbaik dan bermamfaat untuk semua pihak khususnya demi penyebaran Agama Islam dan keselamatan Kanjeng Adipati Ukur! Dari kepahlwanan beliau tersebut diatas tak berlebihan bila seorang sejarawan alawiyyin  sekaliber Al-Alamah Sayyid Bahrudin Baalwi Al-Husaini dalam kitab dalam kesaksian nomor VIII (delapan ) mengenai kehabiban Fam Azmatkhan menyebut Raden Ngabehi Wirawangsa bukandengan sebutan Dalem, akan tetapi menyebutnya dengan panggilan SULTAN, dan kedaleman Sukapura disebutnya oleh beliau dengan sebutan Kesultanan!

Makam Dalem Wirawangsa / Tumenggung Wiradadaha I (Dalem Wiradadaha/ Dalem Baganjing) dan Tumenggung Wiradadaha III (Dalem Sawidak)


BUPATI SUKAPURA PERTAMA : 1641-1674                                                       
Rd.Tumenggung Wiradegdaha (Wiradadaha) 
Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan.
Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton.
Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.
Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara.
Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung.
Maka, Rakyat dan Pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing2 sehingga negara Sukapura pada saat itu peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.
Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat.
Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya.
Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kg. Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka.
Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”.
Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :
1. Rd. Wangsadipura
2. Rd. Anggawangsa
3. Rd. Kartijasa
4. Nyi Rd. Wanadapa
5. Rd. Djajamanggala
6. Nyi Rd. Pelang
7. Rd. Anggadipa
8. Nyi Rd. Parnati
9. Rd. Wangsadikusumah
10. Nyi Rd. Adjeng
11. Nyi Rd. Ajoe
12. Rd. Poespawidjaja
13. Rd. Pranadjaja
14. Rd. Darmamanggala
15. Rd. Ardimanggala
16. Rd. Puspamanggala
17. Rd. Tjandradipa
18. Rd. Kartadipa
19. Nyi Rd. Doekoeh
20. Rd. Wangsataruna
21. Rd. Digajasa
22. Nyi Rd. Djampang
23. Rd. Wirandana
24. Nyi Rd. Purba
25. Rd. Gentoer
26. Nyi Rd. Sampan
27. Nyi Rd. Katempel
28. Nyi Rd. Widuri
Penggantinya adalah putra nomer 3 bernama Rd. Jayamanggala.

BUPATI SUKAPURA Ke – II  Tahun 1674 
Rd. Jayamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha II
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat.
Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :
1. Rd. Indramanggala
2. Nyi Rd. Kusumahnagara
3. Rd. Widjanggana
4. Nyi Rd. Legan
5. Nyi Rd. Gandapura
6. Nyi Rd. Djanglangas
7. Nyi Rd. Apiah
8. Rd. Madjadikara
namun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.

BUPATI SUKAPURA Ke – III  Tahun 1674 – 1723
Rd. Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai.
Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.
Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini.
Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensyiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tentram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III.

Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda ;
1. Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
2. R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
3. R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
4. R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.

Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :
1. Rd. Joedanagara
2. Rd. Soebang
3. Rd. Soebamanggala
4. Rd. Wiradimanggala
5. Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel
6. Nyi Rd. Wiratsari
7. Rd. Mandoera
8. Rd. Abdoel Moh. Arip
9. Nyi Rd. Radji
10. Rd. Wiranagara
11. Rd. Soeriadinata
12. Rd. Tirtapradja
13. Rd. Indramanggala
14. Rd. Mertamanggala
15. Rd. Dipanagara
16. Nyi Rd. Djahah
17. Rd. Tjandrakoesoemah
18. Rd. Singadiprana
18. Rd. Indrataroena
20. Nyi Rd. Soemanimbang
21. Nyi Rd. Impoen
22. Rd. Radjamanggala
23. Nyi Rd. Idjah
24. Rd. Djagasatroe
25. Rd. Rarap
26. Rd. Singadimanggala
27. Rd. MS. Bagoes
28. Rd. Daroes (Daroe)
29. Nyi Rd. Poespa
30. Nyi Rd. Doeji (Dewi)
31. Nyi Rd. Winadjeng Halimah
32. Rd. Bima
33. Nyi Rd. Dita
34. Rd. Soemadimanggala
35. Rd. Djiwamanggala
36. Rd. Karadinata
37. Nyi Rd. Patradanta
38. Rd. Najapoespa
39. Rd. Lingga(Legan)
40. Nyi Rd. Karimah
41. Nyi Rd. Ardi
42. Rd. Bodong
43. Rd. Arsabaja
44. Rd. Wangsamanggala
45. Rd. Soetra
46. Rd. Indradinata
47. Rd. Tjandramanggala
48. Rd. Ardimanggala
49. Rd. Betok
50. Rd. Tjandradinata
51. Nyi Rd. Ika
52. Rd. Kartadipa
53. Rd. Soemanagara
54. Rd. Bagoes II ( Saloengan )
55. Nyi Rd. Koesoemakaraton
56. Rd. Soerajoeda
57. Rd. Indra Widjaja
58. Rd. Djajamanggala
59. Rd. Kertimanggala
60. Rd. Kartamanggala
61. Rd. Natawatjana
62. Rd. Gandapradja
Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)
Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala.

BUPATI SUKAPURA Ke – IV   Tahun 1723-1745
Rd. Soebamanggala/ Rd. Tumenggung Wiradadaha IV
Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha IV.
Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.
Berkuasanya beliau tidak lama karena keburu wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”.
Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau.
Keempat patih yang tersebut diatas masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, Patih II, karna dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.

Raden Anggadipa/Dalem Abdoel  berputra 14 orang yaitu :
1. Rd. Demang Setjapati
2. Rd. Anggadipa
3. Rd. Anggadiwiredja
4. Rd. Sidjah
5. Rd. Anggapradja
6. Nyi Rd. Djandipoera
7. Rd. Djajawiguna
8. Nyi Rd. Soemadikara
9. Nyi Rd./ Katjinagara
10. Nyi Rd. Gimbar
11. Nyi Rd. Bandoe
12. Nyi Rd. Soerianagara
13. Rd. Soeradiredja
14. Rd. Wiradrapa

BUPATI SUKAPURA Ke – V  Tahun 1745-1747
Rd. Setjapati/ Kg. Tumenggung Wiradadaha V 
Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram.
Rd. Demang Setjapati berputra 10 orang yaitu :
1. Nyi Rd. Gandalarang
2. Nyi Rd. Winari
3. Rd. Djajanggadiredja
4. Nyi Rd. Nimbang
5. Rd. Indranagara
6. Nyi Rd. Djaleha
7. Rd. Wiradiredja
8. Nyi Rd. Landjang
9. Rd. Satjadikusumah
10. Rd. Panimba
Beliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.

BUPATI SUKAPURA Ke – VI Tahun 1747-1765
Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.
Nama Rd. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.
Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC).
Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.
Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu.
Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).

Rd. Djajanggadiredja berputra 3 orang yaitu :
1). Rd. Djajamanggala;
2). Nyi Rd. Kartiwinagara;
3). Nyi Rd. Kartakusumah.

BUPATI SUKAPURA Ke – VII Tahun 1765-1807
R.Djajamanggala ke II / Kg. Dalem Wiradadaha VII 
Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun.
Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon.
Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena itu beliau diberi gelar Adipati.
Pada saat menerima gelar tersebut, Kg. Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja.
Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakankan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37 yaitu :
1. Nyi Rd. Panggoengnagara
2. Nyi Rd. Ganibah
3. Nyi Rd. Somakartawan
4. Nyi Rd. Gandanagara
5. Nyi Rd. Poerwakoesoemah
6. Rd. Hidjad
7. Rd. Djajanggadiredja
8. Rd. Ardikoesoemah
9. Rd. Anggadipa
10. Nyi Rd. Ondan
11. Rd. Bradjanagara
12. Rd. Wiranagara
13. Nyi Rd. Siti Salmah
14. Nyi Rd. Rijanagara
15. Rd. Wangsajoeda
16. Nyi Rd. Arsabaja
17. Rd. Soerajoeda
18. Nyi Rd. Basi
19. Nyi. Rd. Tedja
20. Nyi Rd. Ratnanimbang
21. Rd. Wiramanggala
22. Rd. Parnawangsa
23. Rd. Tanoewangsa/Dalem Danoeningrat
24. Rd. Dg. Nawatadiredja
25. Nyi Rd. Wati Angsanagara
26. Nyi Rd. Ratnainten
27. Rd. Gandakoesoemah
28. Rd. Raksadiredja
29. Rd. Tanoeredja
30. Rd. Bradjadiguna
31. Rd. Diparedja
32. Nyi Rd. Habijah
33. Nyi Rd. Nimbang
34. Rd. Soemajuda
35. Nyi Rd. Saridjem
36. Rd. Soerjadiredja
37. Rd. Moh Djapar

