Explore Makam Tumenggung Tegalkalong di Tegalkalong
Makam Tumenggung Tegalkalong berlokasi di Makam Umum Gorowong Tegalkalong yang masuk dari Gg. Kamasan Tegalkalong dan berlokasi di Kampung Gorowong Kelurahan Kotakaler Kecamatan Sumedang Utara.
Ulasan Sejarah
Untuk membahas Sejarah Pangeran Panembahan Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Penyerangan Mesjid Tegalkalong yang beribukota keadipatiannya berada di Pendopo Tegalkalong, yang saya akan uraikan sebagai berikut :
Setelah Pangeran Rangga Gede wafat tahun 1633, kedudukannya digantikan oleh puteranya bernama Raden Bagus Weruh. Beliau disebut juga Pangeran Dipati Rangga Gempol 2 yang menjadi bupati Sumedang selama 23 tahun, dari 1633–1656, dan beribukota di Tenjo Laut Conggeang
Pada masa pemerintahan Dipati Rangga Gempol 2 yang terdapat beberapa kejadian penting berkaitan dengan pemerintahan dan kewilayahan. Salah satunya adalah pada masa pemerintahan Dipati Rangga Gempol 2 ini terjadi dua kali reorganisasi pemerintahan. Reorganisasi pemerintahan ini dilakukan antara lain berkaitan dengan situasi Kesultanan Mataram yang berupaya mengefektifkan serangan-serangan ke Batavia setelah beberapa kali gagal dan upaya menata kembali situasi Priangan setelah terjadi pemberontakan Dipati Ukur.
Pada tanggal 16 Juli 1633 (dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan tanggal 9 Muharram tahun Alip) Sultan Agung mengeluarkan piagem atau surat keputusan, yang isinya pembentukan tiga kabupaten baru disertai penunjukan para bupatinya.
Ketiga kabupaten tersebut adalah :
1. Kabupaten Sukapura dipimpin oleh Tumenggung Wiradadaha
2. Kabupaten Bandung dipimpin oleh Tumenggung Wira Angun-angun
3. Kabupaten Parakanmuncang dipimpin oleh Tumenggung Tanubaya.
Dengan demikian, di bekas kerajaan Sumedanglarang itu terdapat empat kabupaten, yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura.
Terhadap kebijakan Sultan Agung tersebut Adipati Rangga Gempol 2 tidak menyukainya, karena besaran kekuasaan Adipati Rangga Gempol 2 menjadi berkurang. Ini pun berarti bahwa wilayah Sumedang sejak surat keputusan itu dikeluarkan menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Akibat dari kebijakan ini pun jumlah Sumedang menjadi sangat berkurang cacah yang dimiliki.
Kekecewaan Adipati Rangga Gempol 2 semakin bertambah ketika Sunan Amangkurat 1, penguasa Kesultanan Mataram yang menggantikan ayahnya, yaitu Sultan Agung. Sunan Amangkurat 1 atau Sunan Tegalwang mengeluarkan dua kebijakan penting berkait dengan Priangan. Pertama, penghapusan jabatan Wedana Bupati; kedua wilayah Mataram bagian barat ini pun dibagi menjadi 12 ajeg (setara dengan kabupaten).
Dengan dihapuskannya jabatan Bupati Wedana berarti kedudukan bupati Sumedang menjadi sama dengan bupati- bupati lain. Dengan pemagian 12 ajeg pun menjadikan besaran kekuasaan Sumedang pun semakin kecil lagi. Oleh karena itu, sebagai protes atas kebijakan itu, Adipati Rangga Gempol 2 memundurkan diri sebagai bupati. Ia menunjuk anaknya, Pangeran Panembahan atau Adipati Rangga Gempol 3 sebagai penggantinya antara 1656-1705.
Adipati Rangga Gempol 3, meskipun bergelar pangeran, gelar tertinggi di antara bupati-bupati Priangan, sejak tahun 1657 kedudukannya sederajat dengan bupati-bupati lain sebagai konsekuensi dihapuskannya jabatan Bupati Wedana. Sebagai kompensasi atas hilangnya jabatan sebagai Bupati Wedana, Sultan Amangkurat 1 memberi gelar “Panembahan” kepada Rangga Gempol 3, sehingga namanya menjadi Pangeran Panembahan Kusumadinata.
Oleh karena itu, Adipati Rangga Gempol 3 ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan. Pangeran Panembahan merupakan bupati terlama memerintah Sumedang. Ia memerintah hampir 50 tahun.
Selama Pangeran Panembahan menjadi bupati, terjadi banyak peristiwa penting, baik dalam lingkungan internal kabupaten Sumedang sendiri, maupun di luar lingkungan kabupaten Sumedang namun berpengaruh juga terhadap kondisi internal Sumedang.
Kejadian di luar lingkungan Sumedang yang berpengaruh besar terhadap kondisi internal Sumedang adalah terjadinya dinamika politik di lingkungan Kesultanan Mataram sepeninggal Sultan Agung, agresivitas Banten yang berambisi untuk merebut kembali Batavia dari Kompeni dan menguasai Sumedang, sikap-sikap Kompeni yang selalu memanfaatkan konflik yang terjadi di Mataram dan Banten untuk kepentingan V.O.C melalui politik divide et imperanya dan sebagainya.
Kejadian-kejadian seperti itu sangat mempengaruhi pola aliansi, siapa bergabung dengan siapa untuk melawan siapa. Yang lebih menarik lagi adalah tidak ada pola aliansi yang permanen, tetapi selalu didasarkan pada kepentingan-kepentingan strategis. Oleh karena itu, pola aliansi itu sering berubah-ubah. Namun dari semua dinamika itu, ada satu kata kunci yang tidak terbantahkan adalah yang teruntungkan adalah selalu pihak Kompeni.
Saat Pangeran Panembahan menjadi bupati, kekuasaan Mataram terus melemah akibat konflik internal di lingkungan keraton Mataram dan serangan dari pihak luar. Konflik internal terjadi karena saling berebut tahta kerajaan antara Sunan Amangkurat 1 dengan saudaranya, Pangeran Puger. Serangan dari luar berupa serangan Trunajaya dari Madura yang dibantu oleh Karaeng Galesung dari Makasar. Guna mengatasi kemelut tersebut, Sunan Amangkurat 1 meminta bantuan Kompeni.
Kompeni menyanggupi memberi bantuan dengan sejumlah tuntutan. Untuk itulah Kompeni mengutus Residen Jepara James Cooper, pergi ke Mataram dengan membawa konsep perjanjian.
Pada tanggal 25 Maret 1677 perjanjian dengan Mataram ditanda tangani. Isi ringkas perjanjian tersebut adalah :
1. VOC memiliki hak monopoli pembelian beras sesuai harga pasar.
2. Segala biaya perang harus ditanggung oleh Mataram
3. Batas sebelah barat Kesultanan Mataram, yaitu daerah antara Cisadane dan Cipunagara diserahkan kepada Kompeni.
Semua permintaan Kompeni itu disetujui oleh Sultan Amangkurat 1 kecuali permintaan yang ketiga. Sultan Amangkurat 1 menyatakan bahwa daerah-daerah antara Cisadane dan Cipunagara terdapat wilayah milik Pangeran Panembahan yaitu antara Citarum dan Cipunagara. Dengan demikian, daerah yang diserahkan kepada Kompeni hanya antara Cisadane dan Citarum.
Perjanjian antara Kompeni dengan Mataram itu bagi pihak Pangeran Panembahan Sumedang berarti :
1. Kekuatan dan kekuasaan Mataram sangat menurun. Mataram sudah tidak mampu menguasai daerah bawahannya.
2. Daerah antara Citarum dan Cipunagara tidak dikuasai oleh Amangkurat 1, melainkan oleh Pangeran Panembahan (Sumedang). Ini berarti bahwa daerah tersebut termasuk wilayah Sumedang. Ini juga berarti bahwa batas wilayah kabupaten Sumedang adalah sebelah selatan : Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara: Laut Jawa, sebelah barat: kali Cisadane dan sebelah timur: Cirebon.
