Sang Bunisora atau dikenal juga sebagai Mangkubuni Bunisora Suradipati menggantikan kakaknya menjadi raja dengan gelar Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewatabrata. Bunisora dikenal juga sebagai Batara Guru di Jampang. Dari permaisurinya Laksmiwati, memiliki anak :
- Giridewata, yang menjadi raja daerah di Cirebon Girang dan dikenal sebagai Ki Gedeng Kasmaya Mertua dari Pangeran Walangsungsang.
- Bratalegawa, yang menjadi saudagar kaya raya dengan banyak memiliki perahu dan sering berlayar. Bratalegawa inilah yang pertama kali masuk Islam karena banyak berinteraksi dengan pedagang Muslim bahkan hingga menunaikan ibadah haji dan beristrikan wanita muslimah dari Gujarat. Oleh karena itu Bratalegawa mendapat julukan Haji Purwa Galuh. Cucu Bratalegawa yang bernama Hadijah menikah dengan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati. Bratalegawa, Dewa Bratalegawa, Haji Purwa atau Haji Baharudin Al Jawi adalah orang Sunda pertama yang tercatat memeluk agama Islam. Ia adalah seorang pangeran dan saudagar dari Kerajaan Galuh, putra dari raja Bunisora dan sepupu dari Dyah Pitaloka Citraresmi. Keterangan ini tercantum dalam Carita Parahyangan. Sumber-sumber lain mengenai Bratalegawa dan tokoh Islam di tatar Sunda terdahulu berasal dari Carita Purwaka Caruban Nagari, juga naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.
- Banawati, yang kelak menjadi ratu di daerah Galuh.
- Dewi Mayangsari, yang dikemudian hari dijodohkan dengan Niskala Wastu Kancana (sepupunya).
Jejak Keislaman Keturunan Bratalegawa Putra Prabu Bunisora Suradipati Dari Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu)
Putra kedua Sanghyang Bunisora Suradipati yang bernama Bratalegawa atau yang dikenal juga dengan nama Haji Baharudin al Jawi kemudian menekuni dunia perdagangan dengan prestasi dan reputasi yang baik dalam bidang perdagangan, baik dalam skup domestik maupun mancanegara.
Orang yang berpengaruh besar dalam keislaman Bratalegawa adalah Muhamad, seorang pedagang asal Gujarat. Setelah memeluk agama Islam, Muhamad kemudian menikahkan Bratalegawa kepada putrinya yang bernama Farhanah.
Dari pernikahan antara Bratalegawa dengan Farhanah putra Muhamad, mereka dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ahmad Syafiudin. Ahmad Syaefudin kemudian dinikahkan oleh Bratalegawa kepada Ruqoyah yang merupakan putri dari Abdullah, rekan kerja dalam bidang perdagangan yang merupakan keturunan Arab yang telah mengoperasikan dunia perdagangannya di pelabuhan Cirebon.
Dari pernikahan antara Ahmad Syaefudin dengan Ruqoyah kemudian lahir seorang putri yang bernama Khadijah. Khadijah kemudian hari akan dinikahi oleh Syeh Nurjati seorang ulama keturunan Arab asal Malaka. Putra pasangan Syeh Nurjati dengan Khadijah dikaruniai anak dengan nama Nyi Ageng Muara. Nyi Ageng Muara kemudian menikah dengan Ki Gedeng Krangken yang berdimisili di Indramayu.
Adapun putra-putri Syeh Nurjati dari isteri sebelumnya yang bernama Syarifah Halimah atau Nyai Ratna Jatiningsih atau Nyai Rara Api melahirkan Syeh Abdurahman atau Pangeran Panjunan yang menikahi cucu Amuk Murigul (Nyai Matangsari), Syeh Abdurahim atau Pangeran Kejaksaan, Syarifah Fatimah atau Nyai Syarifah Panata Pasambangan (menikah dengan Syarif Hidayatullah dan berputra Pangeran Bratakelana dan Pangeran Jayakelana), dan Datul Kafid yang gelarannya mirip dengan gelaran ayahnya yang membuatnya seringkali tertukar.
Syeh Abdurahman atau Syeh Maulana Abdurahman atau Pangeran Panjunan melahirkan keturunan yang penting. Melalui Nyai Matangsari putra Agung Japura yakni Maulana Muhamad atau Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Dalang yang melahirkan Maulana Sholeh atau Pangeran Santri atau Kusumahdinata I yang melahirkan keturunan Sumedanglarang (melalui pernikahan dengan Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Pucuk Umun Sumedanglarang). Dan melalui Ratu Ayu Pembatun Fatimah putra Faletehan atau Fadilah Khan (Pangeran Jayakarta I) melahirkan Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II).
Bratalegawa yang dikenal juga dengan Haji Purwa Galuh atau Haji Baharudin al Jawi telah menjadi pionir dalam memeluk agama Islam dari kalangan elit keluarga istana Sunda (Sunda-Galuh). Sejak masa Bratalegawa, keturunannya telah memeluk agama Islam. Sangat mungkin bahwa proses keislaman Bratalegawa bukan dimulai pada masa kekuasaan Niskalawastu Kancana sepupunya, melainkan pada masa sebelumnya; yakni pada kekuasaan ayahnya Bunisora Suradipati.
Suatu masa sedikit sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho yang berada pada masa kekuasaan Niskala Wastu Kancana. Suatu masa sedikit sebelum Ki Gedeng Tapa menerima kedatangan Cheng Ho, Syeh Quro, dan Syeh Nurjati. Suatu masa dimana dirinya sendiri yang memberikan pilihan secara proaktif, justru bukan ketika dirinya berada di tanah Sunda; melainkan ketika dirinya berada di Gujarat di tanah Barata.
Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur
Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H / Nopember 1689 M, Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun. Dari sini nampak perbedaan antara masa Prabu Bunisora berkuasa yaitu 1357 - 1371 M, sedangkan Sanghyang Borosngora berangkat menunaikan ibadah haji sekitar 1689 M, terdapat perbedaan tahun sekitar 300 tahunan.
Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri.
Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora?
Prabu Borosngora dan Prabu Bunisora bagi yang belum mengetahui, Prabu Borosngora atau Sanghyang Borosngora adalah Raja Panjalu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ciamis Jawa barat) yang terkemuka. Di dalam Babad Panjalu diterangkan bahwa sang prabu kemudian memeluk Islam setelah menuntut ilmu di Mekah kepada Sayidina Ali Bin Abi Thalib RA. Sebagai cinderamata kepada seorang pangeran dari Panjalu, Sayidina Ali memberikan sebilah pedang, cis (tombak bermata dua atau dwisula), pakaian kebesaran dan air zamzam kepada Sanghyang Borosngora.
Pedang pusaka dari Sayidina Ali ini sampai sekarang masih terpelihara, disimpan di Pasucian Bumi Alit dan disucikan atau dijamas pada setiap bulan Mulud (Rabiul Awal) dalam serangkaian upacara adat Nyangku. Sedangkan air zamzam dari Mekah dijadikan air bibit untuk membuat Situ (danau) Lengkong di Panjalu.
Sanghyang Borosngora naik tahta sebagai Raja Panjalu menggantikan kakaknya Prabu Lembu Sampulur II lalu membangun kaprabonan di Nusa Larang, sebuah pulau di tengah-tengah Situ Lengkong. Prabu Borosngora menurunkan dua orang putera yaitu Rahyang Kuning (Hariang Kuning) dan Rahyang Kancana (Hariang Kancana), di hari tuanya sang prabu lengser kaprabon dan menjadi mubaligh, menyiarkan agama Islam di Jampang (Sukabumi). Sumber Babad Panjalu tidak menerangkan dimana Prabu Borosngora dimakamkan setelah wafatnya.