BUPATI SUKAPURA Ke – VIII  Tahun 1807-1811 dan 1814-1837
Rd. Anggadipa / Kg. Adipati Wiradadaha VIII
Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, serta pada tahun yang sama, kabupaten Sukapura dipindahkan dari Leuwi Loa ke daerah Desa Sukapura di wilayah Kecamatan Sukaraja sekarang.
Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati.
Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan.
Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami tarum (pohon nila).
Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan.
Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija.
Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).
Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811).
Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi  khususnya dan eksploitasi ekonomi pada umumnya.
Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang.
Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana.
Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun tarum tetap dilaksanakan.
Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda.
Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.
Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi.
Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun.
Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong.
Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.
Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh.
Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya.
Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker.
Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.
Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya.
Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu :
1. Pasir Panjang,
2. Banjar,
3. Kawasen,
4. Kali Peucang
5. Cikembulan
6. Parigi
Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa.
Seterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut.
Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun.
Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.
Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832.
Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya.
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.
Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan Keresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing.
Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura – sesuai daerah yang langsung diperintahnya – yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun.
Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesaian pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.
Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.
Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya.
Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun.
Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Rd. Anggadipa (Kg. Adipati Wiradadaha VIII) pada tahun 1837 wafat, setelah meninggal disebut Dalem Sepuh.
Beliau menjadi bupati selama 30 tahun .Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya, meninggalkan putra-putri sebanyak 14 orang yaitu :
1. Rd. Ajoe Djajanggadiredja
2. Rd. Anggadipa
3. Rd. Mandoeraredja
4. Nyi Rd. Siti Djenab/Zaenab
5. Nyi Rd. Mantri Gandawiredja
6. Nyi Rd. Armisah
7. Rd. Rg. Djajamanggala
8. Nyi Rd. Limdasari
9. Rd. Tanoekoesoemah
10. Nyi Rd. Poerwa Apipah
11. Rd. Wangsadiredja
12. Nyi Rd. Siti Mamtri
13. Rd. Soeranegara
14. Nyi Rd. Koesoemah

BUPATI SUKAPURA Ke – IX  Tahun 1837-1844
Rd. Tumenggung Danoeningrat
Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat putra Kg. Adipati Wiratanoebaja ke 12 menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844 wafat,
jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya. Beliau menikah dengan Nyi Rd. Tajoem putri Rd. Soemabrata dari Panjalu dan mempunyai putra-putri 13 orang yaitu :
1. Rd. Rangga Wiradimanggala,
2. Rd. Dg. Pranawangsa
3. Rd. Wiradiredja
4. Nyi Rd. Sariningsih
5. Rd. Rangga  Tanoewangsa
6. Nyi Rd. Arsanagara
7. Nyi Rd. Jogjaningrum
8. Nyi Rd. Bradjadiguna
9. Nyi Rd. Ratnanagara
10. Nyi Rd. Moenaningroem
11. Nyi Rd. Radjakoesoemah
12. Rd. Soebiakoesoemah
13. Rd. Danoekoesoemah

BUPATI SUKAPURA Ke – X Tahun 1844-1855
Rd. Rangga Wiradimanggala / Kg. Rd. Tumenggung Wiratanoebaja.
Yang menjabat bupati kemudian adalah putra sulungnya yang bernama R. Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti menjadi Kg. R. Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg. Dalem Parakanmuntjang ke III.
Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya, dan tidak mempunyai putra-putri.
Setelah wafat,  Kg. Dalem sering disebut “Dalem Soemeren”.
Jabatan kemudian  diserahkan ke adiknya yang bernama R. Tanoewangsa.