Kenyataan seperti itu menginspirasi Pangeran Panembahan mengembalikan kebesaran Sumedang seperti jaman kerajaan Sumedanglarang ketika Prabu Geusan Ulun berkuasa . Akan tetapi, ia menyadari bahwa tidak mungkin melaksanakan cita-citanya itu sendirian. Ia harus minta bantuan pihak lain. Pihak mana yang layak dimintai bantuan, pilihan jatuh pada Banten. Ternyata Banten menyambut baik permohonan Pangeran Panembahan itu, namun Banten minta kompensasi, yaitu Sumedang harus membantu Banten dalam menghadapi Kompeni dan Mataram. Permintaan Banten itu tidak disanggupi oleh Pangeran Panembahan.
Setelah penolakan atas permintaan Banten itu, Pangeran Panembahan menyadari akan akibatnya, yaitu Banten akan memusuhi dan bahkan akan menyerang Sumedang. Untuk mengantisipasi hal itu, Pangeran Panembahan menyurati VOC yang isinya adalah pihak Sumedang akan menyerahkan wilayah antara Batavia dan Indramayu kepada V.O.C. Maksud penyerahan itu adalah supaya V.O.C menutup muara Cipamanukan dan pantai utara sehingga bisa mencegat tentara Banten.
Sikap cerdas Pangeran Panembahan ini sesungguhnya memanfaatkan kekurangpahaman pihak V.O.C mengenai wilayah. Sesungguhnya, wilayah yang diserahkan Pangeran Panembahan itu sudah menjadi milik V.O.C yang merupakan pemberian Amangkurat I sebagai kompensasi atas bantuan V.O.C, sebagaimana tertuang dalam perjajian tanggal 25 Februari 1677 maupun 19-20 Oktober 1677.
V.O.C menerima tawaran Pangeran Panembahan itu karena dalam hal menghadapi Banten ada kepentingan yang sama. V.O.C pun selalu mendapat gangguan dan ancaman dari pihak Banten.VOC segera mengamankan Karawang dan menghalangi mamsuknya pasukan Banten. Pangeran Panembahan pun leluasa memperkuat kedudukan dan pemerintahannya di Sumedang.
Guna menghalau serangan Banten pun Pangeran Panembahan mengadakan kerja sama dengan Kepala Batulayang yang bernama Rangga Gajah Palembang, cucu Dipati Ukur. Pangeran Panembahan berpendapat bahwa Batulayang akan membantunya melawan Banten dan Mataram, mengingat kakeknya dulu dihukum mati oleh Mataram. Selanjutnya Pangeran Panembahan pun menguasai Ciasem, Pamanukan, Parigi dan Karawang. Penguasa di daerah-daerah itu pun diganti oleh orang-orang yang berpihak kepada Pangeran Panembahan.
Menyusul kemudian, takluk juga kepada Pangeran Panembahan daerah Indramayu. Dengan demikian, seluruh daerah pantai utara dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Ini dijadikan Sumedang sebagai daerah penyangga yang bisa melindungi Sumedang dari serangan musuh.
Saat Pangeran Panembahan sibuk menaklukkan daerah utara, pihak Banten memanfaatkan momentum ini untuk menyiapkan serangan ke Sumedang. Sultan Banten mendapat bantuan dari dua orang bekas tawanan Trunojoyo dan bupati Bandung, Tunenggung Wiraangun-angun. Tidak hanya Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang pun membantu Banten.
Mengetahui persiapan Banten seperti itu, V.O.C pun mempersiapkan pasukannya di daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya yaitu di daerah antara kali Cisadane dan Citarum, juga antara Batavia dan Indramayu. Dengan demikian, Sumedang pun terlindungi baik dari arah barat maupun utara.
Akan tetapi di luar dugaan, pasukan Banten dalam jumlah yang cukup banyak pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak menuju Sumedang tidak melalui utara, tetapi melalui daerah yang longgar dari penjagaan V.O.C, yaitu Maroberes atau Muaraberes, kira-kira 15 km sebelah utara Bogor. Pasuukan Banten yang lain menuju Sumedang melalui Tangerang ke Patimun.
Pada awal Mei 1678 wadyabalad Banten telah sampai di Sumedang. Kota Sumedang dikepung pasukan Banten hampir satu bulan lamanya. Akan tetapi berkat tangguhnya pertahanan Sumedang, pasukan Banten tidak berhasil menguasai ibu kota Sumedang.
Bertepatan dengan waktu penyerangan pasukan Banten ke Sumedang, di ibu kota Banten sendiri sedang konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji. Untuk menghadapi perlawanan Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa kekurangan tenaga, sehingga pasukan Banten yang berada di Sumedang dipanggil pulang. Akibatnya adalah pemimpin pasukan Banten menarik mundur pasukannya untuk segera pulang ke Banten.
Pasukan Banten tidak begitu saja bisa meninggalkan Sumedang, karena pasukan Sumedang mengejarnya sehingga terjadilah peperangan di Tegalluar. Kejadian ini berlangsung pada awal Juni 1678. Pemimpin pasukan Banten, Senapati Inga Laga tewas di medan pertempuran.15 Pasukan Sumedang tidak hanya berhasil mengusir tentara Banten, tapi juga berhasil merampas 20 pucuk senapan. Gagallah serangan Banten terhadap Sumedang.
Pada saat itu di Mataram pun terjadi pergantian penguasa, Sultan Amangkurat 1 diganti oleh Sultan Amangkurat 2. Sultan Amangkurat 2 mengirim utusan bernama Dirapraja ke Sumedang untuk mengontrol dan meminta agar bupati Sumedang tetap setia kepada Mataram. Akan tetapi Pangeran Panembahan menolak permintaan itu, Sumedang menyatakan melepaskan diri dari Mataram.
Atas kemenangan Sumedang mengusir Banten ini pada tanggal 14 Juni 1678 Kompeni menyampaikan ucapan selamat. Kompeni pun berjanji akan membantu Sumedang dengan mengirim persenjataan. Satu bulan kemudian, yakni tanggal 19 Juli 1678 V.O.C mengutus Jochem Michels ke Sumedang menghadiahi senjata dan mesiu. Saat itu pun penjagaan muara Ciasem dan Pamanukan dengan kapal-kapal V.O.C berakhir.
Atas kepiawaian Pangeran Panembahan dalam bernegosiasi, pada tanggal 7 Agustus 1678 Jochem Michels datang lagi ke Sumedang dengan menghadiahkan enam meriam, 70 kalantaka (meriam kecil), 70 bandelir (ikat bahu yang menyilang di dada), 150 peluru meriam dan satu tong peluru senapan).
Memanfaatkan kehadiran Jochem Michels di Sumedang, Pangeran Panembahan meminta pejabat Kompeni ini untuk membuat pernyataan bahwa Pangeran Panembahan diangkat menjadi raja. Namun Jochem Michels menolaknya.
Tiga bulan kemudian setelah pasukan Banten mundur, pada 8 September 1678, Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan.
Daerah-daerah itu dihancurkan. Bupati Pamanukan, Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Raden Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan, ditawan dan kemudian di bunuh, dan kepalanya di bawa ke Banten.
Untuk menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Cakrayuda, yang merupakan menantu Tumenggung Wiraangun-angun, bupati Bandung. Turut membatu Banten juga bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada akhir bulan Ramadhan dan mereka menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Nopember 1678. Rakyat dan pembesar Sumedang yang sedang berada di Masjid Tegalkalong banyak yang gugur.
