Makna dan Arti Sesajen Yang Terkandung Dalam Media Sesajen Dalam Budaya Sunda

Sampurasun 

Ndah nihan warahakna sang sadu, de sang mamet hayu...

Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana,5 linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe6 waras, nyewana sama wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya..

Sesajen dapat dimanifestasikan sebagai kesadaran kosmos, korelasi ini biasanya dilakukan secara ritual oleh masyarakat adat, contohnya : orang yang mau menghuni rumah baru, ada ritualnya, diupacara pernikahan Seseorang yang hamil 7 bulan juga ada ritualnya, di acara-acara budaya dll, ritual yang umumnya dilakukan bersama-sama oleh masyarakat setempat.

Saat ini tidak sedikit orang beranggapan bahwa menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol atau siloka di dalam sesajen yang harus kita pelajari. Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma). Kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari bukan disalahkan karena itu adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur, dan kita sebagai generasi penerus berkewajiban memahami dan melestarikannya.


Arti dan makna Sesajen Menurut Budaya Sunda
Sajen asal kata dari sesaji yang mengandung makna Sa-Aji-an atau kalimah yang disimbolkan dengan bahasa rupa bukan bahasa sastra, dimana didalamnya mengandung mantra atau kekuatan metafsik atau supranatural.

Kata Sajen berasal dari kata Sa dan ajian,
  • Sa bermakna Tunggal
  • Aji bermakna Ajaran
  • Sa bermakna Seuneu, bara atau Api (Aura-energi)

Bermakna Sa Ajian atau ajaran yang Tunggal atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesajen mengisyaratkan bahwa keganasan atau kedinamisan alam, dapat diatasi atau ditangani dengan upaya menyatukan diri dengan Alam atau beserta alam, bukan dengan cara merusak atau menguasai alam. Ritual ini merupakan bentuk metafora atau Siloka penyatuan manusia dengan Alam. Kata Sa-ajian secara keseluruhan bermakna menyatukan keinginan (kahayang-kahyang) dengan keinginan alam atau beserta alam (menyatu dengan alam).

Secara keseluruhan kata "sajen" mempunyai makna energi ajaran Hyang Maha Tunggal (monotheisme).

Sastra Jendra adalah sastra / ilmu yang bersifat tahasia / gaib, rahasia karena pada mulanya amung diwedarkan kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan terbetas dikalangan bangsawan Jawa yang diberikan secara lisan sekarang dapat dipelajari secara umum.

Gaib karena ilmu ini diajarkan oleh Guru sejati melalui rasa sejati (tasawuf) Hayuningrat/yuningrat berasal dari kata hayu/rahayu – selamat dan ing rat yang berarti di dunia.

Pangruwating Diyu, artinya meruwat, meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat Diyu, raksasa, angkara, durjana.

Maka Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu maknanya adalah ilmu rahasia keselamatan untuk meruwat sifat-sifat angkara di dunia ini, baik mikro maupun makro.

Sastra Jendra Hayuningrat pangruwating Diyu merupakan Ilmu yang berasal dari Allah untuk menyelematkan segala sesuatu, maka tiada pengetahuan (hakekat) lain lagi yang dapat digapai manusia (di tanah Jawa) yang lebih dalam dan lebih luas melebihi Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, karena ini merupakan sastra adi luhung atau ilmu luhur yang merupakan ujung akhir dari segala pengetahuan/kawruh kasampurnaan ilmu Tasawuf Jawa sampai saat ini.

Makna/kawruh yang terkandung Dalam sandi sastra Kalau diurut dari atas ke bawah, dari Ha sampai Nga, mengandung makna yang sangat dalam dan luas tentang rahasia gumelaring dumadi, atau pambabaring titah, atau rahasia jati diri, asal usul terjadinya manusia.

Yaitu terciptanya manusia dari Nur, Cahaya Allah yang bersifat Tri Tunggal Maha Suci, yang merasuk busana anasir-anasir sebagai wadah, yaitu badan jasmani halusan dan badan jasmani kasar.

Apabila diurut terbalik dari Nga naik sampai Ha, inilah yang merupakan “rahasia” jalan rahayu, ya pangruwating Diyu, untuk menuju kesempurnaan hidup kembali kepada sangkan paraning dumadi. Kembali ke asal mula, ke alam Sejati yaitu menghadap Allah yang Maha Agung. Jadi dari Nga sampai ha, juga merupakan urut-urutan panembah, dimulai dari badan jasmani kasar (alam syariat), dimana titik berat kesadaran kemudian harus dialihkan satu tahap demi tahap kea rah asal mula, ke Alam Sejati.