BUPATI SUKAPURA Ke – XI Tahun 1855-1875
Rd. Rangga Tanoewangsa / Rd. Wiratanoebaja / Rd. Adipati Wiraadegdaha.
Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R. Rangga Tanoewangsa dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872 mendapat gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha.
Pada masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang dipimpin oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral Hindia Belanda; 1884-1888).
Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e Kamer, pada bulan Juli 1871, peraturan pajak tanah di Priangan diberlakukan.
Jasa Kg. Bupati kepada negara serta isinya sangatlah besar dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi kesejahteraan negara tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama dan juga besar jasanya dalam memajukan pembangunan.
Pada tahun 1875 beliau mendapat musibah yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan hormat.
Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di tempat kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor dan diberi pensiun f. 300 setiap bulannya.
Itu sebabnya Kg. Dalem sering disebut “Dalem Bogor”.
Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke Manonjaya, hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.
Beliau mempunyai putra-putri sebanyak  34 orang yaitu :
1. Rd. Danoeningrat
2. Nyi Rd. Mintarsih
3. Nyi Rd. Patimah
4. Rd. Adjrak
5. Nyi Rd. Saribanon
6. Nyi Rd. Soehaerah
7. Rd. Waktoero
8. Nyi Rd. Oerpinah
9. Rd. Anhar
10. Nyi Rd. Pandji
11. Nyi Rd. Parinaningrat
12. Rd. Soedjana
13. Rd. Alibasah
14. Nyi Rd. Soekaenah
15. Rd. Kosasih
16. Nyi Rd. Soekaesih
17. Rd. Timoer
18. Nyi Rd. Soehaeni
19. Rd. Rangga Wiratanoewangsa
20. Rd. Soemanagara
21. Rd. Asikin
22. Rd. Widjanggana
23. Rd. Tasik
24. Rd. Soemitra
25. Rd. Badar
26. Rd. Bradjanagara
27. Nyi Rd. Radja
28. Nyi Rd. Resna
29. Nyi Rd. Oerpijah
30. Rd. Herdis
31. Nyi Rd. Timoer
32. Nyi Rd. Bintang
33. Nyi Rd. Mintarsah
34. Rd. Panris

BUPATI SUKAPURA Ke – XII  Tahun 1875-1901
Rd. Danoekoesoemah / Rd. Adipati Wirahadiningrat.
Setelah berhentinya Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha ditahun 1875, jabatannya diganti oleh adiknya yang bernama R. Demang Danoekoesoemah, patih Manonjaya dan setelah menjabat bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Wirahadiningrat.
Beliau adalah Bupati terakhir di kabupaten Manonjaya, beliau juga termasuk Bupati yang rajin, sabar, adil, bijaksana, termasyur sebagai Bupati yang paling baik.
Jasa beliau oleh pemerintah ditahun 1893 diberi gelar Adipati, tahun 1898 mendapat “Bintang Payung Kuning” dan ditahun 1900 dianugrahkan bintang “Oranje Nassau”. Itulah sebabnya sering disebut “Dalem Bintang”.
Pada tahun itu juga beliau mendapat surat perintah resmi untuk memindahkan kabupaten ke Tasikmalaya, namun sepertinya dari pesan leluhur ada peribahasa “Galunggung Ngadek Tumenggung”, beliau tidak ada maksud menduduki kabupaten baru, sebab sudah melewati gelar Tumenggung, maka secara  mendadak setelah menerima surat perintah itu beliau jatuh sakit sampai wafat.
Rd. Danoekoesoemah/Rd. Adipati Wirahadiningrat/Dalem Bintang, mempunyai putra-putri sebanyak  19 orang yaitu :
1. Rd. Dg. Soekmamidjaja
2. Nyi Rd. Amiarsih
3. Nyi Rd. Lembana
4. Nyi Rd. Oeminah
5. Nyi Rd. Lasmini
6. Nyi Rd. Basoewarna
7. Rd. Tumenggung Wiradipoetra
8. Rd. Tumenggung Aria Soenarya
9. Nyi Rd. Tresnasih
10. Nyi Rd. Atimah
11. Nyi Rd. Roekansih
12. Nyi Rd. Amiarsih
13. Nyi Rd. Toersini
14. Nyi Rd. Dinawasih
15. Nyi Rd. Soengkawati
16. Nyi Rd. Moetiarsih
17. Rd. Tranggana
18. Nyi Rd. Dinarsih
19. Nyi Rd. Mimarsih

