Ziarah Makam Sutra Umbar di Makam Tajur Cipancar Kec. Sumedang Selatan


Sampurasun Salam Rahayu Waluya Jati Sampurna Insun Medal Insun Madangan

Berdasarkan data yang tertulis baik dalam cerita rakyat atau babon setempat, ada beberapa tokoh yang di anggap karuhun di Desa Cipancar, di antaranya ada tokoh Sutra Bandera atau Pangeran Badarudin atau Pangeran Sastra Pura Kusumah dan Sutra Umbar atau Pangeran Istihilah Kusumah, putra-putranya Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Surya Kencana atau Prabu Sedha, masa pemerintahan Pajajaran antara tahun 1567-1579 Masehi, Batara Kusumah atau Abdul Karim dan Nyimas Saripah kedua orang tuanya Jaya Perkasa,  Jaya Perkasa, Suma Sejati alias Sastra Manggala, yang hijrah ke Sumedang Larang dikarenakan Kerajaan Pajajaran di masa Prabu Surya Kencana atau Prabu Nusya Muyla yang bertahta di Kadu Hejo Pandeglang telah kosong dan sudah mengetahui akan kekalahan-kekalahan mempertahankan wilayah kerajaan Pajajaran di bawah serangan gabungan Kesultanan Surasowan Banten,  Cirebon dan Demak. 
Seperti yang dituliskan dalam Naskah Primer Lontar Carita Parahyangan, bait ke 25,  terakhir :
Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. Prang ka Rajagaluh, éléh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, éléh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Patégé, prang ka Jawakapala, éléh na Jawa kapala. Prang ka Galélang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun. 
Yang artinya : Diganti oleh Nusiya Mulya, lamanya menjadi raja dua belas  tahun. Mulai datangnya perbedaan. Oleh sebab adanya penyusupan kecil menjadi penyerangan besar, yang dilakukan kesultanan Islam. Perang ke Raja Galuh kalahnya penguasa Rajagaluh, Perang ke Kelapa, kalahnya penguasa Sunda Kalapa,  Perang ke Datar, Perang Ke Madiri, Perang ke Patege, Perang Ke Jawakapala, kalahnya penguasa Jawa kapala. Prang ka Galélang. Lalu, perang ke Salajo, semua kalah oleh Pasukan Kesultanan Islam. Demikian karenanya menjadi bawahan Kesultanan Demak dan Cirebon. Pun.

Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri berkuasa di kerajaan Sumedanglarang 1530-1578 Masehi. Pada masa pemerintahan Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah dibeberapa daerah termasuk wilayah Sumedang Larang. 

Melemahnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan itu di beberapa daerah yang dulunya adalah kekuasaan Kerajaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten, Cirebon dan Demak serta kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka. 

Setelah melihat keadaan Kerajaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Nusiya Mulya memerintahkan untuk menyelamatkan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke wilayah Kerajaan Sumedang Larang, maka berangkatlah Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Nusiya Mulya dan keluarga serta empat lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi, tengah perjalanan rombongan dibagi dua, ronbongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya melintasi pantai selatan.

Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 masehi Kerajaan Pajajaran Sirna ing bumi. Seperti diberitakan dalam Pustaka Nusantara Sargah 3 jilid 1 halaman 219 dan Pustaka Kertabhumi Sargah 1 jilid 2 halaman 68, “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadacai tjuklapaksa wesakhamasa sahasra limangantus punjul siki ikang cakakala”, artinya akibat diserbu tentara gabungan Banten Demak dan Cirebon. Ibukota Pajajaran jatuh ke tangan pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten dan Cirebon. Pajajaran Burak, dalam penyerangan tersebut tentara Banten hanya mendapatkan keadaan keraton Pakuan yang kosong telah ditinggalkan oleh penghuninya dan tentara Banten hanya membawa batu penobatan raja-raja Sunda Sriman Sriwacana ke Istana Surasowan Banten kemudian digunakan sebagai tempat penobatan raja-raja Banten, batu ini dikenal sebagai Watu Gilang. 

Dengan dibawanya batu tersebut dari Pajajaran menandakan berpindahnya legitimasi kekuasaan dari Pajajaran ke tangan Banten tetapi kenyataannya atas kekuasaan wilayah Pajajaran berada di tangan Kerajaan Sumedang Larang.

Kandaga Lante Pajajaran Jaya Perkasa, Dipati Wirajaya, Pancarbuana, dan Terongpeot, yang diperintah Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Nusiya Mulya alias Prabu Pucuk Umum Pulosari, agar menyerahkan mahkota Binokasih lambang kebesaran Pajajaran kepada Pengagung Sumedang larang dengan segala atributnya.

Ketika pasukan berkuda yang melintasi daerah hutan Bogor, dihadang oleh pasukan Senapati Banten, terjadilah pertarungan seru. Pasukan Jaya Perkasa lolos dari kepungan, singgah di Galuh Pakuan Limbangan berunding dengan Prabu Jaya Kusumah alias Sunan Rumenggong, yang dituakan oleh para pengagung Pajajaran, oleh karena putranya Prabu Sribaduga Jayadewata atau Prabu Siliwangi dari Nyai Anten atau Ratu Dewi Inten Dewata putrinya Surya Jaya Kusumah alias Raden Abun atau Dalem Pasehan Panembong Timanganten Garut. 

Ke empat Kandaga Lante Pajajaran mempertimbangkan rencana penyerahan Mahkota Binokasih,  diserahkan kepada Sumedanglarang atau kepada Cirebon. Atas pertimbangan Prabu Jaya Kusumah alias Sunan Rumenggong yang memimpin negara darurat perang Kerajaan Galuh Pakuan Kerta Rahayu Limbangan, mahkota lambang kebesaran Pajajaran itu diserahkan kepada Sumedang Larang.

Sebelum menyerahkan Mahkota Prabu Jaya Kusumah alias Sunan Rumenggong berunding dulu dengan Gajah Lindu, Sutra Bandera, Sutra Umbar, dan Aji Mantri yang sedang berada di Cisurat,  Wado. Kandaga Lante Pajajaran memenuhi nasihat itu, berunding di Cisurat Wado. untuk menentukan hari tepat penyerahan Mahkota Binokasih kepada Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus estafet Kerajaan Pajajaran.

Dalam masa pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang, kedua para putranya Prabu Surya Kencana atau Prabu Nusiya Mulya diangkat menjadi Senapati Utama untuk memperkuat armada kerajaan Sumedanglarang, sebelum dinobatkannya Pangeran Angka Wijaya atau Prabu Geusan Ulun. 

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at Legi tanggal 22 April 1578 atau bulan Syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya alias Nangganan, Sangyang Kondanghapa,  dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati antara 1357–1371 masehi. 

Mahkota tersebut kemudian diserahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun antara 1578–1601 masehi, sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi sargah ke 1 jilid 2 halaman 69, yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” yang artinya Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan.

Karaton Raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” artinya Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun. “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya.

Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali yaitu daerah Brebes sekarang di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. 

Di lihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian dari Jawa Barat.

Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun, tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari 4 orang Kandaga Lente bekas senapati dan pembesar Pajajaran. Sewaktu Pangeran Angkawijaya  diwastu menjadi Nalendra Raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun, kemudian diangkat oleh Ratu Inten Dewata dan Pangeran Santri, menjadi 4 senapati untuk memperkuat Kerajaan Sumedang Larang,  

Dalam Pustaka Kertabhumi Sargah 1 jilid 2 diceritakan bahwa ke 4 bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” Artinya Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya, sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante. 

Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (setingkat camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak kurang lebih 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna.


Silsilah Sutra Umbar dan Sutra Bandera 
Prabu Nusiya Mulya alias Panembahan Pulosari, Raja Pajajaran terakhir yang bertahta di Kadu Hedjo Pandeglang Banten 1567-1579 masehi makamnya di Pangeureunan Limbangan Garut, menikah dengan Nyimas Harom Muthida alias Nyimas Oo Imahu, mempunyai anak :
Anak ke 1, Harim Hotimah, makamnya di Bogor.

Anak ke 2, Pangeran Sastra Pura Kusumah alias Sutra Bandera, makamnya di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, menikah dengan Nyimas Hatimah putrinya Kusnaedi Kusumah alias Hosobi dan Nyimas Harsari, mempunyai anak; Sutra Mulud alias Eyang Haji Baginda, Mara Suda, Rohim dan Nyimas Asidah. Nyimas Asidah ditikah oleh Dipati Rangga Gede mempunyai anak Raden Bagus Weruh alias 
Dipati Rangga Gempol 2.

Anak ke 3, Pangeran Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar, makamnya di Makam Keramat Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan. Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar menikah dengan Nyimas Rangga Pamade anak ke 11 Prabu Geusan Ulun dari istrinya Ratu Tjukang Gedeng Waru alias Nyimas Raden Sari Hatin, mempunyai anak : Duhiman alias Eyang Lurah Cipancar, menikah dengan Nyi Raden Nalawangsa anak ke 29 Dipati Rangga Gede dari salah satu istrinya Nyimas Romlah, mempunyai anak : Manggala, Nata, Wirya dan Wijaya.
 
Anak ke 4, Suniasih alias Suntana, makamnya di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, ditikah oleh Jaya Perkasa, mempunyai anak : Nyimas Rangsana dan Agus Kulha.

Anak ke 5, Sari Atuhu alias Buyut Eres, makamnya di Parugpug Desa Cijambe Kecamatan Paseh. Nyimas Sari Atuhu ditikah oleh Pangeran Bungsu alias Santowan Awiluar, putra nya Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata, mempunyai anak Arasuda. Arasuda menikah dengan Ngabehi Mertayuda putrinya Prabu Geusan Ulun dan Ratu Tjukang Gedeng Waru alias Nyimas Sari Hatin, mempunyai anak Romlah yang ditikah oleh Dipati Rangga Gede.

Anak ke 6, Kokom Ruhada alias Buyut Lidah, makamnya di Parugpug Desa Cijambe Kecamatan Paseh, Nyimas Kokom Ruhada alias Buyut Lidah ditikah menjadi salah satu isterinya Dipati Rangga Gede.

Di makam Keramat Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, selain makam Pangeran Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar ada juga makam Jaya Perkasa, Makam Jagatlaya, Makam Mustafa Haer, Makam Kusnaedi Kusumah Makam Sumaenah, Makam Harsari, Makam Hosiyah, Makam Anta Wahab dan  Makam Arasuda.

Salam Santun.
Shema Pun Nihawah 

Lihat denah makam dibawah ini :





Sumber :
1. Medar isi Buku Waruga Jagat Darmaraja
2. Jati Sampurna Cipancar Sumedang Selatan.

Baca Juga :

Tidak ada komentar