Menelaah Kesamaan Nama Dalam Fakta Sejarah Rakryan Sancang dan Syekh Pandita Rukmin, Syekh Pandita Rukmantara, Syekh Pandita Rukmantiri, Prabu Kandi Dalam Wawacan (Dongeng) Suryaningrat dan Suryakanta dari Limbangan Garut Sebagai Pusat Awal Kerajaan Kendan
1.KISAH RAKRYAN SANCANG
Untuk menceritakan Kisah Rakryan Sancang, saya awali berdasarkan sejarah Tarumanagara dan Kendan.
Raja Tarumanagara ke 7, Suryawarman dengan gelar Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsadigwijaya Buwantala (535 - 561 M), dari istrinya berputra :
1. Kretawarman.
2. Sudawarman, beristri putri raja Palawa
3. Tirta Kancana, diperistri oleh Maharesi Manikmaya, Raja Kendan ke 1.
Suryawarman mengirim duta keliling : Ke bagian barat oleh Sang Santawarman, pamannya.Ke bagian timur oleh Sang Mahisawarman. Ke bagian timur dari Sanghyiang Hujung.Semasa Suryawarman, daerah-daerah pedalaman mulai berkembang dan kerajaan Tarumanagara mencapai puncaknya.
Pada waktu Kerajaan Tarumanagara berkuasa di Jawa sebelah barat, negara ini banyak mengikat persahabatan dengan negara-negara seberang; di antaranya kerajaan-kerajaan di Bhumi Bharata, nagara Gauda, negeri Syangka, negeri Marutma, negeri Singha, negeri Campa, negeri Kamboja, dengan negara Cungkwo, negara Pulau Simhala (Sumatera); negara-negara di Bhumi Sopala, negeri Parsi (Persia), negeri Abasid (Arab) , Negeri Sanghyang Hujung, negeri Langkasuka, serta beberapa negara lainnya lagi. Di antara mereka, masing-masing menyuruh dutanya bersama pelayannya tinggal di negara sahabatnya. Begitu juga dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan di Bhumi Dwipantara.
Setelah Suryawarman turun tahta, ia digantikan oleh putranya yaitu Kretawarman sebagai Raja Tarumanagara ke 8 (561 - 628 M), dengan gelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salaka Bumandala.
Bila kita melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhur Kerajaan pada awalnya berpusat Mandala Kerajan Kendan (Galuh Wiwitan) sebagai pecahan kerajaan Tarumanagara pada masa Suryawarman, Raja Tarumanagara ke 7, yang putrinya yaitu Tirtha Kancana dinikahkan dengan Prabu Manikmaya (Abhi Sanjawirahman) dan diberikan kekuasaan sebagian Wilayah Tarumanagara. dengan demikian ketika dinobatkan Prabu Manikmaya sebagai Raja Kendan ke 1 (528 - 568 M), memiliki wilayah yang cukup luas.
Wilayah Kendan tersebut di sekitarnya, yaitu : Mandala Cangkuwang (di Garut), Mandala ri Medang Jati, Mandala Indihiyang (di Tasikmalaya), Mandala Sagara (di Sancang), Mandala Denuh, Mandala Galunggung, Mandala Bitung Giri (di Majalengka), Gunung Cupu Manik (di Sumedang) Mandala Karantenan Gunung Sawal, Mandala Parakan Tilu, Mandala Kandangwesi, Mandala Alengka (di Kabupaten Bandung), Mandala Malabar (di Kabupaten Bandung), Purwagaluh (di Banyumas) dan lain sebagainya. Yang semula merupakan kewilayahan bawahan Tarumanaga pada jaman Raja Tarumanagara ke 3, yaitu Purnawarman, lahir 294 Caka, (395 - 434 M), dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa.
Setelah turun tahta Prabu Resi Manikmaya, menyerahkan kekuasaannya pada putranya yaitu Rajaputra Suraliman (568 - 567) sebagai Raja Kendan ke 2, dengan gelar Karmadharaja Bhimaparakrama, yang menjabat pula sebagai panglima besar angkatan bersenjata Tarumanagara. Dari istrinya yaitu Déwi Mutyasari, puteri Bakulapura, keturunan wangsa Kudungga, mempunyai anak
1. Sang Kandihawan, raja di Medangjati
2. Dewi Kandyawati, dijadikan isteri oleh saudagar, orang Kotyewara dari Sumatera dan ia tinggal di tanah air suaminya. Ketika beliau berusia 20 tahun makin terlihat kegagahan badannya, dan pandai berperang. Oleh karena itu beliau dijadikan senapati perang, kemudian menjadi panglima di Kerajaan Tarumanagara. Resi Mandra dari Jawa Timur, yang berdiam di wilayah Kendan.
Dari istri lainya Sang Suraliman berputra :
1. Déwi Mayangsari
2. Prabhaya, ia menjadi Patih di Medangjati di bawah kekuasaan Ratu Sang Kandihawan
Selanjutnya Sang Suraliman digantikan oleh putranya sebagai Raja Kendan ke 3, yaitu Sang Kandhiawan (567 - 662 M) dengan gelar Rahiyang Dewaraja, rajarsi di Medanjati, karena letak kerajaannya di Medang Jati atau Medanggana, dari istrinya yaitu : Déwi Mayangsari, Sang Suraliman Sakti, mempunyai anak :
1. Sang Mangukuhan atau Rahiyang Kuli-kuli, lahir 501 Caka (608 Masehi), meninggal pada usia 105 tahun, pada tahun 606 Caka (710 M). Selanjutnya digantikan oleh puteranya, sebagai raja wilayah.
2. Sang Karungkalah atau Rahiyang Surawulan, lahir 504 Caka (611 Masehi), meninggal pada usia 30 tahun, ialah pada tahun 538 Caka (644 M). Anaknya 3 orang. Yang bungsu masih bayi, selanjutnya ia digantikan oleh isterinya, karena putera-puterinya masih kecil-kecil, sebagai Ratu wilayah.
3. Sang Katungmaralah atau Rahiyang Pelesawi, lahir 507 Caka (614 Masehi), meninggal pada usia 122 tahun Caka; dia digantikan oleh cucunya.
