Petilasan Sunan Ulun Di Desa Mancagahar Sayang Heulang Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut

Sampurasun

Untuk menziarahi Situs Sunan Ulun ada juga yang menyebutnya makam yang berada di wisata Pantai Sayang Heulang Kecamatan Pameungpeuk tidaklah sulit, namun bukan makam Prabu Geusan Ulun alias Pangeran Angkawijaya putranya Pangeran Santri dan Ratu Setyasih alias Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang yang makamnya berada di Gunung Rengganis Dayeuhluhur Kecamatam Ganeas Kabupaten Sumedang. 

Makam Sunan Ulun adalah akuwu yang dulu berkuasa sampai daerah Gunung Nagara yang bernama Arbawisesa.

Al kisah Sunan Ulun Arbawisesa menghanyutkan sebuah kukusan ke dalam sungai dimanapun kukusan itu berhenti maka tempat itu akan menjadi tempat bersemayamnya beliau, setelah kukusan itu berjalan dan diikuti oleh para pengawal kerajaan, kukusan itu berhenti disebuah batu, kukusan itu berputar-putar selama beberapa lama, kemudian hanyut kembali ke laut dan berhenti di suatu karang. Karang tersebut sekarang dikenal dengan "Karang Kukusan", sedangkan tempat kukusan itu tadi berputar-putar dan menjadi tempat bersemayamnya Sunan Ulun Arbawisesa.

Makam Sunan Ulun Arbawisesa berada di Desa Mancagahar Sayang Heulang Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat berdekatan dengan jembatan Gantung buatan belanda yang telah rusak.


Luas daerah makam Sunan Ulun Arbawisesa tersebut 100 meter persegi  dan luas areal makam tersebut adalah 15 meter persegi. Makam ini dikelola oleh masyarakat sekitar dan kuncen yang menjaga daerah pemakaman tersebut yaitu Bapak Iroh. Makam ini banyak dikunjungi pada malam Selasa dan malam Jumat, bahkan terkadang ada yang menginap di dalam areal makam ini selama satu malam.

Tingkat kebersihan dan bentang alam di kawasan ini cukup baik serta visabilitas di kawasan ini tergolong bebas dan tingkat kebisingan yang rendah. Lapisan permukaan tanah di kawasan ini pada umumnya berupa tanah bebatuan pantai. Tata guna tanah yang digunakan di areal pemakaman tersebut adalah tanah Desa yang menjadi tanah wakaf. 

Di dekat lokasi makam, terdapat satu penginapan. Pintu masuk ke dalam pemakaman ini terdapat di depan makam tersebut, untuk menuju ke pintu masuk tersebut jalannya agak berbukit dan mempunyai lapisan permukaan tanah bebatuan.

Pengunjung yang datang ke Makam Sunan Ulun Arba Wisesa biasanya merupakan masyarakat sekitar dan juga pengunjung yang berasal dari Cirebon, Garut dan juga Tasikmalaya.


Sasakala Pameungpeuk Garut
Pada abad 14 - 16 masehi berdiri kerajaan kecil yaitu Sancang Pakuan di Pameungpeuk dengan Rajanya Prabu Brajadilewa dan patih Parenggong Jayakaraton.  Setelah Prabu Brajadilewa meninggal, kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Arbawisesa, putra tertua Prabu Brajadilewa. Seperti ayahnya, Arbawisesa pun memimpin kerajaan Sancang Pakuan dengan sangat baik. Adil bijaksana. Kerajaan senantiasa aman tenteram gemah ripah loh jinawi.

Legenda Pameungpeuk merupakan asal-usul nama Pameungpeuk. Sebelumnya tempat ini bernama Nagara. Prabu Geusan Ulun Raja Sumedanglarang  yang mewarisi daerah kekuasaan Pajajaran antara 1579 - 1601 masehi, ingin mendirikan kota pelabuan, karena pelabuan Cirebon sudah dikuasi Cirebon dan Sundakelapa sudah dikuasi Banten. 

Untuk mendirikan kota pelabuan ini Prabu Geusan Ulun memerintahkan Arbawisesa untuk membelokan aliran Ci Mandalakasih ke sebelah timur dengan cara membendung aliran sungai atau dalam bahasa Sunda meungpeuk dengan batu-batu yang besar. Daerah yang tadinya dilewatai Ci Mandalakasih menjadi ramai, bukan lagi sebagai kampung, dan lama kelamaan dinamakan Pameungpeuk yang artinya alat meungpeuk.

