Mandala Kawikwan Prabu Resi Permana Dikusuma Di Gunung Padang Dusun Cikarut Kecamatan Darmaraja


Pun Sampun

Hyang Tunggal tatwa panganjali,  Ngawandawa di jagat kabeh alam sakabeh,  halanggiya di saniskara, Hung tatiya Ahuuuuung.

Kali ini saya akan membahas sejarah kumplit tentang Gunung Padang Darmaraja mulai dari awal kerajaan Galuh berdiri. 

Di lokasi Gunung Padang Dusun Cikarut, Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang ada situs bekas peninggalan Prabu Permana Dikusumah atau Resi Pandita Ajar Padang, batu nunggal Prabu Ratu Galuh, batu nunggal Kuncung Putih, batu nunggal Gagak Sumanding, batu nunggal Gagak Karancang, batu nunggal eyang  Pamulang, dan lain-lain.

Namun berdasarkan buku manuskrip tertulis Pakuning Alam Cipaku Darmaraja hanya mengisahkan Gunung Padang sebagai mandala kawikwan di antara 12 gunung Pakuning Alam dan kisah tempat Prabu Permana Di Kusuma alias Resi Ajar Padang, Raja Galuh Pakuan antara tahun 724 - 725 Masehi, putranya Prabu Wijaya Kusuma dari istrinya Lenggang Kencana, yang makamnya di Pasir Astana Limbangan Garut.

Prabu Permana Di Kusuma alias Ajar Sukaresi Padang atau Prabu Permana Ajar Padang atau Prabu Ratu Galuh Pusaka  atau Pandita Ajar Sukaresi dari istrrinya Naganingrum berputra Jaka Suratama alias Prabu Ciung Wanara alias Prabu Jaya Prakosa Mandaleswara Salakabuana alias Buyud Maja, yang makamnya di Puncak Damar Desa Paku Alam Kecamatan Darmaraja.

Mandala kawikwan alami Gunung Padang jaman kerajaan Galuh Pakuan di Kecamatan Darmaraja ini, belum begitu diketahui oleh banyak orang, karena situs ini tidak begitu populer, padahal situs ini perlu diketahui, karena bentuk susunan batu yang kuno dan unik mirip undakan batu menhir alami sewaktu mulai menanjak ke Gunung Padang Darmaraja, walau tak ditemukan adanya bekas candi atau patung dan sebagainya, namun  hal ini diperkuat adanya patok tembok pengukuran triangulasi geodesi yang tertulis patok KO 849 buatan jaman Belanda tahun 1918 masehi, kalau yang sering mengunjungi situs-situs bersejarah pasti acap kali menemukan patok buatan Belanda.

Menurut keterangan Bapak Karti juru kunci makam keramat Cikeusi, Mandala Kawikuan Gunung Padang disebut "Gedong Tapa" undak-undakan batu yang bulat, batunya di susun teratur, tempat tapa para leluhur dahulu dan ada petilasan Resi Permana Ajar Padang. Selain itu Gunung Padang Darmaraja ini, mempunyai tiga sebutan, yaitu : Gunung Padang, Gunung Cupu dan Gedong Tapa.

Awal menanjak ke arah bukit cadas batu gunung padang ada makam buyut Kaleci, atau lebih tepatnya buyut Kala wanci yaitu seorang abdi cantriknya Prabu Permana Dikusuma atau Resi Ajar Padang yang mengatur jadwal waktu pertemuan, ketika ada tamu yang hendak mengunjungi Resi Ajar Padang karena Resi Ajar Padang terkenal dengan kewacisan ke seantaro Galuh Pakuan akan ilmu manditanya. Kala wanci juga yang mengatur persedian makan dan minumnya Resi Pandita Ajar Padang, ketika tapabrata, manunggaling kawulo gusti untuk menuju pencerahan dari sang pencipta Alam.

Suatu naskah berbahasa Sunda yaitu Carita Parahyangan ditulis pada tahun 1580 masehi, mengungkapkan mengenai asal-usul suatu kerajaan di tanah Jawa. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Galuh Pakuan terkenal dengan sejarah perjalanan panjangnya. Perjalanan panjang tersebut sampai saat ini sebenarnya masih “gelap”. Dikarenakan ada beberapa episode atau bagian sejarah yang membuat perjalanan panjang tersebut tidak terungkap secara komprehensif. Misalnya sejarah yang masih bercampur dengan legenda atau mitos sehingga cerita lengkap mengenai sejarah pastinya terdapat beberapa versi.

Kerajaan Galuh adalah kerajaan yang pernah menunjukkan ke eksistensiannya di Nusantara sejak tahun 669 masehi. Awalnya Kerajaan Tarumanegara sering dikaitkan dengan Kerajaan Galuh, ternyata hubungan Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Galuh yaitu merupakan keturunan langsung. Karena Kerajaan Tarumanegara mempunyai beberapa bawahan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya. Kerajaan Galuh merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kendan yang adalah bawahan Kerajaan Tarumanegara.

Nama raja Kendan ke tiga yaitu Sang Kandiawan dan bergelar Rajaresi Dewaraja mempunyai 5 anak : anak pertama bernama Mangukuhan, anak kedua bernama Karungkalah, anak ketiga bernama Katung Maralah, anak keempat bernama Sandanggreba dan anak kelima bernama Wretikandayun.

Dari kelima anak Raja Kendan, si bungsulah yang paling disukai sang ayah, karena dinilai Wretikandayun, memiliki sikap lebih baik dibanding kakak-kakaknya dan memiliki watak yang tidak terlalu mementingkan masalah duniawi. Hal inilah yang melatar belakangi Sang Kandiawan menunjuk Wretikandayun sebagai penggantinya. Karena Sang Kandiawan, memutuskan untuk turun takhta setelah menjabat 15 tahun. Dan memilih untuk menjadi seorang resi di Layuwatang untuk menyebarkan ajaran agama pada waktu itu.

Pengangkatan Wretikandayun sebagai raja menghasilkan pergunjingan di kalangan Kerajaan Kendan, karena biasanya putra sulung atau anak kedua yang berhak menggantikan sang ayah. Namun, masalah tersebut tidak meruntuhkan niat Sang Kandiawan dan tetap memilih anak bungsunya yang masih berusia 21 tahun untuk menjabat sebagai raja.

Penobatan Wretikandayun dilakukan pada malam bulan purnama. Besok harinya setelah penobatan Wretikandayun mengambil keputusan pertamanya yang merubah sejarah Kerajaan Kendan, yaitu memindahkan pusat pemerintahan yang sebelumnya di Kendan ke sebuah lokasi baru yang diapit dua sungai Cimuntur dan sungai Cimanuk yang diberi nama Kerajaan Galuh.

Saat Kerajaan Tarumanegara di pimpin oleh Sang Tarusbawa, kerajaan tersebut sudah mulai kehilangan kejayaan dan pamornya. Apalagi semakin lama semakin mendapat tekanan dan serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Lalu Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Bogor. Akhirnya Sang Wretikandayun memutuskan untuk mahardika atau membebaskan diri dari Kerajaan Sunda.

Kemudian Sang Maharaja Tarusbawa memutuskan untuk mengakhiri Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 masehi. Dan membagi dua wilayahnya yaitu Kerajaan Galuh di bagian timur dan Kerajaan Sunda di wilayah bagian barat bekas wilayah Tarumanegara.

Sang Wretikandayun Raja Galuh Pertama, memerintah Kerajaan Galuh cukup lama, yaitu selama 90 tahun, dari  612-702 masehi. Wretikandayun lalu menikah dengan putri Resi Makandria, Manawati atau Dewi Candraresmi dan mempunyai tiga putra, yaitu : Sempakwaja, Resi Wanayasa atau Jantaka, dan Mandiminyak atau Amara.

Seperti dirinya Sang Wretikandayun yang anak bungsu dari lima bersaudara, dan dipilih sebagai seorang raja. Sang Wretikandayun akhirnya memilih anak bungsunya sebagai pemimpin wilayah keratuan, sebab Sempakwaja anak pertama dan Jantaka anak kedua memiliki kekurangan fisik. Akhirnya Sempakwaja yang bergigi ompong memimpin wilayah kebataraan atau keramaan di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sementara adiknya, Wanayasa memimpin wilayah keresian di Denuh karena dirinya menderita penyakit hernia atau turun berok, dan bergelar Resi Rahyang Kidul.

Selanjutnya Kerajaan Galuh diperintah selama 7 tahun oleh Mandiminyak putra bungsu Prabu Wretikandayun dari 702-709 masehi sebagai Raja Galuh ke 2, isterinya yaitu Dewi Parwati, dari Kerajaan Keling di Kalingga Utara Jawa Tengah. 

Sayangnya, Mandiminyak dan Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja menjalin hubungan gelap. Dari Dewi Parwati, Mandiminyak memiliki putri yaitu Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa, kedua anak Sang Mandiminyak lalu dinikahkan, walau satu ayah.

Dari pernikahan Sannaha dan Sena memiliki seorang putra yakni Sanjaya. Pernikahan ini tercatat pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi.

Raja Galuh ke 3, yaitu Sena atau Bratasenawa memerintah 10 tahun antara 709-716 masehi, bergelar Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabumi. Ia bersahabat dengan Tarusbawa raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 54 tahun, antara 669-723 masehi.

Purbasora adalah anak Sempakwaja dan cucu Wretikandayun berniat menggulingkan Sena atau Bratasenawa anaknya Mandi Minyak pada tahun 716 masehi, karena Sena atau Bratasenawa adalah anak hasil hubungan gelap antara Mandi Minyak dengan Dewi Wulansari isteri kakaknya yaitu Sempak Waja. Oleh karena itu Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh, karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun, yaitu Sempakwaja. Ayah Purbasora, tidak diangkat menjadi raja karena dinilai kurang layak menjadi pemimpin karena memiliki kekurangan fisik. Sebenarnya Sena dan Purbasora adalah saudara satu ibu yakni Pwahaci Rababu atau Dewi Wulansari.

Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta dan Aria Bimaraksa. Purbasora melancarkan kudeta merebut Kerajaan Galuh. Sena berhasil kabur sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kerajaan Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima.

Akhirnya Purbasora menjadi penguasa Kerajaan Galuh ke 4, memrintah selama 7 tahun antara 716-723 masehi. Dan permaisurinya bernama Dewi Citra Kirana putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padma Hariwangsa, mempunyai anak : Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma dan Dewi Komalasari. Prabu Purbasora mengangkat patih Aria Bimaraksa putranya Jantaka, dan menikahkan dengan putra bungsunya yaitu Dewi Komalasari.  Di awal kekuasaanya Prabu Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa atau Sang Sena. 

Sementara Brata Senawa atau Sang Sena mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga Utara, kemudian Candraresmi Makandria menobatkan Bratasenawa atau Sena menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian menikah dengan Sannaha putrinya Mandi Minyak dari isterinya Dewi Parwati, putranya Maharani Sima. Perkawinan antara saudara antara Bratasenawa atau Sena dengan Sanaha tetapi berlainan ibu tersebut (perkawinan manu) melahirkan Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora, bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Brata Senawa atau Sang Sena sebagai penguasa sah Galuh.

Sanjaya, anak Bratasenawa atau Sena dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Teja Kancana Hayu Purnawangi atau Sekar Kancana. Karena anak Tarusbawa yakni Sunda Sembawa wafat saat usia muda, maka cucunya yang bernama Dewi Teja Kancana, anak dari Sunda Sembawa menjadi ahli waris kerajaan. Namun, karena ia seorang wanita, maka ia dinikahkan dengan Sanjaya. Sanjaya atau Rakaian Jamri lah yang menjadi Raja Galuh Pakuan ke 5 sekaligus Kerajaan Sunda, dan memerintah selama 9 tahun antara 723-732 masehi.

Sewaktu Sanjaya alias Rakeyan Jamri berada di kerajaan Sunda, ia  bertekad balas dendam terhadap Prabu Purbasora dan keluarganya. Lalu ia, meminta bantuan Prabu Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus yang ia pimpin langsung di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal. Di bawah Patih Anggada memimpin pasukan Sunda melakukan  penyerangan dilakukan secara mendadak dan pada malam hari, di dalam pertempuran  Prabu Purbasora di usia tuanya gugur ditangan pasukan punggawa Sanjaya. 

Sementara versi babon Cipancar Hilir Sumedang, ketika penyerangan ke istana kerajaan Galuh, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan punggawa Sanjaya, begitu juga menantunya yaitu Patih Aria Bimaraksa dan istrinya Dewi Komalasari, Wiradi Kusuma dan Wijaya Kusuma putra-putrinya Purbasora dari permaisurinya Citrakirana,  berhasil meloloskan diri masuk ke dalam hutan belantara sehingga pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, lalu mereka berempat sampai di daerah Seger Manik atau Sagara Manik dan mendirikan Padukuhan di Sagara Manik Cipancar Hilir dan Padukuhan tersebut yang sekarang menjadi makam Cipancar di Kecamatan Sumedang Selatan.

Sanjaya mendatangi Sempakwaja di Galunggung dan meminta agar pamannya menobatkan Demunawan, anak keduanya, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.  Begitu juga Sanjaya tidak bisa mengetahui keberadaan Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang dan keluarganya.

Sanjaya yang berhasil menggabungkan kerajaan Medang Jati, kerajaan Indraprahasta dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat patih Saunggalah yaitu Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh Pakuan di wilayah Cipancar Girang Garut. 

Perkawinan Aria Bimaraksa dengan Dewi Komalasari, melahirkan 6 orang anak, yaitu : Aji Putih, Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usoro, Siti Putih dan Lenggang Kencana atau Sekar Kencana. Semasa kecil Prabu Aji Putih dan saudarannya tinggal di daerah Sagara Manik ini.

Kemudian Aria Bimaraksa melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat sampai Citembong Agung Girang, lalu kemudian melintasi Gunung Penuh, Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya atau Gunung Nurmala dan berakhir di Kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja,  disinilah Aria Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung mendirikan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan sekaligus mendidik putranya Aji putih yang akan dipersiapkan sebagai pemimpin Kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung menarik simpati para Resi di tatar Sunda, agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sanjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh di tatar Galuh Sunda.

Karena takhta Galuh yang kosong Sanjaya terpaksa mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh sekaligus Raja Sunda. Sayangnya, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Kerajaan Galuh kurang begitu disenangi, karena ia orang Pakuan Sunda. 

Prabu Permana Dikusuma yang gemar bertapa memperistri cucu Aria Bimaraksa yaitu Naganingrum, dikarunia anak yaitu Jaka Suratama atau Manarah atau Prabu Ciung Wanara. oleh karenanya suami-istri ini cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja anak pertama Wretikandayun Jantaka anak kedua. Itu sebabnya, Sanjaya menobatkan Permana Dikusuma atau Bagawan Sajala-jala, cucu Purbasora, menjadi Raja Galuh Pakuan yang berpusat di Ciduging Darmaraja.

Lalu Sanjaya menikahkan Permana Dikusuma dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada Patih Kerajaan Sunda, dan menunjuk anaknya, Tamperan Barmawijaya sebagai Patih Galuh, agar mudah mengontrol Kerajaan Galuh. Permana Dikusuma merasa terpaksa untuk menjadi Raja Galuh, karena Sanjaya terkenal baik hati tapi tidak mengenal ampun pada musuh-musuhnya, begitu juga Sanjaya juga adalah pembunuh kakeknya. 

Karena hal tersebut, Premana Dikusuma memutuskan untuk pergi dan meninggalkan istrinya, kemudian menjadi kembali pertapa di Gunung Padang Darmaraja yang menjadi wilayah perbatasan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh di sebelah timur yaitu di sekitar wilayah sungai Cimanuk, oleh karena itu Permana Dikusuma menjadi Raja Galuh Pakuan ke 6, hanya setahun antara 724-725 masehi.

Tak jauh berbeda dengan buyutnya Mandiminyak, sang cucu Tamperan juga berhubungan gelap dengan Dewi Pangrenyep sekitar 19 tahunan, istri Premana Dikusuma. Walhasil mereka memiliki putra Kamarasa alias Hariang Banga  lahir sekitar 723 masehi. Sadisnya untuk menyembunyikan hubungan gelap mereka, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Permana Dikusuma. Namun, kejahatan Tamperan diketahui oleh Aria Bimaraksa atau Ki Balangantrang.

Pada 732 masehi Sanjaya harus menjadi raja Kerajaan Medang Kamulan di Bhumi Mataram dari ibunya, Sannaha.  Dan Sanjaya pergi ke arah timur Bumi Mataram dan mendirikan kerajaan Wangsa Sanjaya. Ketika meninggalkan Pakuan, Sanjaya membuat keputusan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan. Tamperan berhak untuk Sunda dan Galuh. Untuk Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja berhak untuk wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung.  Tamperan menjadi Raja Sunda-Galuh selama 16 tahun dari 732-739 masehi yang kemudian pusat pemerintahan kerajaannya dipindahkan oleh Tamperan ditetapkan di Galuh Bojong Kawali Ciamis.

Dalam pemerintahan kerajaan Galuh yang pimpinannya dipercayakan kepada Tamperan malah menjadi mundur dan kacau, dimana-mana timbul keributan serta kehidupan rakyat tidak terjamin karena Tamperandalam memimpin kerajaan bertindak semena-mena dengan tidak perduli terhadap kehidupan dan kepentingan rakyat.

Sementara itu, Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang bersama Manarah atau Ciung Wanara cucunya, tengah menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh. Tamperan dan anaknya Hariang Banga dan pembesar Galuh menghadiri acara sabung ayam yang jadi tempat kudeta Manarah.

Jaka Suratama atau Ciung Wanara menyamar sebagai peserta sabung ayam dan kakeknya Ki Balangantrang, bertugas menyerang Keraton Galuh dengan pasukan Geger Sunten.  Sumber lain dalam sejarah Kedarmarajaan Sumedang menyebutkan Prabu Ciung Wanara ketika merebut Galuh dibantu pasukan dari Limbangan dan pasukan Prabu Brata Kusuma Tajimalela dari Sumedanglarang. 

Penyerang itu berhasil memojokkan Tamperan, Pangrenyep dan Hariang Banga berhasil ditawan. Namun, Hariang Banga dinilai tidak bersalah akhirnya dibebaskan dan malam hari ia membebaskan orang tuanya.

Tindakan Hariang Banga diketahui Prabu Ciung Wanara atau Prabu Manarah dan akhirnya mereka bertarung. Dan Hariang Banga kalah dalam pertarungan tersebut, begitupun orang tuanya yang tewas terbunuh tembakan panah pasukan Ciung Wanara.

Mengetahui anaknya terbunuh, Sanjaya membawa pasukan dalam jumlah besar menyerang ibu kota Galuh di Kawali. Sebaliknya Prabu Ciung Wanara atau Prabu Manarah juga telah mempersiapkan pasukan Indraprahasta Kerajaan Wanagiri dan raja-raja daerah Kuningan. Perang keturunan Wretikandayun akhirnya meletus, namun, perang diberhentikan oleh Rajaresi Demunawan sewaktu berumur 93 tahun dan dilakukan perundingan pada 739 masehi.

Dengan kesepakatan Sunda diserahkan pada Hariang Banga dan Manarah atau Prabu Ciung Wanara tetap menduduki Kawali Galuh. Sayangnya, Hariang Banga hanyalah raja bawahan, setidaknya ia bisa hidup karena kebaikan Manarah.

Prabu Ciung Wanara mendapat gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancana Wangi. Sedangkan Hariang Banga bergelar Prabu Kerta Bhuwana Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, yaitu Kancanasari.

Prabu Ciung Wanara alias Sang Manarah alias Raden Suratama menjadi Raja Galuh hingga 783 masehi dan memutuskan untuk turun tahta menjadi pertapa kembali lagi hingga meninggal saat berusia 80 tahun pada 798 masehi di Puncak Damar Kecamatan Darmaraja dikenal dengan sebutan Buyut Maja. Dan kerajaan Galuh dilanjutkan oleh menantunya Prabu Manistri atau Prabu Lutung Kasarung, yang menikahi anaknya Purbasari.

Hariang Banga memerintah selama 739-766 masehi dan pernah membangun parit di Pakuan yang tertulis dalam sebuah naskah antara abad ke 13 atau abad ke14 Masehi. 

Salam Santun


Baca Juga :

Tidak ada komentar