Tahta Panjalu kemudian dipegang oleh anak tertuanya Rahyang Kuning, Rahyang Kuning kemudian digantikan oleh adiknya Rahyang Kancana. Rahyang Kancana mangkat dan dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong, sampai sekarang makam Prabu Rahyang Kancana selalu ramai dikunjungi para peziarah Islam dari seluruh Indonesia.
Sisi menarik dari tokoh Prabu Borosngora dari Panjalu ini adalah adanya beberapa hal yang mengindikasikan kesamaan dirinya dengan figur Prabu Bunisora atau Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371 M) dari Kemaharajaan Sunda.
Prabu Bunisora adalah adik Maharaja Sunda bernama Maharaja Linggabuana yang gugur melawan pasukan Majapahit di palagan Bubat tahun 1357. Ketika itu putera mahkota Sunda, Niskala Wastu Kancana (adik Dyah Pithaloka) baru berusia sembilan tahun. Prabu Bunisora lalu diangkat sebagai wali bagi keponakannya itu atas tahta Sunda bergelar Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati, berkedudukan di ibukota Sunda, Kawali (Ciamis).
Prabu Bunisora setelah menyerahkan tahta kepada keponakannya hidup sebagai brahmana (pendeta, begawan, petapa, resi) yang sangat disegani di Jampang bergelar Batara Guru di jampang. Prabu Bunisora kemudian wafat dan dimakamkan di Geger Omas.
Keponakannya, Niskala Wastu Kancana setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang. Apakah Prabu Sanghyang Borosngora Raja Panjalu adalah Prabu Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati?
Ada beberapa hal yang mengindikasikan bahwa Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora :
1. Kemiripan lafal nama: Sanghyang Borosngora dengan Hyang Bunisora, dalam penyampaian kisah ataupun berita perbedaan pengucapan sering kali terjadi, misalnya: Rahyang dengan Hariang, Adipati dengan Dipati, Pucuk Umun dengan Pucuk Umum, Batara Semplak Waja dengan Batara Sempak Waja dan Batara Cepak waja, dlsb, padahal semuanya itu menunjukkan pada satu maksud yang sama.
2. Secara geografis Panjalu berbatasan langsung dengan Kawali (ibukota Kemaharajaan Sunda) sehingga wajar bila ada kaitan yang erat antara keduanya. Panjalu sendiri adalah salah satu kerajaan yang bernaung dibawah Kemaharajaan Sunda. Sangat dimungkinkan dalam sistem politik dan kenegaraan pada jaman itu bila Maharaja Linggabuana naik tahta sebagai Maharaja Sunda, sedangkan adiknya yaitu Hyang Bunisora diangkat sebagai Raja Panjalu.
3. Prabu Borosngora di hari tuanya menjadi mubaligh penyiar Islam di Jampang, sedangkan Prabu Bunisora setelah lengser kaprabon hidup sebagai brahmana bergelar Batara Guru di Jampang. 4. Prabu Bunisora Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas, belum diketahui secara pasti dimana letak Geger Omas, tetapi di Kecamatan Panjalu Ciamis terdapat sebuah desa yang berbatasan dengan Kecamatan Kawali bernama Desa Ciomas. Ciomas pernah menjadi ibukota Panjalu pada masa pemerintahan Rahyang Kancana sampai dengan Arya Wirabaya, tepatnya di Dayeuh (kota) Nagasari.
5. Di Desa Ciomas ini terdapat makam karomah leluhur: Dalem Panghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi, nama Dalem Mangkubumi kembali mengingatkan kita dengan nama Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati.
6. Menurut Babad Panjalu, tokoh yang dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong adalah Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora, sedangkan menurut catatan Sejarah Sunda tokoh yang dimakamkan di Nusa Larang adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) keponakan sekaligus menantu Prabu Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371).
Jadi, apakah Prabu Borosngora dan Prabu Bunisora adalah orang yang sama? Sayang sekali sampai sekarang saya belum menemukan hasil penelitian ataupun data-data yang valid yang bisa memastikan bahwa Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora, tetapi hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa keduanya adalah tokoh yang sama, oleh karenanya perlu pendalaman lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.
Salam Santun.
Post a Comment