Makam Dalem Wiraraja di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo


Makam Raden Wiraraja atau Dalem Wiraraja 
Ci'ibun dihandeuleum sieum, seja ngaguar tutungkusan karuhun, anu sok diapilainkeun,anu sok dipopohokeun, diteundeunan tangkal handeuleim sieumkeun,  dinu pasir ipis nu sagundukan leutik. Bagea Rukun Wargi Sumedang.
 
Ketika pertama kali saya berjiarah ke makam Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja, dikarenakan ada Kang Bayu, Kang Beha dan rekan-rekan dari Tanggerang yang sengaja datang ke Srimanganti dan ingin berziarah ke makamnya di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo.

Kami sebelum berangkat ke makamnya Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja salah seorang putranya Pangeran Angka Wijaya atau Prabu Geusan Ulun, berunding dulu tentang Sejarah Raden Aria Wiraraja ataw Dalem Wiraraja di Kantor Ketua Yayasan Nazhir Wakaf Pangeran Sumedang, bersama Kang Luky Djohari Soemawilaga, Kang Lili Djamhur Soemawilaga, Kang Bayu, Kang Beha dan kawan-kawan dari Tanggerang untuk menyelusuri makam Raden Aria Wiraraja ataw Dalem Wiraraja jejak leluhurrnya yang menurunkan ke Lengkong Tanggerang serta membetulkan sejarahnya keturunan Raden Aria Wiraraja, putranya Prabu Geusan Ulun dari isteri kedua  Ratu Harisbaya, yang mempunyai anak nomor 3 yaitu Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja, di antara anak yang lainnya yaitu : Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol anak pertama, Raden Rangga Nitinagara anak kedua dan Pangeran Tumenggung Tegalkalong anak ke empat.

Berdasarkan buku "Sejarah Luluhur Menak Sumedang" tulisan Raden Kandaroean Jiwaprana, didapatkan keterangan bahwa Raden Aria Wiraraja adalah yang mempunyai lahan di Lemah Beureum di Tomo, malahan kuburannya ada di tempat tersebut. Oleh Sultan Agung Mataram, beliau diberikan piagam yang titi mangsanya pada tahun 1553 Jawa atau tahun 1631 Masehi. Dalam Piagam tersebut disebutkan, bahwa siapa-siapa yang menyusahkan kepada Raden Aria Wiraraja diancam hukuman (Piagem Lontar nomor 609 dalam tulisan tangan di Musium Gedong Gajah Betawi).
 
Dan dalam Buku Potret Lengkong Ulama Tanggerang halaman 18, disebutkan Raden Wiraraja menempati lahan sampai meninggalnya di Lemah Beureum 15 km dari arah Kecamatan Legok  dan Tomo.

Sedikit sekali keterangan tentang Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja ini, menurut Bapak Tasid yang menjadi juru kunci makamnya, beliau dinamai Dalem Banoraja Subantaka atau Narantaka. Selain itu di lokasi makamnya Raden Aria Wiraraja ada juga makam keturunannya, para abdinya dan juga petilasan Jaya Perkasa.

Adanya petilasan Jaya Perkasa di Pasir Ipis di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo hanya sekedar mengisyaratkan nisan makam ciri, yang dalam Sejarah Sumedang dan floklor disebutkan hal ini terjadi konflik antara Sumedang Larang dengan Cirebon di jaman Prabu Geusan Ulun berkuasa sebagai akibat dari dibawanya Ratu Harisbaya oleh Prabu Geusan Ulun bersama 4 Kandaga Lente yaitu Jaya Perkosa, Batara Dipati Wirajaya atau Nangganan, Batara Kondang Hapa, dan Batara Pancar Buana atau Terong Peot ke Kutamaya Sumedang Larang dari Cirebon
 
Dibawanya Ratu Harisbaya ke Sumedang, karena Prabu Geusan Ulun, Ratu Harisbaya dan Panembahan Ratu Cirebon pernah sama-sama menimba ilmu agama Islam di Pesantrenan di Kerajaan Pajang. Lalu Ratu Harisbaya oleh Sultan Agung Mataram dinikahkan dengan Panembahan Ratu.
 
Ketika suatu saat Prabu Geusan Ulun diundang pesta jamuan di Kesultanan Cirebon, maka timbullah cinta lamanya bersemi kembali diantara Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya, sehingga Ratu Harisbaya dibawa ke Sumedang dan dijadikan garwa padmi ke 2 oleh Prabu Geusan Ulun.
 
Sebagai kelanjutannya dari peristiwa tersebut pada  jaman Pangeran Girilaya berkuasa di Cirebon putranya Panembahan Ratu, Pangeran Girilaya mengirimkan pasukan Cirebon untuk berperang dengan pasukan Sumedang Larang.  Pasukan Cirebon berhasil dipukul mundur atau dikalahkan karena untuk ke wilayah Sumedang Larang mereka harus menyebrangi Sungai Cimanuk sementara Pasukan  Sumedang Larang dibawah komando Jaya Perkasa telah bersiaga di daerah perbatasan Tolengas Majalengka dan Tomo tersebut.  Oleh karenanya terjadi kekalahan dalam peperangan tersebut dan banyak pasukan Cirebon yang meninggal di daerah itu, sehingga daerah di Tomo ini disebut daerah Lemah Beureum atau daerah banjir darah.

Saya dan kang Yadi Mulyadi mewakili Ketua Pengurus Yayasan Kang Lucky Soemawilaga karena ada halangan, untuk mendampingi Kang Bayu, Kang Beha dan rekan-rekannya  untuk mengantar berjiarah ke Desa Darmawangi ke makamnya Raden Aria Wiraraja atau Dalem Aria Wiraraja, dan kebetulan kepala desanya Ibu Hayati Darmawangi saya kenal.