4. Sang Sandanggerba atau Rahiyang Rawunglangit, lahir 510 Caka (616 M), meninggal pada usia 83 tahun; Ia digantikan oleh menantunya, karena puteranya yang tertua wanita.
5. Sang Wretikandayun atau Sang Suradharmma, lahir 513 Caka (619 M), yang menjadi Raja Galuh Pakuan ke 1 534 – 624 Caka (612/13 – 702/03 M), 90 tahun, pusat Wilayah Kerajaannya di Galuh Pakuan.
Raja Tarumanagara ke 7, Suryawarman dengan gelar Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsadigwijaya Buwantala (535 - 561 M), dari istrinya berputra :
1. Kretawarman.
2. Sudawarman, beristri putri raja Palawa
3. Tirta Kancana, diperistri oleh Maharesi Manikmaya, Raja Kendan ke 1.
Suryawarman mengirim duta keliling : Ke bagian barat oleh Sang Santawarman, pamannya.Ke bagian timur oleh Sang Mahisawarman. Ke bagian timur dari Sanghyiang Hujung.Semasa Suryawarman, daerah-daerah pedalaman mulai berkembang dan kerajaan Tarumanagara mencapai puncaknya.
Pada waktu Kerajaan Tarumanagara berkuasa di Jawa sebelah barat, negara ini banyak mengikat persahabatan dengan negara-negara seberang; di antaranya kerajaan-kerajaan di Bhumi Bharata, nagara Gauda, negeri Syangka, negeri Marutma, negeri Singha, negeri Campa, negeri Kamboja, dengan negara Cungkwo, negara Pulau Simhala (Sumatera); negara-negara di Bhumi Sopala, negeri Parsi (Persia), negeri Abasid (Arab) , Negeri Sanghyang Hujung, negeri Langkasuka, serta beberapa negara lainnya lagi. Di antara mereka, masing-masing menyuruh dutanya bersama pelayannya tinggal di negara sahabatnya. Begitu juga dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan di Bhumi Dwipantara.
Setelah Suryawarman turun tahta, ia digantikan oleh putranya yaitu Kretawarman sebagai Raja Tarumanagara ke 8 (561 - 628 M), dengan gelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salaka Bumandala.
Bila kita melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhur Kerajaan pada awalnya berpusat Mandala Kerajan Kendan (Galuh Wiwitan) sebagai pecahan kerajaan Tarumanagara pada masa Suryawarman, Raja Tarumanagara ke 7, yang putrinya yaitu Tirtha Kancana dinikahkan dengan Prabu Manikmaya (Abhi Sanjawirahman) dan diberikan kekuasaan sebagian Wilayah Tarumanagara. dengan demikian ketika dinobatkan Prabu Manikmaya sebagai Raja Kendan ke 1 (528 - 568 M), memiliki wilayah yang cukup luas.
Wilayah Kendan tersebut di sekitarnya, yaitu : Mandala Cangkuwang (di Garut), Mandala ri Medang Jati, Mandala Indihiyang (di Tasikmalaya), Mandala Sagara (di Sancang), Mandala Denuh, Mandala Galunggung, Mandala Bitung Giri (di Majalengka), Gunung Cupu Manik (di Sumedang) Mandala Karantenan Gunung Sawal, Mandala Parakan Tilu, Mandala Kandangwesi, Mandala Alengka (di Kabupaten Bandung), Mandala Malabar (di Kabupaten Bandung), Purwagaluh (di Banyumas) dan lain sebagainya. Yang semula merupakan kewilayahan bawahan Tarumanaga pada jaman Raja Tarumanagara ke 3, yaitu Purnawarman, lahir 294 Caka, (395 - 434 M), dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa.
Setelah turun tahta Prabu Resi Manikmaya, menyerahkan kekuasaannya pada putranya yaitu Rajaputra Suraliman (568 - 567) sebagai Raja Kendan ke 2, dengan gelar Karmadharaja Bhimaparakrama, yang menjabat pula sebagai panglima besar angkatan bersenjata Tarumanagara. Dari istrinya yaitu Déwi Mutyasari, puteri Bakulapura, keturunan wangsa Kudungga, mempunyai anak
1. Sang Kandihawan, raja di Medangjati
2. Dewi Kandyawati, dijadikan isteri oleh saudagar, orang Kotyewara dari Sumatera dan ia tinggal di tanah air suaminya. Ketika beliau berusia 20 tahun makin terlihat kegagahan badannya, dan pandai berperang. Oleh karena itu beliau dijadikan senapati perang, kemudian menjadi panglima di Kerajaan Tarumanagara. Resi Mandra dari Jawa Timur, yang berdiam di wilayah Kendan.
Dari istri lainya Sang Suraliman berputra :
1. Déwi Mayangsari
2. Prabhaya, ia menjadi Patih di Medangjati di bawah kekuasaan Ratu Sang Kandihawan
Selanjutnya Sang Suraliman digantikan oleh putranya sebagai Raja Kendan ke 3, yaitu Sang Kandhiawan (567 - 662 M) dengan gelar Rahiyang Dewaraja, rajarsi di Medanjati, karena letak kerajaannya di Medang Jati atau Medanggana, dari istrinya yaitu : Déwi Mayangsari, Sang Suraliman Sakti, mempunyai anak :
1. Sang Mangukuhan atau Rahiyang Kuli-kuli, lahir 501 Caka (608 Masehi), meninggal pada usia 105 tahun, pada tahun 606 Caka (710 M). Selanjutnya digantikan oleh puteranya, sebagai raja wilayah.
2. Sang Karungkalah atau Rahiyang Surawulan, lahir 504 Caka (611 Masehi), meninggal pada usia 30 tahun, ialah pada tahun 538 Caka (644 M). Anaknya 3 orang. Yang bungsu masih bayi, selanjutnya ia digantikan oleh isterinya, karena putera-puterinya masih kecil-kecil, sebagai Ratu wilayah.