BUPATI SUKAPURA Ke – XIII  Tahun 1901-1908
Rd. Rangga Wiratanoewangsa / Rd. Tumenggung Aria Prawira Adiningrat
Dengan berhentinya Kg. Adipati Wirahadiningrat pada tahun 1901, kedudukannya digantikan oleh putra saudaranya yaitu putra Kg. Dalem Bogor yang bernama R. Rangga Wiratanoewangsa, Patih Manonjaya. Setelah memegang jabatan Bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Prawira Adiningrat.
Sebagai Bupati Sukapura XIII dan merupakan bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1901, ibukota kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya, pemindahan ibukota ini karena pertimbangan ekonomi bagi pemerintahan Hindia Belanda.
Beliau menjabat bupati hanya selama 7 tahun dan tidak lama sejak mendapat gelar “Aria”, ditahun 1908 beliau wafat, ketika sedang berobat di Cianjur. Itu sebabnya mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Aria”.
Beliau mempunyai putra-putri sebanyak  17 orang yaitu :
1. Nyi Rd. Dewi
2. Rd. Ponpon Prawiraadiningrat
3. Nyi Rd. Retna
4. Rd. Prawiraadiningrat (Aom Dikdik)
5. Rd. Adipati Wiratanoeningrat
6. Rd. Soele Prawiraadiningrat
7. Nyi Rd. Ajoe Radjamirah
8. Rd. Soekiman
9. Rd. Kandjoen
10. Nyi Rd. Marsijah
11. Rd. Rg.Prawiraadiningrat (Aom Rio)
12. Nyi Rd. Siti Patimah
13. Rd. Kd. Wiratanoewangsa
14. Rd. Daroessalam
15. Rd. Hasan Affandi
16. Rd. Awam
17. Rd. Hoesen Affandi