Pejabat Sumedang yang gugur di antaranya : Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria Santapura, Aria Sacapati, Raden Dipa, Mas Alom dan Nyi Mas Bayun serta Sebagian keluarga Pangeran Panembahan ditawan, yaitu : Raden Singamanggala, Raden Bagus, Raden Tanusuta; sedangkan Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos dari kepungan.
Atas kekalahan ini Pangeran Panembahan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu pada bulan Februari 1679. Sebagai konsekuensi atas kemenangannya, Sumedang dikuasai oleh Banten. Oleh Kesultanan Banten diangkat Cilikwidara sebagai wali pemerintahan di Sumedang dengan gelar Ngabehi Sacaparana. Diangkat menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadireja.
Keberadaan Pangeran Panembahan di Indramayu tidak lama. Untuk mendapat bantuan, kemudian beliau berangkat ke Galunggung, kerena yang berkuasa di sana Demang Galunggung yang bernama Raden Satjakusumah, adalah pamannya. Ia adalah cucu Prabu Geusan Ulun. Di Galunggung ia bertemu juga dengan Tumenggung Tanubaya, bupati Parakanmuncang. Di Galunggung Pangeran Panembahan berupaya menyusun pasukan seadanya.
Tumenggung Tanubaya diangkat sebagai pemimpin pasukan. Setelah persiapan dianggap cukup, kemudian Tumenggung Tanubaya menyerang Sumedang. Tanpa perlawanan yang berarti Sumedang dapat dikuasai kembali oleh Pangeran Panembahan, Cilikwidara pun melarikan diri ke wilayah utara.
Pada bulan Mei 1679 Cilikwidara mengacau Pamanukan, Indramayu, Cirebon dan Tegal. Di sana pun Cilikwidara menyusun kekuatan untuk kembali menyerang Sumedang. Selang 14 hari kemudian, Cilikwidara menyerang Sumedang. Pangeran Panembahan tidak bisa mempertahankan kemenangannya. Sumedang berhasil dikuasai lagi oleh Cilikwidara. Dengan demikian Cilikwidara kembali menduduki jabatan sebagai bupati Sumedang, bahkan lebih leluasa. Pangeran Panembahan kembali melarikan diri ke Indramayu. Hingga tahun 1680 keadaan di Sumedang tidak berubah.
Sementara keadaan di Banten sendiri terjadi konflik yang semakin runcing antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji. Konflik itu bahkan sampai konflik bersenjata. Karena terdesak, akhirnya Sultan Haji minta bantuan VOC untuk mengalahkan ayahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh VOC. Seperti sudah biasa setiap bantuan VOC selalu disertai kompensasi berupa monopoli perdagangan dan penguasaan wilayah.
Selain itu, bantuan VOC kepada Sultan Haji pun disertai permintaan supaya Banten tidak mengganggu Cirebon dan Sumedang.
Oleh sebab itu Tjilik Widara dipanggil oleh Sultan Haji. Dan Bulan Oktober 1680 Tjilik Widara atau Ngabehi Satjaparana harus meninggalkan Sumedang. Barang-barang hasil rampasan dari Sumedang harus dikembalikan lagi dan kalau mau selamat harus pulang ke Banten, oleh sebab kalau tidak begitu Sultan Haji tidak menanggung terhadap jiwanya Tjilik Widara dan pasukannya.
Cilikwidara meninggalkan Sumedang pada awal September tahun 1680 dan baru sampai di Banten tanggal 14 Oktober 1680. Dua bulan setelah Cilikwidara meninggalkan Sumedang.
Dua tahun lamanya Sumedang diduduki oleh pasukan Banten yang merusak tatanan masyarakat Sumedang. Pangeran Panembahan yang selamat dalam peristiwa penyerangan mesjid Tegalkalong dan berada di Cirebon, meminta ijin kepada Kompeni Belanda untuk kembali lagi ke Sumedang, Pangeran Panembahan lalu pulangnya diantarkan oleh kapten Joachim Michiefs. Ini kejadiannya tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang, dan Pangeran Panembahan memerintah lagi di Sumedang.
Ibukota yang dirusak oleh pasukan Banten dibetulkan lagi oleh Pangeran Panembahan. Untuk mengamankan keadaan dalam negeri yang dirasakan banyak terjadi gangguan, Pangeran Panembahan berinisiatif membentuk lasykar penjaga keamanan yang disebut Pamuk. Pasukan ini terdiri atas 40 orang terpilih. Mereka dikirim ke daerah-daerah yang dianggap perlu mendapatkan bantuan pengamanan.
Pangeran Panembahan pun memerintahkan kepada rakyatnya untuk membuka hutan guna dijadikan sawah. Dengan demikian di Sumedang pun jumlah sawah semakin luas. Sebagian dari sawah itu dijadikannya sebagai carik atau bengkok bagi para pamuk.
Dengan demikian, Pangeran Panembahan pun dianggap pendiri lembaga Pamuk dan pencipta sistem carik di Sumedang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah carik itu tidak hanya diberikan kepada Pamuk, tapi juga kepada para pejabat kabupaten dan pamong-pamong desa.
Pangeran Panembahan pun menata kembali Sumedang. Ibu kota kebupaten pada Awal Mei 1681 dipindahkan dari Tegalkalong ke kota Sumedang sekarang.
Mengenai pemindahan ibukota tersebut diceritakan, bahwa Mintaraga diperintahkan untuk mencari lokasi oleh Pangeran Panembahan, untuk memindahkan ibukota Tegalkalong ke tempat yang sekarang dalam tahun 1709. Di kota yang baru itu telah ada kira-kira 70 rumah.
Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria Santapura, Aria Sacapati, Raden Dipa, Mas Alom dan para suhada lainnya adalah yang berjasa ketika peristiwa di Mesjid Tegalkalong, menyelamatkan Pangeran Panembahan dari kepungan musuh. Namun sayang makam Pangeran Tumenggung Tegalkalong tidak terawat, perlu direnovasi mengingat jasanya untuk pangeran Panembahan yang tak lain adalah cucunya, karena Tumenggung Tegalkalong pangeran Bungsu putra prabu Geusan Ulun yang berumur panjang, hingga diakhir hayatnya darah bersimbah di Peristiwa Idul Fitri di Mesjid Tegalkalong.
Allah Subhana Watalla berfirman dalam Al quran Surah Al Baqarah ayat 154 berbunyi: "Wa la taqulu liman yuqtalu fi sabililloohi amwatun. Bal ahya’un walakin la tasy’urun." Yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, karena (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi engkau tidak menyadarinya.”
Sementara Imam Abu Dawud mengetengahkan sebuah hadis Nabi: "Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati syahid." (Hadist Rosul Abu Dawud)
Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah bersabda: "Siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan syahid, maka ia akan diberikan pahala (syahid), meskipun ia tidak mendapatkannya." (HR. Imam Muslim)
Silsilah Dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedag (Ratu Inten Dewata)
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji
1.3 Deman Watang
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh
1.6 Santoan Awi Loear
Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra :
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda
1.1.9 NM. Rangga Wiratama
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara
1.1.11 NM. Rangga Pamade
1.1.12 NM. Dipati Ukur
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipaku
Generasi ke-3
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong, berputra :
1.1.14.1 Nyi Mas Raja Koesoemah.
---------------
Ditulis kembali oleh : Dedi Kusmayadi Soerialaga, Kamantren Bidang Sejarah Keraton Sumedanglarang.
Sumber Bacaan :
1. Sasakala Nu Ngandung Sajarah di Kabupaten Sumedang, tidak dikethui penulis naskahnya.
2. R.A. Natanagara, Sejarah Sumedang (Sambungan V.A 1935), hal 1-9.
3. Rd. Asikin Natanagara. 1935. “Sejarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg Dugi ka Kiwari“, Volksalmanaksoenda.
4. Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
Post a Comment