Batu Patapaan di Puncak Gunung Pangramatan Kecamatan Cikajang Garut Selatan

Sering kali bila bepergian ke arah Wisata Pameungpeuk - Santolo, kita melihat selewatan sering Batu Besar yang menjulang ke langit, ada yang dipinggir jalan, seperti halnya Batu Tumpang (Batu Numpang) di kawasan perkebunan Teh yang merupakan jalan menuju kawasan pantai selatan Garut. Tebing batu Tumpang memiliki ketinggian sekitar 150 meter dengan lebar sekitar 100 meter.

Batu Tumpang ini tepatnya terletak di Jalan Raya Cikajang - Pamengpeuk, Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Banjarwangi, Garut. Terletak sekitar 32 kilometer dari pusat perkotaan Garut. Tebing batu raksasa itu biasanya dijadikan sarana untuk berswafoto bagi para wisatawan yang hendak melakukan perjalanan menuju kawasan pantai selatan.

Batu tersebut sudah ada sejak zaman dahulu kala. Batu itu bukan hasil letusan dari gunung, tapi memang kawasan tersebut merupakan perbukitan yang memiliki batu-batu besar.





Selain itu ada pula yang terlihat dari kejauhan di Puncak Gunung, seperti halnya yang berada di Puncak Gunung Pangramatan Kecamatan Cikajang Garut Selatan.



Batu ini ada yang menyebutnya Batu Kursi, ada yang yang menyebutnya batu Batu Kursi, ada pula Batu Bendera Pajajaran seperti versi Majalah Ujung Galuh. 

Formasi tebing Batu Paatapaan ini memang sangat unik, wajar saja jika ada orang yang menyebutnya Batu Patapaan, secara kasat mata memang batu ini sangat ideal untuk tempat bersemedi.




Lokasi   : Cipangramatan, Cikajang, Garut, 10 menit berkendara dari tebing Batu tumpang ke arah Pameungpeuk, 1.45 jam berkendari dari Garut kota.


Kordinat : 7°25'29"S 107°49'39"E

Kang Oos Supyadin dari Cikelet Pemeungpeuk menyelusurinya ke Puncak Gunung Pangramatan, yang ada Batu-batu besar yang berjejer menjulang ke langit di Daerah Kecamatan Cikajang Garut Selatan, ternyata Batu tersebut warga sekitar menyebutnya "Batu Patapaan".












Konon tempat tersebut merupakan tempat bertapanya orang sunda dahulu atau dengan kata lain tempat bersinergi dengan Alam.


Berdasarkan hasil telaahan Djuhana Kamri Atmadja (2003, 2009), bahwa Ha-Na-Ca-Ra-Ka atau Cacarakan adalah aksara yang menerangkan perwujudan manusia yang disebut "alam hurip" yang bersifat abstrak atau metafisik, sementara wilayah teritorialnya disebut "kahuripan".

Kahuripan dalam sistematika alam berdasarkan ajaran Sunda Buhun disebut dengan Alam Buana Panca Tengah. Keberadaan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka berfungsi sebagai alat untuk membedah keberadaan manusia, baik yang bersifat konkrit atau fisik dan non fisik.

Manusia sebagai bentuk perwujudan mahluk yang paling sempurna di jagat semesta digambarkan dan diceritakan dalam bentuk ajaran "dangiang".

Wujud bentuk nanusia diangkat dari dua alam, yaitu :
1. Alam Langit diwujudkan oleh "Rama"
2. Alam Buana diwujudkan oleh "Ibu"
3. Disatukan dalam alam ke tiga yaitu Buana Panca Tengah atau alam semesta atau alam perantara (dalam bahasa Sunda Kahuripan).

Buana Larang atau Jagat semesta dalam terminoligi ajaran Sunda disebut dengan "Medang". Manusia yang mampu bersinergi atau menyatu dengan alam, mempunyai martabat "Medang Kamulan (Kamulya'an), dan manusia yang mendapatkan gelar tersebut dianugrahi gelar "Karang Kamulan (Kaelmuan-kamulya'an). Manusia yang meendapat gelar karang kamulan memiliki "karat (Karatuan" yaitu Kadiri, yang wilayah teritorialnya disebut "Jangelek" atau "Janggala".

Alam atas (Buana Nyuncung atau Alam Asal) melambangkan langit atau "Watu". Keberadaan langit bersifat besar atau agung disimbolkan oleh Gunung. 

Kahuripan dalam berbagai legenda Sunda sering disebut "Leuwi Sipatahunan", yang merupakan kata lain dari Para hyang. Sipatahunan mempunyai makna sifat ke-Tuhan-an (sifat Tuha-nan) yang disebut "keagungan-keagungan". Istilah tersebut merupakan peryataan bahwa manusia bukti keagungan Tuhan Yang Maha Esa.

Cupu Manik Astagina terdiri atas :
1. Buana Nyuncung disebut "Jeneng"
2. Buana Panca Tengah disebut "Jumeneng"
3. Buana Larang disebut "Jenengan"

Cupu menerangkan Buana Panca Tengah, Manik menerangkan Buana Larang, Astagina menerangkan Buana Nyuncung. Dalam sistematika ajaran Sunda penyatuan ketiga Buana tersebut  disebut "Cupu Manik Astagina". Medang Kamulan adalah wilayah jenengan, bermakna Rasa, bermakna Jisim dan Raga.  

Jisim, Raga, dan Rasa  tersebut bersinergi dengan alam semesta dalam perwujudan Mula Waruga Manusa, yang kemudian disebut "Ingsun" atau Pancer yang mempunyai saudara empat (dalam bahasa sunda dulur nu opat), yaitu :
1. Intisari (acining) Api yang membentuk Amarah berkedududukan di Mandala Kasungka.
2. Intisari (acining) Bumi yang membentuk Mutmainah berkedudukan di Mandala Seba.
3. Intisari (acining) Angin yang membentuk Loamah berkedudukan di Mandala Jati.
4. Intisari (acining) Air yang membentuk Sawiah berkedudukan di Mandala Samar.
5. Ingsun berkedudukan di Mandala Agung - Pancer 

Keempat Intisari tersebut diatas mewujudkan Kara yang disimbolkan dengan Karasa, bermakna Jisim atau kurungan, sementara Pancer adalah ku dia (diri sendiri), yang bermakna jisim. Sementara posisi Wenang-Wening tidak digambarkan sistematika Mandala. Wenang bermakna Langitdan Wening bermakna Bumi, Wangi bermakna Suwung atau YANG TIADA dalam Tata Di Salira. (Aris Kurniawan S.Sn., M.Sn)

Baca Juga :

1 komentar:

  1. Sunda mah nyepeng pageuh kana "Adab", kalelebet dina "Adab Seseratan"

    BalasHapus