Berziarah Ke Makam Pangeran Rangga Gede di Panday Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan Kota Sumedang


Sampurasun.
Pun sampun ka karuhun sa budeur handap.
Sumeja muka turub mandepun anu diteundeunan hanjuang siang, ditundakeun handeuleum sieumkeun.

Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji  
1.3 Deman Watang 
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh 
1.6 Santoan Awi Loear 

Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II)  menikah dengan  NM. Gedeng Waru, (Nyi Mas Cukang Gedeng Waru),  berputra : 
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja  I 
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede 
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana 
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati 
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang 
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda 
1.1.9 NM. Rangga Wiratama 
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara 
1.1.11 NM. Rangga Pamade 
1.1.12 NM. Dipati Ukur
1.1.13 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong 
1.1.14 Kiai Demang Cipaku

Makam Pangeran Rangga Gede Dinata Kusuma bin Rd. Angka Wijaya Bupati Wedana Priangan Tahun 1625 - 1633 M, berada di lingkungan Panday Kelurahan Regol Wetan Kabupaten Sumedang, putra Prabu Geusan Ulun dari Ratu Cukang Gedeng Waru (Nyimas Sari Hatin) bin Sunan Pada (Rd. Hasata) bin Rd. Meumeut bin Prb. Siliwangi (Prb. Jaya Dewata) dari istrinya Ratu Raja Mantri putra pertama Sunan Tuakan dari istrinya Ratu Nurcahya.

Beliau adalah Bupati Wedana ke 2 setelah bentuk kerajaan berubah menjadi ke bhupatian (walaupun sifatnya masih kerajaan), setelah masa Prabu Geusan Ulun Raja Sunda dan Pajajaran terakhir oleh pengaruh kekuatan Kesultanan Raja Sultan Agung Mataram, yang menjadikan wilayah Sumedanglarang menjadi Kabhupatian.

Dalem Bupati yang memerintah  di Talun ke 2 setelah pulang dari Mataram mengantikan adiknya Pangeran Soeriadiwangsa (berbeda ibu dari istri kedua Prabu Geusan Ulun yaitu Ratu Harisbaya), Soeriadiwangsa yang diminta tolong agar  kerajaan-kerajaan di Sampang Madura bertekuk lutut kepada kesultanan Mataram. 

Pangeran Soeriadiwangsa sepulangya mengalahkan kerajaan-kerajaan kecil di Sampang Madura lalu diangkat menjadi kemenakan senapati di Mataram. Namun karena terdengar desas-desus berniat makar terhadap kesultanan Mataram, oleh karenanya Pangeran Soeriadiwangsa  dihukum mati, badanya dibagi menjadi 3 bagian, karena keilmuannya yang linuwih (Peun).


Istri-istri Pangeran Rangga Gede
1. Istri ke 1, Pangeran Rangga Gede yaitu Nyimas Romlah putranya Arasuda dari istrinya Nyimas Ngabehi Mertayuda. Nyimas Ngabehi Mertayuda putranya Ratu Cukang Gedeng Waru (Nyimas Sari Hatin) istrinya Prb. Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya).
Dari Istri pertama Nyimas Romlah, pangeran Rangga Gede, berputra : Nyimas Habibah / Nala Wangsa (Ninin) yang dinikah oleh Duhiman (Iwan Tohidi / Eyang Lurah) di Cipancar Sumedang Selatan, berputra :
- Manggala
- Nata
- Wirya
- Wijaya
Makamnya Nyimas Romlah di Cijambe - Legok Paseh Sumedang, berdampingan dengan Buyud Lidah.

2. Istri ke 2, Pangeran Rangga Gede yaitu Nyimas Asidah (Entien) adiknya Sutra Mulut (Makam Tajur - Cipancar Sumedang), yang sama-sama putranya Nyimas Hatimah (Nyimas Sumaenah) istrinya Sutra Bandera (Sastra Pura Kusumah) putranya Prabu Nusiya Mulya dari Nyimas Euis Oo Imahu (Harom Muhtida).
Dari istri ke 2, Nyimas  Asidah (Entien), pangeran Rangga Gede, berputra : 
- Bagus Weruh / Rangga Gempol 2 (mp. 1633-1656 M), dimakamkan di Gunung Puyuh 

3. Isrri ke 3, Pangeran Rangga Gede yaitu Nyimas Roro (Kokom Ruhada), putranya Prabu Nusiya Mulya (Panembahan Pulosari) dari Nyimas Euis Oo Imahu.

Putra-putri Pangeran Rangga Gede
Menurut buku tulisan "Naskah Asli Babon Silsilah Keturunan Sumedang", Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV), berputra :
1. Dalem Aria Bandayuda 
2. Dalem Djajoeda 
3. Dalem Wargaita 
4. Dalem Wangsa Subaya
5. Dalem Rangga Gempol II (Kusumahdinata V)
6. Dalem Lurah 
7. Rd. Singamanggala 
8. Ki Wangsaparamadja 
9. Ki Wiratama 
10. Ki Wangsaparadja 
11. Ki Djasinga 
12. Ki Wangsasabadra 
13. Kiyahi Anggatanoe 
14. Ki Martabaja 
15. NM. Anggadasta 
16. NM. Nataparana 
17. NM. Arjapawenang 
18. NM. Martarana 
19. NM. Djagasatroe 
20. NM. Wargakarti 
21. NM. Bajoen 
22. NM. Wangsapatra 
23. NM. Warga Komara 
24. NM. Joedantaka 
25. NM. Toean Soekadana 
26. NM. Oetama 
27. NM. Kawangsa 
28. NM. Wirakarti 
29. NR. Nalawangsa

Ketika penulis berjiarah ke makam karuhun Rangga Gede bersama Aria Bayu Kusumah Adinata, saya menanyakan tentang Sejarah karuhun Pangeran Rangga Gede, namun Pak Kuncen juga kurang memahami sejarah Bupati Pangeran Rangga Gede, maka ada baiknya saya mengulas sedikit sejarahnya pasca Kerajaan Sumedanglarang atau sepeninggal Kerajaan Sumedang Larang pasca Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angkawijaya).


PRAKATA 
Asal mula Sumedang berasal dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih (678 – 721 M) putra Aria Bima Raksa / Ki Balagantrang Senapati Galuh cucu dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh. Kerajaan Tembong Agung berada di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pada masa Prabu Tajimalela (721 – 778 M) putra dari Guru Aji Putih di bekas Kerajaan Tembong Agung didirikan Kerajaan Sumedang Larang. Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang bandingnya” (Su = bagus, Medang = luas dan Larang = Tanah / Wilayah).

Masa kejayaan Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M) ketika pada masa pemerintahan Pangeran Santri / Pangeran Kusumahdinata I raja Sumedang Larang ke-8 ayah dari Prabu Geusan Ulun pada tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda Padjajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9. Ketika dinobatkan sebagai raja Prabu Geusan Ulun berusia + 23 tahun menggantikan ayahnya Pangeran Santri yang telah tua dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M kerajaan Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten

Yang akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Padjajaran dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi. Pemberian pusaka Padjajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadinya Kabupaten Sumedang.

Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.


DARI MASA KERAJAAN KE MASA KABUPATEN
Pada tahun 1601 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa, pada masa Aria Soeriadiwangsa kekuasaan Sumedang Larang di daerah sudah menurun dan Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa pergi ke Mataram untuk membantu Mataram pada tahun 1620 menaklukan Sampang Madura. 

Wilayah bekas kerajaan Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Sumedang pertama dan diberi gelar Rangga Gempol I (1601 – 1625 M). 

Sumedang menjadi bagian dari wilayah Mataram dengan assumsi : 
1. Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, 

2. menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang. 

3. Menghindari pula serangan dari Cirebon dan VOC. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol I adalah Bupati Sumedang yang merangkap sebagai Bupati Wadana Priangan pertama (1601 – 1625 M).

Yang akhirnya wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun menjadi wilayah Sumedang sekarang. 

Berakhirlah sudah kerajaan Sunda terakhir Sumedang Larang di Jawa Barat Sumedang memasuki era baru yaitu Kabupaten pada tahun 1620 sampai sekarang. Sejak menjadi Kabupaten, Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 M yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai Pangeran Kornel.


BEKAS IBU KOTA KERAJAAN



BEKAS IBUKOTA KABUPATEN


SUMEDANGLARANG PASCA PRABU GEUSAN ULUN

1. WEDANA BUPATI
Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang pertama yang memiliki keabsyahan sebagai penerus tahta Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan atribut raja Pajajaran dan 44 Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah setingkat bupati.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M, Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk Pangeran Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad Pajajaran Pangeran Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing) Mataram.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya, dan istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan tahtanya kepada Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri kedua, bukan kepada Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai kebiasaan yang dilakukan para raja sebelumnya.

Dugaan pemberian tahta kepada Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan Ratu. Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpms Jawa Barat).

Menurut Babad, Harisbaya tertarik oleh Geusan Ulun, karena keterikatan Cinta Lama bersemi kembali ketika Pangeran Geusan Ulun, Pangeran Panembahan Cirebon dan Ratu Harisbaya sama-sama mesatren di Mataram memperdalam ajaran agama Islam. Singkat cerita ketika Pangeran Geusan Ulun di Undang pada suatu Acara Keraton di Cirebon, pada waktu tengah malam ia meninggalkan suami yang tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam Tajug keraton untuk mengajak Pangeran Geusan Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian keadaannya, Pangeran Geusan Ulun tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan jaminan apa-apa kepada Harisbaya. Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah putranya Harisbaya, padahal putra sulungnya adalah Rangga Gede putra Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang pertama. Penunjukan Suryadiwangsa, putra Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada “jaminan” dari Geusan Ulun kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Harisbaya yang “tergila-gila” melainkan dua-duanya. Jaminan itu pula tentu yang mendorong Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang Raja. Di Cirebon tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.


1.1 Pangeran Aria Suriadiwangsa (Rangga Gempol 1)
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa sampai sekarang masih membuahkan perdebatan, karena ada versi yang menjelaskan, : ketika Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah mengandung, sehingga Soeriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan Ratu, suami pertama Harisbaya.

Hardjasaputra, didalam bukunya tentang : Bupati Priangan, dijelaskan, bahwa : setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria Soeriadiwangsa (1608 - 1624). Namun rpms Jawa Barat menjelaskan dengan menguraikan waktu peristiwa, bahwa : “Soeriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan Ulun. Menurut Babad Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari. Jadi, idah bisa menunjukan bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam keadaan mengandung.”

Dalam pembahasan rpms Jawa Barat sebelumnya menjelaskan pula, bahwa : “menurut Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi, sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira 10 April 1587), jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan dari Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”. Disisi lain tidak pernah ditemukan adanya kisah yang menjelaskan, bahwa Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya dinikahi oleh Geusan Ulun. Kiranya memang Aria Soeriadiwangsa  (Rangga Gempol 1) adalah putra dari Geusan Ulun.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa ada dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni penyerahan Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624 M, dan masalah yang terkait dengan penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama Pengeran Arya Soeriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia dijatuhi Hukuman Mati oleh Sultan Agung (Mataram).


1.2 Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya ada dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten (1579). Sumedang Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan ketika masa Geusan Ulun, sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530 M, kemudian menjadi Kabupaten sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.

Menurut Hardjasaputra : “Pada tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang memerintah Mataram pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun digantikan oleh Raden Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1)

Penyerahan Sumedang Larang kepada Mataram tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar Jawa Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya menguasai Nusantara.

Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak meneruskan Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saat diistrenan Geusan Ulun menggunakan atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul, namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia pun merupakan penguasa Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas dari negara lain, karena pasca wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang Larang menjadi suatu daerah setingkat kabupaten yang berada dibawah daulat Mataram, bukan berarti tunduk kepada Mataram, tetapi sebagai mitra karena ada keterkaitan kekerabatan kepada Ratu Harisbaya.

Pada masa pemerintahan Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1), kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645 M), Mataram (islam) mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat. Pada masa inilah Sumedanglarang diserahkan kepada Mataram (1620 M)???

Banyak kisah yang menjelaskan tentang alasan Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) menyerahkan Sumedang menjadi dibawah daulat Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang bersebarangan ini tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan Geusan Ulun, terutama kaitannya dengan posisi Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1), sebagai putra tiri atau anak kandung “pituin” Geusan Ulun.

Hardjasaputra (hal.21) menjelaskan, bahwa : “Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria Soeriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601 - penj).

Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon, mengingat ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Soeriadiwangsa adalah bukan putra Geusan Ulun, melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon, sehingga tidak mungkin Cirebon menyerang Sumedang.

