Darimana Ajaran Empat Ka Lima Pancer Berasal?

Pembahasan Empat Ka Lima Pancer saya awali "Lingga Sananing Haksara Kamanusaan" yang saya dapatkan dari kampung Paniisan Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang, kata Kunci Empat Kalima Pancer adalalah kata "HYANG".




I EU U GA
SA CA KA LA
GUNA RA JA
THA CAKRA
PRA HYANG NGA E NYA ETA
TRI YA NA BA O A DA MA
PA DHA SRI HA WA
Apabila aksara apabila kita baca dibalik maka  :

- WA HA SRI DHA, memaknai Ke-Tunggal-an dalam kehidupan untuk memperoleh keilmuan

- PA MA DA, mengandung makna aksara Pa = alam tempat, Ma =  alam hidup,  Da = Wujud yang berarti wujud alam tempat/hidup bila dipendekkan menjadi kata Padma atau Dalima (Sunda nu lima) yang memuat dhat yang lima yaitu Air, Api, Angin, Tanah (Bumi). Dalam ajaran Budha disebut Padma yang dilambangkan dengan bunga Teratai.


- YA TRI TAE, memaknai Tritangtu di Buana (Tiga Alam di Bumi) yaitu ; Buana Nyuncung, Buana Panca Tengah dan Buana Larang.  Dalam falsafah Hindu ada yang disebut Yantra.
- O ABANA, memaknai ada dalam dirinya.

- NYAE NGA HYANG, memaknai untuk mulih ka jatina, mulang (kembali) ke asalna/wiwitna dalam kesempurnaan hidup.

- PRA CAKRA THA JARA GUNA, memakna  mengkaji sumber Cakranya, mengkaji sumber Padangnya atau  mengkaji  sumber wijaya kusumahnya (Tajjalinya).

- LA KA CA, memaknai lakukan/jalankan

- SA GAU EUI,  memaknai sagaleuhnya/sagalihnya, yang dikerjakan oleh raganya (jirim) dan ruhnya (jisim) dalam kemanuggalan gumulung dirinya (bersinergi) dengan alam dan dengan Tuhannya, atau dalam ajaran sunda Martabat Medang Kamulan (keelmuan/kemulyaan)

Dari padma (diri/mikrokosmis) => Lima Mandala Hyang dalam kosmolologi alam kasundaan (alam makrokosmos) => Panca Kucika => Dalima (Sunda nu Lima)  sebagai contoh Linggahyang yang kemungkinan sebenarnya berasal dari ajaran asli Para-hyang-an, bukan dari ajar Hindu ataupun Budha, atau mungkin berasal dari ajaran Lemurian (bangsa Mu) sebagai keturunan Nabi Adam a.s (Ajar Para-HYANG-an dahulu kala).

Yang mengalami local genius up grading, pada setiap zaman sesuai dengan pengaruh ajaran/agemannya. Sebagai contoh  dalam kasundaan "Tata di Salira" atau dalam budaya jawa disebut "Kejawen" atau  dalam Ajaran Hindu disebut Yantra. Dalam agama Budha disebut Padma.

Makna kata kunci "HYANG" yang bisa berarti NU AGUNG yang tak nampak atau kasat mata namun ada ciptaannya atau coretannya ada atau nampak yaitu bumi dan segala isinya, ataupun bisa dikenakan pada seseorang yang telah mumpuni elmunya (Raja/resi), yang tak ada dalam bahasa kebudayaan peradaban Aztec, Inca dan Maya, peradaban Tiongkok, peradaban Sumeria - Akadia, peradaban Harrapa Mohenjo Daro (india) maupun peradaban Mesir Kuno.

Seperti yang ditemukan oleh Budayawan Sunda Kang Dicky Zainal Arifin, pada prasasti Gunung Seda Hurip Lembur Panineungan Garut, dalam Haksara Lemurian (bangsa Mu)

Anjana gaphida Hyangga
Avatara maningga rungga
Shaduballa aryadumida
Zakala manigwarha zenna

Artinya :

Engkau adalah gerbang Sang Pencipta
Pengendali alam keseluruhan 
jagat halus kasar, menyeimbangkan
kehidupan alam semesta
waktu akan menjadi anak penurut


Jadi vocal HYANG sudah ada dalam bahasa peradaban Lemurian dan Atlantis. Pengertian Hyangga (LEMURIAN/Bangsa MU) sama dengan HYANG dan pengertian naskah-naskah keagamaan Sunda. Itu kuncinya dulu, untuk menyusun pasal sejarah Nuh-santara.