Menurut Kang Bayu dan Kang Beha dari Tanggerang, mengatakan  : "Saya yakin ini adalah makamnya Raden Wiraraja, sementara di Tanggerang hanya tahunya di Pulo Cangkir Kecamatan Kronjo, tapi itu diragukan. karena dalam Cerita Pararimbon Ke-aria-an Tanggerang, Pangeran Jaga lautan itu gelar atau pangkat yang diberikan sebagai Papager Laut atau Penjaga Wilayah Pantai. Dari cerita Pararimbon dan Serat dari Lengkong, dahulu leluhur saya diberi wasiat ada di Daerah Lemah Beureum Tomo dan Tolengas makamnya, yang batasnya berada di kali Cimanuk, dan anaknya yaitu Raden Aria Wangsakara hijrah ke Banten tepatnya di kali Cipamunggas sampai ke Cidurian diikuti oleh Raden Kartajiwa atau Soeriadiwangsa 2 dan Aria Santika. Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja sering menjenguk putranya yaitu Raden Wangsakara atau  Raden Wiraraja 2 di Lengkong"

Itulah hasil survey saya dan Kang Bayu, Kang Beha dan kawan-kawan dari Tanggerang pertama kalinya, bahwa makam yang berada di Pasir Ipis, Desa Darmawangi tersebut adalah makam putranya Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun yaitu Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja.


Ibu Hayati Darmawangi S.Pdi, selaku Kepala Desa Darmawangi di tahun 2019 sudah menganggarkan untuk pemeliharaan di area pemakaman Raden Aria Wiraraja mudah-mudahan dengan adanya anggaran pemeliharaan tersebut bisa menarik wisata situs Sejarah  di Kabupaten Sumedang.

Dahulu masyarakat Desa Darmawangi Kecamatan Tomo sering mengadakan acara rutin setiap tahunnya yaitu "Acara Hajat Ka Pasir", acara ini salah satu rasa syukur masyarakat desa atas hasil panen yang melimpah yang dipimpin oleh sesepuh Desa Darmawangi dan juga juru kunci makam, namun seiring dengan perubahan jaman, lambat laun tradisi itu tepatnya semenjak tahun 90-an tradisi itu sudah tidak dilakukan lagi.

Menurut Bapak Tasid selaku juru kunci makam, sekarang susah untuk menimbulkan kembali tradisi tersebut berbenturan dengan masyarakat yang kebanyakan mengatakan bahwa hal Acara Hajat Ka Pasir suatu hal yang tidak sesuai dengan hukum agama,  padahal itu adalah tradisi turun menurun dari sesepuh terdahulu yang patut dilestarikan. Oleh karena itu diperlukan ada lagi penggeraknya daripada masyarakat Desa Darmawangi yaitu dibentuknya Lembaga Adat Desa.

Sekarang kita jelaskan Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja berdasarkan "Transkrip Naskah Kitab Negara Krethabumi karya Pangeran Wangsakerta Cirebon tahun 1670, di dalam pasal 73 sampai pasal 75, menceritakan tentang Silsilah Pangeran Santri, Prabu Geusan Ulun dan Raden Aria Wiraraja adalah putranya Ratu Harisbaya, yaitu :
 
Adapun ayahanda Pangeran Geusan Ulun adalah Pangeran yang menjadi Raja Sumedang yang sudah memeluk Islam Pangeran Santri yang memperoleh warisan Negara Sumedang Larang dari isterinnya, Nyimas Pucuk Umun Sumedang, yang kerajaannya di Kutamaya. Dan Pangeran Santri menjadi Raja Sumedang pada tanggal 13 “paro peteng” asyuji masa 1452 saka ataw sekitar 1530-1531 masehi.
 
Pangeran Santri lahir pada tanggal 6 “paro peteng” yesta masa tahun 1427 saka atau diantara 1505-1507 masehi dan wafat tanggal 10 “paro terang” asyuji masa tahun 1501 saka atau sekitar 1579-1580 masehi.
Adapun pangeran Santri adalah anak Pangeran Palakaran, yaitu Pangeran Muhammad namanya yang lain dan isterinnya ialah wanita dari Sindangkasih, yang menikah pada tahun 1426 saka  atau sekitar 1504-1505 masehi.
 
Pangeran Muhammad lahir pada tahun 1400 saka atau sekitar 1478-1479 masehi dan wafat pada usia 68 tahun. Pangeran Muhamad adalah anak Pangeran Panjunan dari isteri Nyi Mas Matangsari. Nyi Mas Matangsari anak Kyai Ageng Japura. Kyai Ageng Japura anak Ratu Japura Sang Prabu Amuk Marugul Sakti Mandraguna.  Sedangkan Pangeran Muhammad adalah adik Nyi Mas Kencana Sari isteri Pangeran Cirebon. Pangeran Cirebon anak Pangeran Cakrabuwana. Pangeran Muhammad penyebar agama Islam di Sindangkasih dan Sumedang.
 
Puteranya Pangeran Muhamad adalah Pangeran Santri disebut Ki Gedeng Sumedang. Sumedang dinyatakan sebagai daerah muslim pada tahun 1451 saka atau sekitar 1529-1530 masehi.
 
Adapun putra Pangeran Geusan Ulun Sumedang dari isteri Nyi Mas Gedeng Waru adalah Pangeran Dipati Rangga Gede namanya, menjadi Bupati bawahan Mataram, yang memerintah dengan daerah-daerah wilayahnya.
Sedangkan puteranya dari isteri Nyi Ratu Harisbaya adalah yang pertama Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol, kedua Raden Rangga Nitinagara, ketiga Raden Aria Wiraraja dan yang ke empat Pangeran Tumenggung Tegalkalong, putri Sang Tumenggung Tegalkalong ini ditikah oleh anak Sultan Agung Mataram.