Hal tersebut berlainan dengan pendapat para penulis rpms Jawa Barat yang meyakini Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) adalah asli anak Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpms Jawa Barat ini, berakibat pula ketika memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada Mataram. Menurutnya : “Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada Mataram. Hal ini merupakan bukti bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia kebiasaan rajanya mendirikan ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak pernah mapan karena tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor lainnya yang mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.

Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan perseteruan Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun). Kedua, kekhawatiran Soeriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon karena ada kekerabatan Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Ratu Ayu Sakluh kakak Panembahan Ratu, maka dengan berlindung dibawah Mataram diniscayakan Cirebon tidak akan menyerang Sumedang.

Penyerahan Sumedang kepada Mataram tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka seluruh wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan Mataram. Dan Sultan Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan demikian di Jawa barat hanya Banten dan Cirebon yang masih dianggap memiliki kedaulatan.

Tentang status penguasa Sumedang pasca penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut : “ untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Soeriadiwangsa menjadi Bupati Priangan (1620-1624 M) sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, yang terkenal dengan sebutan Rangga Gempol. Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).



2. FASE MATARAM
2.1 Hukuman Mati
Penyerahan Sumedang menjadi bawahan Mataram tentunya bertujuan agar Sumedang dapat dilindungi oleh Mataram dari gangguang luar. Konsekwensi logis dari penyerahan ini adalah harus tunduknya para penguasa Sumedang terhadap titah Mataram. Dilain sisi, Sultan Agung memilki strong leadership, jika suatu misi yang diperintahkannya tidak berhasil maka ia tak segan-segan untuk memberikan punishment (hukuman).

Dari kisah Sumedang paling tidak ada dua orang Wedana Bupati yang dikenakan punishment hukuman mati oleh Sultan Agung, yakni Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I (jika memang benar ia dihukum mati) dan Dipati Ukur.

2.2 Rangga Gempol I
Pada tahun 1624  Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol / Rangga Gempol 1),  diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menaklukan Madura, namun setelah Madura ditaklukan Mataram, pada tahun yang sama Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) wafat di Mataram dan dimakamkan di Lempuyanganwangi. 

Lihat Photo-photo Makam Pangeran Soemadiwangsa (Rangga Gempol) di tiga Lokasi yang berbeda di Daerah Istimewa Jogjakarta dibawah ini :

Makam Tangan dan Kaki Rd. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) Di Lempuyangan - Jogja


Makam Badan Rd. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di Jalan Krasak Kotabaru

Makam Badan Rd. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di Jalan Krasak Kotabaru


Makam Kepala Pangeran R. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) 1

Makam Kepala Pangeran R. Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di di Blunyah Gede - Sleman

Peristiwa tersebut menimbulkan beberapa spekulasi. Ada yang menyatakan kematian Rangga Gempol I (Soeriadiwangsa) di Mataram akibat dihukum mati oleh Sultan Agung, sementara pendapat lain menyatakan bahwa misi yang ditugaskan kepada Aria Soeryadiwangsa (Rangga Gempol 1) dianggap berhasil, karena sekalipun terjadi peperangan dan pasukan Madura sangat gigih bertahan, namun Madura dapat ditaklukan Mataram.

Dari salah satu sumber Sumedang menjelaskan, bahwa : “Pada tahun 1624 Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede.

Penaklukan Sampang oleh Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) dari garis keturunan ibu, Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Soeria Diwangsa (Rangga Gempol 1). Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) dari Sumedang. Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) wafat di Mataram dimakamkan di "Lempuyangan Wangi".

Di dalam catatan sejarah lain, menjelaskan, bahwa : Di Madura terdapat lima kerajaan, yakni Arosbaya, Sampang, Balega, Pamekasan dan Sumenep. Kelimanya bersatu untuk menghadapi serbuat Mataram, ketika itu pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Sujonopuro. Pasukan Madura berhasil menahan laju serangan Mataram, bahkan Tumenggung Sujonopuro tewas pada serangan malam hari yang dilakukan pasukan Balega. Pada serangan kedua akhirnya pasukan Madura dapat dikalahkan.

Dalam peristiwa tersebut memang Pangeran Soeria Diwangsa (Rangga Gempol 1) berhasil membujuk bupati Sampang untuk menyerah secara damai, namun ia tidak berhasil membujuk bupati lainnya, sehingga terjadi perang hebat. Peristiwa ini dimungkinkan ditafsirkan sebagai kegagalan Rangga Gempol I menjalankan misinya, ia dijatuhi hukuman mati. Karena memang Sultan Agung selalu menghukum para bawahannya yang gagal melaksanakan tugas. 

Pendapat yang berbeda, seperti yang dimuat didalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, menyatakan, bahwa : pada tahun yang sama ia dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun menurut Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat yang menyimpulkan dari Rutjatan Sadjarah Sumedang memaparkan, bahwa: keberhasilan Rangga Gempol 1 tersebut menjadikan ia sombong dan sesumbar, tanpa Sultan Agung pun ia mampu menaklukan Madura. Ucapannya terdengar oleh Sultan Agung, alasan inilah yang menyebabkan ia dihukum pancung.

Pendapat yang berbeda juga dikemukan oleh R. Lily Djamhur Soemawilaga, dari NKSL menyatakan bahwa : "Pada tahun yang sama ia dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun karena taktik Sumedanglarang dalam menjalankan misi ke Mataram, Pangeran Soeria Diwangsa berniat Makar kepada Sultan Agung yang waktu itu karena kedekatannya dengan Sultan Agung setelah menaklukan Madura dan Sampang sehingga Ia diangkat menjadi Senapati di Mataram, begitu juga secara De Facto Sumedang tidak berada di bawah pengaruh Mataram lain halnya dengan Ciamis, Banten dan Cirebon. Ketika Pangeran Soeria Diwangsa berniat Makar kepada Panembahan Sultan Agung. Bisik-bisik makar tersebut terdengar oleh Sultan Agung, sehingga menyebabkan Sultan Agung di Hukum Pancung.

Pada saat Rangga Gempol I menjalankan misinya ke Madura, jabatan Wedana Bupati Priangan dikuasakan kepada Rangga Gede, adiknya. Pangeran Dipati Rangga Gempol I meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II yang menuntut haknya sebagai putra mahkota. Akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Rangga Gede. Dalam suatu serangan, Rangga Gede tidak mampu menahan laju serangan Banten dan melarikan diri ke Mataram, sehingga ia diberikan sanksi politis dan ditahan di Mataram.

Kisah ini agar berbeda dengan versi lainnya. Menurut sumber Sumedang dijelaskan, bahwa serangan Banten ke Sumedang untuk memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa terjadi pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Namun dalam catatan sejarah, bahwa pada peristiwa ini memang Rangga Gede tidak sanggup menahan pemberontakan Suradiwangsa II, iapun melarikan diri ke Mataram. Sedangkan jabatan Wedana Bupati oleh Sultan Agung diserahkan kepada Dipati Ukur.


2.3 Dipati Ukur
Kegagalan Rangga Gede mengakibatkan Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Wangsanata yang dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, penguasa tanah Ukur yang berpusat di Bandung Selatan (Krapyak). Ketika itu kekuasaan Dipati Ukur membawahi wilayah Sukapura, Sumedang, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Dipati Ukur berasal daerah Purbalingga (Banyumas), ia menikah dengan Nyi Gedeng Ukur, putri Umbul Ukur. Kedudukannya sebagai Dipati Ukur karena menggantikan jabatan mertuanya.

Sultan Agung pada tahun 1628 memerintahkan Dipati Ukur untuk menyerang benteng Batavia, namun Dipati Ukur mengalami kegagalan dan ia tidak melaporkan ke Mataram, akibatnya ia dicap melakukan pemberontakan.

Tentang kisah Dipati Ukur, Soeria di Radja (1927) menemukan delapan versi, tentunya ada persamaan dan ada perbedaannya. Versi-versi tersebut, seperti dari Sumedang, Bandung Sukapura, Galuh, Banten, Talaga, Mataram dan Batavia (Hardjasaputra, 23). Mungkin jika saat ini diinventaris akan lebih banyak lagi, baik yang bersumber dari hasil penelitian sejarah maupun dari kepustakaan.

Versi sejarah resmi di terbitkan pada tahun 1990-an, diperuntukan bagi konsumsi anak-anak pelajar SMP Kelas 3 di Jawa Barat, diterbitkan Geger Sunten – 1990. Buku tersebut menjelaskan sebab musabab Dipati Ukur melakukan pemberontakan, sangat jarang diuraikan di dalam sejarah dan catatan lainnya, kecuali kegagalan Dipati Ukur melakukan serangan ke benteng Batavia yang menyebabkan pembangkangan serta penangkapannya yang dilakukan oleh para umbul Priangan.

Didalam buku sejarah tersebut (hal 78) intinya menjelaskan, bahwa : Sultan Agung melihat adanya kekuatan Kumpeni Belanda di Batavia yang berhasil menyaingi Banten, ia mengajak Kumpeni untuk menaklukan Banten dan ditolak Kumpeni. Sultan Agung kemudian meminta kepada Kumpeni agar diakui sebagai pertuanan atas wilayah Jayakarta, ditolak Kumpeni. Pada tahun 1624 M ia pun meminta kepada Kumpeni untuk bersama-sama menaklukan Surabaya, juga ditolak Kumpeni, kemudian mendorongnya untuk menyerah Batavia dan mengusir Kumpeni dari daerah perbentengan di Batavia. (Hal. 78).

Pada tahun tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Dalam catatan sejarah pada umumnya hanya disebutkan, bahwa Dipati Ukur gagal menunaikan tugasnya dan ia melakukan pembangkangan karena takut dihukum. Jarang diuraikan penyebab kegagalannya sebagai akibat komunikasi antara Dipati Ukur dengan Tumenggung Bahureksa.

Gelombang serangan pertama Mataram dilakukan melalui laut, dipimpin Tumenggung Bahureksa, selain itu Sultan Agung memerintahkan pasukan Priangan untuk membantu serangan melalui darat yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Kedua pasukan tersebut ditentukan untuk bertemu di Karawang. Ternyata pasukan Priangan lebih dahulu tiba di Karawang.

Setelah ditunggu satu minggu pasukan Bahureksa belum juga tiba, pada akhirnya Dipati Ukur berinisiatif menyerah Batavia tanpa bantuan pasukan Bahureksa. Pasukan Dipati Ukur berhasil dipukul mundur, karena tidak cukup kuat untuk menyerang benteng Batavia yang sangat kokoh. Selang beberapa saat pasukan Bahureksa tiba di Karawang, namun ia tidak menjumpai pasukan Dipati Ukur. Dengan sangat marah ia pun menyerang benteng Batavia, ia pun berhasil di pukul mundur dan kembali ke Mataram.

Sultan Agung sangat marah atas kegagalan ini, ia memerintahkan pasukan Mataram untuk memanggil Dipati Ukur. Sayangnya pasukan Mataram tidak menemukan Dipati Ukur di krapyak, karena saat itu Dipati Ukur masih memusatkan kekuatannya diperbatasan Jayakarta untuk menyerang benteng Batavia kembali. Namun ia mendapat laporan dari salah satu wanita penduduk Tatar Ukur yang berhasil meloloskan diri, bahwa : pasukan Mataram di tatar ukur melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan mengganggu kehormatan wanita-wanita. Kondisi inilah yang memicu pemberontakan Dipati Ukur. Berkat bantuan tiga orang umbul Priangan, yakni : Kiwirawangsa Umbul Sukakerta ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti ; Ki Somahita Umbul Sindangkasih, pihak Mataram dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur pada tahun 1632.

Hal yang patut diketahui, bahwa : dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan penguasa daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti raja yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati vassal dalam arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.

Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama ini kita dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura diuraikan didalam Sejarah Galuh, disusun oleh Raden Padma Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Naskah tersebut antara lain menjelaskan, sebagai berikut :

255 : Heunteu kocap dijalanna – Di dayeuh Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris – Gunung Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung ngan hiji -Geus diangseug eta ku gagaman perang.

256 : Dipati Ukur sadia – Batuna digulang galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna sok pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan

257 : Urang mundur ka Sumedang – Didinya Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada mikir – Emut ku Dipati Galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma bangkit – Seg disaur ana datang diperiksa

258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna kawula meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti – Nanging kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira sagede leuit – Dingaranan Batu Simunding lalampah.

259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan nanjak – Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung datang – Dibunuh geus burak-barik.

260 : Nu sabeulah seug dicandak – Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur – Ngarana batu layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur enggeus ruksak – Ukur ditangkap sakali.

276 : Hariring katu nimbalang – Eta maneh bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati

279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga – Jeung bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih


2.4 Terakhir
Terhadap perbedaan versi ini sangat mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang tanah ukur – Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan seke selernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.

