Kean Santang, Rakryan Sancang dan Sayidina Ali r.a

Banyak beredar kisah cerita rakyat secara tutur tinular dalam bahasa lisan tentang Kisah Kean Santang dan Sayidina Ali r.a. Berdasarkan sumber tradisi lisan tersebut diceriterakan bahwa Kian Santang  diislamkan oleh Syaidina Ali bin Abi Thalib dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW. Dengan asumsi saat itu Sayidina Ali bin Abi Thalib telah menjadi khalifah terakhir dalam khulafaur Rasyidin.

Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 masehi atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 masehi, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasuluallah yaitu permulaan tahun Hijrah atau abad ke 6 masehi atau tahun 579 masehi. Bagaimana bisa rentang waktu 1000 tahun itu terjadi? banyak argumentasi yang diajukan. Diantara atas kehendak Allah SWT bisa terjadi. Ada pula kejadian itu yaitu pertemuan Kian Santang dan Sayidina Ali RA hanya 'terjadi' di alam ghaib.

Mari kita membahasnya secara logis dan rasional agar kisah ini bisa masuk dalam ranah sejarah besar budaya kita, bukan sekedar mitos belaka.

Kembali pada kisah di atas. Rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padaghal istrinya Islam.

Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind antara 644-650 masehi mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh. Konon, keberanian mujahid Timur Jauh ini setara dengan 100 orang Arab.

Bila kita ambil kurun waktu yang sama dengan peristiwa di tanah air, akan terlihat bahwa peristiwa pertempuran tersebut sezaman dengan masa pemerintahan Raja Tarumanegara. Masa ini Jauh sebelum adanya kerajaan Padjadjaran.

Jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta, besar kemungkinan "Tokoh dari Asia Timur Jauh" itu adalah seseorang dari Nusantara di zaman pemerintahan Prabu Kretawarman antara 561-628 masehi Maharaja Tarumanagara ke VIII. 

Prabu Kretawarman memiliki dua orang istri. isteri pertama yaitu putri dari Calankayana, dan Setyawati istri yang kedua. Setyawati merasa dirinya dari kasta sudra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia. Untuk menutupi skandal ini sang Raja mengangkat anak angkat, Brajagiri, dari golongan sudra juga.

Lihat silsilahnya dibawah ini :


Ketika Prabu Kretawarman mangkat, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari seorang puteri pencari kayu bakar Ki Prangdami (Cakradiwangsa) bersama istrinya Nyi Sambada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.

Putrinya Cakradiwangsa yaitu Arum Hondje dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sembilan hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.

Arum Hondje merasa dirinya dari kasta sudra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan Arum Hondje meninggal dunia. Bayi itu kemudian dibesarkan kakek-neneknya.

Anak dari Prabu Kretawarman itu oleh Ki Parangdami (Ki Cakradiwangsa) dipanggil 'Rakryan' mengingat keturunan seorang raja.

Maka panggilan sang anak menjadi Rakeyan dari Sancang. Panggilan singkat "Rakryan dari Sancang" atau Kian Sancang. Jika ditulis dalam ejaan Bahasa Indonesia lama Kian Santjang.

Kelak Rakryan dari Sancang ini pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali r.a, yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang / ilmu berkelahi yang tinggi. Sumber lainnya menyebutkan (640 M), Rakryan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.

Sejak itulah Rakryan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung atau Hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakryan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali. 

Upaya Rakryan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman (saat itu semua Raja Kertanegara juga disebut Siliwangi), yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan.

Rakryan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakryan Sancang, tapi tusuk konde Rakryan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islamkan. Sebenar peristiwa itu dilakukan Kean Santjang. Pergeseran sosok itu mungkin karena faktor kemiripan gelar atau nama Santang dan Santjang.

Kisah Rakryan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakryan Sancang atau Kean Sancang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menegakkan Syariat Islam.

Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh Fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Pajajaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang antara 1521 - 1535 masehi.

Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie.

Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Sindangkasih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda, Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Walangsungsang, Lara Santang dan Raden Sangara, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Pajajaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.

Sementara itu, Raden Walangsungsang memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.

Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Pajajaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, Gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.

Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang diislamkan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad.

Komentar ;
Yang perlu diteliti bukan bacaannya tapi makamnya yang ada di Gunung Nagara yaitu Prabu Brajadilewa (sunan Brajasakti) dan patihnya Parenggong Jayakaraton yang hidup dikisaran abad 15 - 16 Masehi, sebagai penguasa / nalendra Kerajaan Galeuh Pakuan Sancang. Dan motip makamnya Syekh Rukman atau Syekh Haji Pandita Rukmin di Sancang V kecamatan Cibalong Garut, yang hidup di abad 6 - 7 Masehi, sejaman dengan dengan Prabu Kandi (Prabu Kandiawan) Raja Kendan ke III, 597 - 612 M. Baru ketemu benang merahnya, begitu juga tidak ada nama yang datang Persia yang digelaran 'Syekh Haji Pandita', kalau bukan asli dari tatar Sunda Para Hyang. 

Dalam Naskah Wawacan Suryadiningrat dari limbangan Garut ada beberapa nama yang terungkap walaupun isi dari pada Naskah tersebut berbentuk naskah rumpaka Sunda Sandiwara, dan susah dicerna secara sejarah terdapat beberapa nama di antaranya : Syekh Rukman tokoh ini mengkiaskan Syekh Pandita Rukmin, Prabu Kandi tokoh ini mengkiaskan Prabu Kandiawan Raja Kendan ke 3, Syekh Rukmantara dan Syekh Rukmantiri.



Baca Juga :

Tidak ada komentar