Makam Keramat Puncak Damar Desa Paku Alam Kecamatan Darmaraja

Sampurasun

Daerah Puncak Damar berjarak dari ibukota Kecamatan Darmaraja kurang lebih  5 kilo meter, jarak dari  Ibukota Kabupaten Sumedang kurang lebih 27 kilo meter. Di Daerah Puncak Damar ada Situs makam keramat Puncak Damar di Kampung Ciseuma, Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. 

Situs makam Puncak Damar terletak di dataran tinggi sebuah bukit. Situs makamnya dibatasi dengan benteng alam berupa lerengan. Sisi sebelah utara dan timur memiliki kemiringan kurang lebih 60 derajat, sedangkan sisi sebelah selatan agak landai dengan kemiringan kurang lebih 15 derajat. Sisi ini digunakan sebagai jalur masuk ke kompleks Situs Puncak Damar. Sisi sebelah barat berupa lerengan dengan kemiringan kurang lebih 10 derajat.

Puncak artinya puncak bukit atau puncak pasir gunung, Damar yaitu pelita untuk penerangan, sasmitanya Puncak Damar untuk memberikan penerangan kepada yang kegelapan. 

Di lokasi bukit  Puncak Damar ini, ada 5 makam yang di keramatkan, yaitu : makam keramat yang ada di bukit Puncak Damar adalah makam Buyut Maja atau Prabu Ciung Wanara atau Sang Suratama atau Sang Manarah atau Prabu Jaya Prakosa Mandaleswara Salaka Buana, putranya Permana Dikusuma atau Prabu Resi Permana Ajar Padang yang menjadi resi di Gunung Padang Darmaraja, di depan dan di samping kanan makam Buyut Maja ada makam Mbah Entol alias Raden Hitong Hasmaya alias Raden Haris, makam Raden Muhamad Sasa alias Raden Mahpudin, dan makam Resi Patang Jala.

Makam Buyut Maja berada paling depan berbentuk persegi panjang dengan susunan batu alam, makamnya berorientasi utara ke selatan, dengan ukuran 200 x 100 cm 

Makam Mahpudin yang berada di depan makam Buyut Maja berbentuk persegi panjang dengan susunan batu alam berbentuk persegi. Makamnya berorientasi utara ke selatan dengan ukuran 180 x 100 cm dan tidak memiliki nisan.

Makam Embah Entol alias Raden Hitong Hasmaya alias Raden Haris berbentuk persegi panjang dengan susunan batu alam berbentuk persegi. Makamnya berorientasi utara ke selatan dengan ukuran 180 x 100 cm dan tidak memiliki nisan. Tokoh ini dipercaya sebagai pendiri Dusun Paku Alam.

Sedangkan pengalihan makam Dalem Sutaderepa atau Dalem Santadinata "Situs Ciseuma", berlokasi di sebelah utara, sebelum masuk naik ke atas bukit Puncak Damar komplek makam Buyud Maja atau Prabu Ciung Wanara.

"Sampai sekarang banyak dikunjungi oleh masyarakat yang dekat dan yang jauh utamanya untuk tapakur," kata Abah Kuncen.


SEKILAS KERAJAAN GALUH PAKUAN
Suatu Naskah berbahasa Sunda yaitu Carita Parahyangan ditulis pada tahun 1580 masehi, mengungkapkan mengenai asal-usul suatu kerajaan di tanah Jawa.

Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Galuh Pakuan terkenal dengan sejarah perjalanan panjangnya. Perjalanan panjang tersebut sampai saat ini sebenarnya masih “gelap”. Dikarenakan ada beberapa episode atau bagian sejarah yang membuat perjalanan panjang tersebut tidak terungkap secara komprehensif. Misalnya sejarah yang masih bercampur dengan legenda atau mitos sehingga cerita lengkap mengenai sejarah pastinya terdapat beberapa versi.


Sejarah Kerajaan Galuh
Kerajaan Galuh adalah kerajaan yang pernah menunjukkan ke eksistensinya di Nusantara sejak tahun 669 masehi.

Awalnya Kerajaan Tarumanegara sering dikaitkan dengan Kerajaan Galuh. Ternyata hubungan Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Galuh yaitu merupakan keturunan langsung.

Karena Kerajaan Tarumanegara mempunyai beberapa bawahan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya. Kerajaan Galuh merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kendan yang adalah bawahan Kerajaan Tarumanegara.

Nama raja Kendan ke tiga yaitu Sang Kandiawan dan bergelar Rajaresi Dewaraja mempunyai 5 anak :
- Anak pertama bernama Mangukuhan.
- Anak kedua bernama Karungkalah.
- Anak ketiga bernama Katung Masalah.
- Anak keempat bernama Sandanggreba.
- Anak kelima bernama Wretikandayun.

Dari kelima anak Raja Kendan, si bungsulah yang paling disukai sang ayah, karena dinilai Wretikandayun, memiliki sikap lebih baik dibanding kakak-kakaknya dan memiliki watak yang tidak terlalu mementingkan masalah duniawi. Hal inilah yang melatar belakangi Sang Kandiawan menunjuk Wretikandayun sebagai penggantinya. Karena Sang Kandiawan, memutuskan untuk turun takhta setelah menjabat 15 tahun. Dan memilih untuk menjadi seorang resi di Layuwatang untuk menyebarkan ajaran agama pada waktu itu.

Pengangkatan Wretikandayun sebagai raja menghasilkan pergunjingan di kalangan Kerajaan Kendan, karena biasanya putra sulung atau anak kedua yang berhak menggantikan sang ayah. Namun, masalah tersebut tidak meruntuhkan niat Sang Kandiawan dan tetap memilih anak bungsunya yang masih berusia 21 tahun untuk menjabat sebagai raja.

Penobatan Wretikandayun dilakukan pada malam bulan purnama. Besok harinya setelah penobatan Wretikandayun mengambil keputusan pertamanya yang merubah sejarah Kerajaan Kendan, yaitu memindahkan pusat pemerintahan yang sebelumnya di Kendan ke sebuah lokasi baru yang diapit dua sungai Cimuntur dan sungai Cimanuk yang diberi nama Kerajaan Galuh.

Saat Kerajaan Tarumanegara di pimpin oleh Sang Tarusbawa, kerajaan tersebut sudah mulai kehilangan kejayaan dan pamornya. Apalagi semakin lama semakin mendapat tekanan dan serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Lalu Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Bogor.

Akhirnya Sang Wretikandayun memutuskan untuk mahardika atau membebaskan diri dari Kerajaan Sunda.

Kemudian Sang Maharaja Tarusbawa memutuskan untuk mengakhiri Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 masehi. Dan membagi dua wilayahnya yaitu Kerajaan Galuh di bagian timur dan Kerajaan Sunda di wilayah bagian barat bekas wilayah Tarumanegara.


Awal Mula Kerajaan Galuh
Sang Wretikandayun Raja Galuh Pertama, memerintah Kerajaan Galuh cukup lama, yaitu selama 90 tahun, dari tahun 612-702 masehi. Wretikandayun lalu menikah dengan putri Resi Makandria, Nay Manawati atau Dewi Candraresmi dan mempunyai tiga putra, yaitu : Sempakwaja, Resi Wanayasa atau Jantaka, dan Mandiminyak atau Amara.


Seperti dirinya Sang Wretikandayun yang anak bungsu dari lima bersaudara, dan dipilih sebagai seorang raja.

Sang Wretikandayun akhirnya memilih anak bungsu sebagai penggantinya, sebab Sempakwaja anak pertama dan Jantaka anak kedua memiliki kekurangan fisik. Akhirnya Sempakwaja yang bergigi ompong menjadi pendeta di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sementara adiknya, Wanayasa atau Rahyang Kidul jadi Resi di Denuh karena dirinya menderita kemir (hernia atau turun berok).

Kerajaan Galuh diperintah selama 7 tahun oleh Mandiminyak dari 702-709 masehi sebagai Raja Galuh ke 2, isterinya yakni Dewi Parwati, dari Kerajaan Keling di Kalingga Utara Jawa Tengah. Sayangnya, Mandiminyak dan Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja menjalin hubungan gelap. Dari Dewi Parwati, Mandiminyak memiliki putri yaitu Sannaha, dan dari Pwahaci Rababu memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa, kedua anak Sang Mandiminyak lalu dinikahkan, walau satu ayah.

Dari pernikahan Sannaha dan Sena memiliki seorang putra yakni Sanjaya. Pernikahan ini tercatat pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi.


Kudeta Pertama
Raja Galuh ke 3, yaitu Sena atau Bratasenawa memerintah 10 tahun antara 709-716 masehi, bergelar Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabumi. Ia bersahabat dengan Tarusbawa raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 54 tahun antara 669-723 masehi.

Purbasora adalah anak Sempakwaja dan cucu Wretikandayun berniat menggulingkan Sena atau Bratasenawa anaknya Mandi Minyak pada tahun 716 masehi, karena Sena atau Bratasenawa adalah anak hasil hubungan gelap antara Mandi Minyak dengan Dewi Wulansari isteri kakaknya yaitu Sempak Waja. Oleh karena itu Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh, karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun, yaitu Sempakwaja. Ayah Purbasora, tidak diangkat menjadi raja karena dinilai kurang layak menjadi pemimpin karena memiliki kekurangan fisik.

Sebenarnya Sena dan Purbasora adalah saudara satu ibu yakni Pwahaci Rababu atau Dewi Wulansari.

Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta dan Aria Bimaraksa. Purbasora melancarkan kudeta merebut Kerajaan Galuh. Sena berhasil kabur sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kerajaan Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima.

Akhirnya Purbasora menjadi penguasa Kerajaan Galuh ke 4, memrintah selama 7 tahun antara 716-723 masehi. Dan permaisurinya bernama Dewi Citra Kirana putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padma Hariwangsa, mempunyai anak : Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma dan Dewi Komalasari. Prabu Purbasora mengangkat patih Aria Bimaraksa putranya Jantaka, dan menikahkan dengan putra bungsunya yaitu Dewi Komalasari.  Di awal kekuasaanya Prabu Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa atau Sang Sena. 

Sementara Brata Senawa atau Sang Sena mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga Utara, kemudian Candraresmi Makandria menobatkan Bratasenawa atau Sena menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian menikah dengan Sannaha putrinya Mandi Minyak dari isterinya Dewi Parwati, putranya Maharani Sima. Perkawinan antara saudara antara Bratasenawa atau Sena dengan Sanaha tetapi berlainan ibu tersebut (perkawinan manu) melahirkan Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora, bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Brata Senawa atau Sang Sena sebagai penguasa sah Galuh.

Sanjaya, anak Bratasenawa atau Sena dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Teja Kancana Hayu Purnawangi atau Sekar Kancana. Karena anak Tarusbawa yakni Sunda Sembawa wafat saat usia muda, maka cucunya yang bernama Dewi Teja Kancana, anak dari Sunda Sembawa menjadi ahli waris kerajaan. Namun, karena ia seorang wanita, maka ia dinikahkan dengan Sanjaya. Sanjaya atau Rakaian Jamri lah yang menjadi Raja Galuh Pakuan ke 5 sekaligus Kerajaan Sunda, dan memerintah selama 9 tahun antara 723-732 masehi.

Sewaktu Sanjaya alias Rakeyan Jamri berada di kerajaan Sunda, ia  bertekad balas dendam terhadap Prabu Purbasora dan keluarganya. Lalu ia, meminta bantuan Prabu Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus yang ia pimpin langsung di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal. Di bawah Patih Anggada memimpin pasukan Sunda melakukan  penyerangan dilakukan secara mendadak dan pada malam hari, di dalam pertempuran  Prabu Purbasora di usia tuanya gugur ditangan pasukan punggawa Sanjaya. 

Sementara versi babon Cipancar Hilir Sumedang, ketika penyerangan ke istana kerajaan Galuh, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan punggawa Sanjaya, begitu juga menantunya yaitu Patih Aria Bimaraksa dan istrinya Dewi Komalasari, Wiradi Kusuma dan Wijaya Kusuma putra-putrinya  Purbasora dari permaisurinya Citrakirana,  berhasil meloloskan diri masuk ke dalam hutan belantara sehingga pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, lalu mereka berempat sampai di daerah Seger Manik atau Sagara Manik dan mendirikan Padukuhan di Sagara Manik Cipancar Hilir dan Padukuhan tersebut yang sekarang menjadi makam Cipancar di Kecamatan Sumedang Selatan.

Sanjaya mendatangi Sempakwaja di Galunggung dan meminta agar pamannya menobatkan Demunawan, anak keduanya, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.  Begitu juga Sanjaya tidak bisa mengetahui keberadaan Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang dan keluarganya.

Sanjaya yang berhasil menggabungkan kerajaan Medang Jati, kerajaan Indraprahasta dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat patih Saunggalah yaitu Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh Pakuan di wilayah Cipancar Girang Garut. 

Perkawinan Aria Bimaraksa dengan Dewi Komalasari, melahirkan 6 orang anak, yaitu : Aji Putih, Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usoro, Siti Putih dan Lenggang Kencana atau Sekar Kencana. Semasa kecil Prabu Aji Putih dan saudarannya tinggal di daerah Sagara Manik ini.

Kemudian Aria Bimaraksa melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat sampai Citembong Agung Girang, lalu kemudian melintasi Gunung Penuh, Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya atau Gunung Nurmala dan berakhir di Kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja,  disinilah Aria Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung mendirikan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan sekaligus mendidik putranya Aji putih yang akan dipersiapkan sebagai pemimpin Kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung menarik simpati para Resi di tatar Sunda, agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sanjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh di tatar Galuh Sunda.

Karena takhta Galuh yang kosong Sanjaya terpaksa mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh sekaligus Raja Sunda. Sayangnya, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Kerajaan Galuh kurang begitu disenangi, karena ia orang Pakuan Sunda. 

Prabu Permana Dikusuma yang gemar bertapa memperistri cucu Aria Bimaraksa yaitu Naganingrum, dikarunia anak yaitu Jaka Suratama atau Manarah atau Prabu Ciung Wanara. oleh karenanya suami-istri ini cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja anak pertama Wretikandayun Jantaka anak kedua. Itu sebabnya, Sanjaya menobatkan Permana Dikusuma atau Bagawan Sajala-jala, cucu Purbasora, menjadi Raja Galuh Pakuan yang berpusat di Ciduging Darmaraja.

Lalu Sanjaya menikahkan Permana Dikusuma dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada Patih Kerajaan Sunda, dan menunjuk anaknya, Tamperan Barmawijaya sebagai Patih Galuh, agar mudah mengontrol Kerajaan Galuh.

Permana Dikusuma merasa terpaksa untuk menjadi Raja Galuh, karena Sanjaya terkenal baik hati tapi tidak mengenal ampun pada musuh-musuhnya, begitu juga Sanjaya juga adalah pembunuh kakeknya. Karena hal tersebut, Premana Dikusuma memutuskan untuk pergi dan meninggalkan istrinya, kemudian menjadi kembali pertapa di Gunung Padang Darmaraja yang menjadi wilayah perbatasan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh di sebelah timur yaitu di sekitar wilayah sungai Cimanuk, oleh karena itu Permana Dikusuma menjadi Raja Galuh Pakuan ke 6, hanya setahun antara 724-725 masehi.

Tak jauh berbeda dengan buyutnya Mandiminyak, sang cucu Tamperan juga berhubungan gelap dengan Dewi Pangrenyep sekitar 19 tahunan, istri Premana Dikusuma. Walhasil mereka memiliki putra Kamarasa alias Hariang Banga sekitar lahir sekitar 723 masehi.

Sadisnya untuk menyembunyikan hubungan gelap mereka, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Permana Dikusuma. Namun, kejahatan Tamperan diketahui oleh Aria Bimaraksa atau Ki Balangantrang.

Pada 732 masehi Sanjaya harus menjadi raja Kerajaan Medang Kamulan di Bhumi Mataram dari ibunya, Sannaha.  Dan Sanjaya pergi ke arah timur Bumi Mataram dan mendirikan kerajaan Wangsa Sanjaya. Ketika meninggalkan Pakuan, Sanjaya membuat keputusan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan. Tamperan berhak untuk Sunda dan Galuh. Untuk Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja berhak untuk wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung.  Tamperan menjadi Raja Sunda-Galuh selama 16 tahun dari 732-739 masehi yang kemudian pusat pemerintahan kerajaannya dipindahkan oleh Tamperan ditetapkan di Galuh Bojong Kawali Ciamis.

Dalam pemerintahan kerajaan Galuh yang pimpinannya dipercayakan kepada Tamperan malah menjadi mundur dan kacau, dimana-mana timbul keributan serta kehidupan rakyat tidak terjamin karena Tamperandalam memimpin kerajaan bertindak semena-mena dengan tidak perduli terhadap kehidupan dan kepentingan rakyat.

Sementara itu, Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang bersama Manarah atau Ciung Wanara cucunya, tengah menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh. Tamperan dan anaknya Hariang Banga dan pembesar Galuh menghadiri acara sabung ayam yang jadi tempat kudeta Manarah.

Jaka Suratama atau Ciung Wanara menyamar sebagai peserta sabung ayam dan kakeknya Ki Balangantrang, bertugas menyerang Keraton Galuh dengan pasukan Geger Sunten.  Sumber lain dalam sejarah Kedarmarajaan Sumedang menyebutkan Prabu Ciung Wanara ketika merebut Galuh dibantu pasukan dari Limbangan dan pasukan Prabu Brata Kusuma Tajimalela dari Sumedanglarang. 


Penyerang itu berhasil memojokkan Tamperan, Pangrenyep dan Hariang Banga berhasil ditawan. Namun, Hariang Banga dinilai tidak bersalah akhirnya dibebaskan dan malam hari ia membebaskan orang tuanya.

Tindakan Hariang Banga diketahui Prabu Ciung Wanara atau Prabu Manarah dan akhirnya mereka bertarung. Dan Hariang Banga kalah dalam pertarungan tersebut, begitupun orang tuanya yang tewas terbunuh tembakan panah pasukan Ciung Wanara.

Mengetahui anaknya terbunuh, Sanjaya membawa pasukan dalam jumlah besar menyerang ibu kota Galuh di Kawali. Sebaliknya Prabu Ciung Wanara atau Prabu Manarah juga telah mempersiapkan pasukan Indraprahasta Kerajaan Wanagiri dan raja-raja daerah Kuningan. Perang keturunan Wretikandayun akhirnya meletus, namun, perang diberhentikan oleh Rajaresi Demunawan sewaktu berumur 93 tahun dan dilakukan perundingan pada 739 masehi.

Dengan kesepakatan Sunda diserahkan pada Hariang Banga dan Manarah atau Prabu Ciung Wanara tetap menduduki Kawali Galuh. Sayangnya, Hariang Banga hanyalah raja bawahan, setidaknya ia bisa hidup karena kebaikan Manarah.

Prabu Ciung Wanara mendapat gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancana Wangi. Sedangkan Hariang Banga bergelar Prabu Kerta Bhuwana Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, yaitu Kancanasari.


Prabu Ciung Wanara alias Sang Manarah alias Raden Suratama menjadi Raja Galuh hingga 783 masehi dan memutuskan untuk turun tahta menjadi pertapa kembali lagi hingga meninggal saat berusia 80 tahun pada 798 masehi di Darmaraja. Dan kerajaan Galuh dilajutkan oleh menantunya Prabu Manistri atau Prabu Lutung Kasarung, yang menikahi anaknya Purbasari.


Hariang Banga memerintah selama 739-766 masehi dan pernah membangun parit di Pakuan yang tertulis dalam sebuah naskah abad antara abad ke 13 atau abad ke14 Masehi. 


Silsilah Raden Mahpudin dan Raden Hitong Hasmaya (Buyut Entol)
Mahpudin menikah dengan Haryani, mempunyai anak :
1. Amah Suriyanah yang ditikah oleh Prabu Lingga Hiang atau Dalem Haji Kusuma, makamnya di Ciguling Desa Margalaksana Kecamatan Sumedang Selatan
2. Haris atau Raden Hitong Hasmaya alias Tatang Jalak alias Embol Entol.
Lihat Silsilah Jati Sampurna Sumedang dibawah ini :









Riwayat Singkat Resi Patang Jala Seda
Patangjala Seda berasal dari suku gunung Galunggung mempersunting Wulansari, terbilang puluhan tahun dalam berumah tangganya, dan tidak ada tanda-tanda untuk  melahirkan keturunan. Patangjala Seda melakukan tapabrata atau tapakur di gunung, datang wangsit kalau mau punya anak agar mencari ikan lele bule.  

Sejak itu Patang Jala Seda dan isterinya mencari ikan lele bule ke setiap sungai, namun tidak menemukan, terus menelusuri sungai Cimanuk dari hulu sampai ke hilir. 

Sampai di muara Cipaku sungai Cimanuk daerah Ciseuma di tempat tersebut mendapatkan ikan lele bule, terus dipepes sampai masak,  dicobain dan dimakan oleh isterinya. Selang beberapa minggu Wulansari mengandung, dan menatap di suku gunung. Oleh sebab menetap di tempat itu dan isterinya juga sedang mengandung tertarik dengan lahan untuk dijadikan huma, sejak saat itu daerah tersebut disebut Ciseuma.

Di tempat tersebut Wulansari melahirkan bayi laki-laki, dibesarkan dan dididik, menjadi seorang anak laki-laki cakap yaitu Manisri atau Guruminda. Di umur  dua puluh tahunan, Sang Manisri di didik ilmu kepemimpinan dan ilmu kerohanian oleh ayahnya Patang Jala Seda.

Sesudah dianggap cukup menguasai ilmu lahir dan ilmu batin, diparintah oleh ayahnya mengamalkan ilmunya, dan Manisri menuju ke keraton Galuh untuk mengabdi ke Raja Galuh Kawali dan akhirnya mempersunting putri Kancana Wangi atau Purbasari, putrinya Prabu Ciung Wanara alias Sang Suratama alias Sang Manarah alias Prabu Mandelswara Salaka Buana Jaya alias Buyut Maja dari Dewi Kancana Wangi (Galuh Kawali 739 - 783 M).

Setelah putranya meninggalkan Ciseuma, Patangjala Seda menjadi Resi di Puncak Damar, dan di datangi oleh orang-orang yang sengaja hendak berguru, murid-murinya diajarinya ilmu-ilmu agama dan darigama dan juga ilmu bercocok tanam.  Sejak saat itu Patangjala Seda disebut Eyang Palita artinya memberikan penerangan kepada yang kegelapan ilmu (Damar artinya Pelita hidup)


Riwayat Singkat Sutaderepa
Sutaderpa nama lengkapnya Sutaderpa Manggala alias Santa Dinata, adalah anak pertama Dalem Santapura dan Cicih Legawa Sari Ningrum, makam Tanjungsari yang telah terendam bendungan Jatigede atau keturunan Prabu Lembu Agung atau Jayadibrata, makam Astana Gede Cipaku Darmarja.

Dari Babon keturunan Tembong Agung Darmaraja dituliskan sebagai berikut :
1. Prabu Lembu Agung atau Jayadibrata alias Peteng Aji meneruskan menjadi Raja Tembong Agung dan setelah turun dari keprabuan Tembong Agung diganti oleh anaknya : Batara Ayah. 
2. Batara Ayah mempunyai anak, Batara Sakti. 
3. Batara Sakti mempunyai anak, Prabu Darma Purba Wisesa atau Sunan Darma Purba Wisesa.
4. Prabu Darma Purbawisesa mempunyai anak, Tumenggung Jagasatru.
5. Tumenggung Jagasatru mempunyai anak, Dalem Santapura.
6. Dalem Santapura mempunyai anak, Dalem Santadinata atau Sutaderepa.

Salam Santun 


Baca Juga :

Tidak ada komentar