Pada akhirnya saya hanya bisa mencuplik salah satu “Tawis Katineung Ti Panglawungan Tembang Sunda Pamager Asih Bandung” (Renjagan), tentang proses dan makna penggalian sejarah, sebagai berikut :
Renjagan diri para aji
Ngarenjag para pujangga
Bejana pabeja-beja
Beja dibejakeun deui
Silih gitik ku pangarti
Lali kadiri pribadi.



3. PEMBAGIAN AJEG
Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dari 1628-1632 M. Hal tersebut menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.

Pembagaian wilayah tersebut menurut Hardjasaputra (hal 23) menjadi sebagai berikut : Pertama, Daerah Karawang, lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada dibawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan.

Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi empat Kabupaten. Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkan sebagai Wedana Bupati Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang. Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut, Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, yakni : Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut sebagaimana ditulis dalam suatu Piagem.

Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.

Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojonglopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena ia dianggap berjasa menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.


3.1 Pasca Sultan Agung
Sultan Agung wafat pada pada tahun 1645 M, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi (1645 – 1677).

Kebijakan Sunan Amangkurat I terhadap daerah bawahannya pada umumnya sama dengan yang dilakukan Sultan Agung, terutama dalam hal melakukan reorganisasi kabupaten. Wilayah Mataram di bagian barat pada tahun 1656 – 1657 dibagi menjadi 12 Ajeg (setingkat Kabupaten), sembilan ajeg saat ini berada diwilayah Jawa Barat dan tiga ajeg saat ini termasuk wilayah Jawa Tengah.

Alasan Sunan Amangkurat I membagi daerah tersebut dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan Kompeni Belanda di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun beranggapan untuk memperkuat Priangan Barat.
Sembilan ajeg yang berada diwilayah Jawa Barat tersebut, yakni :
(1) Sumedang didperintah oleh Pangeran Rangga Gempol III.
(2) Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
(3) Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
(4) Sukapura diperintah oleh Wiradadaha.
(5) Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
(6) Imbanagara diperintah oleh Ngabehi Ngastanagara.
(7) Kawasen diperintah oleh Mas Managara.
(8) Galuh oleh Wirabaja.
(9) Sekace.
Khusus Sakace terdapat perbedaan versi antara Babad Cirebon dan Babad Pasundan, karena babad Cirebon tidak mengenal daerah Sekace melainkan Sindangkasih, sama dengan yang dijelaskan para penulis dalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat.

Reorganisasi ini juga menghapuskan jabatan wedana bupati di Priangan, terakhir dijabat oleh Pengeran Rangga Gempol III atau dikenal pula dengan sebutan Pangeran Panembahan, bupati Sumedang pada periode 1656 – 1706.

Reorganisasi daerah Priangan mengakibatkan jabatan bupati Sumedang, yang semulai bergelar “Pangeran” menjadi sederajat dengan bupati lainnya di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24).


4. MENGEMBALIKAN KEJAYAAN
Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Pasca wafatnya Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan menjadi lemah. Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah kekuasaan lainnya yang semula dikuasai Mataram.

Mataram menjadi sangat lemah karena perselisihan diantara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak berkesudahan. Disamping itu, kerap terjadi serangan dari luar, seperti dari pasukan Makasar dan Madura. Amangkurat II didalam cara menyelesaikan masalah tersebut banyak meminta bantuan VOC. Bantuan yang diberikan tidak Cuma-Cuma, karena harus dibayar dengan beberapa wilayah yang dikuasainya.

Priangan khususnya dan sebagian Jawa Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Mataram akibat diserahkan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa, mengalami nasib yang tidak kalah menyedihkan, daerah ini terpaksa harus diserahkan kepada VOC, sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada VOC.
Pada mulanya wilayah Priangan Tengah dan Barat diserahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirundung permasalahan, dan terus menerus meminta bantuan VOC.

Priangan diserahkan melalui dua tahap, yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian 19-20 Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Pada tahap kedua pada perjanjian 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Mataram sendiri secara total menjadi kekuasaan VOC pada tahun 1757. (Hardjasaputra, hal 31).

Tentang proses waktu tersebut, sumber Sumedang mengisahkan adanya eksistensi Pangeran Rangga Gempol III yang berupaya mengembalikan kejayaan Sumedang, sebagaimana pada masa Sumedanglarang ketika masih dikuasai Prabu Geusan Ulun. Kisah ini disitir didalam rpmsJB, : Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).

Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) dikenal sebagai bupati yang cerdas dan pemberani. Ketika diangkat menjadi penguasa Sumedang bergelar Kusumahdinata VI, kemudian menyandang gelar Pangeran Panembahan. Suatu gelar yang diberikan Amangkurat I Mataram atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram.

Kekuasaan Rangga Gempol III di anggap wilayah Mataram yang paling besar di Priangan. Namun sejarah mencatat, bahwa Pangeran Gempol III adalah bupati Sumedang yang merangkap Wedana Bupati Priangan terakhir, untuk kemudian status para bupati Sumedang dianggap sederajat dengan bupati lainnya.

Sebagaimana dijelaskan diatas, pasca wafatnya Sultan Agung mengakibatkan Mataram menjadi lemah, hal tersebut akibat banyak gangguan stabilitas dari dalam dan luar keraton. Untuk mengatasi permasalahannya Mataram kerap meminta bantuan VOC. Bantuan tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar dalam bentuk penyerahan wilayah kekuasaannya kepada VOC.

Dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap VOC, konon pada tahun 1652 Mataram mengadakan perjanjian lisan dengan VOC untuk memberikan hak pakai secara penuh atas daerah sebelah barat Sungai Citarum. Wilayah tersebut berada diluar wilayah Sumedang. Ketika itu Sumedang berada dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh (Rangga Gempol II) putra daripada Pangeran Rangga Gede


4.1 Penghapusan Wedana Bupati
Menurut Hardjasaputra, kira-kira tahun 1657 Amangkurat I membagi daerah priangan, dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan VOC di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun memperkuat Priangan Barat.

Reorganisasi tersebut dilakukan pada masa Rangga Gempol III menjabat “Wedana Bupati Priangan” dan sekaligus merangkap sebagai penguasa Sumedang (1656 – 1706). Para bupati Sumedang sebelumnya bergelar “Pangeran”, dengan adanya reorganisasi maka Rangga Gempol menjadi sederajat dengan bupati lainnya yang ada di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan.

Masalah ini dianggap merugikan Rangga Gempol III, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakan muncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24)

Tentang masalah konflik tersebut, mungkin ada hubungannya dengan sumber Sumedang yang menghubungkan alasan Rangga Gempol III merebut kabupatian lain yang dibentuk Mataram pada masa Rangga Gempol II, seperti Bandung, Parakan Muncang dan Sukapura. Hal tersebut dikisahkan terjadi pasca Rangga Gempol menguasai pantai utara.


4.2 Akibat Perjanjian Mataram
Sumber Sumedang menjelaskan adanya perjanjian lisan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1652, mungkin yang dimaksud adalah perjanjian pinjam pakai atas tanah, namun VOC merasa tidak puas dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1677 dilakukan perjanjian secara tertulis. Konon dari pihak Sumedang dihadiri oleh Rangga Gempol III. Salah satu butir perjanjian menyebutkan batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan tersebut oleh Amangkurat I ditolak, dengan alasan daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk kekuasaan kabupatian Sumedang dan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk wilayah Sumedanglarang ketika masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun.
Penolakan Mataram diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut, namun VOC meminta agar daerah yang dikuasainya sebagai hak pakai yang diberikan Mataram pada tahun 1652 menjadi milik VOC.

Ada kisah dari versi lain yang berasal dari penelitian, bahwa : “Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19 – 20 Oktober 1677 tersebut menyebabkan Priangan Barat dan Priangan Tengah jatuh ketangan VOC”. (Hardjasaputra, Hal 31).

Memang Hardjasaputra (2004) tidak menjelaskan ada upaya dari Rangga Gempol III untuk mengembalikan wilayah Sumedang sebagaimana pada masa Prabu Geusan Ulun, bahkan didalam tulisannya tidak ditemukan adanya perjanjian lisan yang dibuat pada tahun 1652. Namun sumber Sumedang menyatakan, bahwa : Keinginan Rangga Gempol untuk mengembalikan wilayah kerajaan Sumedanglarang tentunya sangat sulit dilaksanakan, wilayah tersebut sudah dikuasai oleh Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Oleh karena itu Rangga Gempol III baru dapat memperluas wilayahnya ke pantai utara, seperti Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang masih termasuk kekuasaan Mataram.

Sumedang pada masa sebelumnya sangat tergantung kepada Mataram dan tidak memiliki pasukan yang kuat. Untuk memperkuat posisi Sumedang di pantai utara, maka Rangga Gempol III meminta bantuan Banten. Kebetulan saat itu Banten masih konflik dengan Mataram disebabkan Mataram sangat dekat dengan VOC. Banten menyambut baik permintaan ini, dan meminta Sumedang bergabung dengan Banten untuk menyerang VOC dan Mataram.

Permintaan Banten demikian mengurungkan niat Pangeran Panembahan untuk menerima bantuan Banten, mengingat ada kekhawatiran terjadi kembali peristiwa Raden Suriadiwangsa II (lihat : Bab pembagian Ajeg), ia pun memperhitungkan pasukan VOC yang sangat kuat dan tidak mungkin pada masa itu dapat dikalahkan.

Pembatalan rencana permintaan bantuan Banten menimbulkan pula kekhawatirannya akan serangan Banten dikemudian hari. Untuk alasan ini Rangga Gempol III mengirim surat kepada VOC, isinya memohon bantuan untuk menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara agar dapat mencegah pasukan Banten, sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh langsung oleh Sumedang. Surat tersebut dikirimkan pada tanggal 25 Oktober 1677. Sebagai imbalan, Rangga Gempol memberikan daerah antara Batavia dan Indramayu.

Jika dilihat dari wilayah yang dihadiahkan kepada VOC, sebenarnya Sumedang tidak merasa kehilangan, mengingat daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan perjanjian tahun 1677. Disisi lain, perjanjian Mataram dengan VOC pada 25 Februari dan 20 Oktober 1677 memberikan keuntungan langsung bagi Sumedang, karena dengan dikuasainya daerah tersebut oleh VOC maka secara otomatis VOC akan menempatkan pasukannya untuk menjaga wilayah tersebut dan dapat menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang. Konon masalah ini tidak disadari VOC pada waktu itu, bahkan menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat.

Untuk memperkuat posisinya diluar wilayah Sumedang, Rangga Gempol III juga mengadakan hubungan dengan penguasa Batulajang (bagian selatan Cianjur), yakni Rangga Gajah Palembang, cucu (mungkin juga putra) Dipati Ukur.

Langkah Rangga Gempol III selanjutnya, ia menyerang wilayah pantai utara, seperti daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi. Daerah tersebut sangat mudah dikuasai, bahkan di Ciparigi ditempatkan pasukan Sumedang untuk mempersiapkan menyerang Karawang. Langkah selanjutnya perluasan wilayah diarahkan ke Indramayu, namun Indramayu segera mengakui Rangga Gempol III sebagai penguasa Indramayu. Dari bertambahnya daerah kekuasaan Sumedang maka secara praktis daerah pantai utara Jawa, kecuali antara Batavia dan Indramayu menjadi bawahan Sumedang


4.3 Serangan Banten
Kekhawatiran Rangga Gempol III terhadap Banten terbukti ketika ia sibuk menaklukan pantai utara, sementara Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.

Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes, memutar jalur perjalanan dari Tangerang ke Patimun Tanjungpura, sehingga berhasil lolos dari penjagaan VOC.

Perjalanan tersebut tiba di Sumedang pada bulan Oktober, namun pasukan Banten tidak dapat menguasai Ibukota Sumedang karena kokohnya pertahanan Rangga Gempol III. Dari pertempuran yang memakan waktu kurang lebih satu bulan, pasukan Banten kehilangan senapatinya yang tangguh, yakni Raden Senapati.

Kegagalan Banten pada serangan pertama disebabkan huru hara di intern Kesultanan Banten, mengingat adanya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa yang memerlukan pasukannya untuk menghadap putranya, yakni Sultan Haji yang dibantu Belanda, sehingga pasukan Banten ditarik mundur dari Sumedang.

Untuk memperkuat posisinya Sumedang meminta bantuan VOC, terutama senjata dan mesiu. Didalam buku rpmsJB dijelaskan mengenai jalur pengiriman bantuan tersebut, melalui sebelah utara Gunung Tampomas, yakni dari muara Ciasem dengan menggunakan rakit sampai di Cileungsing, untuk kemudian dilakukan melalui jalan darat (Hal. 52).

Bantuan VOC tersebut tidak mendapat kompensi dari Sumedang, karena Rangga Gempol III tidak taat terhadap janjinya ; tidak pernah datang ke Batavia untuk melakukan Sowan, sebagaimana layaknya penguasa wilayah jajahan ; dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti. Akibatnya, VOC menarik pasukannya dari pantai utara. Namun ada versi lain yang mempertanyakan, apakah memang penarikan pasukan VOC disebabkan Rangga Gempol ingkar janji, mengingat kuatnya pasukan VOC yang sewaktu-waktu dapat menyerang Sumedang atau dipersiapkan untuk membantu Sultan Haji yang sedang melakukan pemberontakan di Surasowan.

Pasca menguasai pantai utara, Rangga Gempol III mengalihkan perhatiannya untuk menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram, yakni Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura. Rangga Gempol III menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedanglarang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada tahun 1677.

Kisah ini berbeda dengan apa yang ditulis didalam buku rpmsJB jilid empat dijelaskan, bahwa : Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari 44 daerah yang semula dikuasai Geusan Ulun. Selebihnya sudah menjadi bawahan Bandung (8 daerah), Parakan Muncang (9 daerah) dan Sukapura 16 daerah (Hal. 57).

Kisah yang sama ditemukan pada versi lain, namun hanya mengisahkan adanya perselisihan antara Rangga Gempol III dengan para bupati yang dibentuk Mataram, yakni bupati Bandung, Parakanmuncang dan Sukapura, sebagai dampak dihapusnya jabatan Wedana Bupati yang semula di sandang Rangga Gempol III menjadi sejajar statusnya dengan bupati lain yang ada di Priangan. Sementara Rangga Gempol III masih menganggap para bupati tersebut sebagai bawahannya. Kisah ini tidak sampai pada uraian tentang keberhasilan Rangga Gempol menguasai kembali kabupatian di Priangan Tengah, karena hanya dikisahkan sebatas “ada persilihan”.

Pada masa kekuasaan VOC disadari, bahwa para bupati Priangan memiliki wibawa dan pengaruh terhadap rakyatnya. Akan tetapi disadari pula, pengangkatan salah seorang bupati Priangan untuk menjadi Bupati Kepala akan menimbulkan konflik diantara para bupati seperti yang terjadi pada Vasaal Mataram. Atas dasar pertimbangan ini kemudian VOC mengangkat bupati kepala yang berasa dari luar Priangan. Oleh karena itu VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon untuk menjadi Bupati Kepala (Bupati Kompeni), sebagaimana terdokumentasikan didalam Besluit tanggal 19 Februari 1706. Bupati Kepala bertugas mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati Priangan, agar mereka melaksanakan kewajiban terhadap VOC secara tertib dan lancar (Hardjasaputra – 2007).


5. KEKUASAAN VOC
Serangan Banten ke dua dilakukan pada awal oktober 1678. Pada awalnya pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan. Pada masa itu daerah-daerah tersebut sudah tidak lagi dijaga pasukan VOC.

Penyerangan ke jantung kekuasaan Sumedang terlebih dahulu dilakukan dengan mengepung Sumedang. Hal ini dalukan oleh gabungan pasukan Banten, Bali dan Bugis, bertepatan pada awal bulan puasa, hari jum’at tanggal 18 Oktober 1678. Konon kabar pasukan gabungan tersebut di pimpinan oleh Cilikwidara dan Cakrayuda. Pelaksanaan penyerangan dilakukan tepat Hari Raya Idul Fitri, ketika itu Rangga Gempol III beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong. Tentunya siapapun tidak akan ada yang pernah menduga serangan tersebut akan dilakukan pada waktu shalat ied, apalagi penyerang dan yang diserang sama-sama memiliki ciri islam yang kental. Akibatnya banyak kerabat keraton dan rakyat Sumedang yang tewas, namun Rangga Gempol berhasil meloloskan diri ke Indramayu.

Rangga Gempol III pada masa pelariannya berupaya mengumpulkan sisa-sisa kekutan. Dengan bantuan dari Galunggung pada akhirnya Sumedang dapat direbut kembali. Namun pada medio Mei 1679 Banten kembali menyerang Sumedang dengan pasukan lebih besar, akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Banten, sementara itu Rangga Gempol III terpaksa mundur kembali ke Indramayu.

Pendudukan Sumedang oleh pasukan Banten hanya berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1680, karena pasukan Banten ditarik untuk mendukung Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang menghadapi Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Dalam konflik ayah dengan anak tersebut dimenangkan Sultan Haji. Menurut Untoro (2007) : sejak masa kekalahan Sultan Ageung Tirtayasa oleh Sultan Haji, secara praktis kedaulatan Banten runtuh, apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1984 (Hal. 41). Banten pada masa Sultan Haji tidak lagi mengganggu Sumedang, bahkan Sultan Haji berjanji kepada VOC, bahwa : Banten tidak akan mengganggu Cirebon dan Sumedang.

Pada tanggal 27 Januari 1681 Rangga Gempol III kembali ke Sumedang. Kemudian pada bulan Mei 1681 Rangga Gempol III memindahkan pusat pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan atau daerah Sumedang (sekarang) dan membangun gedung Srimanganti (saat ini menjadi Museum Prabu Geusan Ulun), namun tidak sempat disaksikannya, karena pada tahun 1706 Rangga Gempol III wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh.

Menurut buku rpmsJB, Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).

Pada perjanjian tanggal 5 Oktober 1705, antara Mataram dengan VOC, wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan kepada VOC, dengan demikian seluruh Jawa Barat dan Banten praktis menjadi wilayah kekuasaan VOC, sedangkan Mataram diserahkan kepada VOC pada tahun 1757.

Rangga Gempol III digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Kemudian didalam salah satu piagamnya yang bertanggal 15 November 1684, VOC mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah atas nama VOC. Pada peristiwa ini jumlah penduduk (cacah) yang berada dibawah masing-masing wilayah sudah ditentukan serta dijadikan ukuran kekuasaan para bupati. Hemat saya, hal ini dilatar belakangi oleh kepentingan VOC untuk memaksimalkan potensi masing-masing wilayah dalam mengelola hasil buminya, semakin produktif daerah tersebut maka semakin besar penghasilan yang didapat VOC.

Menurut de Klein dan Natanegara didalam Volks Almanak Sunda, masing-masing bupati tersebut memperoleh cacah, sebagai berikut : 
(1) Pangeran Sumedang 1015 cacah ; 
(2) Demang Timbanganten 1125 cacah ; 
(3) Tumenggung Sukapura 1125 cacah ; 
(4) Tumenggung Parakanmuncang 1076 cacah ; 
(5) Gubernur Imbanagara 708 cacah 
(6) Gubernur Kawasen 605 cacah 
(7) Lurang-lurah Bojonglopang 20 cacah dan 10 Desa. (Hardjasaputra, hal. 32).


6. RANGGA GEMPOL 1 / PANGERAN ARIA SOERIA DIWANGSA
Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.

Pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625 M). 

Pada tahun 1614 M Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC . Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempo l1 dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol 1. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol 1 dari Sumedang.

Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706).

Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Soeria diwangsa II).


7. SEJARAH TASIKMALAYA DALAM KAITANNYA DENGAN PANGERAN RANGGA GEDE

Cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya berasal dari Umbul Surakerta dengan ibukotanya Dayeuh Tengah. Daerah ini sekarang menjadi nama sebuah desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Salopa, kira-kira 5 km sebelah Timur Kecamatan Sukaraja. Pada waktu itu, penguasa Negara Surakerta bernama Sareupeun Cibuniagung. Ia memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyai Punyai Agung (Ageng). Nyai Punyai Agung menikah dengan Entol Wiraha yang menggantikannya menjadi penguasa Surakerta. Dari perkawinan tersebut lahirlah Wirawangsa, yang berkuasa di Surakerta menggantikan ayahnya.

Sewaktu Wirawangsa berkuasa, Surakerta statusnya menjadi umbul. Umbul Surakerta termasuk wilayah Priangan yang dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.

Ketika Dipati Ukur diperintah Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso, Dipati Ukur membawa sembilan umbul, di antaranya, Umbul Surakerta, Wirawangsa. Tetapi Dipati Ukur gagal dalam penyerangan itu. Ia bersama sebagian tentaranya mengundurkan diri ke Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara dekat Gunung Bukitunggul. Tindakannya dianggap oleh Mataram sebagai pemberontakan sehingga Dipati Ukur dikejar-kejar tentara Mataram.

Karena tindakan Dipati Ukur itu dianggap membahayakan, Sultan Agung memerintahkan untuk menangkapnya hidup atau mati dengan suatu perjanjian, bahwa barangsiapa yang berhasil menangkap Dipati Ukur akan diberi anugerah. Pada waktu itu yang menjadi bupati wedana di Priangan sebagai pengganti Dipati Ukur adalah Pangeran Rangga Gede, dan diminta untuk menangkap Dipati Ukur, tetapi tidak berhasil karena dia meninggal pada waktu menjalankan perintah itu.

Dipati Ukur tertangkap di daerah Cengkareng sekarang oleh tiga umbul Priangan Timur, kemudian dibawa ke Mataram, dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati. Ketiga umbul yang ikut menangkap Dipati Ukur adalah Umbul Surakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita. Ketiga umbul tersebut juga menangkap delapan umbul lainnya yang biluk (setia) kepada Dipati Ukur. Atas jasanya, ketiga umbul tersebut diangkat menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala diangkat menjadi mantri agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi mantri agung Parakanmuncang digelari Tumenggung Tanubaya.

Setelah diangkat menjadi mantri agung Sukapura, kota kabupaten pun dipindahkan dari Dayeuh Tengah di Sukakerta ke Leuwi Loa (wilayah desa Sukapura) daerah Sukaraja sekarang, terletak di tepi sungai Ciwulan. Oleh karena ibukota pindah ke Sukapura, nama kabupaten pun disebut Kabupaten Sukapura. Perubahan nama Leuwi Loa menjadi Sukapura berdasarkan alasan karena di Leuwi Loa didirikan pura yang bermakna ‘kraton’ dan suka bermakna ‘asal’ atau ‘tiang’. Jadi, sukapura bermakna jejernya karaton karena di tempat inilah berdirinya bupati Sukapura yang pertama.

Raden Tumenggung Wiradadaha (Wiradadaha I) yang berjasa mendirikan Kabupaten Sukapura wafat, dan dimakamkan di Pasir Baganjing sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Baganjing.

Pengganti Wiradadaha I adalah putranya yang ketiga yang bernama Raden Jayamanggala dengan gelar raden Tumenggung Wiradadaha II. Namun, Wiradadaha II tidak lama berkuasa karena pada tahun pengangkatannya sebagai tumenggung meninggal dunia karena dihukum mati. Keluarganya hanya mendapatkan tambela (keranda) yang berisi mayat Wiradadaha II. Oleh karenaitu, Wiradadaha II terkenal dengan julukan Dalem Tambela.

Setelah meninggal dunia, Raden Wiradadaha II digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Anggadipa I, putra keempat Wiradadaha I. Setelah menjadi bupati, Raden Anggadipa bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III. Dia terkenal sebagai bupati Sukapura terkaya dan memiliki anak sebanyak 62 orang hingga ia dikenal dengan Dalem Sawidak.

Setelah meninggal dunia, Wiradadaha III digantikan oleh anaknya Raden Subangmanggala dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV. Raden Wiradadaha IV meninggal dunia dan dimakamkan di Pamijahan dekat gurunya Syeh Abdul Muhyi dan dikenal dengan sebutan Dalem Pamijahan.

Raden Wiradadaha IV digantikan oleh anak angkatnya yang bernama Raden Secapati. Raden Secapati adalah cucu Dalem Tamela. Setelah diangkat menjadi bupati, dia menggunakan nama Raden Tumenggung Wiradadaha V, tetapi lebih dikenal dengan sebutan Dalem Tumenggung Secapati.

Setelah wafat, Wiradadaha V digantikan oleh putranya yang bernama raden Jayangadireja dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI. Ia menikahi putri bupati Parakanmuncang. Karena sering bertolak belakang dengan pemerintah Kolonial, Wiradadaha VI mengundurkan diri, dan digantikan oleh anaknya Raden Jayamanggala II dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII atau Raden Adipati Wiratanubaya. Karena dimakamkan di Pasirtando, beliau terkenal dengan sebutan Dalem Pasirtando.

Pengganti Wiradadaha VII adalah putranya yang kelima Raden demang Anggadipa dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII. Ia terkenal dengan sebutanh Dalem Sepuh. Ketika ia menolak menanam nila, Wiraradaha VIII dipecat, Sukapura dialihkan ke Kabupaten Limbangan.

Kabupaten Sukapura didirikan kembali dengan bupatinya turunan bupati Sumedang, yakni raden Tumenggung Surialaga, yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem Talun. Dua tahun kemudian, Dalem Talun mengundurkan diri, kabupaten Sukapura diserahkan kembali ke bupati Limbangan. Namun, selanjutnya dikembalikan lagi ke Wiradadaha VIII dari bupati Limbangan, kecuali daerah Suci dan Panembong.

Pada masa kekuasaan Widadaha VIII, Sukapura memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayahnya meliputi sebagian dari Sumedang: Malangbong, Ciawi, Indihiang, Singaparna, dan Tasikmalaya; sebagian dari Galuh: Pasirpanjang, Banjar, Kawasen, Parigi, Cijulang, Mandala, Cikembulan, dan Kalipucang. Wilayah Sukapura asalnya hanya distrik Mangunreja, Panyeredan, Taraju, Sukaraja, Parung, Karang, Cikajang, batuwangi, Nagara (Pameungpeuk), tanah yang luas ini disebut Tanah Galunggung.

Karena terlalu luas, Kabupaten Sukapura dibagi tiga bagian, yakni afdeeling Sukapura Kolot, Sukapura, dan Tasikmalaya. Sukapura Kolot dengan ibukota Mangunreja meliputi dua afdeling, yakni afdeeling Mangunreja (Panyeredan, Karang, Sukaraja, Taraju, Parung), dan afdeeling Cikajang (Batuwangi, Kandangwesi, Nagara, dan Selacau). Sukapura meliputi dua afdeeling, yakni afdeeling Manonjaya (Pasirpanjang, Banjar, Kawasen) dan afdeeling Parigi (Parigi, Cijulang, Mandala, Cikembulan, dan Kalipucang). Afdeeling Tasikmalaya Tasikmalaya mencakup Ciawi, Indihiang, dan Malangbong.

Setelah memiliki wilayah yang luas, ibukota Sukapura di Sukaraja dipindahkan ke Manonjaya. Pada waktu itu, Wiradadaha VIII wafat dan dimakamkan di Tanjung Malaya. Kemudian digantikan oleh adiknya R.T. Danuningrat dengan gelar R.T. Wiradadaha IX, yang membangun Kota Manonjaya. Setelah wafat, Danuningrat digantikan Raden Rangga Wiradimanggala dengan gelar R.T. Wiratanubaya sebagai bupati Sukapura X.

Setelah wafat, R.T. Wiratanubaya lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sumeren. Karena tidak punya anak, Wiratanubaya digantikan oleh Raden Rangga Tanuwangsa dengan gelar raden Wiraadegdaha (bupati Sukapura XI). Kemudian digelari Adipati sehingga namanya menjadi Raden Adipati Wiraadegdaha. Karena diturunkan dari jabatannya, R.A. Wiraadegdaha pindah ke Bogor dan terkenal dengan sebutan Dalem Bogor. Jabatannya digantikan adiknya Raden Demang Danukusumah, patih Manonjaya. Setelah menjadi bupati, namanya menjadi R.T. Wirahadiningrat, bupati Sukapura XII. Dia pernah diberi gelar adipati, mendapat payung kuning, dan Bintang Oranye Nassau, sehingga mendapat sebutan Dalem Bintang.

Dalem Bintang wafat. Penggantinya adalah Raden Rangga Wiratanuwangsa, putranya Dalem Bogor. Setelah menjadi bupati, diganti namanya menjadi R.T. Wiraadiningrat, bupatui Sukapura XIII. Pada masa ini, ibukota Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya. Dia bupati pertama yang mendapat gelar aria, sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Aria.

Setelah wilayah afdeeling Mangunreja menjadi bawahan Sukapura, dan afdeeling Cikajang menjadi bawahan Kabupaten Limbangan, sedangkan Distrik Malangbong dibagi dua, yakni sebagian bawahan Limbangdan dan sebagian bawahan Sumedang. Sejak itulah, Sukapura berubah nama menjadi Tasikmalaya.

Pada awalnya daerah yang disebut Sukapura itu bernama Tawang atau Galunggung. Sering juga disebut Tawang-Galunggung. Tawang berarti ‘sawah’ atau ‘tempat yang luas terbuka’. Penyebutan Tasikmalaya muncul untuk pertama kali setelah Gunung Galunggung meletus sehingga wilayah Sukapura berubah menjadi Tasik ‘danau, laut’ dan malaya dari (ma)layah bermakna ‘ngalayah (bertebaran)’ atau ‘deretan pegunungan di pantai Malabar (India)’. Tasikmalaya mengandung arti ‘keusik ngalayah’, maksudnya banyak pasir di mana-mana.


MASA PEMERINTAHAN RAJA DAN BUPATI SUMEDANG
I. MASA KERAJAAN
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578 (kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri)
10. Pangeran Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun 1578 – 1601

II. MASA BUPATI PENGARUH MATARAM
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III 1656 – 1706

III. MASA PENGARUH KOMPENI VOC
15. Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat 1744 – 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom. 1759 – 1761 19. Dalem Adipati Surianagara II 1761 – 1765 20. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773

IV. MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya 1773 – 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah 1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791

V. MASA PEMERINTAHAN BELANDA
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946

VI. MASA REPUBLIK INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950 (Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)



MASA KABUPATIAN SUMEDANG LARANG
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri : yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki dua puluh orang anak :

Isteri ke 1 : Ratu NM. Gedeng Waru, anak Sunan Pada.
1. Pangeran Rangga Gede / Kusuma Dinata IV
2. Rd. Aria Wiraradja I (keterangan lain menurut babad Banten dan Cirebon Rd. Aria Wiraradja 1 adalah anak dari Ratu Harisbaya) 1)
3. Kiai Kadu Rangga Gede
4. Kiai Rangga Patra Kelana
5. Kiai Aria Rangga Pati
6. Kiai Ngb. Watang
7. NM. Ngb. Martayuda
8. NM. Rangga Wiratama
9. Rd. Rangga Nitinagara
10. NM. Rangga Pamade
11. NM. Dipati Ukur

Isteri ke 2: Ratu Harisbaya, anak Pangeran Adipati Katawengan.
13. Raden Aria Suriadiwangsa II Rangga Gempol I Kusuma Dinata, III
14. Pangeran Tmg. Tegal Kalong

Isteri ke 3 : Ratu NM. Pasarean, anak Sunan Munding Saringsingan, 
15. NM. Dmg. Cipaku

Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya berada dalam pengaruh Mataram namun bukan berarti Sumedang tunduk pada Matara, dan pangkat raja turun menjadi adipati (Bupati).


Silsilah Bupati Sumedang
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II atau Pangeran Angkawijaya,  masa pemerintahan 19 Juli 1556 s/d 1610 M, Raja Sumedang Larang ke 9;  

Dari Isteri Ke 1 Nyi Mas Cukang Gedeng Waru bin Sunan Arya Pada , berputra :
1. Pangeran Rangga Gede / Kusumadinata IV
2. Raden Aria Wirareja I
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kelana / Kalasa / Pangeran Rangga Permana
5. Kyai Aria Rangga Pati
6. Kyai Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda
9. Nyi Mas Rangga Wiratama
10. Nyi Mas Rangga Pamade
11. Nyi Mas Dipati Oekoer

Dari Isteri Ke 2  Harisbaya, berputra :
1. 
Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I atau Kusumadinata III 
2. Pangeran Tumenggung Tegalkalong

Dari Isteri ke 3  Nyi Mas Pasarean, berputra :
1.  Kiyai Demang Cipaku

Menurut Sejarah Limbangan, kelak keturunan Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun (Raja Sumedanglarang 1578 – 1601 M) secara turun temurun menjadi para Bupati Sumedang kecuali 1 (anak tiri), nomor 11, 12 dan 13, yaitu  :


1.  Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I (1601 – 1625 M). Anak tiri Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya. Beliau adalah putra dari Panembahan Ratu Girilaya (Sultan Cirebon). *)
2.  Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633 M) Putra Prabu Geusan Ulun
3.  Raden Bagus Weruh Kusumadinata/Pangeran Rangga Gempol II (1633 – 1656 M)
4.  Pangeran Rangga Gempol III/Pangeran Panembahan (1656 – 1705 M)
5.  Dalem Adipati Tanumaja (1705 – 1709 M) mertua Dalem Wangsadita I (Bupati Limbangan 3 1740 – 1744 M).
6.  Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun (1709 – 1744 M)
7.  Dalem Istri Rajaningrat (1744 – 1759 M) isteri saudara sepupunya Dalem Surianagara I (putra Dalem Wangsadita I Bupati Limbangan 3).
8.  Dalem Adipati Kusumadinata/Dalem Anom (1759 – 1761 M) putra nomor 7.
9.  Dalem Adipati Surianagara II (1761 – 1765) Putra 7.
10. Dalem Adipati Surialaga I/Dalem Panungtung (1765 – 1773 M) putra nomor 7.
11. Dalem Adipati Tanubaya (1773 – 1775 M) asal Parakanmuncang.
12. Dalem Adipati Patrakusumah (1776 – 1789 M) menantu nomor 11.
13. Dalem Aria Sacapati (1789 – 1791 M).
14. Rd. Jamu/Pangeran Kusumadinata/Pangeran Kornel (1791 – 1828 M) Putra nomor 9.
15. Dalem Adipati Kusumahyuda I /Dalem Ageung (1828 – 1833 M)
16. Dalem Adipati Kusumahdinata/Dalem Alit (1833 – 1834 M) putra Dalem Adipati Adiwijaya (Bupati Limbangan Garut 1813 – 1833 M).
17. Rd. Tumenggung Suriadilaga/Dalem Sindangraja (1834 – 1836 M)
18. Rd. Somanagara/Pangeran Suriakusumah Adinata/Pangeran Sugih (1836 – 1882 M) putra nomor 15.
19. Pangeran Aria Suriaatmaja/Pangeran Mekah (1882 – 1919 M)
20. dst.
*) Pangeran Rangga Gempol I (Rd. Aria Suradiwangsa) adalah mertua Pangeran Kusumadiningrat leluhur Dalem Wirawangsa (Bupati Sukapura). 

Adapun Nyi Rd. Rajanagara, kakaknya Pangeran Karuhun/Kusumadinata putra Dalem Tanumaja menikah dengan Dalem Wangsadita I (Bupati Limbangan 3 1740 -1744 M) mempunyai putra Dalem Surianagara I (yang menurunkan para Bupati Sumedang sebagaimana tsb. di atas), Wangsadita II dan saudara-saudara yang menurunkan para Bupati Limbangan)

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki dua puluh orang anak :


Isteri ke 1 : Ratoe NM. Gedeng Waru, anak Sunan Pada 
1. Pangeran Rangga Gede Koesoemadinata IV 
2. Rd. Aria Wiraradja I (keterangan lain menurut babad Banten dan Cirebon Rd. Aria Wiraradja 1 adalah anak dari Ratu Harisbaya)
3. Kiai Kadoe Rangga Gede
4. Kiai Rangga Patra Kelana
5. Kiai Aria Rangga Pati
6. Kiai Ngb. Watang
7. NM. Ngb. Martajoeda
8. NM. Rangga Wiratama
9. Rd. Rangga Nitinagara
10. NM. Rangga Pamade
11. NM. Dipati Oekoer

Isteri ke 2 : Ratu Harisbaya, putri dari Pangeran Adipati Katawengan.
13. Raden Aria Suriadiwangsa II Rangga Gempol I, Koesoemadinata  III
14. Pangeran Tmg. Tegal Kalong

Isteri ke 3 : Ratoe NM. Pasarean, putri dari Sunan Munding Saringsingan, 
15. NM. Dmg. Tjipakoe

Prabu Geusan Ulun merupakan Raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (Bupati).


Silsilah Bupati Sumedang 
Bupati Sumedang / Wedana Bupati Priangan ke 1 (mp. 1620 – 1625), Pangeran Soeriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I. mempunyai 5 orang anak yaitu :
1. Rd. Kartadjiwa
2. Rd. Mangoenrana
3. Rd. Tampangkil
4. NR. Soemalintang
5. NR. Noestawijah
Kisah : Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). 

Setelah menjadi Bupati Pangeran Soeriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.

Pada masa Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol), kesultanan Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Soeriadiwangsa  pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Soeriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. 

Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Soeriadiwangsa mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. 

Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625 M). Pada tahun 1614 M Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC. Pada tahun 1624 M Pangeran Soeriadiwangsa diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede. Penaklukan Sampang oleh Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol). 

Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 - 1633 M). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. 

Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)  meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Kartajiwa meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Kartajiwa, tetapi penyerangan langsung tentara Banten ke Sumedang dilakukan pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706 M). 

Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. 

Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).


