Situs Batu Lingga Gunung Simpay Mandala Sakti



Lokasi Gunung Simpay berada diantara Desa Citengah, Sumedang Selatan dan Desa Sukaraja Kecamatan Cibugeul, Kabupaten Sumedang, Untuk menuju lokasi trek pendakian ke Gunung Simpay relatif lebih mudah melalui dari arah Desa Sukaraja Kecamatan Cibugeul. 

Gunung mempunyai arti penting dalam konsep kepercayaan. Gunung dipandang sebagai objek suci untuk mendapatkan pencerahan. Gunung Mandalasakti yang terletak di antara Kecamatan Sumedang Selatan dan Kecamatan Jatigede kemudian dikenal dengan nama Gunung Simpay.  

Pranata atikan manusia Sunda dahulu diantaranya ada yang disebut Mandala Kawikan, mandala menunjukan tempat, kawikan asal kata dari wiku = guru, resi, wilayah kawikan jadi pusat-pusat atikan dilindungi dan dimulyakan, dibebaskan dalam pajak kerajaan, disucikan dan disakralkan. Siapapun yang melanggar aturan mandala akan dihukum seberat-beratnya.  
Mandala kawikan dipelihara oleh raja-raja Tarumanagara antara tahun 358 sampai dengan 669 Masehi.

Kabuyutan yaitu nama Lemah Cai Dewasasana atau Tanah Larang, tegasnya wilayah yang dikenakan oleh pelarangan pusat aura gaib (spiritual) para raja serta melindungi keraharjaan bangsa dan negara. Kabuyutan-kabuyutan selamanya dijaga dan dimulyakan utamanya dalam kerajaan Sunda - Galuh.

Yang disebut binayapanti (binaya = winaya = anak didik atau murid), panti yaitu pendidikan. Dari dulu Binayapanti sudah melahirkan para calon raja atau pemimpin (birokrat pemerintahan). Binayapanti dikelola oleh para resi atau wiku yaitu manusia yang penuh dengan ilmu, jembar penalarannya, penuh jampe pamake. Disamping itu Binayapanti melahirkan para pakar atau ahli (Bayapari).

Mandala Kawikan, kabuyutan dan Binayapanti di Bumi Sumedang dari awalnya sudah ada, bisa diselusuri ketika jaman kerajaan Tembong Agung  Prabu Guru Aji Putih (681 - 721 Masehi), Prabu Tajimalela (721 - 778 Masehi), Prabu Lembu Agung (778 - 839 Masehi), Prabu Gajah Agung (839 - 998 Masehi), Prabu Pagulingan (998 - 1114 Masehi), Prabu Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan (1114 - 1237 Masehi), dan Ratu Inten Dewata (1462 -1530 Masehi).

Kabuyutan-kabuyutan di Daerah Darmaraja dahulu dibuat di daerah Gunung-gunung, kepala sungai  (basa sunda: sirah walungan) dan tempat-tempat yang dianggap mengandung aura spiritual. 

Mandala Kawikan dan Binayapanti atau padepokan tersebar disetiap tempat, diantaranya : Gunung Mandalasakti, Gunung Simpay, Gunung Sangkanjaya, Gunung Jagat, Gunung Cakrabuana, Gunung Lingga, Gunung Pareugreug dan sebagainya, yang di sebut Lemah Sagandu Gunung Lima, Gunung Tujuh dan Gunung Sembilan.

Alur pikir manusia Sunda Rawayan Jati yaitu atikan dan tata krama, dimulai dari sarining cipta yaitu kesadaran dan pengakuan hambaNya terhadap ciptaan yang Maha Kuasa yang Maha Tunggal, Maha Wenang dan Maha Pemilik Alam.

Dalam kaitannya dengan spiritual, terlihat ada hubungan antara konsep gunung dengan pemilihan lokasi tempat bermujasmedi.

Menurut Buku Galur Turun Temurun Kedarmarajaan Sumedang di Gunung Simpay terdapat Petilasan Prabu Tajimenak atau Tajimalela dari Kerajaan Sumedanglarang.




Batu Untuk Duduk Sila Bermujasmedi

Air Yang tak Pernah kering di Puncak Gunung Simpay Untuk Susuci

Gunung Simpay di Masa Prabu Tadjimalela
Beberapa lokasi pusat Kerajaan Sumedanglarang berada pada kawasan perbukitan. Pada masa Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang berada di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
 
Setelah kekuasaan Sumedang Larang diserahkan Prabu Adji Putih kepada putera tertuanya, Bratakusumah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Tadjimalela. Sebelum menjadi raja, Brata kusuma berguru selama bertahun-tahun kepada Resi Cakra Sakti yang bermukim di Cakrabuana, beliau diwirid ilmu lahir dan ilmu batin dan diwarisi ilmu tawajuh Gunung untuk menyempurnakan ilmunya, gunung-gunung tersebut adalah Gunung Sangkajaya, Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Simpay dan Gunung Lingga.