BUPATI SUKAPURA/TASIKMALAYA Ke- XIV Tahun 1908 – 1937
Rd. Adipati Wiratanoeningrat ( Aom Soleh )
Setelah wafatnya Kg. Aria, yang menjabat sebagai Bupati Sukapura pada tanggal 23 Agustus 1908, adalah putra sulungnya yang bernama R.A. Wiratanoeningrat.
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat pada saat sebelum menjadi Bupati Sukapura, menjabat Sebagai Wedana wilayah Ciheulang.
Pada tahun 1901 kabupaten Sukapura mengalami perubahan besar, yaitu wilayah Mangunreja serta Tasikmalaya sebagian ditiadakan.
Dari wilayah Mangunreja yang dimasukkan ke Sukapura hanya diwilayah Mangunreja, Dedetaraju, Sukaraja, Karang dan Parung. Sisanya yaitu wilayah Cikajang, Batuwangi,  Kandangwesi, Nagara digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut).
Dari wilayah Tasikmalaya yang masuk ke Sukapura hanyalah wilayah Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang dan Singaparna. Sedangkan wilayah Malangbong dibagikan ke dua kabupaten, yaitu sebagian ke kabupaten Limbangan (Garut) dan sebagian ke kabupaten Sumedang.
Pada tahun 1910 daerah dibawah kabupaten ini tinggal 14 distrik.
Pada tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti Menjadi Tasikmalaya hingga kini. Daerah bawahannya tinggal 10 wilayah. Atas putusan Bestuurservorming pada tahun 1925, Tasikmalaya menjadi ibukota Keresidenan Priangan Timur, tetapi pada tahun 1931 Keresidenan itu mengalami perubahan lagi.
Dengan kejadian tersebut sering timbul pertanyaan apakah itu pertanda yang menyebabkan “Sukapura Ngadaun Ngora”.
Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila mengingat kepada cerita para sepuh dahulu yang menyebutkan;
Bila Rawa Lakbok dengan hutan belantaranya sudah menjadi sawah, negara akan pindah ke Banjar.
Yang merubah Rawa Lakbok dan hutan belantaranya menjadi persawahan yang amat luas adalah Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat. Atas jasa beliau rawa yang luasnya kurang lebih 30.000 ha, hutan yang begitu lebatnya sekarang telah menjadi persawahan yang begitu suburnya.
Meskipun sekarang ditempat bekas Rawa Lakbok dan Hutan belantaranya itu belum ada batu marmer yang ditulis dengan huruf tinta emas, yang bertuliskan nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, namun akan selalu teringat oleh rakyat yang mendapatkan penghasilan dari sawah yang sebelumnya adalah rawa, itu tidak akan hilang untuk selama ratusan tahun.
Anak cucu rakyat yang mendapatkan kesejahteraan dari jasa Kg. Bupati akan mengetahui dari cerita nenek dan kakeknya bahwa yang membuka Rawa Lakbok serta hutan belantaranya bernama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, Bupati keturunan leluhur Sukapura, dan penuturan cerita itu terus disampaikan secara turun-temurun.
Selain karena tersohor membuka Rawa Lakbok, sebenarnya masih banyak lagi jasa Kg. Bupati kepada rakyatnya, yaitu membuka persawahan, perkebunan yang ada di Banjar, Kawasen, Padaherang, Pamarican, atau ringkasnya cerita bahwa tempat-tempat yang tadinya masih rawan serta hutan belantara sekarang atas jasa Kg. Bupati yang tidak pernah mengingat kepada kesusah-payahannya, merubah semua itu menjadi persawahan hijau dan perkebunan palawija yang luas dan bermanfaat pada kehidupan rakyatnya di wilayah bawahan beliau.
Tidak hanya sampai disitu perhatian beliau kepada rakyatnya, kesemua itu juga dijaga oleh beliau dari bahaya yang akan merusak pertanian, yaitu membasmi segala binatang perusak.
Meneliti kehidupan rakyatnya bukan hanya dengan cara pertanian, tetapi juga dengan jalan memajukan bermacam koperasi dagang dari batik, tenun, anyaman dan peternakan. Malah dari usaha memajukan peternakan kuda dan sapi, beliau mendirikan perkumpulan yang dinamai “Sangiang Kalang” dan “Lembu Andini”.
Untuk menolong segala keperluan yang membutuhkan modal, beliau membentuk suatu perkumpulan yang tidak asing lagi bagi semua orang, yaitu “Pakoempoelan Doeit Hadiah” (PDH), perkumpulan ini pada saat buku ini ditulis telah mencapai f 70.000 lebih.
Dengan pengumpulan dana dari perkumpulan ini, bukan hanya digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan modal untuk berdagang dan bertani saja, namun juga digunakan untuk menolong orang yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah menengah dan sekolah atas.
Diantaranya ada yang telah diberikan bantuan untuk yang sedang bersekolah di Geneescundige Hooge School di Betawi dan di Militaire Academi di Breda.
Meningkatkan pendidikan kerakyatanya itu tidak saja kepada pendidikan duniawi, namun juga pada keagamaan. Bukan hanya puluhan, namun ratusan madrasah yang pernah didirikan oleh kiai-kiai yang dipelopori oleh Kg. Bupati.
Untuk menyatukan para kiai agar selalu sejalan dan setujuan, oleh beliau diikat dalam suatu perkumpulan yang diberi nama “Idharu Biatil Muluki Wal Umaro”, yang artinya tunduk pada pimpinan, patuh pada pemerintah serta jajarannya.
Anggota dari perkumpulan tersebut ada 1.350 kiai, belum termasuk lagi yang bukan golongan kiai.
Untuk keperluan rakyat agar memudahkan dan melancarkan hubungan mata pencahariannya, Kg. Bupati tidak berdiam diri, secara seksama membangun beberapa jembatan-jembatan. Diantara jembatan yang termasyur;
  • Jembatan Gantung Kawat jalan ke Ciwarak
  • Jembatan Gantung Kawat jalan ke Linggasari
  • Jembatan Gantung Kawat jalan ke Talegong
  • Jembatan Gantung Kawat jalan ke Leuwi Budah-Tanjung
  • Jembatan Gantung Kawat jalan ke Cigugur
  • Jembatan bambu beralas besi di Mangunjaya (sangat disayangkan jembatan ini tidak sampai selesai karena diterjang banjir kali Ciseel).
Selain itu, beliau pernah bermaksud pula untuk membangun suatu rumah fakir miskin Islam yang dibiayai dari sebagian pendapatan zakat fitrah untuk fakir miskin, yang biasanya dikumpulkan dari orang-orang setahun sekali, namun karena terpikirkan oleh beliau, aturan ini tidak bermanfaat bagi fakir miskin, sebab sumbangan dari perorangan itu tidak akan mencukupi.
Atas jasa Kg. Bupati yang begitu besarnya, pemerintah tidak ragu, berdasarkan surat P.K.T. Goepernoer Djendral tanggal 21 Agustus 1920, No. 1, diberi gelar “Adipati”, ditambah lagi surat P.K.T. Besar tanggal 24 Agustus 1922, No. 39, beliau menerima bintang dalam “Officer de Order van Orangje Nassau” dan menurut surat Goepernoemen tanggal 21 Agustus 1926, No, 13, diberikan lagi “Gele Songsong”.