Bupati  Sumedang / Wedana Bupati Priangan ke 2 (mp. 1625 – 1633), Pangeran Rangga Gede / Koesmadinata IV,  dikaruniai putra-putri :
1. Dalem Aria Bandajoeda
2. Dalem Djajoeda
3. Dalem  Wargaita
4. Dalem. Wangsasoebaja
5. Raden Bagus Weruh/Daelm. Rangga Gempol II
6. Dalem. Loerah
7. Rd. Singamanggala
8. Ki Wangsaparamadja
9. Ki Wiratama
10. Ki Wangsaparadja
11. Ki Djasinga
12. Ki Wangsasabadra
13. Kiyahi Anggatanoe
14. Ki Martabaja
15. NM. Anggadasta
16. NM. Nataparana
17. NM. Arjapawenang
18. NM. Martarana
19. NM. Djagasatroe
20. NM. Wargakarti
21. NM. Bajoen
22. NM. Wangsapatra
23. NM. Warga Komara
24. NM. Joedantaka
25. NM. Toean Soekadana .
26. NM. Oetama
27. NM. Kawangsa
28. NM. Wirakarti
29. NR. Nalawangsa .
Kisah : Seperti di cerita diatas, sejak Pangeran Rangga Gempol III pergi ke Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh saudaranya Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV (1625 – 1633).


Bupati Sumedang ke 3 (mp. 1633 – 1656)  Raden Bagus Weruh atau Dalem Rangga Gempol II  / Koesoemadina V, dikaruniai 29 putra-putri :
1. Rd. Wirakara
2. Pangeran Panembahan/Rangga Gempol III
3. Rd. Bagoes
4. Rd. Wanggamanggala
5. Rd. Tanoesoeta
6. Rd. Martajoeda
7. Rd. Soetaningdita
8. Kiai Moegopar
9. Kiai Kiras
10. Kiai Soetaredja
11. Rd. Tanoeraga
12. Rd. Martaparana
13. Rd. Ardoewangsa
14. Rd. Tanoeredja
15. Rd. Wangsasoeta
16. Rd. Dipa
17. Rd. Patradipa
18. Rd. Soetabadra
19. Rd. Koesoemaardja
20. Rd. Mekas
21. Rd. Ngb. Sedakerti
22. Rd. Ngabeni
23. Rd. Santaparadja
24. Rd. Pani
25. NM. Djapar
26. NM. Arja Pawenang
27. NM. Kanten
28. NM. Ajoemajar
29. NM. Ajoe
Kisah : Setelah wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja.

Bupati Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655 pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.


Bupati Sumedang ke 4 (mp 1656 – 1706), Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol III, beristeri NRA. Sepoeh, anak Dalem.Panengan, dikaruniai 21 putra putri :
1. Dalem Adipati Tanoemadja
2. Rd. Soetanata I
3. Rd. Radjasoeta
4. Rd. Soetadjaja
5. Rd. Astradjaja
6. Rd. Astranata
7. Rd. Tjandradinata
8. Rd. Soetatjandra
9. Rd. Radjataroena
10. Rd. Natawiria
11. Rd. Moetaram
12. Rd. Soerawidjaja
13. NR. Halipah
14. NR. Tjandrapojang
15. NR. Goemarang
16. NR. Kartadipa
17. NR. Panggoeng
18. NR. Astrakoesoemah
19. NR. Kartapoera
20. NR. Dipawangsa
21. Rd. Kartadjiwa
Kisah : Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol III / Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi .

Pada tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.

Setelah wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .

Cita–cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. 

Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC. 

Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.

Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang .

Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes - Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan.

Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara. 

Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. 

Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.

Pada awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Nopember 1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. Misalnya saudara Pangeran Panembahan yaitu Tumenggung Tegalkalong, Jagasatru Aria Santapura, Sacapati, R. Dipa, Mas Alom. 

Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di Sumedang, pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar, yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara. 

Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu. Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang, pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. 

Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumadja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati-bupati Sumedang lainnya.

Setelah peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.

Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.


- Bupati Sumedang ke 5  (mp. 1706 – 1709), Dalem Adipati Tanoemadja, dikaruniai 8 putra-putri :
1. Pangeran Karoehoen Koesoemadinata VI 
2. Rd. Nitinagara
3. Rd. Dawi
4. Rd. Soeramanggala
5. Rd. Batawi
6. NR. Lengkapoera
7. NRA. Widjaksari
8. NR. Asmarawoelan
9. NRA. Radjanagara, bersuami : Dalem. Rd. Rangga Wangsadita dikaruniai 13 putra putri :
1. Kd. Adipati Soerianagara
2. Kd. Rangga Wangsadireja
3. Kd. Surapraja
4. Rd. Aria Wiradireja
5. Kd. Adipati Wangsareja
6. Rd. Aria H. Kusumah
7. RM. Aria Tjakrayuda
8. RM. Natapraja
9. NRA. Natakaraton
10. NR. Ratnanagara
11. NR. Rajakaraton
12. NRA. Siti Gede
13. Dalem Rangga Bungsu
Kisah : Pengganti Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan.

Seperti di ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden Tanumadja.


- Bupati Sumedang ke 6 (mp. 1709 – 1744), Pangeran Karahun / Rangga Gempol IV Koesoema dinata VIdikaruniai 21 putra-putri :
1. Dlm. Istri Radjaningrat
2. Rd. Dipakoesoemah
3. Rd. Poespanata
4. Rd. Aria Bandajoeda
5. Rd. Anggataroena
6. Rd. Anggakara
7. Rd. Natakoesoemah
8. Rd. Dipamanggala
9. Rd. Tanoeresa
10. Rd. Alimoedin
11. Rd. Mantrianagara
12. NR. Moeljakoesoemah
13. NR. Lengka
14. NR. Panganten
15. NR. Antrakoesoemah
16. NR. Ratnamoelia
17. NR. Soemakaraton
18. NR. Djoemi
19. NR. Indra
20. NR. Nata
21. NR. Toekon
Kisah  : Setelah Tumenggung Tanumadja wafat, putranya menggantikannya Raden Kusumahdinata VII (1709 – 1744) diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV seperti kakeknya. Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya. Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan.


- Bupati Sumedang ke 7 (mp. 1744 – 1759), Dalem. Istri Radjaningratbersuami Adipati Soerianagara putra dari NRA. Radjanagara dan Dalem Rd Rangga Wangsadita.
Dikaruniai 6 putra putri :
1. Dalem Rd. Anom Koesoemadinata
2. Dalem Rd. Soerianagara II
3. Dalem Rd. Soerialaga
4. RA. Banonagara
5. NR. Radjainten
6. NR. Enang
Kisah : Menggantikan Pangeran Karuhun adalah puteri sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759) karena para putera Pangeran Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri Radjaningrat menikah dengan Dalem Soerianegara putera Bupati Limbangan. Dalem Istri Radjaningrat mempunyai putera sulung Raden Kusumadinata yang biasa disebut Dalem Anom yang kelak menjadi bupati menggantikan kakeknya . Para putera Pangeran Karuhun oleh kompeni dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi bupati


Bupati Sumedang ke 8  (mp. 1759 – 1761)  Dalem Rd. Anom Koesoemadinata,
tidak dikaruniai putra-putri.
Kisah : Raden Kusumadinata VIII (1759 – 1761) diangkat menjadi bupati tetapi tidak lama hanya dua tahun karena keburu wafat.


- Bupati Sumedang ke 9 (mp. 1761 – 1765), Dalem. Rd. Soerianagara, beristri NM. Nagakasih, dikaruniai 4 putra putri :
1. Pangeran Kornel Koesoemadinata VII
2. RA. Jogjanagara
3. NR. Sarianagara
4. NR. Bandinagara
Kisah : Adipati Kusumadinata wafat maka digantikan oleh saudaranya Raden Surianagara setelah menjadi bupati bergelar Adipati Surianagara (1761 – 1765). Adipati Surianagara mempunyai seorang putra bernama Raden Kusumadinata / Djamu setelah menjadi bupati dikenal sebagai Pangeran Kornel.


- Bupati Sumedang ke 10 (mp 1765 – 1773), Dalem Rd. Soerialaga,  dikaruniai 6 putra-putri :
1. Rd. Soeriadinata
2. Rd. Soeradipradja
3. Rd. Sawon
4. Dlm. Rd. Soeriadilaga II
5. Rd. Sekarwiredja
6. NR. Moeljanagara
Kisah : Setelah Adipati Surianagara wafat tidak digantikan oleh puteranya Raden Djamu karena masih anak-anak maka digantikan oleh saudaranya Raden Surialaga (1765 – 1773) yang bergelar Adipati Kusumadinata. Wafatnya Raden Surialaga meninggalkan 6 orang putera dan puteri,putra sulungnya Raden Ema ketika itu masih berusia 9 tahun. Maka timbullah masalah mengenai penggantian bupati, putera Raden Surianagara yaitu Raden Djamu ketika itu belum dewasa baru berusia 11 tahun. Oleh karena itu kompeni mengangkat Raden Adipati Tanubaya Bupati Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang. Sejak itu Sumedang memasuki masa bupati penyelang selama tiga periode, sampai akhirnya kelak Raden Djamu menjadi bupati.

- Bupati  Sumedang ke 12,  (mp. 1773 – 1775) Adipati Tanubaya  (Bupati Penyelang)
Kisah : Pengangkatan Adipati Tanubaya (1773 – 1775) dari Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang karena memungkinkan, memang keadaan tidak mungkin mengangkat bupati dari keturunan Sumedang dikarenakan pengganti dari Sumedang belum menginjak dewasa.


- Bupati Sumedang ke 13, (mp. 1775 – 1789) Tumenggung Patrakusuma (Bupati Penyelang 
Kisah : Pengganti Adipati Tanubaya adalah menantunya Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Parakanmuncang, pengangkatan Tumenggung mendapat dukungan dari 4 umbul terutama di Sumedang dan setelah mendapat dukungan Patrakusuma berhenti menjadi Bupati Parakanmuncang. Mengenai cerita Raden Djamu menikah dengan putri Tumenggung Patrakusuma di cerita di bab Pangeran Kornel selanjutnya. Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusuma melakukan pelanggaran maka ia diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia.


Bupati Sumedang ke 14,  (mp. 1789 – 1791) Raden Satjapati 
Kisah : Sebagai pengganti Patrakusuma maka diangkat Raden Satjapati (1789 – 1791) yang waktu itu menjabat sebagai patih Sumedang, setelah diangkat menjadi bupati memakai gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati tidak berlangsung lama karena oleh kompeni dianggap kurang cakap maka diturunkan pangkatnya menjadi patih kembali. Untuk mengisi kekosongan bupati, Satjapati mengirim surat ke Bupati Cianjur Wiratanudatar IV memohon agar Raden Surianagara / Djamu waktu itu menjabat sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya usul tersebut di terima oleh kompeni dan Raden Surianagara / Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang.


- Bupati Sumedang ke 15 (mp. 1791 – 1828), Raden Djamu / Surianagara III /  Pangeran Kornel / Pangeran Koesoemadinata IX, beristri Raden Ayu Lenggakusumah dikaruniai 4 orang putra :
1. Dalem Adipati Adiwidjaja
2. Dalem Adipati Ageung Koesmajoeda 
3. R.A. Radjaningrat
4. R.A. Radjanagara
Kisah : Setelah wafatnya Bupati Sumedang Adipati Surianagara II (1765 – 1773), posisi bupati Sumedang diisi oleh bupati penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773 – 1775) yang diangkat oleh kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden Jamu masih kecil. Setelah wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung Patrakusuma putranya Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) memakai gelar Adipati Tanubaya II. 

Setelah menginjak dewasa Raden Djamu dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar IV dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. 

Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar IV memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada kompeni. Usul dari Wiratanudatar IV diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).

Pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumadinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.. Pada tanggal 26 November 1811 mulailah pembobokan gunung cadas, rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran Kusumadinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita.

Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumadinta menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasastra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumadinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel .

Wilayah Sumedang waktu itu hampir sama dengan wilayah pada masa Rangga Gempol III, wilayah Sumedang berbatasan dengan Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga dan kabupatian – kabupatian Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai laut Jawa sepanjang pantai utara sampai Pamanukan.

Selain keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda / Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa dari mas.


- Bupati Sumedang ke 16  (mp. 1828 – 1833), Dalem Adipati Ageung Koesoemajoeda, Kusumadinata  beristi NM. Samidjah, dikaruniai 9 putra-putri :
1. Pangeran Soegih Soeria Keoesoemah Adinata
2. Rd. Koesoemajoeda
3. Rd. H. Moestapa
4. NR. Siti Marian
5. NR. Lenggang Nagara
6. NR. Koesoemaningroem
7. NR. Moenigar
8. NR. Radjaningroem
9. NR. Jogjanagara
Kisah : Pangeran Kornel digantikan oleh puteranya Adipati Kusumayuda (1828 – 1833). Adipati Kusumayuda menuruni watak ayahnya Pangeran Kornel, bupati sering turut bertempur berserta saudaranya Adipati Adiwijaya melawan para pengacau atau perampok di Sumedang . Perawakan Adipati Kusumayuda yang tinggi besar oleh karena itu disebut pula sebagai Dalem Ageung.