Uraian secara “garis besar” Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga kalau diuraikan adalah sebagai berikut (garis besar saja, karena detailnya begitu luas/multi dimensi tak terkira penuh dengan pengetahuan kasunyatan sejati yang tak habis diuraikan dalam bahasa kewadagan apalagi tulisan).









Kujang Sajen atau kujang pajamatan berfungsi sebagai alat upacara adat dan ritual budaya atau ruwatan desa. Desa dalam konteks Sunda Purba bermakna negara. Siloka dalam upacara sesajenn adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma). Kearifan lokal (local genius) yang disimbolkan dalam sesajen yang diturunkan oleh leluhur kita. Kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari bukan untuk disalahkan karena itu adalah kearifan lokal yang diturunkan oleh leluhur kita. 


Makna dan Arti Yang Terkandung Dalam Media Sejajen Menurut Ajaran Sunda

1. Parupuyan dan Menyan
Parukuyan adalah tempat arang atau bara api yang terbuat dari tanah (tempat saripati atau badan sakujur). Merah melambangkan api, kuning melambangkan angin, Putih melambangkan Air, dan Hitam melambangkan Tanah.

Bermakna bahwa saripati dari air, angin, air dan tanah adlah asal badan sakujur atau penopang hidup. Membakar kemenyan atau ngukus bermakna ngudag "Kusumaning Hyang Jati". Bermakna mengkaji dan menghayati serta menelesuri hakekat dan nilai-nilai Ke-Tuhan-an. Menyan bermakna Temen tur nyaan/nu enyana/sa enya-enyana atau sebenar-benarnya. Secara keseluruhan bermakna dalam mendalami, mengkaji dan menghayati harus sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya. Wangi kemenyan bermakna SILIH WAWANGIAN atau berbuat Kebajikan. Kini dalam tradisi sunda ada juga mengganti dengan hio/dupa karena lebih simpel.


2. Amparan atau Samak (Tikar)
Bermakna kudu Saamparan Samaksud Satujuan, Sakabeh tujuan jeung maksud diamparan ku Ka Tuhanan, Ka Manusaan, Ka Bangsaan, Ka Rahayatan, Ka adilan atau sesungguhnya kita harus satu maksud, satu tujuan yang semuanya itu harus didasari oleh nilai-nilai Ke Tuhanan, Ke Manusiaan, Ke Bangsaan, Ke Rakyatan, Ke Adilan.


3. Alas Lawon Bodas (Kain Putih Sebagai Alas)
Bermakna hendaknya dalam tindakan dan ucapab harus dilandasi oleh kebersihan HATI, PIKIRAN atau KEBERSIHAN LAHIR dan BATIN.


4. Kendi di Eusi Cai Make Hanjuang (Kendi diisi Air diberi Daun Hanjuang)
Kendi bermakna taneuh atau tanah. Bermakna Air Hanjuang bermakna HaNa Ing Juang {Hana: Hirup/Aya (Hidup/Ada), Juang:Berjuang}. Bermakna hirup kudu berjuang gawe pikeun lemah cai atau babakti ka nagari atau bebela ka Nagara, atau hidup harus berjuang berbakti pada nusa dan bangsa.


5. Sang Saka Dwi Warna (Sasaka Pusaka Buhun Djawadwipa)
Bermakna Dwi Warna atau dua warna (Waruna), yaitu Beureum jeung Bodas, bermakna merah dan putih. Beureum bermakna Indung/Ibu Pertiwi dan bodas bermakna Bapa/Rama. Sang Saka bermakna Soko. Bermakna bahwa suatu kewajiban kita menghargai orang tua yang telah melahirkan dan mengurus kita, juga tanah air yang telah memberi kehidupan. Bakti kepada orang tua, bangsa dan negara menjadi keutamaan dalam kehidupan.


6. Rujak Tujuh Rupa
Rujak bermakna rasa, seperti manis, pahit, asam, keset dsb. Tujuh rupa bermakna 7 poe atau tujuh hari. Secara keseluruhan bermakna dina tujuh poe pangggih jeung rupa-rupa kahirupan. Dalam Tujuh Hari kita mengalami berbagai rasa kehidupan.


7. Kopi Pait, Kopi Amis Jeung Cai Asak Herang di Wadahan Kana Batok
Bermakna Sajeroning lampah hirup pinasti ngaliwatan papait jeung mamanis nu sakuduna digodog, diasakan dina babatok (pikiran, elingan) wening ati herang manah. Dalam laku lampah kehidupan pasti melalui kepahitan dan manis yang semestinya diolah, dikaji dalam tempurung (pikiran, elingan) dalam Hati yang tenang dan bersih.