Kebijaksanaan Kg. Bupati didalam keunggulannya mengolah negara, berdasarkan surat-surat seperti dibawah ini :
23 Agustus 1908-23 Agustus 1933
Pada masa inilah selama 25 tahun Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat menjabat sebagai Bupati.
Melihat pada kebijaksanaan beliau sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh berbagai kehormatan yang tersebut diatas tadi, tepat sekali seumpama nama beliau dicatat didalam arsip Pemerintahan Hindia Belanda, diperuntukan bagi putra-putranya yang beliau sayangi.
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat dilahirkan pada tanggal 19 Febuari 1878, di Nanggrang, wilayah Taraju. Ibunya bernama R. Ajoe Ratna Puri. Putri sulung dari Kg. Dalem Tumenggung Aria Prawira Adiningrat (Dalem Aria), bupati ke XIII, cucu Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha (Dalem Bogor), buyut Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat bupati IX.
Nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ialah Aom Saleh. Sepeninggal Kg. Ibu, pada usia 8 bulan, beliau diasuh oleh eyang sepupu, Kg. Dalem Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang) bupati ke XIII, sewaktu usianya 8 tahun pada saat ayahnya Kg. Dalem Aria menjadi wedana di Jampang Wetan, disekolahkan disekolah Belanda di Sukabumi selama 2 tahun, kemudian dipindahkan kesekolah Belanda di Bogor.
Setelah 2 tahun lamanya belajar disekolah itu, saat umur 12 tahun beliau lalu masuk kesekolah menak (Hoofden-School) di Bandung sampai tahun 1896.
Menurut surat residen Priangan Schappen tanggal 5 April 1897, No. 2932/8, beliau ditugaskan sebagai Joeroe Serat Controluer Bandung Utara, dan kurang lebih 3 tahun, juga berdasarkan surat Kg. Resident yang tersebut diatas tertanggal 5 Oktober 1901, No. 12937/8, menerima pengangkatan menjadi asisten wedana di Andir, wilayah Ujung Berung Barat, daerah Bandung.
Setelah kurang lebih 7 tahun memegang jabatan tersebut diatas, berdasarkan surat Goepernemen tertanggal 12 Febuari 1908, No. 28, beliau menerima pengangkatan menjadi wedana di wilayah Cihelang daerah Sukabumi.
Hanya 7 bulan beliau menjabat diwilayah tersebut, dengan keputusan pemerintah yang telah dijanjikan dalam pembangunan, mengolah serta mengatur urusan pemerintahan, maka berdasarkan surat Goepernement tertanggal 23 Agustus 1908, No. 2, beliau diangkat menjadi Bupati di Sukapura.
Istri beliau, bernama Rd. Ayoe Radja Pamerat, dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1893. Ibunya bernama R. Ayoe Tedja Pamerat, putri R. Djajadiningrat, pensiunan wedana Jampang; cucu Kg. Dalem Adipati Martanagara, bupati Bandung; buyut Kg. Dalem Koesoemahjoeda, wilayah kabupaten Sumedang.
Putra-putri Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ada 19, yang nama-namanya adalah sebagai berikut :
1. Nyi R. Roekiah
2. Nyi R. Djoebaedah
3. Nyi R. Tarqijah
4. Nyi R. Siti Rahmah
5. Rd. Djaelani
6. Nyi R. Koerniasih
7. Nyi R. Soehaemi
8. Rd. Abdul Kadir
9. Nyi R Siti Fatmah Koeraesin
10. Nyi R. Siti Roekiah
11. R. Achmad Moh. Harmaen
12. R. Abdoel Moehjidin
13. R. Moh. Ali
14. R. Abdoellah
15. R. Moh. Fatah Djoebaedi
16. R. Sapei
17. R. Moh. Hasan Rahmat
18. R. Abdoellah Solichin
19. R. Moh. Husein Rahmat

