Asal-Usul Berketuhanan

Kebutuhan manusia secara garis besarnya ada 2 bagian:

1. Kebutuhan biologis-jasmaniah : sandang, pangan, papan dan pasangan.

2. Kebutuhan psikologis-bathiniah : Rasa aman, nyaman, tenang dan damai.

Untuk memenuhi kebutuhan psikologis atau kebutuhan bathin ini, manusia mulai mencari sesuatu apapun bentuknya yang dianggapnya mempunyai kekuatan yang luar biasa, yang bisa menolong dirinya, yang bisa melindungi dirinya sehingga dia merasa aman dan nyaman.  Sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan mistik itu menjadi sesuatu yang dirindui, dipuja dan dipuji dan disembah oleh mereka.

Berdasarkan penelitian para ahli antropologi, pada awalnya manusia primitip mengakui hanya ada satu Tuhan Yang Maha Tinggi yang disembah. Namun dalam perkembangannya karena Tuhan tersebut tidak pernah bisa hadir dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka mereka mulai menggantinya dari satu Tuhan menjadi beberapa tuhan yang mudah untuk dikenali dan mudah dijangkau oleh pola pikir mereka saat itu.  


Keyakinan kepada beberapa tuhan dinamakan polytheisme.

Sejak saat itu dalam benak manusia, dalam pikiran manusia muncul suatu konsep bertuhan. Konsep bertuhan itu turun-temurun diyakini, walaupun yang ada di dalam pikiran manusia itu bukan tuhan yang sebenar-benarnya tuhan.

Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.  Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (AL HAJJ 22 : 74)

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya, Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. (YUSUF 12 : 40)

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuknya, mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan hawa nafsunya (AN NAJM 53 : 23).

Kita semua belum pernah berjumpa dengan Tuhan, lalu bagaimana kita bisa kenal nama-Nya. Tak jumpa maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta, tak cinta maka tak iman. Tuhan yang sebenarnya tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia, Dia tidak serupa dengan apapun, tidak ada sesuatu apapun disisi-Nya,  Dia berdiri dengan sendirinya tanpa penolong.  Dia bukan laki-laki dan juga bukan perempuan.  Orang Arab atau orang Timur Tengah menyebut nama Tuhannya  Al Ilah artinya yang disembah, akhirnya muncul kata Allah.  Berarti pada awalnya yang memberi nama Tuhan Allah adalah manusia juga. 

Kata Allah menurut gramatika bahasa Arab berarti bentuk laki-laki (maskulin) - Bapa, namun kata Al Dzat berarti bentuk perempuan (feminin) - Bunda.  Jadi kata Allah ini sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim, sejak sebelum agama Islam muncul.  Kemudian Nabi Ibrahim yang berpikiran kritis berusaha mencari Tuhan tanpa alat-alat canggih.  Di abad sekarang ini kebenaran keberadaan Allah, kebenaran Al Quran, mulai terbukti dengan adanya penelitian luar angkasa, penelitian atom dan energi, penelitian DNA, penelitian air dan lain-lain.


Sejak zaman primitif, setelah manusia memiliki konsep berketuhanan, mereka kemudian membuat aturan-aturan tata cara penyembahan, tata cara peribadatan yang disebut Agama yang berasal dari kata A artinya tidak dan gama artinya kacau.  Agama adalah aturan agar tidak kacau.  

Melalui keberagamaan diharapkan kehidupan masyarakat tidak kacau, aman tentram dan damai.  Demikian juga Nabi Muhammad membuat tata cara beribadah, tata cara sholat sebagai syareat Islam setelah beliau bermukim di Madinah.  Seiring dengan perkembangan zaman, dari zaman purba sampai zaman sekarang, tata-cara keberagamaan pun banyak mengalami perubahan. 

Pada abad modern ini, hampir semua umat di dunia berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari polytheisme menjadi monotheisme.  
                                                  
Pada zaman Nabi Ibrahim Al Ilah mereka adalah berhala-berhala yang kemudian dihancurkan oleh Nabi Ibrahim.  Kemudian Ibrahim mengajarkan agama samawi, yaitu agama wahyu, menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa.  

Begitu pula pada saat zaman Nabi Muhammad masyarakat jahiliyah tidak menolak nama Tuhan Yang Maha Tinggi adalah Allah, yang mereka tolak adalah karena Nabi Muhammad mengajak mereka dan melarang mereka menyembah tuhan-tuhan lainnya selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. 

Menurut penelitian Karen Amstrong,  pada zaman Pra Islam Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim di dekat sumber air keramat Zamzam adalah sebagai kuil untuk menyembah Allah, Tuhan Tertinggi bangsa Arab.  Disekitar nya banyak berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan yang lain.  Mekah sudah dianggap sebagai kota suci dimana dalam radius 20 mil dari Ka’bah dilarang adanya segala macam kekerasan, perkelahian apalagi pertumpahan darah.  

Pada saat itu sudah ada kebiasaan tawaf dan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun pada saat musim gugur.  Ibadah haji di awali di Ka’bah kemudian diluar Mekah untuk menghormati Tuhan-Tuhan yang lain, kemudian acara di Arafah dan melemparkan batu ke arah tiga pilar di Mina. Pada musim haji ada gencatan senjata, setiap suku dijamin keamanannya untuk melakukan ibadah haji di Mekah.

Sebagai bukti sederhana bahwa kata Allah sudah tidak asing lagi di masyarakat Arab jahiliyah adalah bahwa ayahanda Nabi Muhammad bernama Abdullah.  Sesungguhnya kita tidak tahu Tuhan itu apa dan ada dimana adalah rahasia. Nama diberikan bila sesuatu ada wujudnya. Segala sesuatu yang berwujud lebih dari satu harus diberi nama agar kita tidak keliru, agar tidak salah alamat.  Tuhan tidak punya nama karena tidak berwujud.  Namun DIA Yang Maha Esa adalah Dzat Wajibul Wujud, wajib adanya.  

Dia juga Dzat Mumkinu Wujud, mungkin adanya.  DIA adalah transenden, tak terjangkau oleh akal dan pikiran. Nama Tuhan yang sebenarnya tidak bisa diucapkan dan tidak bisa dituliskan.  Walaupun demikian bila penyembahan semua umat tertuju kepada-Nya, tidak akan salah sasaran, karena DIA Maha Tunggal.  Oleh karena Tuhan tidak punya nama, maka kita pun bebas memanggil atau menyebut nama Tuhan dengan nama apa saja. Boleh panggil Bapa atau Bunda atau dengan nama apa saja yang baik-baik (Asma’ul Husna). 

Katakanlah : Seru-lah Allah atau seru-lah Ar-Rahman, dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai nama Al-Asma’ul Husna … (AL-ISRA 17 : 110).

Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu … (AL-A’RAF 7 : 180).

Kita pun yakin bahwa Tuhan Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,  bukan Tuhan Maha Pemurka.  Tuhan tidak pernah menyusahkan umatnya.   Semua Nama yang menggambarkan sifat-sifat dualitas-Nya dan saling bertentangan itu, berada dalam ke-Esa-an Dzat-nya.  Misalnya sifat Jamal (Terang) dan Jalal (Gelap), Al Hadi, Yang Memberi Petunjuk dan Al Mudzil, Yang Menyesatkan, tidak berarti Tuhan ada dua, Dia tetap Yang Maha Tunggal.    

Yang kita sembah bukan nama-Nya, tapi Dzatnya yang Essensi-Nya berada dalam setiap mahluk ciptaannya.  Karena Dialah Al Muhit Yang Maha Meliputi Segala Sesuatu.  Dia ada di mana-mana, namun dalam ke Esa-an-Nya Dia tidak ke mana-mana, Dia berada di dalam diri kita semua. 

Demikianlah kata para sesepuh.

Baca Juga :

Tidak ada komentar