Pengertian Nasi Tumpeng

Dina Buk Pakuning Alam pantun no. 99, nu Tiluan mere pepeling, tanggal 14 Muhara, kudu bakti Hajat kabeh ka umat-umat sadaya, teu meunang kaliwat, kitu dawuhan Nu Agung, bejakeun ka umat Sadaya.

k

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "Tumpeng" dapat diidentifikasikan sebagai nasi yang dihidangkan dalam bentuk seperti "Kerucut", sebagai nasi yang dihidangkan dalam bentuk seperti kerucut untuk selamatan. Sajian khas ini dapat kita jumpai dalam betbagai acara perayaan atau selamatan baik di desa-desa maupun di kota-kota besar dalam lingkung pulau Jawadwipa saat ini.

Jika kita membaca salametan dalam budaya Sunda, kita dapat mengerti bahwa tumpeng merupakan hidangan dalam tradisi atau upacara tertentu. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa tumpeng juga merupakan sajian yang sakral dan memiliki makna filosofis dan simbolis. Kehadiran tumpeng dalam tradisi salametan dalam budaya Sunda memberi makna yang "dalam", begitu pula dalam materi tambahan tumpeng itu sendiri.


Nasi Tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disususun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai Gunung dan Tanah yang Subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai tanaman dan lauk pauk. Itu semua sebagai simbol atau tanda yang berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.

Penempatan dan pemilihan lauk-pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal.



Selain penempatan, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang berasal dari Alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan ke-Agung-an Tuhan Yang Maha Pencipta Alam berserta Isinya, sedangkan aneka lauk-pauk dan Sayuran merupakan simbol dari kandungan isi alam ini.


1. Komponen-komponen Yang Umum dalam Nasi Tumpeng
Secara umum komponen yang digunakan dalam tumpeng antara lain nasi (dari beras), sayuran atau urap-urapan dan lauk-pauk. Nasi yang digunakan sebagai tumpeng disajikan secara khas yakni disajikan dalam bentuk kerucut, sebagai sajian pengiring juga disajikan sayur-mayur dan lauk-pauk. Sayuran yang umumnya digunakan dalam sajian ini diantaranya kangkung, bayam dan kacang panjang, Sayuran dimasak urap. Sayuran disajikan di sekeliling nasi tumpeng. Selain sayur sebagai pengiring nasi tumpeng, lauk-pauknya merupakan jenis menu yang umum dipilih, melamvangkan kekayaan hasil bumi, sebagai rasa syukur atas berbagai anugerah yang telah berlimpah. Berbagai jenis sayuran dan lauk-pauknya tidak dipilih begitu saja karena tiap setiap jenisnya memiliki nilai filosofis dan Simbolis, yang disesuaikan dengan letak wilayah atau kondisi geografisnya (Girang dan Hilir).


2. Nakna Bentuk Nasi Tumpeng Sunda
Nasi berbentuk gugunungan atau kerucut itu sarat nilai filosofis dan Simbolis. Gunung dalam tradisi Sunda, sering disimbolkan dan diidentikan sebagai tempat Yang Maha Tinggi, dalam konteks makrokosmis tempat gumulungnya diri dengan alamnya  dan Yang Maha Cahaya (BERSINERGI DENGAN ALAM). Meski kini mayoritas orang Sunda adalah muslim, akan tetapi masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak pada akar-akar religi sebelumnya.



Dalam refleksi selanjutnya, bagi orang Sunda, Gunung merupakan tempat sakral karena sebagai Simbol dari puncak orientasi kehidupan manusia Sunda yaitu "Sampurna" atau "Purna".

Bentuk Tumpeng yang seperti Gunung dalam tradisi Sunda memiliki makna menempatkan Tuhan Yang Maha Kuasa pada posisi puncak, tertinggi, yang menguasai alam semesta dan manusia. Bentuk ini juga mengambarkan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu Awal dan Akhir.

Tumpeng yang digunakan sebagai Simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-nya (pulang ka Jati pulang Ka Asalna). Bentuk Tumpeng juga seperti tangan terkatupm sama sekali saat seseorang menyembah. Hal ini juga mau mengambarkan bahwa Allah patut disembah dan dimuliakan, Bentuk mengunung nasi tumpeng menggunung nasi tumpeng dipercaya mengandung harapan agar hidup kita semakin naik dan beroleh kesejahteran yang tinggi.

Dalam tradisi Selamatan masyarakat Sunda, puncak acara adalah pemotongan bagian atas dari nasi Tumpeng (Puncak Manik dalam Istilah Sunda). Pemotongan ini dilakukan oleh orang yang dituakan atau dihormati (tokoh masyarakat atau pemangku Adat). Peristiwa ini adalah sebuah ungkapan, bahwa masyarakat Sunda memegang teguh nilai luhur kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai Figur yang sangat dohormati (pupuhu atau kasepuhan). Setelah itu, nasi Tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaam dan kerukunan.