BUPATI TASIKMALAYA Ke – XV Tahun 1938-1944
Setelah bupati ke XIV wafat digantikan oleh Rd. Tumenggung Wiradipoetra, putra Dalem Bintang. Pengangkatan Bupati berdasarkan surat dari pemerintah No. 16. Diberi gelar Adipati, beristri R. Bentang Radja putra Dalem Bogor.

BUPATI TASIKMALAYA Ke – XVI Tahun 1944-1947
Berdasarkan permintaan Kg. Dalem Adipati Wiradipoetra untuk berhenti dan pensiun, kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama R. Tumenggung Aria Soenarya (sebelumnya Bupati Ciamis), putra dari bupati ke XII, R. Tumenggung Wirahadiningrat.

BUPATI TASIKMALAYA Ke – XVII Tahun 1947-1949
Dengan kepindahan R. Tumenggung Aria Soenarya ke Bandung, maka jabatan bupati digantikan lagi oleh R. Tumenggung Wiradipoetra (adalah bupati Sukapura ke XV).
Pada tahun 1949 Dalem Wiradipoetra mengajukan pensiun, beliau adalah bupati Sukapura/ Tasikmalaya keturunan Dinasti Wiradadaha terakhir.

Daftar Bupati Sukapura :
Daftar berikut merupakan para Bupati Sukapura dari dinasti Wiradadaha dan keturunannya.
  1. Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1641-1674).
  2. Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674).
  3. Raden Anggadipa I, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III dipanggil Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674-1723).
  4. Raden Subamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV dipanggil Dalem Pamijahan, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1723-1745).
  5. Raden Secapati, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha V dipanggil Dalem Srilangka, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1745-1747).
  6. Raden Jaya Anggadireja, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI dipanggil Dalem Siwarak, (1747-1765), berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja.
  7. Raden Djayamanggala II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII dipanggil Dalem Pasirtando, (1765-1807), berkedudukan di Empang, Sukaraja.
  8. Raden Anggadipa II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dipanggil Dalem Sepuh, (1807-1837), berkedudukan di Manonjaya.
  9. Raden Tumenggung Danudiningrat, (1837-1844), berkedudukan di Manonjaya.
  10. Raden Tumenggung Wiratanubaya, dipanggil Dalem Sumeren, (1844-1855), berkedudukan di Manonjaya.
  11. Raden Tumenggung Wiraadegdana, dipanggil Dalem Bogor, (1855-1875), berkedudukan di Manonjaya.
  12. Raden Tumenggung Wirahadiningrat, dipanggil Dalem Bintang, (1875-1901), berkedudukan di Manonjaya.
  13. Raden Tumenggung Prawirahadingrat, (1901-1908), berkedudukan di Tasikmalaya.
  14. Raden Tumenggung Wiratanuningrat (1908-1937), berkedudukan di Tasikmalaya, di masa pemerintahan ini tepatnya pada tanggal 1 Januari 1913 Kabupaten Sukapura diganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya.
Salam Santun

Baca Juga :

Tidak ada komentar