Salah satu koncinya kecap Vocal HYANG, bisa nyambung dengan peradaban Lemurian. Peradaban Suku Maya menerangkan adanya peradaban Atlantis dan Lemuria yang diakui oleh para ahli Non minstream Dunia.  Kata Hyang hanya ada di Peradaban Nuhsantara.

 
Pancaniti atau Lima Titian Ilmu

Paradigma ajaran  Aji Saka Purbawisesa berkembang sesuai dengan semangat jaman (upgrading spiral) yang menghasilkan ajaran atau nilai baru.  Dalam  perjalan kehidupan yang sesungguhnya, manusia mengalami dan menemukan kembali 5 tahapan, baik pengertian maupun pengalaman, yang selalu dijadikan simbol ajaran kesempurnaan. Dalam Sunda Besar atau Alam Tata Buana dibagi menjadi lima tahapan, yaitu :

1. Buana Larang atau Alam Lahir atau Alam Jagat Semesta.
2. Buana Panca Tengah atau Alam Kehidupan atau Jiwa (Rasa)
3. Buana Nyuncung atau Alam Ruh atau Hirup.
4. Buana Kahyangan atau akal budi atau Rasa (buana Parahyangan : Ilmu, Amal dan Akhlaq)
5. Buana Agung adalah sebuah Istilah untuk memaknai Yang Maha Mutlak atau disebut Pancer.

Hal ini ditemukan dalam kebudayaan Sunda lama yaitu yaitu "Dalima/Sunda Nu Lima" dalam Tata Nagara yang menunjuk pada:
1. Jawa Dwipa
2. Waruna Dwipa
3. Swarna Dwipa
4. Simphla Dwipa
5. Parahyangan sebagai Pancer.

Berdasarkan Naskah Sewaka Darma Kabuyutan Ciburuy yang dibuat pada tahun 1405 Saka (1484 Masehi) dan mengacu kepada konsep Papat Kalima Pancer maka di Parahyangan ada Lima Daerah Cipaku yang terdiri dari Satu Cipaku sebagai pusatnya/Pancer dan Empat Cipaku lainnya tersebar sesuai arah penjuru mata angin yaitu Cipaku Timur, Cipaku Barat, Cipaku Utara, dan Cipaku Selatan. 

Pada jaman pemerintahan Taruma Hyang yaitu periode Pangeran Wisnugopa dan Galuh Kandiawati Dewi Mayang Sunda. Medang ada dalam kedudukan "Perwalian" atau Kawali dari Sunda di Jawa Dwipa/Nusa larang. Hal ini membentuk sandi tata Nagara yaitu :

1. Medang yang berkedudukan di Gunung Manglayang, dengan raja pertama Dewata Cengkar atau Jalu Kandiawan atau Suryawarman.
2. Medang Kahayangan yang berkedudukan di Kendan Hyang dengan Raja Pertama Maharaja Garung
3. Sumedang Larang yang berkedudukan di Gunung Lingga, dengan tokoh Sentral Raden Brata Kusumah Wijaya /Prabu Tadjimalela (Sang Nararya Sangramawijaya) dan Maharaja Purahita/Prabu Purbasora (Prabu Guru Pangadipantara Jayadewabrata).

Prabu Tadjimalea yang menerima amanat ajaran parahyangan (amanat buyut) yaitu : "Bagawan Sawidak Lima,  Nusa Telung puluh Telu"

 

4. Medang Jati sebagai penerus Medang, yang berkedudukan  di Gunung Galuh, dengan Raja Pertama Ajar Sukaresi atau Permana di Kusumah. Medang Kamulan yang berkedudukan di Kediri, dengan raja pertama Rakeyan Warok (Ken Arok) atau Prabu Kuda Lelean.
Setelah  periode pemerintahan Raden Brata Kusumah (Prabu Tajimalela) dan Hyang Bunisora sebagai implementasi  dari dinasti Sunda - Medang (Galuh), maka sandi kenegaraan berganti dinasti Medang - Galuh, dimana Galuh berkedudukan menjadi SUNDAYANA. Periode ini dimulai semenjak masa pemerintahan Prabu Lingga Buana (ayah dari Wastukancana). Istilah sandi nagara yang sebelumnya Sunda - Medang atau Sumedang larang menjadi Medang Galuh atau Manggala.

Maharaja Wastukancana sebagai pendiri ajaran ka-Siliwangi-an dianungrahi gelar Para Hyang Galuh atau Poronggol dan para penerus dari ajaran ini digelari gelar Rahyang Galuh atau Rangga. Hal ini juga dapat ditemukan dalam sistem ke-tata-nagara-an Purba di Jawa Dwipa, yaitu Banjar Pataruman (patroman) dan Banjarsari Mataruman yang lebih dikenal dengan jaman Mataram Kuno. 

Istilah untuk wilayah karatuan tersebut adalah : Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati sebagai Pancer.
 



Pada masa Tarumanagara Desa istilah untuk Karatuan atau Karesian adalah :
1. Sang Kucika atau Pangeran Nandi Swara.
2. Sang Garga atau Pangeran Garga.
3. Sang Manistri atau Putri Maistri.
4. Sang Puruca atau Pangeran Puruca
5. Sang Patanjala atau Pangeran Putanjala.

Pada jaman pajajaran nagara istilah tetorial Karatuan dan Kamaharajaan di Jawa Dwipa adalah :
1. Mandala kasungka yang berada di Hujung Galuh.
2. Mandala Jati yang berada di Galuh.
3. Mandala Jati yang berada di Jeng Galuh atau Jenggala.
4. Mandala Samar yang berada di Saung Galuh atau Saung Galah.
5. Mandala Wangi atau Munding Wangi sebagai Pancer.

Pada masa pemerintahan Wastukancana atau Sunan Rumenggong (Rama Hyang Agung), nagara Karta Rahayu berfunsi sebagai pusat ajaran KA-SILIHWANGI-AN, dimana kedudukan Galuh sudah menjadi Sundayana, artinya Medang sebagai leluhurnya telah menjadi Sunda. Hal ini membentuk sandi nagara "MANGGALA" yang berasal dari kata Medang Galuh (Ma Hyang Galuh, Mayang Galuh). Sistem ke-Manggala-an tersebut adalah :
1. Hasta Manggala
2. Nata Manggala
3. Sura Manggala
4. Yuda Manggala
5. Manunggaling, yang berkedudukan di Para Hyang Galuh atau Poronggol menjadi Pancer.


Pada jaman para Rangga atau Para Hyang Galuh (Ra-Hyang Galuh) sandi nagara atau tata nagara menjadi :
1. Niti Harti dengan tokoh sentral Rangga Bungsu
2. Niti Surti dengan tokoh sentral Rangga Megatsari.
3. Niti Bukti dengan tokoh sentral Rangga Gading (Gede Hyang)
4. Niti Bakti dengan tokoh sentral Rangga Gede
5. Sajati atau Pancer dengan tokoh sentral Rangga Wulung (asal kata Gumulung) sebagai wujud implentasi dari Pancaniti atau Lima titian ilmu, yaitu :

1. Niti Harti
Niti Harti  merupakan bentuk ajaran secara ritual, estetika,  etika dan sebagainya.

2. Niti Surti
Niti Surti adalah sebuah aktivitas bentuk kajian pemaknaan ke arah filsafat menghasilkan hakekat dari aktivitas ritual yang merupakan tuntunan, ajaran, falsafah dan tata nagara. Dimana didalamnya terdapat sistematika ka-Manggala-an.

3. Niti Bakti
Niti Bakti adalah sebuah aplikasi atau pengejawantahan  di dalam kehidupan masyarakat atau balarea dalam tatanan negara mengenai hakekat dari aktifitas ritual. Niti Bakti merupakan tahap pembelajaran ketiga, yaitu membaktikan atau mengaplikasikan (dalam bahasa Sunda ngalaku elmu).

4. Niti Bukti
Niti Bukti adalah sebuah bentuk penyatuan antara ajaran dalam kehidupan sehari-hari atau dalam bahasa Sunda Gumulungna tekad, ucap jeung lampah. Niti Bukti merupakan tahap pembelajaran keempat, yaitu mebuktikan secara ilmiah. Niti Bukti merupakan bentuk penyatuan tatanan teritorial negara seperti : Parahyang, Gunungan, Sanghyang, Batara Guru dan sebagainya.

5. Niti Jadi Sajati atau Niti Sajati
Niti Jadi Sajati merupakan bentuk integrasi dari ke empat tahapan diatas menghasilkan disiplin ilmu yang baru. Niti jadi Sajati merupakan tahap pembelajaran ke lima, yaitu menemukan kebenaran yang tidak terbantahkan atau kebenaran hakiki, yang mengahsilkan keilmuan yang baru seperti terciptanya Carita Parahyangan, Naskah Siksa KandaNg Karesian, Kitab Amanat Galunggung, Kitab Pararaton, Kita Sastra Jendra Hayuningrat dan sebagainya.

 


Asal Ajaran ParaHyangan Papat Ka lima Pancer Menurut Agus Wirabudiman  

Seperti telah disebutkan diatas kata Hyang  menjadi kata kunci yang tidak dapat diketemukan dalam yang tak ada dalam bahasa kebudayaan peradaban Aztec, Inca dan Maya, peradaban Tiongkok, peradaban Sumeria - Akadia, peradaban Harrapa Mohenjo Daro (india) maupun peradaban Mesir Kuno, vocal HYANG sudah ada dalam bahasa peradaban Lemurian dan Atlantis. Pengertian Hyangga (LEMURIAN/Bangsa MU) sama dengan HYANG dan pengertian naskah-naskah keagamaan Sunda. Itu kuncinya dulu, untuk menyusun pasal sejarah Nusantara.

Makna kata kunci "HYANG" yang bisa berarti NU AGUNG yang tak nampak atau kasat mata namun ada ciptaannya atau coretannya ada atau nampak yaitu bumi dan segala isinya, ataupun bisa dikenakan pada seseorang yang telah mumpuni elmunya (Raja/Resi).

"Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa (lisan) kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Ibrahim:4)

"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (Syir’atan Waminhaajan)". (QS.Al-Maidah : 48).

"Dan di bumi itu terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah / Hyang / Gusti) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Adz-Dzariyaat : 20-21)

"Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung". (QS. An-Nisa:164)

"Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah (Hyang / Gusti); Maka apabila telah datang perintah Allah (Hyang / Gusti), diputuskan (semua perkara) dengan ADIL. dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil". (QS. Al-Mu‟min:78)

"Katakanlah (hai orang-orang mukmin) : "Kami beriman kepada Allah (Hyang / Gusti) dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi (Para-Hyang) dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS. Al-Baqarah : 136)
Dalam falsafah Hindu ada yang disebut Yantra

Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. (Bhagavan Shri Sathya Sai Baba, 1995: 12).

Yantra adalah bentuk “niyasa” ( = simbol = pengganti yang sebenarnya) yang diwujudkan oleh manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, misalnya dalam perpaduan warna, kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain.

Dalam tradisi Hindu, Yantra umumnya digunakan dalam melakukan upakara puja dengan mengikut sertakan bija mantra sesuai Yantra tersebut.

Dengan banyaknya jenis puja dan setiap puja menggunakan yantra dan mantra yang berbeda, sehingga bentuk yantrapun dalam kesustraan hindu dibagi menjadi :

1. Bhu Pristha yantra: yantra ini biasanya dibuat secara timbul atau dipahat pada suatu bahan tertentu dan yantra yang hanya ditulis pada selembar kertas atau kain.

2. Meru Pristha yantra : yantra ini membentuk seperti gunung atau seperti piramid dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas semakin mengecil misalnya seperti bentuk meru pada bangunan pelinggih yang ada di Bali.

3.  Meru parastar yantra : ini adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.

4. Ruram Pristha yantra: yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak kura-kura.

5. Patala yantra : ini adalah kebalikan dari meru Pristha yantra yaitu diatasnya berbentuk besaran dibawahnya kecil.

Setiap Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Yantra telah dikenal sejak jaman Purba dimana oleh para Resi dan orang bijak memanfaatkan yantra untuk membantu mencapai tujuan kesuciannya.

Yantra telah dikenal sejak jaman Purba dimana oleh para Resi dan orang bijak memanfaatkan yantra untuk membantu mencapai tujuan kesuciannya. (baca : http://wisdanarananda.blogspot.co.id/2015/03/mantra-yantra-dan-tantra.html)



Selanjutnya Agus Wirabudiman menerangan gambar dibawah ini, yang merupakan pengembangan teori Hipotesa dari simbol LINGGA ditambah dari KOSMOLOGI SUNDA, untuk membaca Historis Nusantara yang bisa diuji oleh bukti data geologi, geofisika, dll.

Gambar diatas pengembangan teori Hipotesa dari simbol LINGGA ditambah dari KOSMOLOGI SUNDA, untuk membaca Historis Nusantara yang bisa diuji oleh bukti data geologi, geofisika, dll.

Yang selanjutnya dari teori diatas juga, AJAR PARA-HYANG-AN dari Symbolna, bisa menyimpulkan cerita sejarah isi Ajaran Millah ibrahim a.s. Tabel dan katerangan Ayat ada dibawah ini : 

Agus Wirabudiman : Tah abdi oge kapungkur kantos NGIMPLENG kitu teh ngaguar ku, Ha-Na-Ca-Ra-Ka anu parantos umum dikalangan ahli Sajarah Sunda sapertos dihandap ieu :

ADAM    = A(Ha) – DA(Da) - M(Ma) = HA-DA-MA = HADAM => ADAM
Awal     : Ha = 1; Da = 6;  HA-WA : Ha = 1 ; Wa = 9;
Panambih : Mu / Mo / Mi / Ma = 15; 1 + 5 = 6;
Hasil    : HA-DA-MA = 1-6-6;
===================================================================

AHMAD    = Ha-Ma-Da; / Muhammad (Mu = 6; Ha = 1; Ma = 6;Ma = 6;Da = 6;)
Awal        : Ah/Ha; H(Ha) - Ah(Ha) = Ah=1 / Ha = 1;
Panambih    : Ma = 15; 1 + 5 = 6;
Awal anu Akhir : Da = 6; Da - kalebet awal tapi dina kecap akhir.
Hasil       : HA-MA-DA = 1-6-6;
MUHAMMAD    : 6 – 1 – 6 – 6 – 6
===================================================================

SILIH : Awal : Si/Sa = 8; Panambih : Li/La = 10, 1 + 0 = 1; Ha(H) = 1;
SILIH  = 8-1-1;  
WA-NGI = Wa = 9; Panambih  : Ngi/Nga = 18, 1 + 8 = 9;
WA-NGI = 9 – 9;  
SILIHWANGI : 8 – 1 – 1 – 9 – 9 :
SADANA = 8;
GALUH = 1; JATI INDUNG = 1 - 9; WA = 9 (Sa-Wawa) PAJAJARAN.
SUNDA = SU(Sa)-N(Na)- DA(Da) = Sa=8, Na=2, Da=6; Sa-Na-Da = 8 – 2 – 6;
SADANA = 8 – 6 – 2; *** SUNDA= 8 – 2 – 6;
===================================================================

AJISAKA NGABALADAH AKSARA JEUNG SIMBUL LINGGA
INDUNG JATI (ALAM) = 1 – 9;  0 - 1 - 9 - 0
SADANA   = 8 – 6 – 2; Sa-Da-Na (Dawuh-Na Di Jagat Papasangan)
===================================================================

GALUH      = 7 – 1 – 1; Ga-La-Ha;
ADAM        = 1 – 6 – 6; Ha-Da-Ma;
AHMAD     = 1 – 6 – 6; Ha-Ma-Da;
MUHAMMAD  = 6 – 1 – 6 – 6 – 6; Ma-Ha-Ma-Ma-Da; Penerus Jazirah Arab.
SILIHWANGI  = 8 – 1 – 1 – 9 – 9; Sa-La-Ha-Wa-Nga; Penerus Nusantara.
SUNDA      = 8 – 2 – 6; Sa-Na-Da; (Dawuh-Na Di Jagat Papasangan)
Dalapan(8) tingkat Aji-Pangarti dina Papat Kalima Pancer supaya Masagi.
===================================================================

AJISAKA NGABALADAH AKSARA SADA-NA
AWAL    : Ha=1; Na=2; Ca=3; Ra=4; Ka=5; Da=6; Ta=7; Sa=8; Wa=9;
PENAMBAH: La=10; Pa=11; Ja=12; Ya=13; Nya=14; Ma=15; Ga=16; Ba=17; Nga=18;
HAWA    : Ha = 1; Wa = 9; Ha -Wa = 1 – 9; (JATI INDUNG)
SADANA  : Sa-Da-Na;
Awal    : Sa = 8; Da=6; Na=2;
Hasil    : SA-DA-NA = 8 – 6 - 2;
Hasil    : Sa-Dana (Dawuh-Na/Hukum-Na Sanghiyang Maha Wenang)
Hasil    : Sa=8; Dana = 6-2; Genap = SaDa-na Di Jagat Papasangan.
===================================================================

GA-LA-H; GA-LEU-H; GA-LU-H = (Ga-La-Ha)
Panambih : GA = 16, 1 + 6 = 7; LU(La)=10, 1 + 0 = 1; GA-LU = 7-1;
Awal     : H(Ha) = 1;
Hasil    : GA-LU-H = 7 – 1 – 1;
===================================================================

ADAM     = A(Ha) – DA(Da) - M(Ma)  = HA-DA-MA = HADAM => ADAM
Awal     : Ha = 1; Da = 6;  HA-WA : Ha = 1; Wa = 9;
Panambih : Mu / Mo / Mi / Ma = 15; 1 + 5 =6;
Hasil    : HA-DA-MA = 1 - 6 -6;
===================================================================

AHMAD    = Ha-Ma-Da; /Muhammad (Mu = 6;Ha = 1; Ma = 6;Ma = 6;Da = 6;)
Awal        : Ah / Ha; H(Ha) - Ah(Ha) = Ah =1 / Ha =1;
Panambih    : Ma = 15; 1 + 5 = 6;
Awal anu Akhir : Da=6; Da - kalebet awal tapi dina kecap akhir.
Hasil       : HA-MA-DA = 1 - 6 - 6;
MUHAMMAD    : 6 – 1 – 6 – 6 – 6
===================================================================

SILIH : Awal : Si/Sa = 8; Panambih : Li/La = 10, 1 + 0 = 1; Ha(H) =1;
SILIH  = 8-1-1;  
WA-NGI =  Wa  = 9;  Panambih : Ngi/Nga = 18, 1 + 8 = 9;
WA-NGI = 9 – 9; 
SILIHWANGI : 8 – 1 – 1 – 9 – 9 :
SADANA  = 8; GALUH = 1; JATI INDUNG = 1 - 9; WA=9 (Sa-Wawa) PAJAJARAN.
SUNDA   = SU(Sa)-N(Na)-DA(Da) = Sa = 8, Na = 2, Da = 6; Sa-Na-Da = 8 – 2 – 6;
SADANA  = 8 – 6 – 2; *** SUNDA= 8 – 2 – 6;
====================================================================

AJISAKA NGABALADAH “AKSARA” JEUNG “SIMBUL LINGGA”
INDUNG JATI (ALAM) = 1 – 9; 0 - 1 - 9 - 0
SADANA     = 8 – 6 – 2; Sa-Da-Na (Dawuh-Na Di Jagat Papasangan)
GALUH      = 7 – 1 – 1; Ga-La-Ha;
ADAM       = 1 – 6 – 6; Ha-Da-Ma;
AHMAD      = 1 – 6 – 6; Ha-Ma-Da;
MUHAMMAD   = 6 – 1 – 6 – 6 – 6; Ma-Ha-Ma-Ma-Da; Penerus Jazirah Arab.
SILIHWANGI = 8 – 1 – 1 – 9 – 9; Sa-La-Ha-Wa-Nga; Penerus Nusantara.
SUNDA      = 8 – 2 – 6; Sa-Na-Da; (Dawuh-Na Di Jagat Papasangan)
Dalapan (8) tingkat Aji-Pangarti dina Papat Kalima Pancer supaya Masagi.
======================================================================




Ajaran tersebut dalam ajaran metafisik dan fisik atau sering disebut "Tata Salira" dalam sunda dan "Kajawen" di Jawa.
1. Hadi atau Cahaya yang bersifat abstrak atau tidak terlihat.
2. Wadi atau Hawa bersifat abstrak atau tidak terlihat.
3. Mani atau Wujud, bersifat nyata atau kongkrit (terlihat)
4. Mani atau Wujud, bersifat nyata atau kongkrit (terlihat)
5. Maningkem atau Kang Adi tali ari-ari sebagai Pancer.

Atau dengan Kata Lain  Tata Salira Gumulungnya diri dengan Alam dan Tuhan / Hyang / Gusti, Linggahyang  hanya sebagai ciri / simbol / siloka sebagai tempat yang sakral. 

Tabe pun,
_/|\_

Rahayu Hampura sapapadana, Salalawasna.

Baca Juga :

1 komentar:

  1. Sunda mah nyepeng pageuh kana "Adab", kalelebet dina "Adab Seseratan"

    BalasHapus