3. Makna Dibalik Warna Tumpeng
Selain perupaan, kita juga bisa melihat makna filosofis dan simbolis dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Sunda yang masih kental di Tatar Sunda, warna dilambangkan dengan putih telur (endog bobodasna dalam bahasa Sunda). Selain itu warna putih di banyak berbagai agama melambangkan kesucian. Warna kuning seperti emas melambangkan laku emas atau laku muli yang akan mendatangkan limpahan rahmat dan kebaikan dan bermakna juga sebagai Simbol Dinasti Galuh. Sunda dan Galuh secara bersinergi menjungjung tinggi nilai-nilai luhur agama dalam nagara atau dikenal dengan istilah Nagara Karta, Darigama dan Panatagama.


4. Makna Simbolik Komponen Dalam Tumpeng
Melihat hubungan antara makna dibalik perupaaan tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya Kuasa makrokosmis yang lebih besar dari manusia (YANG MAHA CAHAYA/TUHAN SEMESTA ALAM).


Yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir. Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Maha Kuasa di mana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepada-Nya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi Tumpeng mengandung makna religius (spiritual) yang dalam, sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara syukuran atau selamatan.


Budayawan Sunda Lucky Hendrawan dalam tulisannya, yaitu  :

Sandi Kala Dalam Sangu Tumpeng (Nasi Tumpeng)
Bangsa Indonesia saat ini semakin tidak memahami tata-cara, guna dan makna Sangu Tumpeng (Nasi Tumpeng) yang seharusnya dibuat secara khusus beradasarkan aturan ketat. Itu sebabnya kehadiran Sangu Tumpeng saat ini tidak ‘menghadirkan’ sesuatu apapun (kejadian yang diharapkan), sebab ia dihadirkan hanya sebagai syarat pelengkap perayaan budaya.

Sangu Tumpeng sesungguhnya adalah kitab ajaran masyarakat Nusantara yang diungkapkan melalui bentuk makanan. Artinya, segala hal yang terdapat pada Sangu Tumpeng tidak lagi berupa bahasa lisan ataupun bahasa tulisan tetapi lebih merupakan “bahasa rupa bentuk” yang padat makna, dari cara pembuatan hingga penyajian harus dilakukan sesuai aturan. Artinya, jika pola tahapan pembuatan dilanggar maka sama dengan menghilangkan sebagian dari mata rantai ‘ayat-ayat’ yang berisi ajaran.



Tanda-tanda yang dilambangkan melalui peralatan memasak merupakan “peringatan” bahwa alam (lingkung kehidupan) harus tetap terjaga, hal ini mengingatkan kepada seluruh keturunan agar tetap waspada karena bangsa Nusantara hidup di wilayah Gunung Berapi, dalam istilah lain diumpamakan dengan "Bangsa Yang Menunggangi Naga Api".

Makna tanda yang terkandung pada peralatan memasak adalah sebagai berikut; api melambangkan matahari, batu bata merah menandakan bumi, dandang (se’eng) melambangkan gunung, air melambangkan sumber kehidupan, haseupan atau kukusan kerucut melambangkan kawah gunung berapi (yang terkandung), kayu bakar melambangkan tumbuhan atau hutan, dan nasi yang ada di dalamnya menandakan kesuburan dan kemakmuran.
 


Lambang Pada Perlengkapan Tumpeng
Pengolahan Sangu Tumpeng hanya boleh dilakukan oleh kaum wanita dewasa yang dalam keadaan bersih (tidak sedang menstruasi) dan telah mensucikan diri, sedangkan kaum pria bertugas menyediakan beragam kebutuhannya. Selama tahap pembuatan, wanita tersebut tidak boleh disentuh ataupun berbicara dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bukan tanpa maksud dan tanpa makna. Nilai “wanita suci” yang terkandung di dalam tahap mengolah tumpeng menceriterakan tentang sosok Ibu Pertiwi yang sedang menata kehidupan di bumi, khususnya mengungkapkan tentang bagaimana ia menata dan memberikan kesuburan, kemakmuran dan kejayaan kepada seluruh putra-putri Ibu Pertiwi (bangsa Nusantara).

Api pada tungku dinyalakan bertepatan dengan terbitnya matahari pagi, hal ini merupakan perlambang ungkapan rasa terima-kasih atas limpahan anugrah dari Yang Maha Kuasa dalam mengawali kehidupan yang dipandu oleh waktu/cahaya. Melalui lambang Yang Maha Kuasa yang ada di langit (matahari) itulah segala kehidupan di Bumi ini digerakan; binatang, tumbuhan, manusia, dan sebagainya memulai kegiatan mereka sesuai fungsinya masing-masing.

Setelah se’eng (dandang) diletakan di atas tungku perapian, lalu wanita mulai menata nyiru atau tampah berbentuk lingkaran terbuat dari anyaman bambu yang akan digunakan sebagai alas Sangu Tumpeng. Nyiru adalah bentuk perlambangan matahari atau sering disebut sebagai Sang Manon Sang Matongton



Nyiru Sebagai Lambang Sunda
Bagian tepi (pinggiran) nyiru diberi daun pisang manggala yang telah dibentuk segi-tiga lalu dirangkai dan disambung dengan menggunakan tusuk biting terbuat dari lidi pohon kawung. Susunan daun pisang manggala yang melingkar di sekeliling nyiru adalah perlambang dari sinar matahari, dan arti “manggala” sendiri adalah “yang menyampaikan hukum atau yang menguasai aturan”, sedangkan istilah kawung menjadi perlambang dari kata “Sang Suwung” (Hyang Maha Kuasa).