8. Sangu Tumpeng
Bermakna tumpuk-tumpang ngajadi hiji sahingga mangpaat keur kahirupan urang, ulah rek pakia-kia pagirang-girang tampian kawas remeh sumawur teu paruguh.

Nasi tumpeng atau banyak dikenal dengan istilah "tumpeng" saja, adalah sajian khas yang banyak dijumpai dalam acara perayaan atau "selamatan" baik di desa-desa maunpun di kota-kota besar di pulau Jawadwipa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia sampai sekarang.

Tumpeng menjadi materi penting dalam acara syukuran atau selamatan tradisi budaya Sunda. Walaupun diakui sebagai Simbol penting sebuah acara selamatan, namun sebenarnya tidak banyak orang mengetahui yang memahami makna dibalik perupaannya. Tumpeng sendiri sebenarnya menjadi simbol yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan Alam dan dengan Sesama Manusia.

- Tumpeng Dalam Tradisi Budaya Sunda
Tumpeng merupakan sajian khas Indonesia. Tumpeng biasanya tampil sebagai syarat yang harus diadakan saat menyelenggarakan suatu upacara adat dalam tradsi masyarakat Sunda, Madura dan Bali pada umunya, yaitu upacara seremonial dan ritual adat yang umumnya berkaitan dengan mata rantai kehidupan manusia seperti : kehamilan, kelahiran, perkawinan dan lain-lain. Selain itu berkaitan dengan syukuran atas keberhasilan, kebahagiaan atau keselamatan yang diraih. Kekhususan tumpeng untuk upacara adat memiliki keragaman. Pembuatan dan penyajiaannya mengikuti aturan yang sudah ditetapkan sesuai dengan kontek upacara yang akan diselenggarakan. Masyarakat tradisional Sunda pada dasarnya memiiliki sistem kepercayaan ini terpusat pada kekuataan yang melebihi kekuatan atau kemampuan manusia. Masyarakat Sunda menyakini bahwa di luar dirinya ada kekuatan Yang Maha Besar. Kekuatan itu berpengaruh pada sistem kepercayaan, sehingga dalam masyarakat tradisional tampak adanya sistem religi yang dianggap memiliki metafisik atau supranatural. (Lebih jelasnya baca di sini : 

- Bakakak Hayam (Bakakak Ayam)
Bermakna pasrah sumerah ka Gusti (tumamprak lir bakakak)

- Puncak manik (congcot nu diluhurna aya endog hayam)
Bermakna Puncak tina kahirupan nyaeta silih ajenan ka sasama. Selain itu  dalam kearifan lokal Sumedang yaitu, Endog Sapatalangan, endog atau telur melambangkan, awal mula terjadinya alam semesta (makrokosmos), dalam teori barat dikenal "Teori Big Bang", dalam kontek mikrokosmis telur memafestasikan cita-cita kehidupan yang akan melahirkan tingkah laku yang baik. Puncak dalam kehidupan yaitu saling menghargai terhadap sesama. Telur diibaratkan sebagai awal mula kehidupan yang bakal melahirkan prilaku baik.


10. Daun Jati Tilu lambar (Daun Jati Tiga Lembar)
Bermakna Manusa dina ngajalankeun hirup jeung ka hirupan kudu dumasar kana TEKAD, UCAP jeung LAMPAH nu SAJATINA. Menjalani kehidupan harus didasari dengan Tekad, Ucapan dan Tingkah Laku yang Baik.


11. Lemareun atau Seupaheun (ngalemar/nyirih)
Bermakna Mun urang rek ngucap, lumaku jeung lumampah ulah rek gurung gusuh tapi kudu di beuweung di utahkeun,persis nu nyeupah. Kalau kita berbicara, berprilaku dan bertindak jangan terburu-buru, tapi harus di pikir dan dicerna terlebih dahulu, persis ketika ngalemar/nyirih. Ieu kabeh teh simbul siloka keur ajieun urang supaya hirup teu kasasar lampah.

Ini semua adalah simbol siloka untuk kajian kita semua, supaya hidup tidak kesasar/celaka. Intinya adalah di dalam sesajen terdapat nilai luhur kearifan lokal yang dijadikan pedoman pandangan hidup agar kita tidak salah dalam melangkah.

Salam Santun Rahayu Sagung Dumadi.

Sumber Pustaka :
1. Tesis Kajian Filosofis dan Simbolis Kujang, Aris Kurniawan, ITB 2011.
2. Wawacan Endog Sapatalangan Sumedang.


Baca Juga :

Tidak ada komentar