Diceritakan, pada suatu malam Arbawisesa bermimpi. Dalam mimpinya, Arbawisesa melihat makam ayahnya terendam luapan air sungai Cilaut Eureun, yang airnya datang dari aliran sungai Cimandala Kasih. Setelah mencerna dan memaknai mimpi tersebut, Arbawisesa sampai pada satu keputusan. Dirinya harus menutup aliran sungai Cimandala Kasih yang mengarah ke Cilaut Rureun, dan mengalihkan alirannya.

Bersama para ponggawa dan rakyatnya, Arbawisesa mulai menyusuri sungai Cimandala Kasih. Hingga di sekitar Cikoneng sekarang, Arbawisesa menghentikan rombongan. Ia memutuskan untuk menutup dan mengalihkan aliran sungai Cimandala Kasih di daerah tesebut, dengan alasan daerah di sebelah timur tampak lebih landai. 

Arbawisesa segera memerintahan rombongan untuk mengumpulkan batu-batu besar dan menyusunnya menjadi semacam bendungan, di tempat yang ditunjukkan Arbawisesa. Proses membendung dilakukan dari dua sisi sungai mengarah ke tengah. Ternyata bendungan yang dibuat para ponggawa itu masih menyisakan celah besar di tengah sungai yang berarus deras. 

Dengan kesaktiannya, Arbawisesa mengambil satu batu berukuran sangat besar, dan menyumbat (dalam bahasa sunda istilahnya meungpeuk) celah tersebut. Dan berhasil. Sungai Ci mandala Kasih sudah dipeungpeuk, dan airnya terbendung. Sejak saat itu, daerah tersebut dikenal dengan nama Batu Pameungpeuk, yang kemudian berubah menjadi Pameungpeuk.


Gua Masigit Sela dan Makam Sunan Geusan Ulun Di Desa Mancagahar Sayang Heulang Cilauteureun Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut
Di lihat dari kejauhan memang tidak mirip sebuah masjid namun setelah kita menghampirinya lebih dekat lagi Nampak seperti paimbaran mesjid bahkan ada batu penyangga atap guha mirip bangunan  paimbaran tempat imam, maka gua yang terletak di bagian utara Pantai Santolo ini biasa disebut Masjid Batu. 

Tapi juga biasa disebut Masjid Sela, karena gua ini berada disela-sela batu dinding pulo yang berlubang memanjang kira -kira 100 meter, namun yang bisa dipakai berteduh kala hujan turun hanya lebar ke dalam kurang lebih 3 meter. Tapi gua itu punya nama asli Gua Masigit Sela. Ruang di dalamnya mirip Paimbaran atau ruang imam sebuah mesjid, masjid yang di hiasi banyak stalaktit yang bermotif sangat unik.

Terlepas dari anggapan gua itu sebuah masjid, gua yang sudah berumur ratusan tahun tersebut hingga kini terkenal dengan nama Gua Masigit Sela. Kini gua itu dijadikan salah satu objek wisata spiritual.

Di Pantai Sayang Heulang ada sebuah bukit, dibukit tersebut.  terdapat makam seorang tokoh yaitu Sunan Ulun, yang tiada lain adalah Arbawisesa. Arbawisesa pun memilih menjadi pertapa di Masigit Sela. Karena sodong-sodong atau sela-sela batu itu dipakai tempat beribadah terutama melakukan ibadah sholat dan sejak itulah sodong itu dinamakan Masigit Sela hingga sekarang.

Selain itu ada juga makam Eyang Jagawana, seorang juru kunci pertama yang juga masih keturunannya. Dilanjutkan oleh Mama Emen, Lurah Kardiwi Jayakusumah, Irob, dan terakhir Yayat Supriyatna bin Udin. Menurut pengakuannya Prabu Arbawisesa, saat ini sudah menginjak tahun ke-470 tahun, ia bersemayam di Sayangheulang.

















Tentang Makam Sunan Ulun Di Sayang Heulang
Sebenarnya, masyarakat sekitar pun tidak mengetahui dengan pasti mengenai hal ini. Sejauh yang mereka tahu, Sunan Geusan Ulun yang dimakamkan di Sayangheulang adalah seorang tokoh dan penyebar agama Islam. 

Seperti yang diutarakan oleh Umen Herdiana, KCD Pariwisata Wilayah Pameungpeuk, berdasarkan cerita rakyat sekitar, Sunan Geusan Ulun adalah seorang raja dan tokoh penyebar Islam yang punya sebuah perguruan Islam di Gunung Nagara Depok.

Saat menjelang wafat, tokoh yang juga dikenal sebagai Eyang Geusan Ulun ini berwasiat kepada murid-muridnya, bila wafat, ia ingin dikuburkan di suatu tempat, di mana parukuyan (batok kelapa yang berisi bara api) yang ia hanyutkan di Sungai Cipalebuh berhenti. Parukuyan itu pertama kali dihanyutkan di Gunung Nagara di wilayah Bantar Peundeuy Depok. 

Setelah lama hanyut dengan diikuti oleh murid-murid Sunan Geusan Ulun, parukuyan tersebut berhenti di muara Sungai Cipalebuh, tepat di kaki bukit kecil di Sayangheulang. Akhirnya, setelah wafat, jenazah Sunan Ulun dimakamkan di puncak bukit itu oleh murid-muridnya. 

Setelah jenazah dimakamkan, parukuyan tersebut kemudian hanyut kembali dan berhenti di sebuah karang besar di tepi pantai Santolo. Karang itu lalu diberi nama Karang Kukusan, yang hingga saat ini masih ada.

Keterangan yang berbeda justru diungkapkan oleh kuncen makam Sunan Geusan Ulun, Yayat Supriyatna bin Udin. Saat ditemui beberapa waktu lalu, Yayat mengaku tidak mengetahui bagaimana sejarahnya Sunan Geusan Ulun bisa dimakamkan di Sayangheulang. 

Sunan  Ulun yang dimakamkan di Sayangheulang,  Ia sebenarnya berasal dari wilayah Gunung Nagara. Pergilah beliau ke suatu tempat untuk menyepi dan lokasi Sayangheulang lah yang kemudian ia pilih untuk menetap selama 10 tahun hingga akhir hayatnya. 

Ia juga merunut beberapa kuncen yang pernah menjaga makamnya. Pertama adalah Eyang Jagawana, yang juga masih keturunannya. Dilanjutkan oleh Mama Emen, Lurah Kardiwi Jayakusumah, Irob, dan terakhir Yayat Supriyatna bin Udin. Menurut pengakuannya Prabu Arbawisesa, saat ini sudah menginjak tahun ke-470 tahun, ia bersemayam di Sayangheulang.

Tidak ada catatan, Sementara itu, menurut pakar sejarah, yang juga pendiri Yayasan Pendidikan Gilang Kencana Garut, Sulaeman Anggapradja, nama Geusan Ulun di Sayangheulang tidak ada dalam catatan sejarah.

Menurutnya, selama meneliti dan mengumpulkan dokumen sejarah tentang wilayah Garut dan sekitarnya, tidak pernah terdengar nama Sunan Geusan Ulun yang dimakamkan di Sayangheulang. 

Saat melihat foto lokasi makam Geusan Ulun, Sulaeman berpendapat, besar kemungkinan makam tersebut merupakan bangunan baru dan tokohnya pun kemungkinan bukan tokoh yang berperan di dalam sejarah. “Mungkin hanya tokoh masyarakat setempat saja yang dihormati dan makamnya kemudian dikeramatkan,” ujar Sulaeman.

Lebih lanjut Sulaeman menjelaskan nama Geusan Ulun adalah sebuah gelar bagi seorang tokoh atau pimpinan yang dihormati rakyatnya. Menurutnya, Geusan Ulun di Sayangheulang jelas bukan Prabu Geusan Ulun Raja Sumedanglarang, karena Prabu Geusan Ulun dari Sumedang jelas catatan sejarah dan keberadaan makamnya. 

Hal tersebut diperkuat oleh pengalaman Sulaeman, yang beberapa kali menemukan dalam catatan sejarah nama Sunan Geusan Ulun ditempat yang berbeda-beda. 

Ditegaskannya, Sunan Geusan Ulun di Sayangheulang besar kemungkinan hanya tokoh yang dibuat-buat saja. Karena penamaan Geusan Ulun tidak diberikan kepada sembarang orang. Hanya orang-orang besar saja  yang diberi gelar itu. 

Kalau Sunan Ulun di Sayangheulang memang tokoh besar, tentunya akan tercatat di dalam catatan sejarah, tetapi selama ini kan tidak ada,” tegasnya.

Terlepas dari ada atau tidak adanya Sunan Geusan Ulun dari Sayangheulang, kenyataannya saat ini makam tersebut dikeramatkan dan banyak diziarahi masyarakat. Makam tersebut berpotensi dijadikan aset wisata, namun tentu saja kebenaran sejarah harus lebih diutamakan. 

Salam Santun

Baca Juga :

1 komentar:

  1. boleh minta no wa penulis. butuh keterangan lebih lanjut ttg sejarah ini.

    BalasHapus