Bupati Sumedang ke 16 sebelumnya Bupati Limbangan/Garut Ke II (mp. 1831 - 1833) dan  menjadi Bupati Sumedang ke 16 (mp. 1833 - 1834), Dalem Adipati Adiwidjaja, diikaruniai 9 putra-putri :
1. RAA. Dalem Alit Koesoemadinata 
2. Demang Adiwidjaja
3. Rd. Adikoesoemah
4. Rd. Soeriabrata
5. Rd. Hasim
6. NR. Lenggangmantri
7. NR. Banonagara
8. Rd. Koesoemamantri
9. NR. Radjapoetri
Kisah : Adiwijaya menjabat sebagai Bupati pertama Garut sejak 1813 hingga wafat tahun 1831. Ia merupakan putra sulung Dalem Sumedang, Pangeran Kornel. Istrinya yang bernama Raden Ajeng Siti Ningrum. Dimakaman dipemakaman Cipeujeuh, Kelurahan Paminggir, Kecamatan Garut Kota.


- Bupati Sumedang ke 18  (mp. 1833 – 1834), RAA. Dalem Alit Koesoemahdinata,  dikaruniai 2 orang putra :.
1. RA. Radjapoernama Koesoemahdinata
2. RA. Radjanagara Koesoemahdinata
Kisah : Wafatnya Adipati Kusumayuda tidak digantikan oleh puteranya Raden Somanagara karena menunggu dewasa. Maka putera Adipati Adiwijaya, Adipati Kusumadinata X (1833 - 1834) menggantikannya tetapi tidak berlangsung lama karena keburu wafat.


- Bupati Sumedang ke 19, (mp. 1834 – 1836), Dalem Tumenggung Sindangradja atau Tumenggung Soerialaga,  diikaruniai 16 putra-putri :

1. NR. Tedjamirah Soeriadilaga
2. NR. Perbatamirah Soeriadilaga
3. Rd. Tisna Koesoemah Soeriadilaga
4. Rd. Hasan Soeriadilaga
5. Rd. Brangtanagara Soeriadilaga
6. Rd. Padmanagara Soeriadilaga
7. NR. Modjanagara Soeriadilaga
8. Rd. Soerialogawa Soeriadilaga
9. NR. Domas Atisah Soeriadilaga
10. Rd. Wangsanagara Soeriadilaga
11. NR. Moertihawa Soeriadilaga
12. NR. Soekaeni Soeriadilaga
13. Rd. Hambali Soeriadiningrat Soeriadilaga
14. Rd. Soemadilaga Soeriadilaga
15. Rd. Adikoesoemah Soeriadilaga
16. N.R. Nawangsih Soeriadilaga
Kisah : Sebagai penggantinya sementara diangkat Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) ketika itu menjadi Patih Polisi tetapi tidak berlangsung lama juga baru satu tahun menjabat bupati meminta pensiun.


- Bupati Sumedang ke 20  (mp. 1836 – 1882), Rd. Somanagara atau Pangeran Soegih Soeria Koesoemah Adinata.  Dari 31 orang istrinya, dikaruniai 94 putra-putri :

Isteri ke 1 : NR. Bodedar
1. Rd. Dmg. Jahja Somanagara Koesoemah Adinata

Isteri Ke 2: NRA. Radjapamerat, anak RAA. Wiranatakusumah III (*)
2. NRA. Radjaningrat Koesoemah Adinata
3. NR. Hendranagara Koesoemah Adinata
4. Rd. Oemoer Koesoemah Adinata
5. Rd. Moestambi Koesoemah Adinata
6. Rd. Rangga Soerialaga Koesoemah Adinata (*)
7. NR. Radjapermas Koesoemah Adinata
8. Rd. Somadiningrat Koesoemah Adinata
9. NRA. Sangkaningrat Koesoemah Adinata

Isteri ke 3: NRA. Ratnaningrat
10. NRA. Radjaretnadi Koesoemah Adinata
11. Pangeran Mekah Soeriaatmadja Koesoemah Adinata
12. NR. Radjapermana Koesoemah Adinata
13. NR. Banoningrat Koesoemah Adinata
14. Rd. Soemawilaga Koesoemah Adinata

Isteri ke 4 : NRA. Moestikaningrat
15. NR. Emas Koesoemah Adinata
16. NR. Radjakomala Koesoemah Adinata
17. Rd. Pandji Soeriakoesoemah Koesoemah Adinata
18. Rd. Soemintraatmadja Koesoemah Adinata
19. NRA. Lasminingrat Koesoemah Adinata
20. NRA. Moertiningrat Koesoemah Adinata
21. Rd. Widjajasoeria Koesoemah Adinata
22. RAA. Soerianatabrata Koesoemah Adinata
23. Rd. Gandakoesoemah Koesoemah Adinata
24. Rd. Koesoemajoeda Koesoemah Adinata
25. NRA. Kantjananingrat Koesoemah Adinata
26. Rd. Soeriagoenawan Koesoemah Adinata
27. RAA. Dlm. Bintang Koesoemadilaga Koesoemah Adinata
28. Rd. Goerdi Koesoemawinata Koesoemah Adinata

Isteri ke 5 : Nyi Emas Sanidjah
29. Rd. Abdoerachman Koesoemah Adinata

Isteri ke 6 : Nyi Emas Lantri
30. NR. Koesoemanagara Koesoemah Adinata
31. Rd. Prawirakoesoemah Koesoemah Adinata
32. Rd. Raebah Koesoemah Adinata

Isteri Ke 7 : Nyi Emas Asmajawati
33. Rd. Najaningrat Koesoemah Adinata
34. Rd. Hoesen Wirantaredja Koesoemah Adinata
35. Rd. H. Mochamad Oesman Koesoemah Adinata
36. Rd. H. Mochamad Ali Koesoemah Adinata
37. NR. Hj. Siti Hadidjah Koesoemah Adinata

Isteri ke 8 : Nyi Emas Ganda
38. Nyi Oerminah Lenggangnagara Koesoemah Adinata
39. Rd. Moestari Koesoemah Adinata
40. NR. Siti Patimah Perbata Koesoemah Adinata
41. Rd. H. Mochamad Idris Koesoemah Adinata
42. Rd. Natadiredja Koesoemah Adinata
43. Rd. Iljas Koesoemah Adinata
44. Rd. Rangga Natanagara Koesoemah Adinata
45. Rd. Joesoef Koesoemah Adinata

Isteri Ke 9 : Nyi Emas Angginah
46. Rd. Wirakoesoemah Koesoemah Adinata

Isteri Ke : Nyi Arsa
47. Rd. Adikoesoemah Koesoemah Adinata
48. NR. Doerias Hawa Koesoemah Adinata
49. Rd. Enoch Koesoemah Adinata
50. Rd. Said Koesoemah Adinata

Isteri ke 11: NR. Dewi Mirah
51. Rd. Oemar Nataatmadja Koesoemah Adinata
52. NR. Moertikah Komala Koesoemah Adinata
53. Rd. Sodja Koesoemah Adinata
54. Rd. H. Soelaeman Koesoemah Adinata
55. NR. Oeti Modjanagara Koesoemah Adinata
56. Rd. Ismail Wiraatmadja Koesoemah Adinata

Isteri ke 12 : Nyi Ambara
57. Rd. H. Hambali Koesoemah Adinata
58. NR. Soewedah Sarianingrat Koesoemah Adinata
59. Rd. H. Jasin Roebai Koesoemah Adinata

Isteri 13 : NR. Moetiaresmi
60. Rd. Harmaen Koesoemah Adinata
61. NR. Oepinah Koesoemah Adinata

Isteri 14 : NM. Modja Habibah
62. Rd. Rangga Wirapoetra Koesoemah Adinata

Isteri 15 : NM. Andi Moelja
63 NR. Moertinah Koesoemah Adinata
64. Rd. Anhar Koesoemah Adinata
65. Rd. Prawiradiredja Koesoemah Adinata
66. Rd. Karnaen Koesoemah Adinata
67. NRA. Radjaningrat Koesoemah Adinata
68. Rd. Mochamad Pesta Koesoemah Adinata
69. Rd. Mochamad Lajeng Koesoemah Adinata
70. NR. Koernasih Koesoemah Adinata

Isteri ke 16 : NM. Olem
71. NR. Salamah Ratnanagara Koesoemah Adinata

Isteri ke 17 : NM. Andi Eundeut
72. NR. Tedjaningroem Kalsoem Koesoemah Adinata

Isteri ke 18 : NM. Denta
73. NR. Empat Ratnakaraton Koesoemah Adinata.
74. NR. Kiol Poerbanagara Koesoemah Adinata.

Isteri ke 19 : NR. Ningroem
75. NR. Lenggang Mantri Koesoemah Adinata
76. Rd. Aboebakar Nitanagara Koesoemah Adinata

Isteri ke 20 : Nyi Mursiah
77. NR. Kotjoh Ratnakoesoema KOESOEMAH ADINATA

Isteri 21 : NM. Ningsih
78. NR. Oerian Domas Koesoemah Adinata

Isteri 22 : Nyi Soekaenah Kamoeda.
79. Rd. Abdoel Koesoemah Adinata . (-)
80. NR. Djoele Komarainten Koesoemah Adinata

Isteri 23 : Nyi Mantria
81. NR. Koesoemaningroem KOESOEMAH ADINATA

Isteri ke 24 : Nyi Dewi
82. NR. Enot Komala Inten Koesoemah Adinata
83. NR. Oehe Koesoemah Adinata
84. NR. Ebah Koesoemah Adinata
85. Rd. Kasmiri Koesoemah Adinata

Isteri ke 25 : NM. Djoewisah
86. Rd. Wangsasoebaja Koesoemah Adinata.
87. NR. Ratnamirah Koesoemah Adinata.
88. NR. Armoenah Koesoemah Adinata.

Isteri ke 26 : NM. Naga
89. Rd. Atma Djajakoesoemah Koesoemah Adinata.

Isteri ke 27 : NM. Soepi
90. Rd. Hasan Koesoemah Adinata
91. Rd. Abas Koesoemah Adinata

Isteri ke 29: NM. Ikoek
92. Rd. Sabirin KOESOEMAH ADINATA

Isteri ke 30 : NM. Moertidjah
93. Rd. Djenal Haroen Koesoemah Adinata

Isteri ke 31 : Nyi Enoer
94. Rd. Sadikin Koesoemah Adinata

Kisah : Pada tangggaraal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Soeria Kusumah Adinata (1836 – 1882). Kecerdasan, kepemimpinan dan kesetiaannya pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas. Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuat jalan, pengairan, pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Segala bentuk kewajiban rakyat yang memberatkan di bidang pertanian dihapuskan pada 1885 oleh pemerintah seperti peraturan penanaman nila.

Pada tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan pemerintah Kerajaan Belanda no. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Adipati dan berdasarkan Surat Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 mendapat gelar Pangeran.

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada tanggal 22 September 1882 dimakamkan di Gunung Puyuh, Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran Sugih karena sugih harta, kekayaan dan putera.



- Bupati Sumedang ke 21  (mp 1882 – 1919), Rd. Sadeli atau Pangeran Mekah Aria Soeriaatmadja Koesoemah Adinata, beristri NRA. Radjaningroem dikaruniai seorang putri : NR. Jogjainten Soeriatmadja.

Kisah :  Setelah Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat digantikan oleh putranya Raden Sadeli dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari 1851 . Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling Sukapura – kolot di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi bupati memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat.

Wibawa Pangeran Aria Suria Atmadja sangat besar yang memancar dari 4 macam sumber :
a. Kedudukannya sebagai bupati.
b. Patuh dan taqwa dalam agama.
c. Kepemimpinannya yang tinggi.
d. Displin yang tinggi.

Pangeran Aria Suria Atmadja memiliki jasa dalam pembangunan Sumedang di beberapa bidang, antara lain :
1. BIDANG PERTANIAN
Membangun aliran irigasi di sawah-sawah, penanaman sayuran, melakukan penghijauan di tanah gundul dan membangun lumbung desa. Pangeran Aria Suria Atmadja memberi ide bagaimana meningkatkan daya guna dan hasil guna pengolahan tanah, pembuatan sistem tangga (Terasering) pada bukit-bukit.