Suatu waktu, beliau diperintahkan bertapa di Gunung Lingga selama 21 hari dan 21 malam. Di sanalah melakukan perjalanan spiritual menembus alam gaib. Pada malam ke-7, segumpal sinar turun dari langit melingkar-lingkar di atas gunung menyerupai ulekan ujungnya sangat tajam, perlahan-lahan berubah menyerupai selendang, lalu menukik tajam ke petapaan Gunung Lingga.

Brata Kusuma berkata kepada pengawalnya “Taji Malela” (Taji = tajam; Malela = Selendang). Kuntawisesa dan Darmawisesa pengawal setia menyebut Brata Kusuma dengan julukan Tadjimalela.

Malam ke - 21, segumpal sinar cemerlang, berputar-putar di atas gunung, menukik disekitar pertapaan. Gumpalan sinar menyembur ke setiap arah hingga petapaan terang - benderang, Brata kusuma berkata kepada pengawalnya “Insun Medangan Larang Tapa” (Aku melihat cahaya terang benderang di petapaan yaitu tempat yang syarat dengan tantangan dan pantrangan).

Setelah itu Prabu Tajimalela tawajuh gunung terakhir dalam memperdalam Ilmu Kasumedangan pergi ke Gunung Mandalasakti. Pendalaman ilmu yang dilakukan Batara Tuntang Buana mengakibatkan Gunung Mandala Sakti terbelah. Berkat kesaktian Batara Tuntang Buana, gunung yang terbelah tersebut dibalut (disimpay) sehingga tidak hancur.  

Dalam Bahasa Sunda : 
Gunung Simpay tilas khalwat / nyepen Prabu Tadjimalela waktos ngababar elmu bathin anjeuna, saking luhungna elmu prabu tadjimalela eta gunung janten bejad, tiwaktos harita ku prabu tadji malela eta gunung teh disimpay atanapi pihartoseuna dihijikeun deui sepertos asalna deui, ngalangkungan elmu bathin anjeuna tiasa ngahiji deui. tug dugi kakiwari eta gunung teh katelahna Gunung Simpay.
Kemudian Bratakusumah (Batara Tungtang Buana) dipanggil oleh ayahnya, pada saat terang bulan dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelar Prabu Tadjimalela. Pendirian kerajaan ini berlangsung pada sekitar tahun 721 - 778 M. Prabu Tajimalela menikah dengan Kencana Wulung (Rangga Wulung) putri Adinata dari Permaisuri Sari Ningrum, selanjutnya mengganti nama kerajaan Tembong Agung menjadi Sumedang Larang (dari kata insun medangan larang tapa). 


Di awal kekuasaannya mengangkat pejabat-pejabat kerajaan dari lingkungan keluarga. Kedudukan patih dijabat oleh pamannya sendiri yaitu Astajiwa dan sejumlah menterinya terdiri dari saudara-saudaranya. 

Sokawayana menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Tampomas, Harisdarma menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Haruman (Garut). Sedangkan Langlangbuana menjadi penghulu di daerah Lemah Putih kemudian menjadi pengabdi Kerajaan Galuh.

Pembagian tugas memperlihatkan sistem yang dibangun Prabu Tadjimalela adalah sistem monarkhi konstitusional. Pemerintahan yang paling rendah adalah dukuh (desa) dijabat oleh petinggi, kedudukannya sebagai pemimpin desa.

Pernikahannya dengan Kencana Wulung (Rangga Wulung),melahirkan 3 orang putera, yaitu : Jayabrata, Atmabrata dan Mariajaya. Pada saat bulan gelap lengser keprabon dan menyerahkan kekuasaannya kepada Jayabrata (Lembu Agung), kemudian menjadi resi dengan gelar Resi Bratakusumah, Resì Darmawisesa, Resi Pancar buana dan Resi Tungtangbuana. Dipenghujung usianya menyempurnakan ilmunya lagi di daerah Gunung Lingga hingga meninggal dunia. Menurut cerita beliau ngahyang serta jasadnya tidak ditemukan, Kuntawisesa menempatkan batu menhir di tempat petilasannya, sebagai tanda pengingat terhadap kejadian tersebut.  Banyak yang menyebutkan Prabu Tajimalela, seorang resi pinuji, arif bijaksana. Ketika beliau menjadi guru resi menciptakan Ilmu kasumedangan (tasawuf) dan Putika Kasumedangan atau atikan Tata Krama orang Sumedang.