3. Sang Katungmaralah atau Rahiyang Pelesawi, lahir 507 Caka (614 Masehi), meninggal pada usia 122 tahun Caka; dia digantikan oleh cucunya.
4. Sang Sandanggerba atau Rahiyang Rawunglangit, lahir 510 Caka (616 M), meninggal pada usia 83 tahun; Ia digantikan oleh menantunya, karena puteranya yang tertua wanita.
5. Sang Wretikandayun atau Sang Suradharmma, lahir 513 Caka (619 M), yang menjadi Raja Galuh Pakuan ke 1 534 – 624 Caka (612/13 – 702/03 M), 90 tahun, pusat Wilayah Kerajaannya di Galuh Pakuan.
Selanjutnya kita bahas kisah Rakryan Sancang ini, menurut penuturan Aki Uning, bahwa Rakryan Sancang adalah putra Prabu Kertawarman, Raja Tarumanaga ke VIII (561 – 628 M).
Rakryan Sancang lahir pada tahun 598 M dari seorang ibu bernama Arum Honje putra Cakradiwangsa (dari kasta Sudra) yang bertempat tinggal di Kampung Dukuh yang sekarang termasuk salah satu daerah di Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut.
Berdasarkan silsilah Rakryan Sancang adalah saudara sepupu Sang Suraliman Sakti Raja Kendan (568–597 M) putra bibinya Tirtakancana dari Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan (536–568 M). Sebagaimana telah diuraikan oleh Joseph Iskandar pada Buku “Sejarah Jawa Barat“ bahwa Sang Suralimansakti adalah kakek dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh 670 M.
Cakradiwangsa adalah anak keturunan Cakrawarman (adiknya Purnawarman) yang memberontak terhadap kemenakannya, yaitu Wisnuwarman (putra Purnawarman) Raja Tarumanaga ke 4 (434–455 M). Cakrawarman dibunuh dalam suatu peperangan oleh Wirabanyu Raja Indraprahasta (mertua Wisnuwarman).
Menurut Ki Uning, diantara beberapa prajurit Cakrawarman, tersebut namanya adalah Raksagara (anak keturunannya menjadi Pu’un), Purabhumi tinggal dan menetap di wilayah Galunggung (sekarang dikenal sebagai Kampung Naga Kec. Salawu Kab. Tasikmalaya) dan Cakradiwangsa yang tinggal dan menetap di suatu tempat yang sekarang termasuk Kampung Dukuh Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut. Ki Uning sendiri adalah keturunan dari Ki Raksagara.
Masyarakat di Kampung Naga (Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya) dan di Kampung Dukuh (Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut) adalah masyarakat yang dapat menjaga dan menghormati kepada tradisi leluhurnya.
Penghuni Kampung Dukuh yang pertama menurut keterangan dari masyarakat Dukuh bernama Candradiwangsa. Ki Uning menyebutnya Cakradiwangsa.
Selanjutnya ki Uning menceritakan bahwa pada saat Rakryan Sancang dilahirkan ibunya (Arum Hoinje) meninggal dunia. Dia dipelihara sejak bayi hingga remaja oleh kedua eyangnya. Setelah Rakryan berusia remaja, Cakradiwangsa memberitahukan kepada cucunya, bahwa sesungguhnya dia adalah anak seorang Raja Tarumanagara, yaitu Kretawarman. Kemudian diperlihatkanlah tanda kebesaran keluarga kerajaan yang terbuat dari gading berukir dan berlapis emas.
Dan pada usia 33 tahun (631 M) Rakyan Sancang pergi meninggalkan tempat kelahirannya dengan maksud ingin ke Tarumanagara, karena mendengar kabar, bahwa ayahnya (Prabu Kertawarman) telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu (628 M), dan telah digantikan oleh pamannya Rajaresi Sudhawarman (628–639 M).
Karena mendengar kabar dari saudagar Arab, bahwa di negeri Mekah (Arab) muncul ”agama baru (Selam / Islam)” , dia akhirnya membatalkan niatnya pergi ke Tarumanagara, tetapi Rakryan Sancang bahkan ikut bersama-sama Saudagar dari Arab pergi ke tanah Arab (Mekah) dari pelabuhan yang berada di teluk lada Banten (daerah Salakanagara).
Di negeri Arab (Mekah) saat itu tengah terjadi pemilihan kekhalifahan (wakil) Nabi Muhammad, dan terpilih Abubakar sebagai Khalifah.
Rakyan Sancang belajar Islam dari Ali bin Abi Thalib selama 2 tahun (pada usia 34 – 36 tahun). Sepulang dari Arab Rakryan Sancang kembali ke tempat tinggal kakeknya (Kampung Dukuh). Kemudian agama Islam diperkenalkan oleh Rakryan Sancang kepada penduduk sekitar pesisir Selatan daerah Garut sekarang.
Upaya Rakyan Sancang menyebarkan ”Islam” ke berbagai wilayah di Selatan Tatar Sunda. Tempat menyampaikan risalah Islam itu antara lain di sekitar Lawang Sanghyang Bungbulang, sampai ke daerah pegunungan Cakrabuana, wilayah Baduy sekarang, kemudian ke bukit Sanghyang di Wanaraja, pegunungan Karacak, Galunggung, terus ke daerah utara sedikit yakni ke bukit Sanghyang daerah Cimalaka Sumedang, Tampomas, Panjalu, Situ Patenggang dan tempat-tempat lainnya.
Karena langkah-langkah Rakryan Sancang itu terdengar oleh Prabu Rajaresi Sudhawarman, serta dinilai akan mengganggu stabilitas pemerintahan. Sehingga timbul pertempuran antara Rakryan Sancang dengan Sudhawarman pada tahun 638 M. Dalam perang itu Rakryan Sancang unggul. Prabu Sudhawarman sempat melarikan diri dan Rakyan Sancang mengejar. Perdamaian muncul manakala diketahui bahwa Rakryan Sancang memiliki tanda kebesaran keluarga Kerajaan TaRuMaNaGaRa / TaRiMa NaGaRa / Ti RaMa Nagara (Chi Taruma)
Peristiwa itu ternyata melahirkan kegelisahan yang luar biasa pada diri Prabu Sudawarman. Karena diketahui bahwa Kretawarman, kakaknya, ternyata punya anak. Kegelisahan itu menyebabkan Sudawarman jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Tahta kerajaan akhirnya diturunkan kepada putranya Hariwangsawarman (639 – 640 M) dan selanjutnya kepada menantunya Nagajayawarman (640 – 666 M).
Nagajayawarman ternyata merasa terganggu dengan berita bahwa Rakryan Sancang menyebarkan “agama Sunda Selam“. Istilah ini sebenarnya berasal dari kata selamat, fitrah, kesucian yang pertama, dan orang sunda haru kembali pada kefitrahannya yang pertama, yakni mentauhidkan Allah. Jadilah saat itu Islam yang diajarkan Rakyan Sancang disebut agama Sunda Selam.
Oleh karena itu dengan alasan memberantas agama sunda selam yang bisa membahayakan stabilitas pemerintahan, atau gampangnya dicap sebagai ‘agama sesat’, maka Nagajayawarman menghimpun kekuatan untuk menggempur Rakryan Sancang di wilayah Pakidulan.
Ada kemungkinan dibalik alasan itu, karena ditakutkan tahta Kerajaan Tarumanagara direbut oleh Rakryan Sancang, yang ternyata adalah putra dari Prabu Kertawarman (kakak dari kakek permaisuri Nagayawarman yaitu Dewi Mayasari).
Pasukan Nagajayawarman tidak pernah berhasil menumpas kelompok Rakryan Sancang dengan penganut ”Selam“. (maksudnya Islam)
Manakala terbetik berita bahwa Al Qur’an telah dibukukan, Rakryan Sancang meninggalkan tempat kediamannya di Gunung Nagara menuju Arab.
Dan pada tahun 657 M, Rakryan Sancang kembali lagi ke Sunda, dengan membawa bekal pengetahuan yang semakin matang tentang agama Islam.
Menyebarkan agama baru di tanah Sunda mendapat tantangan cukup berat, terutama dari kalangan para bangsawan di seluruh wilayah Tarumanagara. Para Raja bawahan Tarumanagara sepakat untuk memerangi munculnya keyakinan baru.
Manakala terbetik berita yang dibawa oleh pedagang dari Arab bahwa Ali bin Abi Thalib telah meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, maka Rakryan Sancang bergegas kembali ke Arab.
Tempat pertahanan di Gunung Negara terpaksa ditinggalkannya (di atas telah diuraikan berdasarkan Legenda di Pakidulan Garut, bahwa Gunung Nagara adalah salah satu Tiga Negara mengenai keberadaan Cilauteureun (Santolo) dan Pameungpeuk – Pen).
Di saat itulah dengan segera pasukan Tarumanagara dikerahkan untuk menghancurkan ummat Selam. Hampir separo penganut agama baru itu meninggal dan sebagian lainnya dapat melarikan diri melalui jalan rahasia, yakni masuk melalui gua kemudian keluar di bukit yang curam.Para penganut Selam lalu menyebar ke mana-mana di wilayah Tatar Sunda.
Setelah masa keemasan Tarumanaga runtuh, muncul kerajaan Sunda dengan rajanya Maharaja Tarusbawa (669 – 723 M) dan Kerajaan Galuh dengan rajanya Wrettikandayun (670 – 702 M), sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Para penyebar agama Selam ini dari kalangan kasta sudra menyatakan diri sebagai penganut Agama Sunda Selam Wiwitan. Paham Islam yang diajarkan Rakryan Sancang belum utuh diajarkan kepada masyarakat.
Tetapi pokok-pokok keyakinan terhadap Allah SWT berikut nama-namaNya (Asmaul Husna) telah berhasil ditanamkan oleh Rakryan Sancang, karena ajaran sebelumnya di tatar Sunda Parahyangan telah berpaham keTuhanan Monoteisme.
Demikian pula halnya, Rakryan Sancang menanamkan ketauhidan kepada masyarakat.
Dia menyesuaikan nama Allah SWT dengan bahasa daerah disebut SangHyang Widhi Murba Wisesa. Ketika Rakryan Sancang kembali ke tatar Garut, didapati daerahnya telah hancur. Para pengikutnya telah berpencar ke mana-mana. Rakryan Sancang kemudian pergi masuk hutan belantara ke arah Utara.
Beliau menghabiskan masa tuanya, menyepi diri di dekat mata air yang bening pada salah satu bukit, yang dikenal dengan Pasir Tujuhpuluh di wilayah perkebunan teh Cikajang.
Di tempat itu pula Rakryan Sancang menulis surat-surat dan ayat Al Quran pegon pada daun lontar dan kulit kayu, kemudian membuat simbul-simbul tentang ayat suci Al Qur’an serta meninggalkan pesan-pesan yang ditulis dengan huruf Arab Pegon. Salah satu peninggalan Rakryan Sancang, yaitu daerah perbukitan di sekitar Pasir Tujuhpuluh sebagaimana tersebut di atas, yang menurut Ir.H. Fathirohman dinamakan "Galudra Ngupuk", yang bila digambarkan berisi simbul-simbul nama-nama Surat Al Qur’an.
Disanalah anak Prabu Siliwangi (Raja Sangara) mendapat pesan dalam bahasa Arab agar yang menemukan tempat itu, serta mampu membaca dalam huruf Arab, diminta mau menyediakan dirinya untuk menyebarkan dan menyempurnakan agama Selam yang sebelumnya telah dianut oleh sebagian masyarakat Sunda dari kasta Sudra.
Pesan yang ditulis dari kulit kayu keadaannya sudah rusak dan sulit dibaca. Namun demikian dalam bagian akhir ada tertulis Kean Santang, kemungkinan salah baca atau salah pengucapan dari asal Rakryan Sancang menjadi Kean Santang. Ada kemungkinan sejak itu Raja Sangara putra Prabu Jaya Dewata terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang, Sunan Rohmat atau Sunan Godog.