Dari silsilah atau nasab Raden Aria Wangsakara, tokoh Pendiri Tanggerang. Raden Aria Wiraradja putranya Prabu Geusan Ulun, menikah dengan Nyimas Cipta putrinya Raden Kidang Palakaran Zuriat Pucuk Umun Banten, mempunyai anak 2 orang, yaitu : anak ke 1 Raden Wiraraja 2 atau Raden Aria Wangsakara atau Haji Mas Wangsa atau Raden Kenyep atau Kiyai Narantaka atau Aria Lengkong atau Aria Tanggeran 1, Bupati Lengkong Tanggerang Pertama antara 1633-1654 dan 1653-1665, menurunkan ke Serpong Tanggerang dan Anak ke 2 Nyimas Noertedja yang menurunkan ke Darmawangi dan Sumedang.

Raden Aria Wangsakara atau Raden Wiraraja 2 atau Haji Mas Wangsa atau Raden Kenyep atau Kiyai Narantaka atau Aria Lengkong atau  Aria Tanggeran 1, Bupati Lengkong Tanggerang Pertama antara 1633-1654 dan 1653-1665, menurunkan ke Serpong Tanggerang, mempunyai 7 orang anak, yaitu : anak ke 1 Raden Aria Yudanagara atau Aria Tanggeran 2, anak ke 2 Raden Aria Raksanegara atau Aria Tangeran 3,  anak ke 3 Raden Wiranegara atau Syekh Ciliwung, anak ke 4 Nyi Raden Ratna Sukaesih, anak ke 5 Nyi Raden Wira Sukaesih, anak ke 6 Nyi Raden Sukaedah, dan  anak ke 7 Nyi Raden Supadmi.

Sedangkan Nyimas Nurtedja dinikah oleh Raden Wiraredja, mempunyai anak, Raden Parantaka dan Raden Parantaka mempunyai 6 orang anak yaitu Raden Sepuh Parantaka yang meneruskan memimpin di Pasir Ipis Darmawangi, Raden Bangsadipa, Raden Wiradiredja 1, Raden Kartadinata, Raden Nata dan Raden Natabrata.

Untuk lebih jelasnya saya uraikan nasab Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedag atau Ratu Inten Dewata, menurut buku silsilah stambond Sumedang dan silsilah Raden Aria Wiraraja atau Dalem Wiraraja 1 dan Nasab Raden Aria Wangsakara, tokoh Pendiri Tangerang, adalah sebagai berikut :
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri atau Raden Sholih atau Ki Gedeng Sumedang atau Kusumadinata 1
menikah dengan Nyimas Satyasih atau  Ratu Pucuk Umun atau Ratu Inten Dewata, mepunyai anak, yaitu :
1.1. Pangeran Angka Wijaya atau Raden Jafar atau Prabu Geusan Ulun atau  Kusumadinata 2
1.2. Demang Rangga Haji
1.3. Demang Watang
1.4. Santoan Wirakusumah
1.5. Santoan Cikeruh
1.6. Santoan Awi Luar atau Pangeran Bungsu


Generasi ke-2
1.1 1.1. Pangeran Angka Wijaya atau Raden Jafar atau Prabu Geusan Ulun atau  Kusumadinata 2, menpunyai 3 orang permaisuri yaitu : permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin putrinya Raden Hasata atau Sunan Pada, permaisuri ke 2 Ratu Harisbaya putrinya Adipati Ketawengan, dan permasisuri ke 3 Nyimas Pasarean putranya Sunan Munding Saringsingan,  Dari ketiga garwa padminya Prabu Geusan mempunyai anak, 15 orang yaitu :
1.1.1. Pangeran Rangga Gede atau Kusumadinata 4, anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.2. Raden Aria Wiraradja 1,  anak dari permaisuri ke 2 Ratu Harisbaya
1.1.3. Kiai Kadu Rangga Gede,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.4. Kiai Rangga Patra Kelana,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.5. Kiai Aria Rangga Pati,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.6. Kiai Ngabehi Watang, anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.  
1.1.7. Nyimas Demang Cipaku, anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.  
1.1.8. Nyimas Ngabehi Martajoeda,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.9. Nyimas Rangga Wiratama,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.10. Raden Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara,  anak dari permaisuri ke 2 Ratu Harisbaya
1.1.11. Nyimas Rangga Pamade,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
1.1.12. Nyimas Dipati Ukur,  anak dari  permaisuri ke 1 Nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin yang ditikah oleh Dipati Ukur
1.1.13. Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol 1 atau Kusumadinata 3, anak dari permaisuri ke 2 Ratu Harisbaya
1.1.14. Kiyai Demang Cipaku, anak dari permasisuri ke 3 Nyimas Pasarean
1.1.15. Pangeran Tumenggung Tegal Kalong, anak dari permaisuri ke 2 Ratu Harisbaya

1.2. Demang Rangga Haji, mempunyai anak :
1.2.1. Santowan Anut Nangga
1.2.2. Santowan Anut Paradja
1.2.3. Santowan Ngabehi  

1.3. Demang Watang  (blank data)

1.4. Santowan Wirakusumah, mempunyai anak :
1.4.1 Rd. Anggawangsa  

1.5. Santowan Cikeruh

1.6. Santowan Awi Luar


Generasi ke-3
1.1.2 Dari silsilah atau Nasab Raden Aria Wangsakara, tokoh Pendiri Tangerang. Raden Aria Wiraradja 1 putranya Prabu Geusan Ulun adalah, menikah dengan Nyimas Cipta putrinya Raden Kidang Palakaran Zuriat Pucuk Umun Banten, mempunyai anak :
1.1.2.1 Raden Wiraraja 2 atau Raden Aria Wangsakara atau Haji Mas Wangsa atau Raden Kenyep atau Kiyai Narantaka atau Aria Lengkong atau Aria Tanggeran 1, Bupati Lengkong Tanggerangg Pertama antara 1633-1654 dan 1653-1665, menurunkan ke Serpong Tanggerang.

1.1.2.2 Nyimas Noertedja



Generasi ke-4
1.1.2.1 Raden Wiraraja 2 atau Raden Aria Wangsakara atau Haji Mas Wangsa atau Raden Kenyep atau Kiyai Narantaka atau Aria Lengkong atau  Aria Tanggeran 1, Bupati Lengkong Tanggerangg Pertama antara 1633-1654 dan 1653-1665, menurunkan ke Serpong Tanggerang, mempunyai 7 orang anak :
1.1.2.1.1 Raden Aria Yudanagara atau Aria Tanggeran 2
1.1.2.1.2 Raden Aria Raksanegara atau Aria Tangeran 3
1.1.2.1.3 Raden Wiranegara atau Syekh Ciliwung
1.1.2.1.4 Nyi Raden Ratna Sukaesih
1.1.2.1.5 Nyi Raden Wira Sukaesih
1.1.2.1.6 Nyi Raden Sukaedah
1.1.2.1.7 Nyi Raden Supadmi
 
1.1.2.2 Nyimas Nurtedja dinikah oleh Raden Wiraredja, mempunyai anak :
1.1.2.2.1 Raden Parantaka
 
 
Generasi ke-5
1.1.2.2.1 Raden Parantaka, mempunyai anak :
1.1.2.2.1.1 Raden Sepuh Parantaka yang memimpin di Pasir Ipis Darmawangi
1.1.2.2.1.2 Raden Bangsadipa
1.1.2.2.1.3 Raden Wiradiredja 1
1.1.2.2.1.4 Raden Kartadinata
1.1.2.2.1.5 Raden Nata
1.1.2.2.1.6 Raden Natabrata

1.1.2.2.1.3 Raden Wiradiredja 1, mempunyai anak :
1.1.2.2.1.3.1 Raden Waradiredja 2
1.1.2.2.1.3.2 Raden Wiradidjaya
1.1.2.2.1.3.3 Nyi Raden Bandiya
1.1.2.2.1.3.4 Nyi Raden Kerta

 
Generasi ke-6
1.1.2.2.1.1 Rd. Sepuh Parantaka yang memimpin di Pasir Ipis Darmawangi, mempunyai anak :
1.1.2.2.1.1.1 Raden Suwantaka
1.1.2.2.1.1.2 Mas Astrantaka
1.1.2.2.1.1.3 Mas Radjadinata

1.1.2.2.1.3.2 Raden Wiradidjaya, mempunyai anak, yaitu :
1.1.2.2.1.3.2.1 Raden Wiradiredja 3
1.1.2.2.1.3.2.2 Raden Wiradidjaya 2


Generasi ke-7
1.1.2.2.1.1.1 Raden Suwantaka, mempuyai 2 orang anak, yaitu :
1.1.2.2.1.1.1.1 Mas Suba, menikah dengan putraiya Bapa Djakar Panday.
1.1.2.2.1.1.1.2 Adiknya Mas Suba (tidak diketahui namanya).

1.1.2.2.1.1.3 Mas Radjadinata, mempunyai anak, yaitu :
1.1.2.2.1.1.3.1 Nyimas Deles

1.1.2.2.1.3.2.1 Raden Wiradiredja 3, mempunyai 3 orang anak, yaitu :
1.1.2.2.1.3.2.1.1 Raden Tejamantri
1.1.2.2.1.3.2.1.2 Raden Sanabak
1.1.2.2.1.3.2.1.3 Raden Kataredja

1.1.2.2.1.3.2.1 Rd. Wiradiredja 3 dari istrinya putranya Raden Wijaya No.1, mempunyai anak :
1.1.2.2.1.3.2.1.4 Mas Wiradiredja
1.1.2.2.1.3.2.1.5 Nyimas Dewi
1.1.2.2.1.3.2.1.6 Nyimas Murta


Generasi ke-8
1.1.2.2.1.1.3.1.1 Nyimas Gembro, mempunyai anak :
1.1.2.2.1.1.3.1.1.1 Nyimas Kamrah ditikah oleh Rd. Soeradiredja putra dari Dalem Adipati Soerialaga 1.
 
1.1.2.2.1.3.2.1.5 Nyimas Dewi, mempunyai anak :
1.1.2.2.1.3.2.1.5.1 Nyimas Djamasih
1.1.2.2.1.3.2.1.5.2 Raden Mangunpradja.

Raden Aria Wangsakara Putranya Raden Aria Wiraraja
Raden Aria Wangsakara yang mendirikan kampung Lengkong Tanggerang, keturunan Sumedang ditempatkan di Lengkong Sumedang, sekarang yang mesti ditelaah itu sejak kapan didirikannya Lengkong Sumedang, serta apa sebabnya dan hijrah ke Lengkong yang jauh dari Sumedang,

Berdasarkan cerita, ketika Dipati Ukur membangkang ke Mataram kira-kira antara 1629-1632, di Pasundan gampang sekali ada keributan. Dipati Ukur sebelum membangkang ke Sultan Agung pernah dijadikan Bupati Wedana Priangan, mengganti Pangeran Dipati Rangga Gede yang menjabat Bupati Wedana Priangan, yang pertama kali menjadi bupati dibawah pengaruh Mataram antara 1620-1628, sebelum Dipati Ukur Bandung.

Namun ketika Dipati Ukur membangkang, para bupati Pasundan, Banten semuanya mengikuti Dipati Ukur. Ngabehi Wirawangsa, Tumenggung Somahita dan Tumenggung Astamanggala dari Sukakerta, Sindangkasih (Galunggung), dan Cihaurbeuti dan tembus ke Imbanagara ikut ke Mataram. Ki Wanda dari Sukakerta ikut ke Mataram, cuma Oejang Sara dari Indihiang tidak ikut ke Dipati Ukur ataupun atau ikut ke Mataram. Dalam tahun 1630 Wadya balad Mataram terdesak oleh Dipati Ukur, namun dari Sumedang tidak juga ikut pro Dipati Ukur. 

Menurut cerita, waktu itu ada sebagian orang Sumedang yang kabur ke Banten, dipimpin oleh Demang Satjawana, yang menjadi saksi ini cerita yaitu dengan adanya Lengkong Sumedang tersebut, tempat orang Sumedang dekat Tanggerang. Bukan Lengkong Sumedang saja, orang-orang Sumedang juga ada di sisi Citarum dekat Karawang, mungkin sama saja saudara-saudaranya yang mendirikannya, serta tidak sama waktunya datangnya.

Sekarang bagaimana menurut sejarah ada keterangan dengan bukti-buktinya. Dalam Dagregisters  Tuan V.H Casteel Batavia 1631-1634, dituliskan, yaitu :
Dagregister, tanggal 15 bulan Juli tahun 1632, ada 3 orang yang datang ke Betawi, dan orang-orang dari Sumedang meminta permohonan kepada Tuan Besar Jacques Spock, dan yang meminta permohonan itu sesepuhnya Kiyai Demang agar dapat tinggal di wilayah Betawi.
 
Berdasarkan cerita yang berangkat dari Sumedang banyak sekali ada sekitar 8 sampai 10 ribuan, namun dijalan terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok tersebut kurang lebih 1000 orang, dan juga lainnya ada 400 dan kepalanya Kiyai Demang.  Kemudian ada niat untuk pindah dari Betawi ke lahan yang yang subur dekat Betawi, dan dengan Banten pun beberapa kali niat tersebut dimusyawarahkan namun tidak membawakan hasil. Perjalanan untuk pindah ke lahan yang subur dekat Betawi tersebut kurang lebih 2 harian.
 
Meskipun oleh Pemerintah di Betawi diberi ijin tinggal di dekat Betawi, juga dijanjikan akan dilindungi oleh Kompeni, namun dalam perkara pindahnya ke lahan dekat Betawi, ditemukan juga keterangan catatan, yaitu :
 
Dagregister, tanggal 3 bulan Maret tahun 1631, ada utusan yang datang ke Betawi, seba beras ke Kompeni, namun berasnya yang bisa dibawa cuma dari Cisadane, oleh sebab mereka itu mempunyai kemampuan untuk memberikannya kepada Kompeni di Betawi.

Dagregister, tanggal 6 bulan September tahun 1631, utusan tersebut kembali lagi. Seketika juga Pamerintah di Betawi menelisik serta mengawasi itu daerah. 

Dalam catatan Dagregisters tidak ada lagi keterangan lainya, orang-orang Sumedang yang masuk ke wilayah Betawi.

Dagregister, tanggal 13 bulan September tahun 1932, ada cerita dari Banten bahwa ada utusan dari Panembahan Girilaya 1 Sultan Cirebon, memohon kepada Sultan Banten Abdul Moetachir Mahmud Abdul Kadir, agar orang Sunda yang datang agar berada di wilayah Banten, digiringkan ke Cirebon dengan atas nama Sultan Mataram, namun wilayah orang-orang Sumedang dengan adanya aturan tersebut tidak terganggu.

Dagregister, tanggal 15 bulan Januari 1633, Pemerintah di Betawi yaitu Tuan Besar Hendrik Brouwer, menyuruh memeriksa dengan tentara kompeni memakai 2 perahu, menangkap beberapa orang-orang Jawa yang membunuh orang Tionghoa 5 orang, perjalanannya kurang lebih 5 harian dari betawi. Mengakunya mereka adalah termasuk kelompok balad Ukur Sumedang, yang datang dan tinggalnya bersama orang-orang babakan urang Sumedang yang masuk itu, dan kepalanya Kiyai Demang di situ tinggalnya.

Dagregister, tanggal 26 bulan Januari 1633, ada juga 2 utusan balad Ukur Sumedang yang masuk, namun ini mah dari daerah Karawang dari yang tinggal di pinggir Citarum, Dan mereka yang mendirikan Kasumedangan itu, tepatnya di Tjibeet ke Citarum. Malahan mungkin juga Kompeni di daerah tersebut mendirikan Benteng Tanjungpura        

Awalnya yang menjadi sesepuh ditempat itu Kiyai Demang Soeradikara,  yang menurunkan kepala-kepala di Wanayasa dan Kasumedangan. Berdasarkan cerita juga Kiyai Demang Soeradikara, rundayanna Kiyai Pantjawara, saudaranya Ratu Harisbaya, salah satu garwa padmi Prabu Geusan Ulun yang tersohor.

Dalam bulan Januari 1633, babakan atau tempat orang-orang  Sumedang tersebut ada 2, yaitu di pinggiran sungai Cisadane dan di pinggiran sungai Citarum. Sekarang kita ceritakan yang tinggal dipinggiran Cisadane. Melihat dari catatan Degregisters V.H. Casteel Batavia, boleh juga oleh kita yang mendirikan daerah tersebut Kiyai Demang Soeradikara, yang dalam bulan Juli tahun 1931 meengirimkan utusan ke Betawi, dan wilayah tersebut tidak salah adalah "Lengkong Sumedang", yang didirikan oleh leluhur orang-orang Sumedang. Rupanya Orang Lengkong Sumedang dulu datangnya ke daerah tersebut dikepalai oleh Raden Wangsakara. Dan beliau yang dihormati, setelah meninggal dimakamkan di daerah Lengkong Sumedang tersebut.  