2. BIDANG PERTERNAKAN

Untuk meningkatkan hasil ternak yang baik di Sumedang, di datangkan sapi dari Madura dan Benggala dan kuda dari Sumba atau Sumbawa untuk memperoleh bibit unggul.

3. BIDANG PERIKANAN
Pelestarian ikan di sungai diperhatikan dengan khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya dan waktu penangkapannya agar ikan di sungai selalu ada. Penangkapan ikan dengan racun atau peledak di larang.

4. BIDANG KEHUTANAN.
Daerah-daerah gunung yang gundul ditanami pohon-pohon agar tidak longsor., selain dibuat hutan larangan / tertutup yaitu hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat demi kelestarian tanaman dan binatangnya. Binatang dan pohon langka mendapat pelindungan khusus.

5. BIDANG KESEHATAN.
Penjagaan dan pemberantasan penyakit menular mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak diwajibkan mendapatkan suntikan anti cacar diadakan sampai ke desa-desa. Masyarakat dianjurkan menanam tanaman obat-obatan di perkarangan rumahnya.

6. BIDANG PENDIDIKAN
Pada tahun 1914 mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dan wajib belajar diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada tahun 1915 di Kota Sumedang telah ada Hollandsch Inlandsche School , mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat Sumedang dan membangun kantor telepon.

7. BIDANG PEREKONOMIAN
Pada tahun 1901 membangun “Bank Prijaji” dan pada tahun 1910 menjadi “Soemedangsche Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 mendirikan Bank Desa untuk menolong rakyat desa.

8. BIDANG POLITIK
Pada tahun 1916 mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar rakyat diberi pelajaran bela negara / mempergunakan senjata agar dapat membantu pertahanan nasional. Ide ini dituangkan dalam buku ‘Indie Weerbaar” / Ketahanan Indonesia, tapi usul ini ditolak pemerintah Belanda. Pangeran Aria Suria Atmadja tidak mengurangi cita-citanya, disusunlah sebuah buku yang berjudul ‘ Ditiung Memeh Hujan” dalam buku itu dikemukakan lebih jauh lagi agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan dan mengusahakan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda memberi reaksi hingga dibuat benteng di kota Sumedang, benteng gunung kunci dan Palasari.

9. BIDANG KEAGAMAAN
Bidang keagamaan mendapat perhatian yang besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Mesjid dan pesantren mendapat bantuan penuh, peningkatan pendidikan agama mulai dini

10. BIDANG KEBUDAYAAN
Bidang kebudayaan dapat perhatian besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya Tari Tayub dan Degung. Selain ahli dalam sastra sunda, Pangeran Aria Suria Atmadja pun membuat buku dan menciptakan lagu salah satunya Lagu Sonteng.

11. BIDANG LAINNYA
Membangun rumah untuk para kepala Onderdistrik, dibangunnya balai pengobatan gratis, dan menjaga keamanan diadakan siskamling.

Masih banyak jasa lainnya dan atas segala jasanya dalam membangun Sumedang, baik itu pembangunan sarana fisik tetapi juga pembangunan manusianya. Pangeran Aria Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918, Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.

Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Suria Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka peninggalan leluhur dari ayahnya Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga keutuhan pusaka. Selain itu agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan, kesatuan dan persatuan wargi Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam Pangeran Aria Suria Atmadja mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang banda”, “kaoela pitoein”, “poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh” kepada Tumenggung Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang diwakafkannya itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan diganti. Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang atau wafat.

Pada tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang dengan mendapat pensiun. Pada tanggal 30 Mei 1919 dilakukan penyerahan barang “Asal pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha kaula pribadi” kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang menggantikan Pangeran Aria Suria Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima barang-barang yang diwakafkan kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya dengan baik seperti dalam suratnya tertanggal 18 Juni 1919.

Monumen Lingga di tengah alun-alun Sumedang untuk meng-hormati jasa–jasa Pangeran Aria Suria Atmadja.

Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai Pangeran Mekah. Untuk menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25 April 1922 didirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock serta dihadiri para bupati, residen se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.



- Bupati Sumedang ke 22 (mp. 1919 – 1937), RAA. Koesoemadilaga Koesoemah Adinata (Dalem Bintang) :

Isteri 1 : NRA. Ratna Kancana.
Isteri 2 : NR. Kanimah
1. NR. Joopi Soepinah Koesoemadilaga
2. NR. Jetty Soepiah Koesoemadilaga
Kisah : Pangeran Aria Suria Atmadja digantikan oleh Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937) dikenal juga sebagai Dalem Bintang merupakan saudaranya. Pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), partai politik dan pemberontakan komunis di Jawa Barat.



- Bupati Sumedang ke 23 (mp. 1937-1946), Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 

Kisah : Tumenggung Adipati Kusumadilaga digantikan oleh Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria, setelah menjadi bupati memakai gelar Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (1937 – 1946) Dalem Aria merupakan bupati tiga jaman, pertama jaman Hindia Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia.



- Bupati Sumedang ke 24 (mp. 1946-1947), Rd. Tumenggung Hasan Soeria Satjakoesoemah

Keterangam : Putri dari istri ke 2 Pangeran Soegih yaitu NRA. Radjapomerat anak RAA. Wiranatakusumah III : NR. Radjapermas Koesoemah Adinata bersuami: Rd. Demang Adiwidjaja dikaruniai putri NR. Radjakandana Adiwijaya bersuami Rd. Satja koesoemah berputra : Rd. Tumenggung Hasan Soeria Satjakoesoemah menjadi Bupati Sumedang Tahun 1946-1947 dan Bupati Karawang Tahun 1949-1950.

Kisah : Raden Hasan Suria Sacakusumah / “Bung Hasan” (1946 – 1947) diangkat sebagai bupati perjuang oleh Republik indonesia. Masa pemerintahannya ditandai perkembangan gerakan Darul Islam (DI) dan Infansi militer Belanda ke dua ke Indonesia, bupati dan rakyat Sumedang berangkat mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung kabupatian dan Srimanganti ditempati tentara Belanda. Pada masa jabatannya terdapat tiga macam pemerintahan di Sumedang, pemerintahan Belanda, pemerintahan Negara Pasundan dan Republik Indonesia .

Berhubung Bung Hasan belum kembali dari pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang. Pada masa Muhamad Singer, Raden Hasan Suria Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada tahun 1949 menggantikan Muhamad Singer berangkat ke Belanda, masa jabatannya hanya satu tahun kemudian diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suriasaputra.



- Bupati Sumedang ke 25 (mp. 1946-1947), Rd. Tumenggung Mohamad Singer Wiranata Koesoemah

Keterangan : Putri terakhir (ke-81) Pangeran Soegih Soeria Kusumah Adinata. NR. Koesoemaningroem Koesoemah Adinata bersuami Rd. Wiranatakoesoemah putra ke 3 bernama : Rd. Tumenggung Mohamad Singer Wiranata Koesoemah diangkat menjadi bupati Sumedang ke 24.
Kisah : Tumenggung Muhamad Singer (1947 – 1949) merupakan keponakan dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati Sumedang tahun 1938 adalah seorang Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat, Australia, Sulawesi dan Kalimantan Timur di keresidenna. Pada tanggal 5 Desember 1947 diangkat menjadi Bupati Sumedang.

Masa jabatannya Tumenggung Muhamad Singer banyak menghadapi banyak masalah salah satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan pertempuran antara RI dan Belanda. Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan akhir masa jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda untuk mengikuti usaha pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia ke-2, sekembalinya dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 merupakan akhir rangkaian para bupati Sumedang keturunan leluhur Sumedang dari masa Prabu Tajimalela 721 sampai Tumenggung Muhamad Singer 1950.



DAFTAR BUPATI SUMEDANG SELENGKAPNYA :


1. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I 1601 – 1625 
2. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV 1625 – 1633 
3. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656
4. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III 1656 – 1706
5. Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709
6. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV 1709 – 1744
7. Dalem Istri Rajaningrat 1744 – 1759
8. Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom 1759 - 1761
9. Dalem Adipati Surianagara II 1761 - 1765
10. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773

MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
11. Dalem Adipati Tanubaya 1773 – 1775
12. Dalem Adipati Patrakusumah 1775 – 1789
13. Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791

PEMERINTAHAN BELANDA
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang
14. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828
15. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833
16. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834
17. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836
18. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882
19. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919
20. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937
21. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946

MASA REPUBLIK INDONESIA
22. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946
23. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947
24. R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949
25. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950

Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai pangeran Kornel.

Referensi :
=======

- Asikin Widjajakoesoemah, Drs. Runcatan Sajarah Sumedang, 1960.
- Buku Layang Darmaraja
- Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Prop. Jawa Barat Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 4, 1983 .
- Bayu Surianungrat, Drs. Sejarah Kabupatian I Bhuni Sumedang 1550 – 1950, 1983.
- Buku Sejarah Leluhur Sumedang.
- Babad Sumedang.

Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai pangeran Kornel.

Keterangan
1). Anak Keturunan dari Ratu Harisbaya / *Nyai Narantoko* (istri Prabu Geusan Ulun Sumedang, cucu Ki Pragalbo Arosbaya Bangkalan Madura dan Sultan Trenggono Demak, besan dari Pangeran Arya Upapatih bin Sultan Maulana Yusuf Banten) adalah :
1. Pangeran Rangga Gempol 1 / R. Suriadewangsa 1 (keturunannya ada di Tangerang Banten)
2. Pangeran Tegal Kalong (Keturunannya di Jawa Barat, saya belum kenal / kepaten obor bagi saya)
3. Pangeran Wiraraja 1 (berputra Raden Aria Wangsakara / Imam Wangsaraja / Aria Tanggeran 1 / Kyai Narantaka* (keturunannya garis laki ada di Tangerang contohnya yang terkenal : KH Uci Turtusi Cilongok Pasar Kamis Tangerang. Selain itu turunan garis perempuannya antara lain saya, KH Ma'ruf Amin ketua MUI, Rhoma Irama, Gubernur Prov Banten Wahidin Halim dll).
4. Pangeran Nitinegara (kelak keturunan garis perempuannya menikah dengan trah Santoan Wirakusumah di Subang dan turunan bupati Sumedang ke Pangeran Kornel rata-rata ada tautan silsilah ke Jalur ini)

Adapun bupati Sumedang yang ada silsilah turunan Ratu Harisbaya adalah :
1. Pangeran Rangga Gempol 1
2. Tumenggung Patra Kusumah

Dan selanjutnya adalah mulai dari anak keturunannya Pangeran Kornel mulai dari Adipati Kusumayuda dan selanjutnya ada tautan silsilah keturunan Ratu Harisbaya.

Para Bupati Sumedang umumnya turunan eyang Prabu Geusan Ulun melalui istri ke pertama yaitu Nyai Tjukang Gedeng Waru bin Sunan Arya Pada bin Rd. Meumeut bin Rd. Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi)

sehingga selain 2 nama di atas, baru sejak bupati Sumedang yang anak daripada Pangeran Kornel yakni Adipati Kusumayuda (1828 - 1833) baru ada tautan silsilah kepada Ratu Harisbaya Madura. Kalau Pangeran Kornel dan ke leluhur atasnya para Bupati Sumedang sampai ke nama Pangeran Rangga Gede; tidak memiliki tautan silsilah kepada Ratu Harisbaya Madura karena keturunan Prabu Geusan Ulun lewat istrinya yang lain yakni Nyi Gedeng Waru; persambungan silsilah adipati Kusumayuda, saudara-saudaranya dan bupati selanjutnya adalah melalui istrinya Pangeran Kornel / ibunya Adipati Kusumayuda yang merupakan putri daripada Tumenggung Patrakusuma keturunan Pangeran Nitinegara putra Ratu Harisbaya (tapi trah garis laki keturunan Santoan Wirakusumah bin Pangeran Santri). Zuriat bupati di Sumedang selanjutnya Pasca Pangeran Kornel, baru ada tautan silsilah ke eyang Ratu Harisbaya.

Sumber data utama dari Naskah Nagarakretabhumi dan Paririmbon Ka Aria an Tanggerang.

Referensi :
• Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
• Buku Layang Darmaraja
• Sejarah singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
• Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
• Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
• Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
• Sejarah singkat Kabupaten Sumedang, sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
• Sumedang dari masa kemasa : sumedanglarang. blogspot.com, 16 Mei 2010.
• Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
• Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 – 1684. Kajian Arkeologi Ekonomi, Heriyanti Ongkodharma Untoro, Fakultas Ilmu Pengerahuan Budaya, Jakarta – 2007.
• Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk, 1983 – 1984.
• Wawancara.


Photo Bawah Makam Pangeran Rangga Gede, Panday Kelurahan Talun Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang Kota








Baca Juga :

Tidak ada komentar