Bila digambarkan di atas peta yang menggambarkan bahwa bila ditarik garis dari Cipatujah, Pamijahan, Pasir Tujuh (Cikajang Garut) dan kota Mekah berada pada satu garis lurus (arah kiblat).
Kisah Rakryan Sancang ini setelah 9 abad terungkap kembali, manakala Prabu Kiansantang (Raja Sangara) putra Prabu Jaya Dewata dari Nyi Subanglarang, bahwa pada pertengahan abad 16 M pernah Raja Sagara (dalam penjelasan lain, sebenarnya yang berkelana adalah Pangeran Walang Sungsang) berkelana ke tempat itu dengan menyelusuri jalan dan petunjuk arah sungai Cimanuk dari daerah Indramayu sampai ke Garut, dalam rangka perjalanan dakwahnya, menemukan daerah tersebut. (Menurut Dr. Edi Ekajati dan Ir.H. Dudung Fathirohman, bahwa bukan Raja Sangara tetapi Raden Walangsungsang).
2.WAWACAN SURYANINGRAT
Banurungsit adalah nama sebuah negeri besar dan jaya. Rajanya bernama Suryanagara, sedangkan patihnya bernama Salyanagara; keduanya masih bersaudara.
Adapun yang menjadi senapati negeri itu adaiah Raja Duryan yang terkenal ketangguhannya. Suryanagara mempunyai seorang anak laki-laki bernama Suryaningrat, sedangkan Patih Salyanagara mempunyai seorang anak perempuan bernama Ratnaningrum. Usia mereka sama-sama empat belas tahun.
Pada suatu hari, kedua anak tersebut dinikahkan, Negeri Banurungsit berpesta ramai sekali. Di samping upacara perkawinan, berlangsung pula upacara penyerahan mahkota kepada Raden Suryaningrat. Mulai saat itu, Suryaningrat resmi menjadi raja di Banurungsit, sedangkan yang menjadi patihnya adalah Raden Sobali Putra Raja Duryan.
Tidak lama kemudian Suryanagara dan Patih Salyanagara meninggal dunia. Ratnaningrum dan Suryaningrat menjadi yatim-piatu. Keadaan seperti itu merupakan peluang bagi Raja Duryan, yang merasa tidak ada penghalang lagi, karena telah lama ia menginginkan putri Ratnaningrum. la bermaksud merebutnya dari tangan Suryaningrat, tetapi Suryaningrat tidak sudi memberikannya sehingga terjadilah peperangan. Raja Duryan menyerbu lebih dulu. Ia memimpin pasukannya bersama Raja Salkam, adiknya.
Mereka menyerang Banurungsit dengan pasukan yang banyak sekali. Banurungsit berusaha menangkis serangan itu, tetapi tanpa diduga pasukan Banurungsit kalah dan berlari ketakutan. Tak seorang pun berani menghadapi musuh.
Suryaningrat sedih sekali hatinya. Dengan segala keberaniannya la menghadapi musuh sendirian. la menggunakan panah pusaka pembenan ayahnya dan berhasil membunuh empat orang raja. Raja Duryan marah sekali, sedangkan Suryaningrat bermaksud menyerang lagi dengan menggunakan panah keramat negeri Banurungsit Tanpa di duga tiba-tiba panah itu lepas terbawa angin. Konon jatuhnya di tanah Nusantara.
Suryaningrat tidak berdaya lagi, ia tak sanggup menangkis serangan musuh dan akhirnya ambruk terkena senjata musuh. Kemudian Suryaningrat dipenjara.
Raja Duryan segera mencari Ratnaningrum. Setelah berhasil menemui putri itu lalu diajaknya kawin. Namun, Ratnaningrum meminta waktu selama enam bulan. Setelah itu, ia baru bersedia menjadi istrinya. Raja Duryan setuju, kemudian mengadakan pesta yang menah. Di tengah keramaian pesta itu, banyak orang mabuk-mabukan.
Diam-diam Ratnaningrum membacakan sirepnya sehingga semua orang tertidur pulas.Begitu pula Raja Duryan, Raja Salkam, dan raja-raja yang lamnya, semuanya tertidur pulas. Ratnaningrum membebaskan Suryaningrat dari penjara, kemudian mereka melarikan diri ke hutan.
Pagi harinya Raja Duryan terbangun. Mereka terkejut sekali karena Ratnaningrum sudah tidak ada lagi; begitu pula Suryaningrat. Raja Duryan kesal sekali. Ia merencanakan untuk mengejar Ratnaningrum dan Suryaningrat. Namun, Raja Salkam menawarkan diri untuk mencarinya sendirian dengan syarat apabila berhasil Ratnaningrum akan dijadikan istrinya; Raja Duryan setuju. Kemudian Raja Salkam pergi menuju hutan untuk mencegat perjalanan Suryaningrat dan Ratnaningrum.
Dikisahkan Suryaningrat dan Ratnaningrum berjalan menyusuri hutan dengan perasaan sedih sambil menahan haus dan lapar. Tiba-tiba mereka menemukan taman dan pemandian yang sangat indah. Mereka pun mandi dan minum di sana. Selesai mandi, mereka bertemu dengan patih Indrabumi dari Negara Durselan.
Ia adalah utusan Raja Jenggala yang sedang mencari calon istri. Seperti ada jalan, patih gembira sekali bertemu dengan mereka, apalagi setelah melihat kecantikan Ratnaningrum. Ratnaningrum dibujuk agar mau dijadikan permaisuri Raja Jenggala. Ratnaningrum menolaknya secara halus, tetapi keduanya diancam akan dibunuh kalau tidak menurut keinginan patih. Dengan terpaksa mereka pun menurut, kemudian dibawa oleh patih menghadap Raja Jenggala.
Raja Jenggala gembira sekali memnerima kedatangan mereka, bahkan ia ingin menikah hari itu juga dengan Ratningrum, tetapi Ratnaningrum meminta jangka wantu enam hari. Raja Jenggala tidak menyetujuinya. Ia bersikeras pada kehendaknya, Kemudian Raja Jenggala mempersiapkan acara pesta perkawinan.