Gunung Simpay Di Masa Prabu Lembu Agung
Pemangku kerajaan Sumedang Larang selanjutnya yaitu Jayabrata atau Prabu Lembu Agung. Sebenarnya, Prabu Tadjimalela kebingungan kepada siapa beliau hendak mewariskan tahta kerajaan, karena Jayabrata dan Atmabrata sama-sama mempunyai hak menerima tahta kerajaan. Sementara Jayabrata dipandang kurang cerdas, tidak memiliki bakat kepemimpinan, malah lebih suka mendalami ilmu ketauhidan. Sedangkan Atmabrata lebih suka mempelajari ilmu kepemimpinan dan sejarah.

Prabu Tajimalela akhirnya memerintahkan keduanya agar bertapa di Gunung Sangkan Jaya selama 40 hari 40 malam dengan syarat membawa sarana ritual berupa kelapa muda (dewegan). Setelah selesai bertapa kelapa harus dibelah. Apabila kelapa itu kering atau tidak berair, berarti tidak memiliki hak menjadi raja, sebaliknya kelapa itu berair tandanya memiliki hak menjadi raja Sumedang Larang. Setelah mendapat nasehat, mereka menuju Gunung Sangkanjaya. Selesai bertapa masing-masing membelah kelapa oleh pedang kamkam pusaka kebesaran Prabu Guru Adji Putih. 

Kelapa milik Jayabrata tidak berair, sedangkan kelapa Atmabrata mengandung air. Menandakan Jayabrata tidak memiliki hak menjadi raja. Sementara Atmabrata tidak menerima kenyataan itu, karena saudara tua yang berhak menjadi raja, selain tidak menghendaki terjadinya perubahan pergantian raja. 

Apabila mengubah tradisi pergantian raja akan menimbulkan pertumpahan darah. Jayabrata berpandangan lain, yaitu menentang sabda raja adalah hukuman. Namun, akhirnya Prabu Tadjimalela melalui perundingan dengan keduanya memutuskan mau tidak mau, suka tidak suka Jayabrata harus menerima tahta kerajaan. Jayabratapun menerima keputusan ayahnya dengan ucapan Darma Ngarajaan (sekedar raja). Perkataan Jayabrata ini menjadi nama sebuah kota yang dikenal Darmaraja.

Pada saat gelap bulan, dinobatkanlah Jayabrata menjadi pemangku kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Prabu Lembu Agung. Beliau menikah dengan Banon Pujasari putri Hidayat dari Sari Fatimah cucu Harisdarma.

Untuk mengatasi pengaruh politik yang timbul dari dalam maupun luar, beliau mengadakan penguatan integritas penduduk-penduduk sekitar kerajaan dan penduduk dusun-dusun yang tersebar di wilayah-wilayah Sumedang Larang. Golongan keturunan raja dan golongan resi merupakan bagian yang sangat berpengaruh di tengah-tengah kehidupan rakyatnya. Resi mempunyai kedudukan yang tinggi dalam keagamaan.

Prabu Lembu Agung banyak membangun sarana peribadatan dan mengembangkan kebudayaan. Prabu Lembu Agung menyerahkan tahta kerajaan kepada Atmabrata (Prabu Gajah Agung). Setelah itu menjadi resi dan menyebarkan agama di daerah sekitar Gunung Sanghyang, Gunung Simpay, Gunung Rengganis, Gunung Nurmala dan berakhir di Mandala Kawikan (Karang Pawitan) hingga meninggal dunia, dimakamkan di Astana Gede.

Setelah Prabu Lembu Agung lengser keprabonan, kerajaan Sumedang Larang diteruskan oleh adiknya, Atmabrata yang lebih dikenal dengan nama Prabu Gajah Agung. 

Di awal kekuasaannya, Prabu Gajah Agung memindahkan keraton dari Leuwihideung ke daerah Cìgulìng, Desa Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan. Dari pernikahannya dengan Sari Ningrum, Prabu Gajah Agung mempunyai seorang putera, yaitu : Prabu Jagabaya atau Prabu Pagulingan alias Prabu Manggala Wirajaya 

Setelah lengser keprabonan Prabu Gajah Agung menjadi resi dan kekuasaan Sumedang Larang diteruskan oleh puteranya, yaitu Prabu Pagulingan. 

Prabu Gajah Agung wafat dan dimakamkan di Cicanting desa Cisurat Kecamatan Wado. 

Salam Santun,...... 
Shema Pun Nihawah


Baca Juga :

Tidak ada komentar