Oleh sebab itu rupanya Raden Wangsakara adalah Kiyai Demang Soeradikadira yang tercatat dalam Dagregister dalam waktu bulan Juli 1631. 

Juga menurut cerita juga menurut sejarah, orang yang meninggalkan tanah kelahirannya itu, mendirikan tempat di tempat lain, oleh sebab di Sumedang mendapatkan kesusahan, dari buntutnya dari peristiwa kejadian Dipati Ukur membangkang kepada Mataram. Jadi orang Sumedang menyingkir dari tanah kelahirannya oleh sebab terpaksa, sebab bingung dengan apa yang harus dilakukan, oleh sebab Bupati Pangeran Rangga Gede ditahan di Mataram, juga oleh sebab tidak mau ikut bekerja sama dengan Dipati Ukur, dari akibat ancaman Mataram, atau mungkin karena setia kepada Mataram. Rupanya sebab hal ini juga babakan Kasumedangan di Karawang bisa damai dan aman dengan babakan orang Mataram yang berdekatan. 

Jadi berdasarkan cerita dan sejarah Lengkong Sumedang di Tanggerang didirikan oleh Raden Wangsakara dalam kurun waktu Dipati Ukur atau Raden Wangsanata membangkang ke Mataram antara 1631-1633.

Kompleks Pemakaman Raden Wiraraja 1 di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo
Makam Rd. Wiraraja 1 di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo
Makam Istrinya Rd. Wiraraja 1 di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo

Makam keturunan Rd. Wiraraja 1 di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo
Makam keturunann Rd. Wiraraja 1 di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo


Silsilah Aria Wangsakara atau Wiraraja 2 Versi Tanggerang
Dimulai dengan Lembu Peteng, Beliau adalah putra Prabu Brawijaya (Raja Majapahit) di angkat sebagai Kamituwo di Madegan Sampang. Memeluk agama islam pada tahun 1478 M. setelah menjadi santri Sunan Ampel.  Nyai Ageng Budo Keturunan ke-3 dari Lembu Peteng. Beliau menikah dengan Ario Pojok yang juga masih keturunan Prabu Brawijaya dari istri yang lain. Pernikahannya dengan Ario Pojok dianugrahi seorang putra bernama Kiai Demang.  

Kiai Demang, Beliau sebagai Demang Plakaran Arosbaya menikah dengan Nyai Sumekar, dan mendirikan kraton di kota Anyar. Dari pernikahannya, beliau mempunyai 5 orang putra, salah satu dari putranya adalah bernama Kiai Pragalba/Pangeran Pragalba. Kiai Pragalba di sebut juga Pangeran Onggu, beliau mempunyai 3 orang istri yaitu : 

1. Nyai Ageng Suko dari Pamekasan, 
2. Nyai Ageng Padopo dari Pamekasan 
3. Nyai Ageng Mamah dari Madegan Sampang. 

Perkawinan Pangeran Pragalba dengan isteri ke 2,  yaitu Nyai Ageng Padopo, puteri triman dari Pamekasan Pulau Madura berputra : Pangeran Suhra Pradoto / Pangeran Suhra Jamburingin/Pangeran Langgar yang menikah dengan Retna Kenya / Ratu Mas Pembayun (puteri pertama Sultan Trenggana bin Raden Fatah Demak) dan mempunyai anak diantaranya adalah Ratu Mas Harisbaya menikah dengan Prabu Geusan Ulun, putra Pangeran Santri / Pangeran Kusumah Adinata 1 / Raden Sholih bin Pangeran Pamelekaran dari Sumedanglarang. 

Pangeran Geusan Ulun dari istrinya Harisbaya, berputra 4 diantaranya, adalah Pangeran Arya Wiraraja/Pangeran Lemah Beureum/Pangeran Jaga Lautan. 

Pangeran Arya Wiraraja / Wiraraja 1 mempunyai anak yaitu  Raden Kenyep / Pangeran Arya Wangsakara / Imam Haji Wangsareja / Arya Tanggerang, Adipati Tangerang Pertama, di makamkan di Lengkong Ulama Serpong.

 
Raden Aria Wangsakara/Wiraraja 2 mempunyai tiga isteri diantaranya, Nyai ratu maemunah binti kiayi tubagus idham, bangsawan banten, mempunyai anak Pangeran Arya Wiranegara atau Syekh Ciliwulung Cakung-Kresek. 


Mengenal Ulama Lengkong Kyai Serpong Tanggerang
Di Kampung Lengkong Kyai Kabupaten Tangerang, menurut Kyai Thobary disini terdapat tiga makam keramat yang sering diziarahi orang, yaitu:
1. Makam Syeikh Mustaqim bin Darda, ulama asal Yaman dan makamnya terletak di belakang mimbar masjid.
2. Makam Syeikh Azhari bin Nashib, murid kesayangan sekaligus menantu Syeikh Mustaqim dari cucunya yang bernama Nyi Hj. Nasyi’ah. Makamnya terletak di bukit kecil berdampingan dengan makam Raden Aria Wangsakara.
3. Raden Aria Wangsakara, ulama ahli falak cucu Raja Geusan Ulun (Raja Pertama Sumedang Larang). Raden Aria Wangsakara ini disebut juga Imam Wangsaraja atau Pangeran Wiraraja II.

Syeikh Azhari ini keturunan ketujuh Raden Aria Wangsakara. 
 





Syeikh Mustaqim bin Darda’ (ulama asal Yaman) di Kampung Lengkong Kyai Kota Tangerang. Ketika itu sedang turun hujan. Setelah selesai ziarah hujanpun belum reda. Dalam keadaan duduk bersila saya tertidur sebentar karena mata sangat mengantuk sekali. Dalam tidur itu saya bermimpi kedatangan Syeikh Azhari bin Nashib dan beliau menghampiri saya. 
 
Kemudian, beliau memberi saya ilmu falak. Setelah itu saya bangun dan tertegun sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. Karena, atas seizin-Nya dan tanpa disangka-sangka saya bisa bertemu langsung dengan buyut saya sendiri dari pihak ibu, meskipun hanya lewat mimpi. Ujar Kyai Thobary.

Syeikh Azhari ini termasuk seorang waliyullah yang memiliki ilmu ladunni. Kalau orang bertanya tentang apa saja di bidang masalah agama, beliau langsung menengadahkan wajahnya ke langit. Dan seketika itu juga di langit sudah ada jawabannya dalam bentuk tulisan berbahasa Arab. Subhanallah !


Suatu hari pernah ada seorang miskin membawa minyak tanah yang berisi 2 liter yang dia beli dari warung. Kemudian, minyak tanah itu tumpah ke tanah. Dia menangis sedih, karena untuk membelinya kembali dia tidak mempunyai uang. Sedangkan, minyak tanah yang tumpah itu sangat dibutuhkannya. 
 
Kemudian, dia langsung menemui Syeikh Azhari yang tidak jauh dari rumahnya untuk diminta pertolongan. Dia mengadukan persoalan yang sedang dihadapinya. Setelah itu, Syeikh Azhari bersamanya bergegas menuju lokasi di mana minyak tanah itu tumpah. Tidak berpikir panjang lagi, beliau langsung memeras tanah yang ketumpahan minyak tanah. Setelah diperas tanah itu, minyak tanah itu kembali seperti semula, yaitu ada 2 liter.itulah sedikit karomah Syeikh Azhari yang diceritakan Kyai Thobary.

Sedangkan menurut penjelasan Syaifullah, kuncen makam Aria Wangsakara di Desa Lengkong Kyai Kabupaten Tangerang, menjelaskan Raden Aria Wangsakara merupakan keturunan dari raja Sumedang Larang, yaitu Sultan Syarif Abdulrohman. Beliau merantau ke Wilayah Tangerang Karena tidak sepaham dengan saudaranya yang berpihak kepada penjajah Belanda. 
 
Dalam perjalanannya, beliau memilih daerah di tepian sungai untuk tempat bermukim dan mengajarkan agama Islam dengan cara mendirikan pesantren dan masjid. Beliau juga pernah menjadi penasehat di Kerajaan Mataram pada jaman itu,” jelas Syaifullah. Dalam beberapa literatur Sejarah Kabupaten Tangerang disebutkan, Aria Wangsakara pergi dari Sumedang ke Tangerang bersama dua saudaranya, masing-masing Aria Santika dan Aria Yuda Negara. Ketiga tumenggung dari Sumedang ini, kemudian mendapatkan restu dari sultan Banten di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf untuk bertugas menjaga wilayah dari tindakan kompeni dengan membangun benteng di Lengkong Kyai yang terletak di tepi Sungai Cisadane sebelah barat sampai bendungan Sangego. 
 
Di Lengkong Kyai, Aria Wangsakara menetap bersama isterinya, Nyi Mas Nurmala, seorang anak dalem Bupati Karawang Singaprabangsa. Di tempat ini pula bermukim pengikutnya yang berjumlah sekira 500 orang. Pada tahun 1652-1653 M, VOC yang sudah mencium aktivitas penyebaran agama di Lengkong Kyai ini, kemudian mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane yang persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Aria Wangsakara. VOC juga memprovokasi dan menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam yang diarahkan ke Lengkong Kyai. 
 
Sikap Kompeni ini memicu pertempuran antara Kompeni Belanda dengan rakyat Tangerang di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara. Peristiwa ini kelak akan disebut sebagai titik awal tumbuhnya jiwa patriotik rakyat Tangerang di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara. Lewat kegigihan dan jiwa kepahlawanan kolektif, warga Lengkong akhirnya berhasil mempertahankan wilayahnya ini melalui pertempuran yang berkobar selama tujuh bulan berturut-turut. Tentang peristiwa ini, menurut Syaifullah, Aria Wangsakara selain dikenal sebagai ulama, dia juga memang berperan aktif dalam melawan VOC. Semangat yang dimiliki Aria Wangsakara inilah menurut Syaifullah, yang kemudian diteruskan turun temurun oleh warga Lengkong Kyai.

Nenek dan kakek saya dulu sering bercerita tentang perjuangan melawan NICA di Desa Lengkong,” terang Syaifullah. Pertempuran NICA dan rakyat Tangerang, tak pernah lepas dari konflik Banten dan Kompeni Belanda. Tarik menarik batas kekuasaan antara Banten dan Kompeni, menjadikan Tangerang sebagai pertahanan pertama bagi Banten. 
 
Sejak 10 Juli 1659, perjanjian antara Banten dan Belanda tak pernah dipatuhi oleh pihak Kompeni. Pun demikian ketika Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa yang diadudomba Kompeni Belanda, membuat perjanjian baru dengan Belanda soal batas kekuasaan Banten – Belanda pada 17 April 1984. Pada pasal 3 perjanjian tersebut disebutkan, walaupun batas Banten dengan Batavia tetap pada Sungai Untung Jawa (Sungai Cisadane) yang disebut pula Tangerang sejak dari pantai laut hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya, tetapi ditetapkan lebih jauh bahwa kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai Lautan Kidul (Samudera Hindia) dan semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik dan ditempati Kompeni. Kompeni Belanda sendiri terus berupaya melakukan penguasaan dengan menyerang ke daerah Tangerang secara terus menerus.
 
Serangan Belanda ini mendapat perlawanan sengit dari Aria Wangsakara dan dua saudaranya, Aria Santika dan Aria Yuda Negara. Hingga pada akhirnya, ketiga tumenggung ini gugur dalam pertempuran. Aria Santika gugur dalam pertempuran di Kebon Besar pada tahun 1717. Ia dimakamkan di Kecamatan Batu Ceper (Kramat Asem). Tumenggung Yuda Negara gugur di Cikokol pada tahun 1718. Ia dimakamkan di Sangiang, Kecamatan Jatiuwung. Sementara, Aria Wangsakara gugur di Ciledug pada tahun 1720. Ia dimakamkan di Lengkong Kulon atau Lengkong Kyai. Dalam penanggalan Islam, dikatakan Syafiullah, tanggal wafatnya Aria Wangsakara jatuh pada tanggal 2 Sya’ban 1662. Makam Aria Wangsakara dikelilingi makam-makam para ulama dan kyai yang berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di wilayah Tangerang. Sumber : Panglima Sarkub (sarjana Kuburan) KH. Thobary Syadzily


Beri Dukungan Kepada Raden Aria Wangsakara Sebagai Pahlawan Daerah
Pendiri Majelis Dzikir Tunggul Karomah Tangerang Selatan (Tangsel) Ki Sutono Qusyairi Sumolangu mendukung pemberian gelar pahlawan daerah kepada Raden Aria Wangsakara. Dukungan ini disampaikan melalui tandatangan dalam hari ulang tahun (haul) Raden Aria Wangsakara ke-399 di Lengkong Kulon Pagedangan Tangerang belum lama ini.

Sekadar diketahui, Raden Aria memiliki ayah bernama Pangeran Wiraraja I atau bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang dan ibunya Putri Dewi Cipta, putrid Raden Kidang Palakaran cucu Pucuk Umun dari Banten. Berdasarkan silsilah tersebut, Aria Wangsakara berasal dari Sumedang dan Cirebon, sedangkan pihak ibu berasal dari Banten.

Majelis Dzikir Tunggul Karomah ini adalah satu dari berbagai elemen dan para ulama dan kiai serta tokoh yang juga menandatangani dukungan serupa. Diantaranya Plt. Gubernur Banten H. Rano Karno, Bupati Tangerang Zaki Iskandar, Wakil Talqin Tarekat Qoodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) PPS Suryalaya Korwil Tangerang Kiai Haji Sirojudin Royani, Anggota DPD Banten Habib Alwi dan sejumlah tokoh lainnya.

Menurut Ki Sutono, dukungan ini disampaikan karena sosok Raden Aria Wangsakara selain sebagai ulama besar juga seorang pejuang yang gigih dalam melawan Belanda. “Beliau punya jiwa patriotisme yang tinggi dan seorang ulama pendiri Tangerang,” tutur Ki Sutono yang ditemui di kediamannya Jl. Ciater II No. 8 RT 002/08 Lengkong Wetan Serpong Tangsel.

Dalam berjuang, terang Sutono, Raden Aria Wangsakara bersama dua saudaranya yakni Raden Aria Santika dan Raden Aria Yudhanegara. Dalam perjuangan itulah, ketiganya gugur. Raden Aria dimakamkan Kramat Asem Batu Ceper Tangerang, lalu Raden Aria Yudhanegara gugur happy wheels pada tahun 1718 dan dimakamkan di Sangiang Jati Uwung Tangerang dan pada tahun 1720 Raden Aria Wangsakara gugur di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai atau yang saat ini dikenal sebagai Lengkong Kulon Pagedangan Tangerang.

“Sebelumnya, beliau turut serta dalam perang melawan Belanda dalam pertempuran tujuh bulan bulan berturut-turut mulai tahun 1652-1653,” urai Ki Sutono. Kini, makam Raden Aria Wangsakara dijadikan cagar budaya dan haul-nya diperingati setiap tahun.

Di sisi lain, lanjut Sutono, Raden Aria Wangsakara yang bergelar Pangeran Wiraraja II juga dikenal sebagai ulama yang terus-menerus melakukan siar Islam. Di Lengkong Kulon, Raden Aria yang terkenal dengan julukan Imam Haji Wangsaraja mendirikan Pondok Pesantren dan santrinya pada saat itu mencapai 500 orang.

“Sebelumnya, beliau mendirikan Pondok Pesantren di Grendeng daerah Karawaci, namun karena mendapat tekanan Belanda pada peristiwa penyerangan tahun 1640, beliau membangun kembali pondok pesantren di Pagedangan Tangerang,” tutur suami dari Sri Mujiyati yang pensiun dari TNI dengan pangkat terakhir Serma ini.

Atas dasar perjuangan baik dalam agama maupun mempertahankan nusantara inilah, Ki Sutono bersama para jamaah dari Majelis Dzikir Tunggul Karomah memberi dukungan agar Raden Aria Wangsakara menjadi pahlawan daerah dan namanya diabadikan sebagai nama jalan utama di Tangerang.

“Kami juga mendukung pembangunan museum kaligrafi Islam dan mendukung pembuatan film budaya sejarah agar generasi muda mengetahui perjuangan beliau,” paparnya.

Hingga kini, makam Raden Aria Wangsakara selalu ramai dikunjungi warga yang berziarah. Di kompleks makam ini juga terdapat sejumlah ulama yang dimakamkan, diantaranya sahabatnya Syech Mustaqim yang berasal dari Yaman dan Syech Azhari.


Sumber :
- Buku Sejarah Sumedang (Sambungan V.A 1935) karangan R.A Natanagara.
- Buku Potret Lengkong Ulama Tanggerang - Rekontruksi Sejarah dan Arkeologi, Dinas Pemuda dan Olah Raga Pemda Tanggerang tahun, 2011 hal. 18.  Sumber : http://tangerangrayaonline.com/2015/05/27/majelis-dzikir-tunggul-karomah-tangerang-selatan

Baca Juga :

Tidak ada komentar