Ratna ningrum tidak kehilangan akalnya, segera ia mengeluarkan sihirnya sambil menyediakan minuman arak yang sudah dipeciki serbuk besi bagi mereka yang akan berpesta. Setelah mereka mabuk. Melihat keadaan itu, Ratnaningrum dan Suryaningrat melarikan diri dan tak seorangpun mengetahuinya. Mereka berjalan beriringan menelesuri hutan kayu dengan perasaan takut dan sedih.
Sementara itu, Raja Salkam tak bosan-bosannya mencari Ratna Ningrum ditengah hutan, lengkap dengan senjatanya. Ketika Ratnaningrum dan Suryaningrat sedang berjalan, tiba-tiba Raja Salkam melihatnya.
Ia sangat gembira mendapatkan mangsanya. Tanpa pikir panjang, Raja Salkam mengambil panah lalu diarahkan kepada Suryaningrat. Panah terlepas dari busurnya, Suryaningat sebagai sasarannya tepat sekali. Panah itu memanggang Suryaningrat sampai roboh. Ratnaningrum tidak mengetahui.
Ratnaningrum berbicara sendiri, kemudian ia menenggok ke belakang. Dilihatnya Suryaningrat terpanggang oleh panah, Hatinya hancur sekali melihat kenyataan itu, Raja Salkam memburunya sambil mengancam. Dengan perasaan sedih, ia ikut dengan Raja Salkam, duduk dibelakang punggung unta.
Ratnaningrum merasa terganggu oleh ekor unta yang terus dikibas-kibaskan ekor dan mengenai tubuhnya. Kemudian ia meminjam pedang untuk memotong ekor unta itu. Tanpa rasa curiga, pedang itu diberikannya kepada Ratnaningrum. Kemudian Ratnaningrum menikam Raja Salkam sampai tewas.
Ratnaningrum kembali menemui Suryaningrat yang sedang menggelepar kesakitan. Dengan perasaan sedih ia berusaha mencabut panah yang memanggang tubuh Suryaningrat. Ia hampir putus asa, tetapi tetap berusaha mengobati Suryaningrat dengan kayu singawalang. Berkat pertolongan yang kuasa, Suryaningrat pun sembuh seperti sedia kala.
Mereka berjalan lagi menyusuri hutan belantara, sampai akhimya tiba di sebuah tempat penyeberangan. Di tempat itu ada Demang Langlaung, yang sedang mencari calon permaisuri untuk Raja Jenggala; kalau berhasil imbalannya menjadi raja.
Itulah sebabnya Demang Langiaung mau menyeberangkan orang yang sengaja lewat. Ketika melihat Ratnaningrum dan Suryaningrat, hatinya sangatlah gembira. Sengaja ia menyeberangkan Suryaningrat lebih dahulu. Seteiah sampai ke hulu, Suryaningrat dihanyutkan ke air sungai. Setelah itu ia kembali menjumpai Ratnaningrum dan mengatakan bahwa Suryaningrat sudah mati terbawa air.
Ratnaningrum sedih sekali hatinya. Kemudian ia ikut dengan Demang Langlaung, naik perahu. Ketika di jalan, Ratnaningrum meminta buah loa kepada Demang Langlaung yang segera mengabulkannya. Demang Langlaung lalu naik ke atas pohon loa.
Sementara Demang Langlaung naik pohon loa, Ratnaningrum sibuk mencari duri-duri. Selesai mengambil buah loa, Demang Langlaung turun terburu-buru karena melihat Ratnaningrum melarikan diri. Tanpa sadar ada bahaya di hadapannya, Demang Langlaung terkena duri-duri itu sampai tak berdaya lalu mati.
Ratnaningrum terus berjalan menyusuri sungai mencari Suryaningrat, tetapi semakin jauh kaki berjalan semakin jauh pula dari jangkauan.
Kemudian ia masuk ke dalam goa. Di sana ia bertemu dengan Syekh Pandita Rukman, seorang pertapa berasal dari tanah Arab yang telah 80 tahun bertapa. Syekh Pandita Rukman merasa kasihan kepada Ratnaningrum. Ia tahu betul penderitaan yang sedang dialami oleh Ratnaningrum. Dengan penuh kasih sayang, Syekh Pandita Rukman mengajari Ratnaningrum dengan berbagai macam ilmu yang dimilikinya.
Semua ilmunya diajarkan kepada Ningrum. Ia memberi ajimat selendang Turangga Jati dan Keris Bantal Naga (Naga Sasra). Seteiah cukup dibekali ilmu, Ratnaningrum diharuskan menyamar sebagai laki-laki dan berganti nama menjadi Jaya Rukmantara. Ia disuruh pergi ke Negeri Erum karena ditempat itu ia akan bertemu lagi dengan suaminya kelak.
Waktu itu negeri Erum sedang dilanda petaka sebab Ratna Wulan, putri Prabu Mangkurat, sakit bisu. Tabib didatangkan dari segala tempat, tetapi tak satu pun sanggup pengobatinya. Prabu Mangkurat tidak kehilangan akal. la mengadakan sayembara, yang isinya barangsiapa sanggup menyembuhkan penyakit sang putri, sudah pasti akan menjadi jodohnya. Jaya Rukmantara datang menolong, setelah mendengar sayembara itu.
la berusaha mengobati sang putri yang cantik jelita. Berkat pertolongan Tuhan, akhimya Ratnawulan dapat berbicara. Tanpa menunggu waktu lagi, Rukmantara dikawinkan dengan putri Ratnawulan. Sejak saat itu, Jaya Rukmantara resmi menjadi raja di Negeri Erum.
Pada suatu hari, Jaya Rukmantara berkata kepada Ratnawulan bahwa ia belum dapat tidur bersama karena sedang berguru dan sangat berpantang tidur dengan istrinya. Ratnawulan pun tak keberatan.
Dikisahkan Prabu Kandi dari negeri Esam, ia marah sekali mendengar kabar Ratnawulan telah menikah. Kemudian Prabu Kandi mengirim surat kepada Prabu Mangkurat yang isinya meminta Ratnawulan, kalau tidak diberikan ancamannya adalah perang. Prabu Mangkurat lalu berunding dengan Jaya Rukmantara. Hasil perundingan itu muncul kesepakatan, yaitu menyambut tantangan Prabu Kandi. Surat pun dibalas kembali, yang isinya siap berperang.
Maka terjadilah perang dahsyat sekali. Banyak pasukan yang gugur dari kedua belah pihak. Perang masih terus berkecamuk dan semua bermandi darah. Raden Jaya Rukmantara tidak sabar, segera saja ia melompat ke medan perang. Ia ingin cepat menyelesaikan peperangan ini.
Tanpa memakan banyak waktu, pihak musuh telah berhasil dilumpuhkan. Prabu Kandi panik, lalu menyuruh Widanusa dan Widanusi untuk menangkap Jaya Rukmantara. Akan tetapi, malahan sebaliknya kedua patih itu takluk dan memihak Jaya Rukmantara. Prabu Kandi mengalami kekalahan, ia berhasil dilumpuhkan oleh prabu Rukmantara. Prabu Kandi dimasukkan ke dalam penjara.
Dikisahkan pula raja Talkenda, Raja Jiwantara, dan Raja Jiwangkara sebagai raja bawahan negeri Esam. Mereka hendak menyerang negeri Erum, membalas kekalahan Prabu Kandi. Prabu Jaya Rukmantara yang gagah dan tak tertandingi menghadapi musuh itu sendirian. Ketiga raja itu dengan mudah dapat dilumpuhkan. Mereka menyerah dan mau masuk Islam.
Sementara itu, Suryaningrat yang terdampar di Pulau Ipri berhasil diselamatkan oleh naga giri. la telah sampai di daratan, berjalan terseok-seok bagaikan seorang kakek yang berbaju compang-camping menuju negeri Erum. Setelah mengalami proses yang panjang akhirnya la bertemu dengan Ratnaningrum. Setelah itu Ratnaningrum melepaskan penyamarannya. la bukan Jaya Rukmantara lagi, tetapi seorang perempuan yang bernama Ratnaningrum.
Setelah melepaskan penyamarannya, Ratnawulan sangat terkejut. la sama sekali tidak pernah menduga sebelumnya. Orang yang selama ini menjadi suaminya, ternyata seorang perempuan seperti dirinya. Betapa kecewanya Ratnawulan karena ia mendambakan memiliki seorang suami yang tampan. Namun, kekecewaannya itu terobati karena ternyata Suryaningrat adalah suami yang sangat tampan. Ratnawulan menikah dengan Suryaningrat sebagai istri kedua. Sejak saat itu, Suryaningrat resmi menjadi Raja Erum.
Pada suatu hari, Suryaningrat dan pasukannya pergi ke tanah Nusantara, untuk mengambil panah keramat yang dulu lepas terbawa angin. Atas petunjuk dalam mimpi, panah itu dipegang oleh Ratu Jambawati dari Negeri Nusantara.
Sesampainya di Nusantara, terjadilah peperangan hebat karena Jambawati tidak bersedia menyerahkan panah itu. Banyak pasukan yang mati; patih berhadapan dengan patih, dahsyat sekali. Dari Nusantara keluar emban Turga yang sakti dan berhasil melumpuhkan patih. Pihak Erum kebingungan, bahkan hampir kewalahan. Kemudian Suryaningrat turun ke medan perang ia menghadapi emban Turga, tetapi emban Turga tak sanggup melawannya karena jatuh cinta kepada Suryaningrat. Emban Turga pergi maka datanglah Ratu Jambawati. Perang berlangsung seru, tetapi lama-lama Jambawati pun jatuh cinta kepada Suryaningrat dan perang pun tidak karuan. Semua yang melihat merasa jengkel.
Ratnaningrum panas sekali hatinya menyaksikan Jambawati dan Suryaningrat. Keduanya bukan berperang tetapi malah bermesraan.
Dengan cepat Suryaningrat dilemparkan dari medan perang, kemudian Ratnaningrum berhadapan dengan Jambawati. Mereka saling mengadu kekuatan, seru sekali.
Jambawati licik, ia sering mengelabui Ratnaningrum. Dengan segala daya Ratnaningrum bertahan. Lama-kelamaan Ratnaningrum kewalahan. la dilemparkan jauh sekali, sampai tiba di mulut goa Seh Rukman. Berkat pertolongan Seh Rukman, Ratnaningrum kembali mendapatkan kekuatan.
Ratnaningrum kembali ke medan perang menghadapi Ratu Jambawati. Perang semakin seru, keduanya tidak mau terkalahkan.
Ratu Jambawati dan Ratnaningrum saling-mengejar, saling-membanting, saling-memukul, dan saling mengadu kesaktian. Akhimya, Ratu Jambawati kewalahan. Ia kehabisan cara karena segala cara telah ditempuhnya. Ratnaningrum tak goyah sedikit pun. Pada saat itu Jambawati benar-benar lelah, kemudian menyerah. Ratnaningrum pun mengampuninya. Jambawati pun masuk Islam. Ratnaningrum lalu meminta Jambawati untuk mengalahkan Raja Banurungsit yang bernama Kaja Duryan. Hadiahnya akan dinikahkan dengan Suryaningrat.
Negeri Erum berpesta merayakan kemenangan, Prabu Kandi dihadiahi istri, begitu pula Jiwantara. Sementara itu Suryaningrat menikah lagi dengan Kembar Mawat.
Dikisahkan Ratu Jambawati telah pergi ke Negara Banurungsit. Ia datang ke hadapan Raja Duryan. Raja Duryan gembira sekali menerima kedatangan Jambawati, lalu mengajaknya kawin. Jambawati menolaknya dengan pedas, kemudian memerangi raja Duryan dengan kejam sekali.
Raja Duryan digorok, tapi tidak mati. Raja Duryan lalu dibawa ke negara Erum, kemudian dipenjarakan di istal kuda. Sementara itu, Ratnawulan telah melahirkan seorang anak laki-laki bernama Suryakanta. Mulai saat itu Jambawati resmi menjadi istri Suryaningrat.
Sebagai tanda syukuran, seluruh keluarga kerajaan pergi berziarah melintasi laut. Sesampainya di sana, mereka berdoa. Tampak ada benda di sekitar pemakaman. Tatkala Ratnaningrum melihatnya, ternyata benda itu adalah panah keramat yang selama ini dicarinya. Kemudian panah itu diambilah oleh Ratnaningrum.
Dikisahkan Raja Jenggala dari Negeri Durselan. Ia merasa tidak suka karena raja Banurungsit banyak istrinya, sedangkan dia masih belum mempunyai istri. Kemudian ia menyuruh patih Indrabumi untuk mencuri permaisuri. Maka patih pun pergi menuju Banurungsit.
Banurungsit sedang berpesta, datanglah Indrabumi dengan membawa sihir sehingga semua pesta itu tertidur, kecuali Ratnaningrum. Pada saat itu, Patih Indrabumi membopong Jambawati, tetapi tak lama kemudian dihadang oleh Ratnaningrum maka terjadilah pertengkaran. Patih Indrabumi ditempeleng hingga roboh. Setelah dihukum, Indrabumi disuruh pulang ke Negeri Durselan sambil membawa surat yang isinya menantang perang kepada Raja Jenggala. Sementara itu, Ratnaningrum, Jambawati, dan Patih Darusalam mempersiapkan diri untuk berangkat ke Negeri Durselan. Setelah siap, mereka pun pergi. Kepergian mereka diiringi doa.
Indrabumi telah sampai dihadapan Raja Jenggala. Lalu ia memberikan surat dari Banurungsit. Surat itu kemudian dibaca oleh Raja Jenggala.
Hatinya terkejut sekali setelah selesai membaca surat. Surat itu berisi penghinaan yang sangat kasar terhadap dirinya. Hatinya sangat marah sekali.
3.WAWACAN SURYAKANTA
Adalah sebuah kerajaan bernama Tanjung Karoban Bagendir, yang jauhnya dari kerajaan Banuringsit tujuh bulan perjalanan. Raja Tunjung Karoban Bagendir bernama Durgali dan patihnya Durgala yang kedua-duanya siluman. Raja Durgali mempunyai istri dua orang Kala Andayana dan Kala Jahar.
Pada suatu hari Raja Durgali didatangi oleh emban Turga. Emban itu nelaporkan bahwa kerajaan Nusantara baru saja dikalahkan oleh Raden Suryaningrat dari kerajaan Erum. Emban Turga terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Suryaningrat. Tatkala ia menyatakan cintanya, serta merta ditolak oleh raden Suryaningrat, bahkan emban Turga diusir. Emban Turga mohon bantuan Raja Durgali agar memperoleh Raden Suryaningrat untuk dijadikan suami.
Raja Durgali menjanjikan akan membantu menangkap Raden Suryaningrat. Ia menyuruh seorang raksasa agar mencuri putra mahkotanya yang bernama Suryakanta. Raden Suryakanta dapat diculik ketika sedang bermain-main di taman. Maka hebohlah kerajaan Erum dan Nusantara, karena kehilangan putra mahkota. Istri raja yang bernama Ningrum kusumah diusir karena dianggap dialah yang menjadi sebab hilangnya Raden Suryakanta. Ningrum Kusumah pergi tanpa tujuan. Dalam perjalanannya ia sampai ke tempat pertapaan Pandita Seh Rukman, yang memberi tahu bahwa ia telah difitnah oleh seseorang yang bernama Jambawati.
Untuk membalas dendam kepada yang memfitnah dan mendapatkan kembali Raden Suryakanta yang diculik atas perintah raja Durgali, Ningrum Kusumah harus berganti nama menjadi Jaya Komara Diningrat atau Jaya Lalana Diningrat. Ia menyamar seolah-olah menjadi laki-laki.
Ningrum Kusumah alias Jaya Komara dapat membunuh istri-istri Durgali dan Emban Turga. Tetapi untuk menemukan Raden Suryakanta, ia harus mengalami bermacam-macam kesengsaraan dan peperangan. Dalam peperangan yang terjadi Ningrum Kusumah selalu menang.
Di setiap negara yang dikalahkannya, raja dan penduduknya diharuskan memeluk agama Islam, diantaranya kerajaan Yunan, kerajaan Turki, Raja Bahram, Raja Gosman. Prabu Suryaningrat sepeninggal Ningrumkusumah jatuh sakit, ia selalu teringat kepada istrinya dan menyesali kepergiannya. Tambahan pula Suryakanta putranya yang sangat disayangi belum ditemukan juga, ia tidak mengira bahwa Ningrumkusumah telah difitnah oleh Jambawati
Lama kelamaan Raja Suryaningrat mengerahui dari seseorang/menteri bahwa Jamawatilah yang telah memfitnah Ningrumkusumah. Raden Suryaningrat sangat marah kepada Jamawati dan terbukalah bahwa sebetulnya yang telah mencuri Raden suriakanta itu Raja Durgali atas permintaan Emban Turga.
Raden Suryaningrat menantang perang kepada Raja Durgali dari kerajaan Tanjung Karoban Bagendir. Berkat kegagahan putri Ningrum Kusumah dan Ratna Wulan, Durgali dikalahkan dan Suryakanta kembali.
4.TELAAH KEMIRIPAN NAMA DALAM SEJARAH DAN WAWACAN
Memang sangat susah sekali mencernanya jika mencerna dengan fakta sejarah
Bagaimana kaitan nama keturunan Tarumanagara tersebut Syekh Pandita Rukmin (Syekh Rukman) dengan Rakryan Sancang tersebut? Namun ada beberapa nama yang disilibkan, disilokakan dan disindirkan dalam kedua wawacan (dongeng) diatas, seperti :
1. Syekh Haji Pandita Rukmin adalah Syekh Rukman.
2. Apakah Suryanagara adalah Suryawarman ?
3. Apakah Ningrum Kusumah adalah Syekh Rukmantara ?
4. Apakah Suryaningrat adalah Syekh Rukmantiri ?
Post a Comment