Makam Dalem Cageur di Desa Cageur Kecamatan Darma Kuningan

Sebuah makam tua dengan jirat makam berlumut di desa Cageur Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan meninggalkan kesan makam tersebut adalah makam tua sekali, batu nisan dalem cageur adalah pahatan tradisional pada jaman dahulu.

Puluhan butir batu tersusun diduga sebuah makam tua, di sebuah lembah kawasan hutan rimba tempat makam keramat Dalem Cageur berada, di Desa Cageur, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. 

Selain itu, di lembah kawasan hutan lebat dekat makam tua tersebut juga terdapat genangan mirip kolam persegi ukuran sekitar 4 x 4 meter persedi, dengan kedalaman antara 20 hingga 80 centi meter. Di tepi kolam itu terdapat satu batu berdiri tegak setinggi lebih kurang 50 cm, dan di sisi genangan air dekat batu berdiri itu terdapat umpakan batu terendam genangan. 

Kolam dan batu-batunya ini sejak dulu pun sudah ada dan keberadaannya sudah diketahui banyak orang, baik warga di sini maupun para pejiarah ke makam keramat Eyang Dalem Cageur ini, tetapi sebelumnya hanya terlihat sedikit, karena terkubur tahan dan humus. 

Kawasan hutan tempat makam keramat Eyang Dalem Cageur itu, berupa hutan rimba alami seluas lebih kurang 12,3 hektare milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Kuningan. Hutan padat pehohonan tua dan semak belukar seluas itu berbatasan langsung dengan tanah milik dan lahan permukiman penduduk. 

Kawasan hutan tersebut dalam peta lahan Perhutani masuk pada petak 1A, wilayah kerja Resort Polisi Hutan Haurkuni, BKPH Garawangi. Kelas hutannya termasuk hutan KPKh atau Kelas Hutan Khusus atau Hutan Lindung  dan kondisi hutan KPKh di Desa Cageur terbilang masih sangat utuh. 

Sementara itu, menurut cerita warga Desa Cageur, di antara sejumlah makam tua, di makam keramat Eyang Dalem Cageur, merupakan tokoh penyebar agama Islam pada masa kerajaan Islam Cirebon di masa lampau, diantaranya disebut-sebut ada makam Eyang Satori, Damarwulan (Syeh Datuk Kaliputah), dan Pulo damar. Setiap bulan Maulid tahun Hijriyah, makam keramat di desa itu dari dulu hingga jaman sekarang, selalu banyak dikunjungi para pejiarah kalangan umat Islam dari berbaagi daerah. Seperti dari Cirebon, Majalengka, Ciamis, dan berbagai daerah lainnya.




Siapakah Dalem Cageur tersebut? kita tulisan selanjutnya.


KERAJAAN TALAGAMANGGUNG
Raden Panglurah. 
Ketika Raden Panglurah tidak ada di keraton karena sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan Talaga. Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih Palembang Gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu Sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya, Sunan Talaga Manggung.

Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang. Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar kenaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, dia diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka.” Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota badannya sampai ia mati.

Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada, hilang dengan seisinya, hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada di antaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana, bahwa kematian ayahandanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapatkabar itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya.. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya, digorok, oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan. Sedatangnya ke sangiang dia merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya tampak situ saja dan setelah dia mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).


Ratu Simbar Kencana. 
Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayahandanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri.

Dan dia akan menyusul ayahandanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, dia menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut dia beserta pengiringnya turun ke Situ Sangiang dan turut menghilang. Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung.

Sunan Parung. 
Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantri putranya Raden Munding Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Pajajaran.

Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum. Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari semula beragama Budha, yang dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah. 

Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum. 
Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama Sunan Wanaperih yang akhirnya menjadi raja bertempat di Walang Suji (Desa Kagok). 

Sunan Wana Perih mempunyai putra Ampuh Surawijaya Sunan Kidak. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.


Raden Ragamantri dan Ratu Sunyalarang
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadat, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta'ala.

Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu: Prabu Haur Kuning; Aria Kikis, Sunan Wanaperih; Dalem Lumaju Ageng Maja; Sunan Umbuluar Santoan Singandaru; Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan Dalem Panaekan.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi batu nisan.

Generasi 1
Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) beristerikan dengan Ratu Raja Mantri (isteri ke 5), berputra salah satunya : 1)
1. Prabu Jaka Munding Sari Ageung 

Generasi 2 
1. Prabu Munding Sari Ageung / Prabu Munding Wangi (Prabu Jaka Puspa) berristerikan Ratu Putri Mayang Karuna putrinya Begawan Garasiang, berputra :
1.1 Raden Ranggamantri (Sunan Parung/Sunan Parunggangsa)

Generasi 3
3.1 Raden Ranggamantri (Sunan Parungganggsa) dari isterinya Ratu Dewi Sunyalarang (Ratu Parung), berputra :  
1,1,1. Prabu Haurkuning, yang merintis Galuh Pangauban Salawe Nagara di Ciamis.
1.1.2. Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang) di Talaga
1.1.3. Dalem Lumaju Agung.
1.1.4. Dalem Panuntun.

Generasi 4
1.1.2. Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang) di Talaga, berputra :
1.1.2.1 Sunan Giri Laya
1.1.2.2 Dalem Cageur Darma 
1.1.2.3. Dalem Kulanata Maja, di Licin Cimalaka Sumedang
1.1.2.4. Apun Surawijaya / Sunan Kidul, di Talaga 
1.1.2.5. Ratu Radeya di Talaga 
1.1.2.6. Ratu Putri (Putri Sunan Wanaperih x Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim / Sunan Cipager di Talaga
1.1.2.7. Pangeran Aria Wangsa Goparana (Sunan Sagalaherang), makambya di Blok Karang Nangka Beurit, Desa Sagalaherang Kaler, Kecamatan Sagalaherang - Subang,

1) Catatan : Putra-putri Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) dari istreri Ratu Raja Mantri (Ratu Ratnasih) putranya Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) dan Ratu Nurcahya dari Sumedang Larang,  adalah :
1. Raden Tenga 
2. Rd. Ceumeut / Raden Meumeut (Raden Ameut) 
3. Munding Keleupeung / Munding Kelemu Wilamantri 
4. R. Sake Alias Prabu Wastu Dewata 
5. Munding Sari / Ratu Bancana
6. R. Ne-Eukeun 
7. Dalem Manggu Larang
8. Prabu Liman Sanjaya 
9. Jaka Puspa Alias Guru Gantangan
10. Munding Sari Ageung / Munding II / Prabu Munding Suria Ageung / Prabu Munding Wangi 

Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang)
Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung ( Ratu Sunyalarang ), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis ( Sunan Wanaperih ) putera kedua Ratu Parung ( Ratu Sunyalarang ). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanu I atau yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.

Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah ( lagi susah ), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.

Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.

Kesepakatan Keraton Ciburang Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.

Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.

Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan Talaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung (Caruban) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu.Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan/Raden Aria kikis). Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang Talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”

Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakekat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati. 
Sunan Wanaperih mempunyai 7 orang putra, lima putera dan dua puteri, di antaranya :
1. Sunan Giri Laya
2, Dalem Cageur Darma
3. Dalem Kulanata Maja
4. Sang Senapati Raden Apun Surawijaya
5. Nyi. Ratu Radeya
6. Nyi. Ratu Putri
7. Pangeran Ngabehi Aria Wangsa Goparana

Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning. Makam Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning, Desa Banjaran Kec. Banjaran Kab. Majalengka sedangkan Ratu Putri menikah dengan Syekh Sayid Faqih Ibrahim (Sunan Cipager) putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya.

Dari Talaga Majalengka Dalem Kulanata Maja berhijrah ke Sumedang, sampai akhir hayatnya.
Demikian Dalem Cageur atau biasa disebut Mbah Cageur adalah salah satu tokoh pejuang islam yang ditugaskan oleh Kesultanan Cirebon ke Kuningan. Dalem Cageur adalah putra Sunan Wanaperih (Majalengka). Mbah Satariah (Satari), beliau juga seaorang abdi dalem kesultanan Cirebon. Beliau bersama pimpinan pasukannya, Syech Rama Haji Irengan mendapatkan tugas dari Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan Islam di wilayah Kuningan sekaligus menjaga wilayah tersebut dari serangan pasukan Galuh Ciamis.

Sumber :
1. https://sr.rodovid.org/wk/Особа:837364
2. https://sr.rodovid.org/wk/Особа:851636
3. https://sr.rodovid.org/wk/Особа:851638
4. https://sr.rodovid.org/wk/Посебно:ChartInventory/851638

Baca Juga :

1 komentar: