Makam Santowan Cikeruh Di Belakang Jatos Kecamatan Cikeruh

Lokasi makam Santowan Cikeruh berada dilokasi pemakaman Umum Embah Dalem Santoa'an yang dipagari dengan pondasi tembok, ketika akan memasuki pemakaman Santowan Cikeruh. 



Sewaktu akan memasuki lokasi makam Santowan Cikeruh diluar komplek pemakaman kita akan membaca plang makam yang terbuat dari pipa besi dan tertulis dipapan plat besinya, "Makam Karomah Leluhur Sumedang Embah Dalem Santoa'an, dengan moto Cikeruh Kaharjaan Karuhun, Kalahiran, Tepungna Jeung Urang Dina Sagala Karoyalan Dunya". 

Jika yang belum tahu tentu akan kesulitan menemukan makamnya Santowan Cikeruh apalagi tidak dibarengi dengan juru kunci makam, karena diplang pengumuman nya hanya tertulis makam Embah Santoa'an dan nisan makamnya berada di dekat pohon besar yang ditumpuki batu-batu kali dengan kondisi tidak terbenahi dan terurus. 

Konon di sinilah Santowan Cikeruh salah satu putranya pangeran Santri dan Ratu Setyasih alias Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun Sumedang Larang dimakamkan di belakang Jatos  Jatinangor, Dusun Ciawi, Desa Cikeruh, Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, miris sekali makamnya tidak terawat padahal beliau adalah seorang Santowan atau Sang Toha'an, pemimpin pertama di Cikeruh, meliputi Parakanmuncang dan Tanjungsari pada jaman Prabu Geusan Ulun.  Gelar Toha'an sebenarnya bukan hal yang baru dalam sejarah jaman kerajaan Sunda dan Pajajaran karena dalam naskah Carita Parahyangan telah mencatat nama Toha'an di Sunda.   

Di makam Santowan Cikeruh, kita tidak akan mendapati dimana makamnya isterinya yaitu Imas Sari alias Buyut Sedet, karena makam isterinya yaitu Imas Sari atau Buyut Sedet makamnya berada di Dusun Parugpug Desa Cijambe Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang


SEKILAS SEKARAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja antara 839-990 masehi, maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling, beliau dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Selanjutnya Prabu Kerajaan Sumedang Larang digantikan oleh putranya Prabu Pagulingan alias Prabu Manggala Wirajaya alias Prabu Jagabaya, Raja Sumedang Larang antara 998-1114 masehi dan menikah dengan Miramaya putranya Surya Kanta dan Siti Mujenar alias Maya Sari, Surya Kanta adalah cicit dari Sunan Ulun dan Lenggangsari di Galuh Pakuan Limbangan. 

Prabu Pagulingan alias Prabu Manggala Wirajaya atau Prabu Jagabaya, mempunyai dua orang anak, yaitu :
Anak ke 1, Prabu Mertalaya alias Sunan Guling yang mengantikan menjadi Raja Sumedanglarang.
Anak ke 2, Siti Sarifah Sondari atau Mbah Sohapah, lalu ke Pajajaran.

Kemudian Raja Sumedanglarang berikutnya yaitu Prabu Merlaya alias Sunan Guling Raja Sumedang Larang antara 1114-1237 masehi, yang menikah dengan Mutia Sari, putra Prabu Lingga Hiang alias Dalem Haji Kusuma dan isterinya Amah Suriyamah atau Dalem Isteri dari Sunda Pakuan dan Limbangan mempunyai anak, yaitu : Jaya Dinata  alias Tanding Kusuma, Jaya Diningrat Kusuma alias Pandita Sakti dan Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan

Setelah Prabu Mertalaya alias Sunan Guling lengser dari keprabuan yang memerintah kerajaan Sumedang Larang antara 1114-1237 masehi, kemudian Kerajaan Sumedang Larang diestafetkan kepada putra-putranya, yaitu Jaya Dinata  alias Tanding Kusuma, Jaya Diningrat Kusuma alias Pandita Sakti dan Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan, Raja-Raja Kerajaan Sumedang Larang antara 1237-1462 masehi.  

Prabu Tirta Kusuma atau Sunan Tuakan menikah dengan Banon Puspitasari alias Ratu Nurcahya, putrinya Raden Abun alias Surya Jaya Kusuma alias Dalem Pasehan dan Hartini, asal Limbangan.

Dari pernikahannya Prabu Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan dengan Banon Puspitasari alias Ratu Nurcahya, mempunyai anak :
Anak ke 1, Ratu Raja Mantri alias Ratu Ratnawati, menjadi Ratu Kerajaan Sumedang Larang tak lama, karena dipersunting oleh Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi, menjadi permaisuri keempatnya, dan diboyong ke Pakuan Pajajaran Bogor.
Anak ke 2,  Ratu Sintawati  alias Sunan Patuwakan. 
Anak ke 3, Sari Kencana alias Dewi Rengganis dipersunting oleh Prabu Liman Senjaya Kusumah dari Limbangan Garut,

Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Ratu Sintawati atau Sunan Patuwakan, Ratu Kerajaan Sumedang Larang antara 1462-1530 masehi. Ratu Sintawati alias Sunan Patuwakan dipersunting Raden Santajaya alias Raden Sonda Sonjaya atau Sunan Tjorendra, putra dari Prabu Munding Wangi alias Prabu Munding Sari Ageung atau Raden Jaka Puspa, Raja Maja di Jatiwangi dari isterinya Mayang Karuna, putrinya Begawan Garasiang.

Kerajaan Sumedang Larang diteruskan oleh putrinya Nyimas Satyasih alias Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun Sumedang, Ratu Sumedang Larang yang memerintah antara 1529-1578 masehi, dengan gelar nobat Ratu Inten Dewata. Ayah Ratu Inten Dewata, adalah Raden Santajaya alias Raden Sonda Sanjaya alias Sunan Tjorendra adalah kakaknya Raden Rangga Mantri alias Prabu Pucuk Umum Talaga yang mempersunting Ratu Parung alias Ratu Sunia Larang.

Pangeran Santri yang lahir  tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka atau tanggal 29 Mei 1505 masehi bernama aslinya Raden Sholih putranya Pangeran Muhammad alias Pangeran Pamelekaran. Pangeran Santri putra Pangeran Muhamad atau Pangeran Pamelekaran atau cucu Syarif Abdurahman atau Pangeran Panjunan Cirebon atau cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah. Pangeran Muhamad yang makamnya di Desa Margatapa Kecamatan Majalengka Kulon Kabupaten Majalengka dan Pangeran Muhamad putra dari Pangeran Panjunan Cirebon, makamnya di Cungkup Utama dalam komplek Makam Sunan Gunung Jati.

Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka  atau sekitar 21 Oktober 1530 masehi, Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.

Pangeran Santri yang dikenal Ki Gedeng Sumedang adalah penerus Kerajaan Sumedang Larang bersama-sama isterinya setelah menikah dengan Nyimas Satyasih alias Ratu Inten Dewata dan Ratu Inten Dewata oleh Kesultanan Cirebon diwastu dengan gelar Ratu Pucuk Umun Sumedang Larang, antara 1530-1578 masehi, seperti halnya ketika Raden Rangga Mantri yang diberi gelar Prabu Pucuk Umum Talaga  oleh Prabu Walang Sungsang Cirebon dalam tahun 1469 masehi.

Ratu Pucuk Umun adalah seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang yang merupakan seorang Sunda muslimah, dari pernikahannya Pangeran Santri bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut  dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. 

Pangeran Santri alias Raden Sholih memperisteri Nyimas Satyasih alias Ratu Pucuk Umun Sumedang Larang, mempunyai 6 orang anak, yaitu :
Anak ke 1, Pangeran Angkawijaya gelar Prabu Geusan Ulun
Anak ke 2, Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
Anak ke 3, Kiyai Demang Watang, makamnya di dusun Walakung Desa Cikawung Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu
Anak ke 4, Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang. Makamnya di Kelurahan Sukamelang Kecamatan Subang Kabupaten Subang
Anak ke 5,  Santowaan Cikeruh.
Anak ke 6, Pangeran Bungsu atau Santowan Awiluar, makamnya di Dusun Cisarua, Kecamatan Cisarua Kabupaten Sumedang. 

Dalam buku keturunan Pangeran Santri, selain keturunan Prabu Geusan Ulun, kita tidak mengetahui keturunan Santowan Cikeruh, namun dari babon Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, kita akan tahu bahwa salah satu putranya Santowan Cikeruh dari Imas Sari yaitu Buyut Sedet adalah Raden Arasuda yang makamnya berada di dekat makam Pangeran Istihilah Kusumah atau Sutra Umbar yang makamnya ada di makam Keramat Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, sedangkan isterinya yaitu Nyimas Ngabehi Mertayuda salah satu putrinya Prabu Geusan Ulun, berada di komplek makam umum Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan. 

Jika anda ingin berjiarah ke makamnya silahkan anda hubungi Bapak Toto Juru kunci makam Keramat Tajur dan makam umum Astana Cipancar, di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.






Santowan Cikeruh menikah dengan Imas Sari alias Buyut Sedet, putrinya Romlah Karomah dan Hosto Husma, asal Jatiwangi dan Talaga. 

Makam Imas Sari alias Buyut Sédét isterinya Santowan Cikeruh, makam Nyimas Sari Atuhu alias Buyut Erés dan Buyut Andeung adalah isteri padmi dari Pangeran Bungsu atau Santoan Awi luar, putera bungsu dari Pangeran Santri dan Ratu Satyasih atau Ratu Pucuk Umun Sumedang. dan makam Imas Roro alias Kokom Ruhada alias Buyut Lidah, isterinya Dipati Rangga Gede, Bupati Sumedang antara 1625-1633 masehi ada dalam satu lokasi pemakaman di Dusun Parugpug Desa Cijambe Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang

Dan kini makamnya sudah mendapat pemugaran, yang tadinya menggunakan batuan alam berjenis batuan andesit kini  ditembok dengan  keramik.  Untuk menuju ke lokasi pemakamannya terbilang cukup mudah, dengan melewati jalan setapak dan pesawahan namun tidak ada akses untuk kendaraan.

Imas Roro alias Kokom Ruhada alias Buyut Lidah adalah salah satu putera dari Prabu Ragamulya Surya Kencana alias Prabu Nusiya Mulya alias Panembahan Pulosari dan Ratu Imas Oo Imahu, yang juga diperisteri oleh Dipati Rangga Gede. (silahkan baca Siapakah Istri-Istrnya Pangeran Rangga Gede?)

Haksara Sunda Peninggalan Deden Samadora Cipancar Girang Limbangan

Sampurasun.

Ini adalah sebuah tulisan manuskrip dalam Haksara Ha Na Ca Ra (Cacarakan) Sunda dulu, yang ditulis oleh Deden Samadora (Rd. Deden Sunata) dari Limbangan yang naskahnya disimpan oleh "Yayasan Limbangan Wangi", penulispun sudah melihatnya ketika ke rumahnya Bu Ani Suhartini di Limbangan, namun tak mengerti isinya yang ditulisnya.  

Naskah ini ditulis dalam bahasa arab pegon tercatat ada pula tulisan Basmalah dalam tulisan basa arab pegon dan metoda penulisan haksara Ha Na Ca Ra Ka  di jaman Deden Samadora, generasi ke 3 setelah Prabu Jaya Dewata dari Ratu Intan Dewata (Nyi Anten) dari Timbanganten Garut.







Silsilah Deden Samadora adalah putranya Sunan Dayeuh Manggung dari istrinya Kurniasih. Sunan Dayeuh Manggung putra pertama, Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Ratu Jayadewata) (mp. 1482-1521 M), dari salah satu garwa padminya (permasuiri ke 3) yaitu Dewi Intan Dewata (Nyi Anten), putrinya Dalem Pasehan Timbanganten Torogong Garut. 

Dalem Pasehan lahir di "Mandala Puntang", adalah mertua Prabu Sribaduga Jaya Dewata (Prabu Siliwangi), Raja Pakuan Pajajaran Bogor ke-2 (1478 – 1521).

Generasi ke 1
1. Prabu Panggung Pakuan Dalem Pasehan (Permana Di Putang), Raja Timbanganten, yang meninggal di Mandala Di Putang, berputra :
1.1 Ratu Inten Dewata, dipersunting oleh Prabu Sribaduga Jaya Dewata.

Generasi ke 2
1.1. Ratu Inten Dewata Timbanganten x Prabu Sribaduga Jaya Dewata, berputra :
1.1.1. Nyi Siti Maemunah.
1.1.2. Santen Rama Dewa (Sunan Dayeuh Manggung), adalah orang yang pertama memeluk agama Islam, dimakamkan di Dayeuh Manggung.
1.1.3. Sunan Gordan.  

Generasi ke 3
1.1.1. Nyi Siti Maemunah x Hadi Mulya, berputra :
1.1.1.1. Kartika 
1.1.1.2. Kurniasih

1.1.2 Santen Rama Dewa (Sunan Dayeuh Manggung) x Nyi Kurniasih, berputra :
1.1.2.1. Sunan Darma Kingkin (Sunan Rama Kingkin), makamnya di Suniasugih muara sungai Cikamiri - Cihanyir Timbanganten, keterangan lain menyebutkan Sunan Darma Kingkin wafat di Cirebon dibunuh oleh utusan Mataram, jenasahnya dikebumikan dekat RSUD Garut.
1.1.2.2. Deden Sunata (Samadora), makamnya di Cikuluwut Kec. Limbangan Garut.

1.1.3. Sunan Gordan x Nyi Rd. Kartika, berputra :
1.1.3.1. Sunan Rangga Lawe, dimakamkan di muara Cikamiri RSU Garut.
1.1.3.2. Sunan Kaca (adik Ranggalawe), ditawan oleh Mataram dan dibuang ke Betawi.
1.1.4.3. Sunan Rumenggong / Rakean Layaran Wangi, Pendiri Kerajaan Kartarahayu Galih Pakuan Limbangan.
1.1.3.4. Sunan Patinggi.

Salam Santun.

Makam Bagus Suren di Kampung Jamban Desa Girimukti Kecamatan Sumedang Utara

 

   Makam Bagus Suren di Kampung Jamban Desa Girimukti Kecamatan Sumedang Utara



Sampurasun.
Makam Bagus Suren berlokasi di Makam Keramat Jamban, Dusun Jamban, Desa Girimukti, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang. 

Ketika saya masih kecil pernah saya dibawa berjiarah ke makam keramat Jamban ini oleh ayahku almarhum, karena ayah saya dulu acap kali berjiarah ke makam-makam leluhur dan makam keramat di wilayah Kabupaten Sumedang. 

Bagus Suren tokoh pada masa kerajaan Sumedanglarang Di Ciguling sering disalahkaprahkan namanya menjadi gelar Tubagus Suren, padahal gelar Tubagus adalah gelar kebangsawanan berasal dari kesultanan Surasowan Banten yang berdiri sejak Maulana Hasanuddin menjadi Sultan pertama di Banten antara 1526-1816 Masehi, sedangkan Bagus Suren yang hidupnya diperkirakan pada masa Prabu Jagabaya atau Prabu Pagulingan, Raja Kerajaan  Sumedanglarang ke 4 antara 998-1114 Masehi atau jaman putranya yaitu Prabu Mertalaya atau Sunan Guling, Raja kerajaan Sumedanglarang ke 5 antara 1114-1237 Masehi. Menurut cerita rakyat pun beliau adalah salah seorang senapati unggulannya di jaman kerajaan Sumedanglarang pada masa tersebut. 

Jarak antara 2 buah batu nisan makam Bagus Suren berjarak kurang lebih antara 170-175 cm. Jirat makam Bagus Suren tersusun dari batuan kali. Di lokasi makam Bagus Suren ada pula makam-makam tua, yang sama diberi nisannya dengan batuan kali dan kemungkinan besar adalah isteri dan keluarganya.


Adapun silsilah Bagus Suren adalah sebagai berikut :
Generasi ke 1
Prabu Pucuk Bumi Darma Swara Raja Kerajaan Sunda Pakuan antara 795-819 Masehi dari permaisurinya Ratu Alhae Sakti, mempunyai anak :
- Anak ke satu Jaya Sumpena, 
- Anak ke dua Marta Dipraja, 
- Anak ke tiga Raden Gedeng Waru, beristerikan Sari Rohniati atau Sari Anten Siti Nurbaeni putranya Abilah Mustopa dan Tira Maya  keturunan Harisdarma atau mbah Khotib dan Sunan Ulun atau Mariana Jaya asal Limbangan Garut. Raden Gedeng Waru adalah mertuanya Prabu Gajah Agung atau Atma Brata dari istrinya Ratu Gandrunia atau Dewi Sari Naga Ningrum.
- Anak ke empat Surya Manggala atau Mulya Surimu, beristerikan Siti Nurbaeni, putrinya Abilah Mustopa dan Tira Maya, keturunan Harisdarma atau mbah Khotib dan Sunan Ulun atau Mariana Jaya asal Limbangan Garut

Generasi ke 2
Surya Manggala atau Mulya Surimu dari isterinya Siti Nurbaeni, mempunyai 2 anak,yaitu Yuda Prawira dan  Jaya Prawira. 

Generasi ke 3
Yuda Prawira beristerikan Oneng Siti Romlah, mempunyai anak Bagus Suren atau Sanggar Waringin.

Jadi Bagus Suren atau Sanggar Waringin adalah cucunya Prabu Pucuk Bumi Darma Swara Raja Kerajaan Sunda Pakuan antara 795-819 Masehi dan juga keturunan dari Harisdarma atau Mbah Khotib dan Sunan Ulun atau Mariana Jaya yang makamnya ada di makam Mbah Khotib dan makam Sunan Cipancar Limbangan Garut yang masih keturunan Prabu Aji Putih Raja Tembong Agung. 

Dari dulu makam Bagus Suren yang berlokasi di makam keramat Jamban, Dusun Jamban, Desa Girimukti, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang dikenal orang dan sering dijiarahi orang untuk mendoakannya dan mengalap barokahnya

Shema Pun Nihawah.

--------------------------
Catatan :
MASA KERAJAAN TEMBONG AGUNG DAN KERAJAAN SUMEDANGLARANG
01. Prabu Guru Aji Putih, Raja Tembong Agung, Mp. 678 - 721 M
02. Brata Kusuma / Prabu Tajimalela. Mp, 721 - 778 M
03. Jayabrata / Prabu Lembu Agung,Mp.  778 - 893 M
04. Atmabrata / Prabu Gajah Agung, Mp. 893 - 998 M
05. Prabu Pagulingan / Prabu Jagabaya, Mp. 998 - 1114 M
06. Prabu Mertalaya / Sunan Guling, Mp. 1114 – 1237 M
07. Prabu Tirtakusuma  / Sunan Tuakan, Mp, 1237 – 1462 M
08. Ratu Patuakan, / Sintawati Mp. 1462 – 1530 M
09. Ratu Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum, dan Raden Sholih / Pangeran Santri. Mp. 1530 – 1578 M, 
10. Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 – 1601 M

Makam Singawadana Di Dusun Paseh RT 01/RW 02 Desa Padasuka Kec. Sumedang Utara Kabupaten Sumedang

Sampurasun
Mencari informasi tentang siapakah Singa Wadana yang makamnya berada di dusun Paseh RT 01 RW 02, Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, penulis bersama ibu Omah menemui Pak Acep tokoh masyarakat setempat yang tinggal di lingkungan Parigi dan ayahnya dulu Aki Emis almarhum adalah Kuncen di makam Singa Wadana, sebelum kuncen yang sekarang yaitu Pak Uu. 

Kebetulan Pak Acep yang rumahnya ada di Jalan Parigi Panyindangan Desa Margamukti Kecamatan Sumedang Utara  masih famili dekat dengan Ibu saya Suharyati Sumamihardja almarhumah, namun Pak Acep sendiri tidak mengetahui lebih jauh sejarah tentang Singa Wadana semasa hidupnya, dan mendapat sedikit keterangan dari Pak Acep.

Pak Acep tokoh masyarakat di Lingkungan Parigi, yang ayahnya dulu Aki Emis  Sebagai Kuncen mengurus makam Singa Wadana  




Lokasi Ke arah Makam Singa Wadana 

Makam Singa Wadana berada dekat dengan pohon beringin besar, menurut keterangan yang saya dapatkan makam Singa Wadana dulunya berada dekat pohon beringin tersebut, tak nampak lagi adanya batuan pondasi jirat makam, namun masih bisa dilihat adanya batu nisannya yang berada  terhalang oleh akar-akar pohon beringin besar itu.

Di samping jirat makam diluar makam Singawadana yang ada dalam akar beringin ada pula jirat makam yang kelihatan baru yaitu makam Makam Rangga Wulung dan Makam Sekar Wulan, saya sendiri tidak tahu silsilahnya.

"Dulu makam yang ada di lokasi hanya satu makam saja yaitu makam Singa Wadana saja," Kata Pa Acep ketika saya temui di rumahnya. 

Batu Nisan Singa Wadana berada dalam Akar Pohon Beringin Besar Ini


Photo Yang Tak Sengaja Tertangkap Kamera Menunjukan 
Motip Batu Nisannya di Makam Singa Wadana (lihat arah Panah)

Makam Singa Wadana berada dekat dengan pohon beringin besar, menurut keterangan yang saya dapatkan makam Singa Wadana dulunya berada dekat pohon beringin tersebut, namun sekarang tidak tampak lagi adanya batuan jirat makamnya, dan yang masih bisa dilihat adanya batu nisannya yang berada terhalang oleh akar-akar dalam pohon beringin besar itu.
Di luar makam Singawadana yang ada dalam akar pohon beringin itu, ada pula jirat makam yaitu makam Rangga Wulung dan makam Sekar Wulan, saya sendiri tidak tahu silsilahnya.
"Dulu makam yang ada di lokasi hanya satu makam saja yaitu makam Singa Wadana saja," Kata Pa Acep ketika saya temui dirumahnya. 


Singa Wadana atau Raden Singamanggala adalah putra ke 7 dari ke 29 putra-putrinya Pangeran Rangga Gede dan isterinya Nyi Asidah putrinya Sutra Bandera atau Sastra Pura Kusumah yang makamnya berada di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan. 


Singa Wadana atau Raden Singamanggala adalah adik dari Raden Bagus Weruh atau Rangga Gempol 3.


Sedikit sekali yang saya dapatkan mengenai Sejaran Singa Wadana semasa hidupnya, namun dalam Buku Sejarah Sumedang Sambungan V.A tahun 1935 karangan Raden Asikin Natanagara dan Buku Sejarah Kabupaten 1 Bhumi Sumedang 1550–1950, karangan Bayu Surianingrat tahun 1983, bahwa Raden Singawadana atau Raden Singamanggala adalah saksi hidup ketika peristiwa penyerangan mesjid Tegalkalong tanggal 15 Nopember 1678, karena Raden Singamanggala, Raden Bagus, Raden Tanusuta ditawan oleh Cilik Widara atau Ngabehi Sacaparana. Kutipan peristiwa penyerangan tersebut diceritakan sebagai berikut :
"Tiga bulan kemudian setelah pasukan Banten mundur, pada 8 September 1678, Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. 


Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. Daerah-daerah itu dihancurkan. Bupati Pamanukan Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Raden Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan, ditawan dan kemudian di bunuh. 


Untuk menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Cakrayuda atau Gagak Pranala, menantunya Tumenggung Wiraangun-angun, bupati Bandung. Turut membantu Banten juga Bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada akhir bulan Ramadhan dan mereka menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Nopember 1678. Rakyat dan pembesar Sumedang yang sedang berada di Masjid Tegalkalong banyak yang gugur.


Pembesar Sumedanglarang yang gugur di antaranya : Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria Santapura, Sacapati, Raden Dipa, Mas Alom dan Nyi Mas Bayoen. Sebagian keluarga Pangeran Panembahan ditawan, yaitu : Raden Singamanggala, Raden Bagoes, Raden Tanoesoeta, sedangkan Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos dari Sumedang.  Atas kekalahan ini Pangeran Panembahan meloloskan diri dan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu pada bulan Februari 1679. 


Sebagai konsekuensi atas kemenangannya, Sumedang dikuasai oleh Banten. Oleh Kesultanan Banten diangkatlah Cilikwidara sebagai wakil Sultan Banten di Sumedang dengan gelar Ngabehi Sacaprana. Diangkat menjadi wakilnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Satjadiraja. 


Singawadana adalah salah seorang wadana di wilayah Sumedang masa pengaruh Mataram ketika Raden Bagus Weruh atau Dipati Rangga Gempol 2 atau Pangeran Kusumahdinata 5, bupati antara 1633-1656, yang berkuasa pada masa pengaruh Mataram. Dan ketika Raden Bagus Weruh atau Dipati Rangga Gempol 2 sampai dengan Pangeran Panembahan atau Dipati Rangga Gempol 3 atau Pangeran Kusumahdinata V, Bupati Sumedang antara 1656-1706, jabatan Wedana Bupati dihapuskan dan selanjutnya para bupati bertanggung jawab langsung kepada Sultan Mataram.


Singawadana yang tidak lain adalah Raden Singamanggala, adalah salah satu anak dari 29 putra-putrinya Pangeran Rangga Gede, dan silsilahnya berdasarkan data Rukun Wargi Sumedang atau YPS file, adalah sebagai berikut :
Generasi ke 1
Pangeran Santri atau Ki Gedeng Sumedang atau Kusumahdinata 1, mempersunting Nyimas Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun Sumedang, mempunyai salah satu anak dan anak pertama yaitu Pangeran Angka Wijaya atau Prabu Geusan Ulun, makamnya di Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas

Generasi ke-2
Pangeran Angka Wijaya atau Prabu Geusan Ulun atau Koesoemahdinata 2 mempersunting isteri pertama nyimas Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin, putrinya Raden Hasata atau Sunan Pada, mempunyai anak 12, salah satunya : Pangeran Rangga Gede atau Kusumahdinata 3, makamnya di lingkungan Panday, Kelurahan Regolwetan Kecamatan Sumedang Selatan

Generasi ke-3
Pangeran Rangga Gede atau Koesoemahdinata 3, mempunyai anak diantara 29 putra-putrinya, yaitu : Raden Singgamanggala atau Dalem Singawadana.

Generasi ke-4
Raden Singamanggala atau Dalem Singawadana mempunyai 9 anak, yaitu : anak ke 1 Raden Singamanggala 2, anak ke 2 Kiai Singadiwangsa, anak ke 3 Kiai Kertamanggala, anak ke 4 Kiai Paranamanggala, anak ke 5 Kiai Wangsakerta, anak ke 6 Nyimas Adjeng, anak ke 7 Nyimas Ante, anak ke 8 Nyimas Baros, dan anak ke 9 Kiai Abdoel Moetolib atau Syekh Bangkir  

Generasi ke-5
- Raden Singamanggala 2, mempunyai 6 orang anak, yaitu : anak ke 1 Raden Singamanggala 3, anak ke 2 Mas Djajakoesoemah, anak ke 3 Kiai Wangsamerta, anak ke 4 Kiai Singamerta, anak ke 5 Kiai Bagoes, anak ke 6 Kiai Wangsakerta

- Kiai Singadiwangsa, mempunyai 4 orang anak, yaitu : anak ke 1 Raden Haji Adnan, anak ke 2 Sarpijem, anak ke 3 Haji Darmi, anak ke 4 Dinyep 


- Kiai Kertamanggala blank data keturunannya.

- Kiai Paranamanggala blank data keturunannya.

- Kiai Wangsakerta, blank data keturunannya.

- Nyimas Adjeng mempunyai anak : Raden Sariamanggala

- Nyimas Ante, mempunyai anak : anak ke 1 Nyimas Ratna, anak ke 2 Nyimas Radja, anak ke 3 Nyimas Bunder, anak ke .4 Nyimas Moelya, anak ke 5 Mas Tjandramanggala, anak ke 6 Kiai Soerabaya, anak ke 7 Kiai Soemadipa, anak ke 8 Kiai Moehamad Sajid, anak ke 9 Kiai Poeradiredja, anak ke 10 Nyimas Sampan, anak ke 11 nyimas Moernata, anak ke 12 Nyimas Ander, anak ke 13 Nyimas Tarum, dan anak ke 14 Nyimas Gender.

- Kiai Abdoel Moetolib atau Syekh Bangkir mempunyai seorang anak, yaitu Mas Tjandradipa

Contoh Keturunan Singgamanggala kebawahnya, berdasarkan data RWS file :
1. Pangeran Santri Kooseomadinata I, (Ki Gedeng Sumedang) x Ratoe Poetjoek Oemoen, (Ratoe Inten Dewata, Satyasih)
1.1 Pangeran Geusan Oeloen X 1 NM. Gedeng Waru
1.1.1 Pangeran Rangga Gede
1.1.1.7 Rd. Singamanggala 
1.1.1.7.9 Kiai Abdoel Moetolib 
1.1.1.7.9.1 Mas Tjandradipa 
1.1.1.7.9.1.1 Kiai Salinggih (Kiayi Salinggih, Rd. Ibrahim) 
1.1.1.7.9.1.1 X 1 NR. Eja
1.1.1.7.9.1.1.1 KR. Pajri Burujul
1.1.1.7.9.1.1.2 NR. Jawiyah 
1.1.1.7.9.1.1 X 2 R. Boja 
1.1.1.7.9.1.1.3 NR. Enden Toifal 
1.1.1.7.9.1.1 X 3 R. Djimol (Karoya) 
1.1.1.7.9.1.1.4 KR Shihabuddin 
1.1.1.7.9.1.1.5 KR. Idrus (Pasir Kunci) 
1.1.1.7.9.1.1.6 NR. Waridah 
1.1.1.7.9.1.1.7 NR. Jaerah 
1.1.1.7.9.1.1.8 NR. Batuli Fatimah 
1.1.1.7.9.1.1.9 NR. Ganas Mara Sekar Tajid 
1.1.1.7.9.1.1 X 4 NR. Alamiyah (Lolo)
1.1.1.7.9.1.1.10 NR. Hatomah 
1.1.1.7.9.1.1.11 NR. Katmah 
1.1.1.7.9.1.1.12 KR. Ahmad Kosasih 
1.1.1.7.9.1.1.13 KR. Jawari 
1.1.1.7.9.1.1.14 KR. Ilyas

Salam Santun.

Sumber :
1. Sejarah Sumedang (Sambungan V.A 1935) Karangan R. A Natanagara, hal 7.
Ditulis oleh : Dedi Kusmayadi Somaatmadja, Paguyupan Kebudayaan Kecamatan Sumedang Utara -  Seksi Sejarah, Situs dan Makam.

Makam Rd. Dmg. Satjapati (Satjapati II) di kampung Bendungan Desa Margamukti Kec. Sumedang Utara


Makam Rd. Dmg. Satjapati (Satjapati II), berada d Kampung Bendungan Desa Margamukti Kecamatan Sumedang Utara, tak banyak yang saya dapatkan sejarah semasa hidup, namun Silsilah dapat dari Descent Of Pangeran Santri saya uraikan sebagai berikut :

Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji
1.3 Deman Watang
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh
1.6 Santoan Awi Loear

Generasi ke-2

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II)  menikah dengan  NM. Gedeng Waru (Ratu Sari Hatin), putrana Sunan Pada (Rd. Hasata), berputra :
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV), makamnya di dusun Panday, Kec. Sumedang Selatan.
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja  I
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda
1.1.9 NM. Rangga Wiratama
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara
1.1.11 NM. Rangga Pamade
1.1.12 NM. Dipati Ukur

Generasi ke-3
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV), berputra :
1.1.1.1 Dlm. Aria Bandajoeda,  makamnya di dusun Manangga, Kec. Sumedang Selatan
1.1.1.2 Dalem Djajoeda
1.1.1.3 Dalem Wargaita
1.1.1.4 Dalem Wangsa Subaya, menurunkan keturunan dari/ke Cisalak dan Regol Sumedang
1.1.1.5 Dalem Rangga Gempol II (Koesoemahdinata V)
1.1.1.6 Dalem Loerah
1.1.1.7 Rd. Singamanggala, menurunkan keturunan dari/ke  kaum, Sayang, dan Cikoneng Sumedang.
1.1.1.8 Ki Wangsaparamadja, menurunkan keturunan dari/ke jaoera
1.1.1.9 Ki Wiratama, menurunkan keturunan dari/ke Pawenang Sumedang Selatan
1.1.1.10 Ki Wangsaparadja
1.1.1.11 Ki Djasinga
1.1.1.12 Ki Wangsasabadra, menurunkan keturunan dari/ke Pangrumasan Sumedang Selatan.
1.1.1.13 Kiyahi Anggatanoe, menurunkan keturunan dari/ke Sayang, Narimbang dan Bojongjati
1.1.1.14 Ki Martabaja
1.1.1.15 NM. Anggadasta
1.1.1.16 NM. Nataparana
1.1.1.17 NM. Arjapawenang, menurunkan keturunan dari/ke Bojongjati
1.1.1.18 NM. Martarana
1.1.1.19 NM. Djagasatroe, suaminya Djagastroe Santapoera meninggal dalam peristiwa penyerangan Mesjid Tegalkalong, menurunkan keturunan dari/ke Darmaraja
1.1.1.20 NM. Wargakarti
1.1.1.21 NM. Bajoen, menurunkan keturunan dari/ke Bojongjati dan Hariang Buah Dua.
1.1.1.22 NM. Wangsapatra
1.1.1.23 NM. Warga Komara
1.1.1.24 NM. Joedantaka
1.1.1.25 NM. Toean Soekadana
1.1.1.26 NM. Oetama
1.1.1.27 NM. Kawangsa
1.1.1.28 NM. Wirakarti
1.1.1.29 NR. Nalawangsa, menurunkan keturunan dari/ke Bojong Jati Sumedang.

Generasi ke-4
1.1.1.1. Dlm. Aria Bandajoeda, berputra :
1.1.1.1.1. Rd. Aria Satjapati (Satjapati I), turut meninggal diantara yang meninggal 
ketika peristiwa Penyerangan Mesjid Tegalkalong tanggal Hari Jumat Idul Fitri 15 Nopember 1678  (Baca disini) 

Generasi ke-5
1.1.1.1.1. Rd. Aria Satjapati (Satjapati I), berputra :
1.1.1.1.1.1. Rd. Soetadipa 

Generasi ke-6

1.1.1.1.1.1. Rd. Soetadipa x NR. Halipah, berputra :
1.1.1.1.1.1.1. Rd. Aria Satjapati (Satjapati II)

Generasi ke-7
1.1.1.1.1.1.1. Rd. Aria Satjapati (Satjapati II), berputa :
1.1.1.1.1.1.1.1. Kiai Diparadja

Generasi ke-8
1.1.1.1.1.1.1.1. Kiai Diparadja, berputra :
1.1.1.1.1.1.1.1.1 Rd. Diparadja II
1.1.1.1.1.1.1.1.2 Rd. Aria Satjapati (Satjapati III),  Bupati Sumedang ke 13 (1789-1791), 
makamnya di dusun Manangga, Kec. Sumedang Selatan. (Baca disini)

1.1.1.1.1.1.1.1.1 Rd. Diparadja II 

Generasi ke-9

1.1.1.1.1.1.1.1.2 
Rd. Aria Satjapati (Satjapati III), Bupati Sumedang ke 13 (1789-1791),  berputra :
1.1.1.1.1.1.1.1.2.1 Ratu Panganten 
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2 Rd. Dmg. Satjapati (Satjapati IV)
1.1.1.1.1.1.1.1.2.3 Mas Abis 


Generasi ke-11
1.1.1.1.1.1.1.1.2.1 Ratu Panganten. (blank data keturunannya)

1.1.1.1.1.1.1.1.2.2 Rd. Dmg. Satjapati  (Satjapati IV), mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.1 Rd. Satjakusumah
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.2 Rd. Judakusumah
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.3 Rd. Agus Arham
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.4 Rd. Ledjakusumah
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.5 Rd. Kalmah
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.6 Rd. Kanimah.

1.1.1.1.1.1.1.1.2.3 Mas Abis (blank data keturunannya)

Generasi ke-12 
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.1 Rd. Satjakusumah, mempunyai anak :
Rd. Satjakusumah dari istrerinya Enden Marka putranya Rd. Murda, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.2.1 Enden Hadidjah
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.2.2 Enden......(anak ke 2 dari Enden Marka)
Rd. Satjakusumah dari isterinya Nyimas Linten putranya ngabehi Wiramangga, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.2.2.2.3 Enden.. (anankya dari nyimas Linten) 

Alhamdulillah makamnya tertata dengan baik...oleh pemerintahan Desa Margamukti.




------------------
Colecting Data Situs dan Makam di Kecamatan Sumedang Utara, oleh Paguyuban Kebudayaan Kecamatan Sumedang Utara, Panata Sejarah dan Kepurbakalaan.
- Dedi E Kusumayadi.
- Ivan Handiman.

Berziarah ke Makam Adipati Panaekan di Situs Karang Kamulyaan Ciamis

Sampurasun 
Mugia Rahayu Sagung Dumadi

Menelusuri situs yang mencakup area hutan seluas sekitar 25,5 hektare sangat tidaklah mudah.
Situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat ini meninggalkan jejak-jejak peradaban yang panjang.

Para ahli sejarah meyakini bahwa Situs yang bernama Karangkamulyan adalah salah satu peninggalan Kerajaan Galuh, yang berdiri antara abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi. 

Namun, tdak diketahui kapan Situs Karangkamulyan pertama kali ditemukan. Mengutip laman resmi Direktori Pariwisata Kemenparekraf, masyarakat setempat menyebut bahwa situs ini sering dikunjungi sejak tahun 1700-an. Hanya saja hingga 1914, Situs Karangkamulyan belum juga disebut dalam inventarisasi benda-benda purbakala yang disusun oleh NJ Krom.

Situs yang terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis ini, terdapat hewan liar, terutama monyet dan sesekali muncul lutung yang berkeliaran bebas di dalam situs yang memang sangat rimbun dan mirip hutan belantara.

Selama penelusuran, jalan setapak dari tanah yang dilewati pun diperkirakan telah ada sejak abad ke-13. Jalan dari tanah namun telah padat ini merupakan salah satu kearifan leluhur di masa lampau.

Kiri kanan jalan juga dipenuhi rumpun bambu dan beragam tumbuhan. Bahkan ada beberapa jenis pohon yang sudah langka dapat ditemukan di situs ini.

Jejak zaman Kerajaan Galuh pada abad ke-7 atau masa peradaban Hindhu-Budha ini meninggalkan berbagai batu yang kental dengan Kerajaan Galuh dan memiliki nilai sejarahnya masing-masing. Pertama, ada Batu Pangcalikan, konon ini merupakan tempat musyawarah para raja dan tempat singgasananya.

Kedua, ada Batu Panyandaan, masyarakat sekitar meyakini batu ini merupakan tempat istirahat Ibunya Ciung Wanara. Kemudian, ada Batu Lambang Peribadatan. Batu tersebut berbentuk persegi yang berdiri di tengah dan dikelilingi banyak batu bundar.

Terdapat juga Batu Pamangkonan dan Patimuan Leuwi Sipatahunan,  Selain itu, ada sejumlah tokoh Kerajaan Galuh yang dimakamkan di kawasan ini, di antaranya makam Adipati Panaekan.  Di Kawasan ini juga Anda bisa menemukan muara sungai, pertemuan antara sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. 

Adipati Panaekan yang mempunyai nama aslinya Raden Ujang Ngoko adalah putranya Prabu Cipta Permana.  Prabu Cipta Permana putranya Maharaja Sanghyang Cipta Permana Prabu Digaluh Salawe. Prabu Digaluh Salawe putranya Prabu Haur Kuning Narpati Talaga.  Prabu Haur Kuning putranya Raden Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum Talaga atau Sunan Parung Gangsa yang menikahi Ratu Parung atau Ratu Sunyalarang atau Ratu Wulansari. putrinya Batara Sokawayana. 

Raden Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum Talaga atau Sunan Parung Gangsa atau Pucuk Umum Talaga putranya Prabu Munding Surya Ageung atau Prabu Munding Wangi putranya Sribaduga Jaya Dewata dari Ratu Raja Mantri putrinya Prabu Tirtakusuma atau Sunan Tuakan dari Kerajaan Sumedang Larang.


Kondisi Pasca Runtuhnya Kawali
Kerajaan Galuh Pangauban didirikan oleh Prabu Haur Kuning (saat ini masuk wilayah desa Putrapinggan, Kecamatan Kalipucang, Pangandaran.(diperkirakan sekitar 1530 Masehi).

Setelah runtuhnya Kawali sebagai pusat kerajaan Galuh pada tahun 1570 Masehi, muncul beberapa pusat kekuasaan baru yang masih mempertahankan corak Hindu.  Salah satunya di Salawe, Cimaragas, Ciamis Selatan, yang sering disebut Kerajaan Galuh Salawe. Rajanya bernama Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta di Galuh.
 
Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama Maharaja Upama, Maharaja Sanghyang Cipta dan Sareuseupan Agung. Sebagai anak tertua, Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Maharaja Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe di Cimaragas dan mendirikan Kerajaan Galuh Salawe. Sedangkan Sareuseupan Agung menjadi Raja di wilayah Cijulang.


Datangnya Pengaruh Mataram
Selama dikuasai Cirebon, wilayah Galuh berstatus kerajaan bawahan namun saat dikuasai oleh Mataram statusnya turun menjadi Kabupaten atau Kadipaten.

Selanjutnya, pada akhir abad 16 masehi, pengaruh politik Kesultanan Mataram sampai ke Priangan. Meski begitu, kerajaan-kerajaan di Priangan masih berlaku sebagai kerajaan mandiri, belum menjadi bagian langsung pemerintahan Mataram. hal ini dicirikan dengan para penguasanya yang masih menggunakan gelar Prabu atau Maharaja.


Pembagian Ajeg Kekuasaan
Pasca Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta wafat, wilayahnya terbagi menjadi tiga, yaitu : Pertama, Galuh Gara Tengah (pusatnya di Gara Tengah, Cineam, Tasikmalaya) yang dipimpin anak keduanya bernama Prabu Cipta Permana. 

Kedua, Kertabumi, pusatnya berada di Dusun Bunder, Cijeungjing yang dipimpin oleh  Pangeran Rangga Permana atau Kyai Patra Kelasa, menantu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta. Pangeran Rangga Permana atau Kyai Patra Kelasa atau Prabu Di Muntur atau Adipati Kertabumi 1 adalah salah satu putranya Prabu Geusan Ulun dari Kerajaan Sumedanglarang. Sedangkan  isterinya, Nyi Tanduran Ageung atau Tanduran Gagang adalah anak tertua Prabu Sanghyang Cipta. 

Dan ketiga Kawasen (Banjarsari sekarang) dengan rajanya bernama Sanghyang Permana, putra bungsu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta.

Ketiga kerajaan ini sudah bercorak Islam.  Cipta Permana sendiri menikah dengan Tanduran Tanjung, putri penguasa Kawali. Dari pernikahan ini lahir Ujang Ngoko, yang ketika ditunjuk menggantikan ayahnya sebagai penguasa Gara Tengah bergelar Adipati Panaekan yang berkuasa antara tahun 1618-1625 Masehi.

Pada saat itu, kerajaan-kerajaan di tatar Galuh sudah turun status menjadi hanya setingkat kabupaten. Gelar pemimpinnya pun tidak lagi prabu atau maharaja, tetapi hanya adipati.
Adipati Panaekan diangkat menjadi Wedana Bupati Mataram di tatar Priangan oleh Sultan Agung yang berkuasa di Mataram pada tahun 1613-1645 Masehi. 

Anak dari Maraja Cita atau Adipati Kertabumi 1 yaitu Nyi Natabumi diperisteri oleh Adipati Panaekan. 

Sementara Kertabumi, saat itu, dipimpin oleh Adipati Singaperbangsa 2 atau Raden Pager Gunung atau Adipati Kertabumi 3 antara tahun 1618-1641 Masehi, putranya Dalem Turgina Raden Wira Nanggapati atau Raden Kanduruan Singaperbangsa atau Adipati Kertabumi 2.


Perselisihan Antar Saudara
Galuh Kertabumi semakin berkembang ketika Adipati Singaperbangsa 2 memindahkan pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru ke Banjar Patroman (Desa Banjar Kolot). Penyebab perpindahan tersebut, akibat terjadinya perselisihan paham antara Adipati Singaperbangsa 2 dengan Adipati Panaekan  dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di Batavia.

Bila dilihat dari silsilah, hubungan Adipati Panaekan dengan Adipati Singaperbangsa 2 adalah paman dan keponakan. Ayah Panaekan, Prabu Cipta Permana, adalah adik dari Tanduran Ageung, nenek dari Adipati SingaperbangsaMeski begitu, nampaknya hubungan di antara mereka tidak begitu bagus.  

Adipati Panaekan condong kepada rencana Dipati Ukur untuk menyerang secepatnya ke Batavia sebelum kekuatan Belanda makin besar. Sedangkan Singaperbangsa 2 lebih sependapat dengan Pangerran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol yang merencanakan membangun kekuatan dengan mempersatukan wilayah Priangan.

Ketika Sultan Agung mulai bersiap untuk menyerang VOC di Batavia pada tahun 1625 Masehi, ia memerintahkan bupati-bupati dari priangan untuk berpartispasi. Hal ini menjadikan perbedaan pendapat di antara para bupati. Perselisihan semakin panas, terutama antara Adipati Panaekan dan Adipati Singaperbangsa 2.  Adipati Panaekan ingin secepatnya menyerang, sebelum VOC semakin kuat. Sementara, Adipati Singaperbangsa 2 berpendapat lebih baik pasukan memperkuat dulu logistik sebelum berangkat menyerang.


Kisah Tragis Adipati Panaekan (Terbunuhnya Adipati Panaekan)
Puncaknya, Adipati Panaekan terbunuh pada tahun 1625 Masehi.  Jenazah Sang Wadana Bupati dihanyutkan ke sungai Cimuntur.  Setelah ditemukan oleh pengikutnya, kemudian dimakamkan di Situs Karangkamulyan. Adipati Panaekan digantikan oleh putranya yang bernama Ujang Purba, yang bergelar Dipati Imbanagara antara tahun 1625-1636 Masehi.

Konon, karena peristiwa tersebut Adipati Singa Perbangsa 2, kemudian memindahkan Kertabumi ke Bojonglopang, Banjar Kolot sekarang. Oleh karena itu, Kertabumi disebut juga Kabupaten Bojonglopang, dan merupakan cikal bakal kota Banjar. 

Serangan pasukan Mataram ke Batavia dilaksanakan pada tahun 1628 dan 1629 Masehi, yang dua-duanya menemui kegagalan.  Pada serangan kedua, Dipati Ukur yang memimpin pasukan dari Priangan, akhirnya memberontak pada kesultanan Mataram

Salam Santun





ADIPATI PANAEKAN DALAM KAITANNYA DENGAN KETURUNAN RD. ARIA SOERIADIWANGSA (RANGGA GEMPOL)
Menurut Pengurus Musium Galuh Ciamis Kang Ruyat Sudrajat, BE : "Beliau adalah Generasi ke 4 dari Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Adipati Panaekan 1518-1525 adalah Bupati Wedana pertama di Tatar Priangan 1518-1520, yang menurunkan para Bupati/raja Galuh hingga tahun 1914. Ayahnya beliau adalah Prabu Galuh Sanghyang Ciptapermana II, Sedang kakeknya bernama Maharaja Cipta Permana I dan buyutnya Prabu Haur Kuning 1535-1580 (Kerajaan Galuh Pangauban)".

Adipati Panaekan, adalah kakeknya Adipati Panji Aria Jayanegara / Rd. Yogaswara (Mas Bongsar), yang memperistri NR. Murdah / NR. Siti Mariah salah satu putri dari 6 putra-putri Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1), Bupati Priangan Masa Mataram yang memerintah di Tegal Kalong – Sumedang Utara, Mp. 1601 – 1625. Pangeran Aria Soeriadiwangsa dikebumikan di tiga lokasi di Mataram yaitu di Lempuyangan - Jogja, di Jalan Krasak Kotabaru, dan di Blunyah Gede Malati - Sleman.

Adipati Aria Soeriadiwangsa / Kusumadinata IV / Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi Propinsi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede, tidak berapa kemudian beliau mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura. Wilayah kekuasaannya dititipkan kepada Rangga Gede karena putra-putranya belum ada yang dewasa.

Beliau berhasil menaklukkan Sampang Madura yang waktu ada 6 kerajaan kecil yang mesti ditaklukan, 3 kerajaan dapat dikuasai dengan secara berdamai, karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa dari ibunya yaitu Ratu Harisbaya / Ratu Arosbaya (Istri Prabu Geusan Ulun ke 2) masih keturunan terah Sampang Madura, namun 3 kerajaan lagi harus ditaklukan dengan peperangan yang dibantu Balad Seribu dari Sumedanglarang, sehingga pada waktu itu pasukan tempur di Sumedanglarang kosong pada masa kekuasaan diserahkan ke kakaknya Pangeran Rangga Gede, namun berlainan Ibu dari Prabu Geusan Ulun. Oleh karena itu wadya balad prajurit pada masa pangeran Rangga Gede berkuasa kekurangan, karena dibawa ke Mataram oleh karenanya kini di sana ada yang disebut "Kampung Kasumedangan" di Lempungan. Namun apa yang terjadi, tidak berapa lama sekembalinya ke Mataram malah beliau dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung akibat fitnah dari Bupati Purbalingga.

Bupati Galuh ke 3 Raden Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar (1636 - 1678 M) alias R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar Bupati Galuh III (1636 - 1678 M) salah putranya Bupati Galuh ke 2 Mas Dipati Imbanagara / Ujang Purba (1625 - 1636 M), yang menikahi Anjung Larang (Gedeng Cukang Baray) Binti Dipati Sudalarang bin Sunan Bandujaya) bin Bupati Galuh 1 / Bupati Wedana Galuh : Adipati Panaekan (1618-1625 M).

Raden Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar (1636 - 1678 M) alias R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsa menikahi Nyi Gedeng Muda / Murda / Nyi Mariah salah satu putra-putri Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1, Bupati Sumedang Masa Mataram mp. 1601 – 1625 M), beputra :
1. Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679)
2. Knj Dlm Adp Bpt Imbanagara Angganaja / Bupati Galuh ke-5 : Angganaya (1679-1693) 
3. NM. Koerawoet 
4. NM. Galuh 
5. Rd. Angganata II 
6. R. Adp. Anggamadja Bupati Imbanagara ke 3

Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679), berputra : 
1. Dlm. R. Soetadiwangsa I 

Dlm. R. Soetadiwangsa I, berputra :
1. Dlm. R. Tjandrakoesoemah 
2. Dg. Anggapradja 
3. Kjiai Soetapria 
4. Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang 
5. R. Anggapradja 

Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang, berputra :
1. Rd. Kapi Ibrahim I
2. Rd. Rajinala
3. Rd. Abdoel Rachman

Rd. Kapi Ibrahim I, berputra :
1. Rd. Kapi Ibrahim II 
2. Ki Noesajin 
3. Ki Kapioedin 
4. Ki Noersamid / Noersahid 
5. Ki Anggawinata 
6. Rd. Kahfi Ibrahim II (Ari)

Lihat photo silsilah selanjutnya dibawah yang ke Gending Sumedang ada di bawah ini :


-------------------------
Karang Kamulyaan Ciamis. 11 Desember 2020

Berakhirnya Kekuasaan Di Pajajaran


Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati yang lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaludin Akbar. Ibunda beliau adalah Nyai Rara Santang, puteri seorang Raja yang memerintah di Kerajaan Sunda, Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyi Subang Larang.

Pada waktu Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon, ia kemudian diangkat menjadi guru agama untuk menggantikan Syeikh Datuk Kahfi yang telah wafat. Oleh pamannya, Walangsungsang ia dinobatkan menjadi penguasa Cirebon.

Pada awalnya kekuasaan atas Cirebon dipegang sendiri oleh Pangeran Walangsungsang atas restu ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Namun karena rasa sayangnya yang besar kepada Rarasantang, sang adik, ia pun kemudian menyerahkan tahta Cirebon kepada Syarif Hidayatullah. Sedangkan Walangsungsang bertindak sebagai pelindungnya.

Atas dukungan para wali lainnya, tahun 1404 Saka (sekitar April 1482 M), Syarif Hidayatullah memproklamirkan Cirebon sebagai kerajaan merdeka dengan melepaskan diri sebagai bawahan Kerajaan Galuh.

Hal ini tentu saja mengganggu perasaan Sri Baduga Maharaja sebagai penguasa di Tanah Sunda. Beliau kemudian mengutus Tumenggung untuk menyelidiki masalah ini. Konon kabar, sang Tumenggung tidak pernah kembali. Pada saat berada di Gunung Sembung, pasukannya disergap oleh prajurit gabungan Cirebon - Demak. Mengetahui utusannya tidak kembali, Sri Baduga kemudian memerintahan pasukannya untuk menyerang Cirebon.

Namun niat Sri Baduga berhasil dicegah oleh Ki Purwagalih, seorang Purohita atau pendeta tertinggi kerajaan dengan pertimbangan bahwa Syarif Hidayatullan adalah cucu Sri Baduga yang diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh putera Sri Baduga sendiri yaitu Walangsungsang.

Saran dari Purohita itu pun berhasil meyakinkan Prabu Siliwangi untuk tidak memerangi Cirebon. Dalam buku rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, pandeta tersebut menyarankan bahwa: "Seorang kakek yang memerangi anak (Walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayatullah) tentu akan dicemoohkan orang" .

Begitu pun dari pihak Cirebon, ada keengganan untuk memerangi Sri Baduga Maharaja yang masih dianggap leluhurnya. Perasaan dan keterkaitan keluarga dari kedua belah pihak ini yang berhasil meredakan perseteruan antara Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan para penguasa Cirebon.
Keengganan dan rasa hormat Cirebon pada Kerajaan Pajajaran mulai sirna setelah Sri Baduga Maharaja wafat. Mungkin hal ini muncul atas desakan untuk melakukan ekspansi perdagangan, karena serangan pertama yang dilakukan gabungan Cirebon - Demak adalah menaklukan pelabuhan-pelabuhan utama yang dikuasai Pajajaran. 

Peperangan tersebut terjadi setelah Pajajaran dipimpin oleh Surawisesa, saudara satu ayah Walangsungsang, namun beda ibu yaitu Kentring Manik Mayang Sunda. Perang yang terjadi antara Cirebon dan Pajajaran diperkirakan berlangsung selama lima tahun.

Dalam Carita Parahyangan, peperangan tersebut terjadi selama 15 kali dan berakhir di sebelah barat Sungai Citarum. Saat itu, kedua pihak saling menunggu, bahkan gabungan pasukan Demak - Cirebon tidak berhasil menembus jantung pertahanan Pajajaran, begitu pun dengan pasukan Pajajaran yang tidak mampu merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasai mereka.

Di wilayah timur, Galuh berusaha menguasai Cirebon, pemimpin Galuh mengirmkan surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung dengan Galuh, mengingat Galuh adalah negara yang memiliki hak sejarah atas Cirebon.

Tapi permintaan untuk bergabung itu ditolah mentah-mentah oleh Syarif Hidayatullah, ia justru meminta bantuan Fadillah Khan untuk memperkuat Pakungwati. Fadillah Khan mengirimkan 700 orang pasukan untuk membantu pertahanan Cirebon.

Kekalahan fatal Pajajaran terjadi di wilayah timur. Cirebon berhasil mengalahkan Galuh di daerah Bukit Gundul Palimanan, kemudian merebut jantung pertahanan Galuh di Talaga. Perang antara Cirebon dan Galuh diperkirakan berlangsung antara tahun 1528 - 1530 M. Pada saat itu, Cirebon berhasil menguasai Galuh.


Perjanjian Damai
Kalahnya pasukan dari kerajaan Sunda di wilayah timur membuat Surawisesa harus mengambil langkah politis melalui perjanjian Perdamaian.

Niatan itu dilakukannya dengan mengirimkan utusan ke Pakungwati. Susuhunan Cirebon menerima tawaran damai tersebut, maka pada tahun 1531 terjadilah perdamaian.

Secara garis besar, isi dari perjanjian damai itu menyetujui bahwa kedua belah pihak (Cirebon dan Pajajaran) saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat, dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga Maharaja.

Dalam suasana damai tersebut, Surawisesa membuat sebuah prasasti sebagai sakalala untuk mengenang kejayaan sang ayahanda Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, sekaligus juga sebagai ungkapan kesedihan atas peperangan yang terjadi setelah Sri Baduga wafat. Prasasti itu kemudian dikenal dengan nama Prasasti Batutulis.

Setelah membangunkan sasakala untuk mengenang mendiang ayahnya Sri Baduga Maharaja, tahun 1535 M Surawisewa wafat. Ia kemudian digantikan oleh putranya Prabu Déwatabuanawisésa atau Ratu Dewata. Tapi berbeda dengan ayahnya yang gagah perkasa, Ratu Dewata dikenal sangat alim dan taat kepada agamanya.

Pewaris tahta Pajajaran ini cenderung mengabaikan urusan duniawi dan lebih memilih untuk menjadi raja resi. Kegiatannya sehari-hari adalah berpuasa, tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu, juga melakukan upacara sunatan.

Hal itu dilakukannya lantaran ia terlalu percaya penuh kepada perjanjian damai antara Pajajaran - Cirebon (1531) yang pernah dilakukan oleh sang ayah, sehingga Ratu Dewata lupa, bahwa sebagai pimpinan sebuah negara besar, ia harus tetap bersiaga untuk menjaga segala kemungkinan.

Naskah Carita Parahyangan juga menyebutkan sindiran terhadap Sang Ratu Dewata, 
“Ya hati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa.” 

Mungkin amanah tersebut dimasa kini dapat dipahami sebagai perlunya menjaga keseimbangan antara dunia dan masalah akherat.

Meskipun begitu, sang Raja masih cukup beruntung karena masih memiliki para perwira-perwira tangguh yang pernah mendamping ayahnya dalam beberapa kali pertempuran.

Di lain pihak, Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir merasa sangat tidak setujut atas perjanjian damai yang terjadi antara Pajajaran dengan Cirebon. 

Perjanjian itu menurutnya hanya aman bagi Cirebon saja tapi dapat menjadi ancaman bagi Banten. Ia terpaksa setuju dengan perjanjian tersebut lantaran taat kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.

Tapi, Panembahan Hasanudin sudah memiliki niatan untuk menguasai Pakuan. Hal itu pun dilakukannya secara terselubung, yaitu dengan membentuk pasukan khusus tanpa identitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan.

Kalau melihat garis keturunan, Panembahan Hasanudin adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja dari alur daerah Kawunganten maupun dari Susuhuhan Jati, sehingga jika dipandang dari segi agama maka ia merasa berhak atas tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Semasa pemerintahan Ratu Dewata, pasukan Hasanudin menyerang ibukota Pakuan Pajajaran. Namun serangan itu mendapat balasan dari pasukan Pakuan di alun-alun Pakuan (Alun-alun Empang). Serangan mendadak itu berhasil menewaskan Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda dari pihak Pakuan.

Peperangan tersebut tercatat dalam Carita Parahyangan yang isinya:
“Datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”.
Terjemahan :
Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang.

Namun serangan itu tidak berhasil menembus pertahanan kota. Kokohnya benteng Pakuan menjadi satu hal yang membuatnya tidak mudah dimasuki musuh. Selain itu, tebing-tebing yang terjal serta adanya parit pertahanan kian mempersulit gerakan musuh untuk menembus benteng.

Benteng pertahanan itu adalah mahakarya dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, seperti disebutkan dalam Pustaka Nagara Kretabhuni I/2:
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"

Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.

Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.

Setelah gagal menyerang Pakuan, pasukan Panembahan Hasanudin bergerak mundur, lalu kembali menyerang dari arah utara, kemudian ke Sumedang, Ciranjang, hingga ke Jayagiri.


Wafatnya Sang Ratu Dewata
Pada tahun 1543, Sang Ratu Dewata wafat, ia kemudian digantikan oleh putranya, Ratu Sakti. Namun Raja baru Pakuan Pajajaran ini menjalankan roda pemerintahan dengan tangan besi, dan dikenal sebagai raja yang kejam.

Ketika kondisi Kerajaan Pakuan Pajajaran sedang memburuk, ia tidak lagi peduli pada etika kenegaraan. Ia banyak membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat tanpa rasa malu, tidak berbakti pada orang yang sudah tua, serta senang menghina para pendeta.

Ratu Sakti juga senang menikahi "rara hulanjar" atau gadis yang sudah bertunangan, dan puncaknya adalah ketika ia menikah dengan ibu tirinya. Karena perangai buruknya itu, Ratu Sakti kemudian diturunkan dari takhta Pajajaran pada tahun 1551 M.

Kelemahan Pajajaran ini pun tidak sempat dimanfaatkan oleh Banten, karena saat itu Panembahan Hasanudin sedang membantu pasukan Trenggono di Pasuruan.

Sepeninggal Surawisesa, Pajajaran sudah tidak sekuat dulu. Jalannya pemerintahan yang sudah mengalami pergeseran seperti Ratu Dewata yang lebih memilih sebagai raja resi ketimbang mengurus negara, atau Ratu Sakti yang justru memerintah dengan sangat kejam dan lalim. Alhasil, setelah dua periode masa kepemimpinan itu, Pakuan Pajajaran mengalami masa Kaliyuga. 

Masa Kaliyuga adalah masa ketika pemerintahan sudah sedemikian bobrok, rakyat dilanda kelaparan, kemiskinan dimana-mana, kejahatan dan maksiat terjadi di berbagai penjuru. Kerajaan Pajajaran pada masa itu diperintah oleh Prabu Nilakendra  (1551-1567).

Frustasi akan kondisi tersebut, disertai dengan ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat mendorong raja beserta para pembesarnya untuk memperdalam aliran keagamaan Tantra.

Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran ini.

"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Prabu Nilakendra lebih senang berpesta ketimbang mengurus rakyatnya yang sedang kesusahan. Ia selalu menggelar acara pesta pora, makan enak, disertai minum-minum tuak sampai mabuk.

Ia membuat bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalay / dihampari batu, mendirikan bangunan megah 17 baris yang dilukis dengan emas, yang dindingnya digambari dengan berbagai macam cerita.

Bagi Raja Pajajaran yang kelima ini, tidak ada ilmu yang disukainya kecualinya makanan lezat yang sesuai dengan kekayaannya. Pajajaran telah memasuki masa Kalyuga, dan tengah berada di ambang kehancurannya. Harta Kerajaan dihabiskannya untuk bersenang-senang dan mempercantik keraton.

Pada masa ini, serangan kembali datang dari pasukan tak dikenal yang secara membabi-buta menggempur ibukota Pakuan. Dalam serangan ini, Prabu Nilakendra terpojok tapi berhasil melarikan diri meninggalkan keraton Pakuan. Hingga saat ini, tidak diketahui dengan pasti kapan wafat dan dimana dimakamkannya. Atau mungkin juga ia meninggal di tengah hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara.

Peristiwa ini dikisahkan dalam Carita Parahyangan:
“Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan”
(Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).

Nasib Pakuan sebagai ibukota Kerajaan Pajajaran diabaikan begitu saja, kelangsungannay dipercayakan pada semua pembesar yang tidak ikut melarikan diri bersamanya. Alhasil para pembesar itu pun dengan segala daya dan upaya berusaha mati-matian mempertahankan Pakuan dari serangan musuh.

Sekali lagi, berkat Benteng dan parit pertahanan yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Keraton Pakuan bisa diselamatkan.

Pajajaran Sirna - Setelah serangan Banten yang kedua kalinya ke wilayah Pakuan, para tokoh yang pernah menjadi saksi dan penanda tangan perjanjian damai antara Pajajaran - Cirebon satu persatu menutup usianya, yaitu :
  • Sanghiyang Surawisesa (Raja Pajajaran) yang wafat lebih dulu, tahun 1535 M.
  • Susuhunan Jati, yang wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M.
  • Fadillah Khan, penerus Susuhunan Jati, wafat pada 1570 M.
  • Panembahan Hasanudin, wafat pada 1570 M.
Panembahan Hasanudin kemudian digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf, putra dari hasil pernikahannya dengan putri Indrapura. Maulana Yusuf kelak menikah dengan Ratu Winaon dan berputrakan Pangeran Muhammad yang dikemudian hari akan mewarisi takhtanya. Makam Panembahan Yusuf terletak di luat Kota Banten yang dikenal dengan sebutan Pangeran Pasarean.

Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf membangun saluran-saluran dan benteng yang dibuat dari batu-bata mereh dan karang. Ia pun memperluas Masjid Agung yang dibangun Maulana Hasanudin, serta mendirikan Masjid di Kasunyatan. Di masa kepemimpinannya, Banten terkenal hingga ke penjuru dunia sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat dan perdagangan.

Panembahan Yusuf memiliki keinginan untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Jawa Barat. Ia pun memperkuat negaranya dan melakukan persiapan dengan sangat matang, terutama setelah kegagalan yang dialami pendahulu sewaktu menyerang Pakuan Pajajaran.

Serangan yang langsung dikomandoi oleh Panembahan Yusuf ini dilakukan setelah sembilan tahun beliau bertakhta di Kerajaan Surasowan. Dalam serangan ini, ia mendapat bantuan dari Kerajaan Cirebon sehingga disebut pula sebagai serangan besar-besaran ke Pakuan.

Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten :
Nalika kesah punika Ing sasih muharam singgih Wimbaning sasih sapisan Dinten ahad tahun alif Puningka sangkalanya Bumi rusak rikih iki
(Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).

Adapun kondisi Pakuan Pajajaran setelah ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak lagi berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduknya telah mengungsi ke wilayah Pantai Selatan, dan membuat pemukiman baru di daerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan untuk mengungsi ke wilayah timur, dari mereka terdapat para pembesar kerajaan, senopati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.

Sebagian penduduk yang masih ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton memilih ikut mengungsi dengan satu-satunya Raja yang bersedia meneruskan takhta kerajaan, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra dari Prabu Nilakendra. Mereka kemudian berangkat ke wilayah  barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung  Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Namun begitu, tidak semua penduduk ikut mengungsi, sebagian memilih bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga serta mempertahankan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Meski tidak lagi berfungsi sebagai sebuah ibukota, namun kehidupan di Pakuan kembali pulih.

Prabu Ragamulya Suryakancana bersama para pengikutnya berupaya untuk menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, kali ini dengan ibu kota di Pulasari. Prabu Ragamulya adalah Raja Pajajaran yang bertakhta tanpa mahkota, karena semua perangkat dan atribut kerajaan telah dibawa oleh Senopati Jayaprekosa untuk diselamatkan.

Pemilihan Pulasari sebagai ibukota Pajajaran mungkin ada kaitannya dengan masih adanya raja daerah, Rajatapura, bekas ibukota Salakanagara. Tapi ada juga yang menyebut kalau Pulasari bukanlah ibukota sebagaimana yang lazim dalam sebuah pemerintahan, namun lebih condong sebagai Kabuyutan, atau daerah yang dikeramatkan. Daerah yang digunakan Suryakancana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.

Menurut Yosep Iskandar, : Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ket itik-asal (purbajati). Mungkin juga ia “mengetahui” melalui bacaan lontar, catatan tentang “Rajakasawa” yang mengisahkan “Karuhun” (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan “dorongan batin” yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.

Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.

Sementara itu di Pakuan, aktivitas berlangsung seperti biasa, namun sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat kedudukan untuk Raja Pajajaran beserta kerabat dan keluarganya. Keraton-keraton di Pakuan kini hanya berisi para pembesar yang dijaga oleh para pengawal dan prajurit yang tersisa. Walau Pakuan masih memiliki benteng dan parit pertahanan yang sangat kuat, namun sifat soliditias dan ketangguhan para prajurit membuat keraton ini masih kokoh berdiri.

Menurut versi Banten, hancurnya Pakuan adalah karena adanya penghianatan dari "orang dalam yang sakit hati", yang konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia meminta untuk bertugas menjaga pintu gerbang Pakuan yang berada di Lawang Gintung. Tanpa gerakan mencurigakan, ia membuka gerbang untuk dimasuki para pasukan Banten yang telah menunggu di luar gerbang pada malam hari.

Tak ayal lagi, setelah pintu gerbang terbuka, pasukan Banten mulai melancarkan serangan dan berhasil memporakporandakan Keraton Pakuan, lalu membakarnya. Terbukanya gerbang pakuan juga berarti maut bagi para penduduk yang tersisa, mereka dibinasakan tanpa ampun, rumah-rumah mereka turut dibakar.

Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
"Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala".

Yang artinya, Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.

Serangan itu juga terjadi pada Suryakancana dan para pengikutnya di Pulasari. Namun pada akhirnya, Ragamulya Suryakancana gugur di tangan pasukan Surosowan.

Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357), Berjuluk Prabu Wangi,
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
------------------
Bahan bacaan :
- Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, jilid 4, 1983 – 1984.
- Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar, Geger Sunten – Bandung, 1997