Sangu Tumpeng dalam pola tanda berupa gunung berwarna kuning merupakan lambang keagungan gunung Sunda, mustahil membicarakan Sangu Tumpeng jika tidak membicarakan tentang Sunda mengapa demikian? Sebab “Sunda” itu artinya adalah “Matahari”.

Maka dari itu, Sangu Tumpeng harus ditata berdasarkan pola cahaya, segala yang diletakan di atas nyiru/tampah disusun berurutan mengikuti putaran nilai waktu (cahaya) yang terbagi atas :
1. Purwa, menghadap (mengarah) ke Timur berisi bakakak ayam jantan (jenis ayam kampung).
2. Daksina, menghadap ke Selatan berisi unsur unsur-unsur pertanian dan perkebunan seperti; sayuran segar (lalab), tomat, ketimun, dst.
3. Pasima, menghadap ke Barat berisi makanan/masakan olahan tumbuhan seperti; perkedel, sambal goreng kentang, goreng tempe, sambal goreng terasi.
4. Utara, menghadap ke Utara berisi masakan olahan berdaging/satwa seperti; ikan mas, ikan asin, udang, teri, daging.
5. Madya, letaknya di pusat atau di tengah-tengah yaitu nasi kuning berbentuk gunung dan di puncaknya diletakan telur ayam kampung sebagai Cupumanik Astagina (Cupumanik Astra-Geni).
Pola susunan tersebut di atas sesungguhnya mengajarkan dan memaparkan tentang mutu cahaya (waktu dan kala/jaman) yang mempengaruhi kehidupan manusia, beserta tahap perkembangan peradabannya. 



Pola Arah Susunan Tumpeng
Dalam perjalan kehidupan yang sesungguhnya, manusia mengalami dan menemukan kembali 5 tahapan kehidupan, baik pengertian maupun pengalaman, yang selalu dijadikan simbol ajaran kesempurna. Dalam keilmuan Sunda Besar alam atau Tata Buwana dibagi menjadi lima tahapan, yaitu :
1. Buana Larang atau Alam Lahir atau Jagat Semesta.
2. Buana Panca Tengah atau Alam Kehidupan atau Jiwa (Rasa)
3. Buana Nyuncung atau Alam Ruh atau Hirup.
4. Buana Kahyangan atau Alam akal budi atau rasa (buana Parahyang : Ilmu, Amal, Akhlaq)
5. Buana Agung adalah sebuah istilah untuk memaknai Yang Maha Mutlak atau disebut juga Pancer.   
 

Hal ini ditemukan dalam kebudayan Sunda lama yaitu : Papat Kalima Pancer". Adapun Papat Kalima Pancer yang berhubungan dengan arah Mata Angin dalam Kebudayaan Sunda adalah :

1. Purwa/Timur/Putih : merupakan penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban manusia, jaman para leluhur bangsa. Hal ini ditandai dengan keberadaan “Ayam” sebagai lambang “manusia awal kehidupan”.


2. Daksina/Selatan/Merah : merupakan penanda siang hari, namun juga sebagai penanda jaman beradab atau masa kejayaan (kemakmuran). Hal ini di tandai oleh benda-benda pertanian dan perkebunan.


3. Pasima/Barat/Kuning : merupakan penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai penanda menurunnya masa kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran. Hal ini ditandai oleh bentuk makanan olahan yang tahan lama.


4. Utara/Utara/Hitam : merupakan penanda malam hari, yang juga menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau kehancuran peradaban manusia untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk lain (non-manusia) di Bumi. Hal ini ditandai dengan masakan olahan (hewani).


5. Madya/Pusat/Tengah : merupakan penanda penguasa waktu/era/jaman yang mengembalikan segala kehidupan di Bumi seperti pada mulanya, jaman sebelum manusia menguasai (merusak) planet Bumi. Penanda atas hal ini adalah dengan adanya “telur” (Cupumanik Astagina) di puncak Sangu Tumpeng.




Melihat segi pemaknaan pada susunan pola cahaya maka boleh jadi Sangu Tumpeng diberi warna “kuning” itu mengandung pengertian “status jaman”, bahwa kehidupan di muka Bumi ini telah memasuki masa menurunnya kejayaan atau lunturnya era kemakmuran. 


Namun akibat ketidak-pahaman masyarakat jaman sekarang terhadap pola tanda ajaran leluhur (kebudayaan masa lalu) maka masyarakat modern beranggapan bahwa warna “kuning” itu diumpamakan sebagai “emas” (lambang kejayaan) padahal nilai makna tersebut kaitannya terlalu erat dengan nilai ekonomi bahkan mungkin “kapitalisme”, sedangkan Sangu Tumpeng secara mendasar lebih condong mengarah kepada persoalan ruang, waktu dan kejadian.

Baca Juga :

1 komentar: