Petilasan Prabu Permana Di Kusumah Di Gunung Padang Darmaraja Sumedang






Petilasan/Situs Prabu Permana Di Kusuma/Ki Ajar Padang, Raja Galuh Ke 6 (mp. 724-725), di Gunung Padang Darmaraja Sumedang.

Gunung Padang Darmaraja  adalah salah satu gunung bersejarah jaman Sumedang Purbahyang (Purbawisesa, Terahwisesa dan Ajiwisesa), gunung-gunung tersebut yaitu : Gunung Lingga, Gunung Surian, Gunung Penuh, Gunung Paniis, Gunung Cangak, Gunung Sangiang, Gunung Jagat dan Gunung Cakrabuana yang berada  di Kecamatan Darmaraja dan  Kecamatan Wado Sumedang. (Buku Pakuning Alam Darmaraja)

Demikian juga sewaktu berdirinya kerajaan Tembong Agung yang didirikan Aria Bimaraksa dan putranya Prabu Aji Putih, "Bagala Asih Panyipuhan" merupakan tempat berkumpul dan dikumpulkannya kalangan rakyat,  resi dan keturunan Raja Galuh untuk mengasah ilmu batin maupun ilmu kanuragan.

Gunung Padang Darmaraja merupakan petilasan sewaktu "ngamuniaraja sunyi" atau bersinergi dengan Alam, Prabu Permana di Kusumah/Ajar Padang ayahya Prabu Ciung Wanara/Rd. Suratoma, dari istrinya Dewi Naga Ningrum.

Pada umumnya raja-raja Sunda dan Jawa dahulu melakukan "Ngamuniaraja Sunyi" untuk mencapai "Martabat Medang Kamulyaan" sebelum ataupun setelah lengser dari dari keraton, seperti halnya Batara Tuntang Buana/Prabu Tajimalela melakukan "Ngamuniaraja Sunyi" bersinergi dengan Alam (Gumulung) di Gunung Lingga.

Dari Naskah "Carita Waruga Guru" disimpulkan garis besarnya sebagai berikut, walaupun tidak sama isinya, penulis mencoba mengisahkan makna yang berbeda.



Raja Galuh Wretikendayun dengan permaisuri Dewi Pohaci Sari Bunga Mangle Menak Ati berputrakan 3 laki-laki, yang pertama Arya Sempak Waja, kedua Arya Jantaka dan ketiga Arya Mandiminyak. Arya sempak waja tidak menjadi putra mahkota karena cacat pada giginya yang "ompong", Arya Jantaka tidak bisa menggantikan kakaknya menjadi  putra mahkota karena cacat berkelaian "Kemir" atau "Hernia", sehingga menjadilah putra mahkota si bungsu yang tampan, Amara Mandiminyak menjadi putra mahkota dan menjadi Raja Galuh yang ke-2.

Perang besar banyak diawali akibat perselingkuhan dan perebutan antar anak-anak raja. Perang besar jenis ini terjadi saat Purbasora mengkudeta Bratasena di kerajaan Galuh. Bratasena adalah raja Galuh ke 3 menggantikan ayahnya Amara Mandiminyak (putra ke 3 raja Wretikendayun pendiri Galuh) yang menjadi raja karena ia tampan dibandingkan kakaknya yang cacat (kakak pertama sempak waja-ompong, kakak kedua Jantaka cacat hernia). Purbasora anak “yuridis” Sempakwaja yang merasa sebagai pewaris tahta dari seharusnya ayahnya sebagai anak pertama Wretikendayun, ia tampan karena sesungguhnya ia anak “biologis” dari Mandiminyak yang “selingkuh” dengan istri dari Sempakwaja kakaknya.

Perang besar kedua terjadi di Sunda saat perseteruan Ciungwanara dengan Arya Bangah, hal mana diawali oleh perilaku “selingkuh” ayahnya Arya Bangah, Prabu Tamperan Barmawijaya Raja Sunda atas Dewi Pangreyep istri Raja Galuh Permana Dikusuma yang lebih rajin bertapa.

Cinta buta Tamperan dan kesepiannya Dewi Pangreyep yang terlalu sering ditinggal bertapa membuahkan anak biologis “Arya Bangah” dan memicu Tamperan menjadi haus kekuasan dengan mengutus pembunuh menghabisi Permana Dikusumah di pertapaan, untuk menghilangkan jejak sang pembunuh pun dihabisi Tamperan, akhirnya ia menguasai Sunda dan Galuh serta 2 istri Permana Dikusumah.
 

Ketika Prabu Permana di Kusuma bertapa di Gunung Padang, meninggalkan istrinya Dewi Naganingrum di Keraton Galuh.

Tamperan Barma Wijaya Kusumah putra dari Dewi Tejakusuma dan Rakean Jamri/Prabu Sanjaya Raja Sunda ke 2, ketika itu diangkat menjadi patih dan dititipi kerajaan Galuh karena masih ada keterkaitan saudara dari ibunya yaitu
Dewi Tejakusuma, oleh Prabu Permana di Kusumah sewaktu bertapa di Gunung Padang, yang kemudian berselingkuh dengan dengan Dewi Pangrenyep dan mempunyai anak Hariang Banga membunuh Permana di Kusumah di Pertapaan, lewat utusan pembunuh akhirnya dibunuh juga dan mengawini Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum. Kemudian ia menobatkan dirinya sebagai Penguasa Galuh ke 7 (mp. 725-739 M).

Pada akhirnya setelah besar Rd. Suratama (Ciung Wanara) menuntut hak ayahnya Prabu Permana di Kusumah, yang ketika itu ikut bersama Ratu Komara/Ratu Dewi Komalasari binti Purbasora binti Sempakwaja binti Wretikendayun  istrinya Aria Bimaraksa bin Jantaka bin Wretikendayun dan Prabu Aji Putih bin Aria Bimaraksa, yang dibantu Wadyabalad Aria Bimaraksa dan Wadyabalad dari Limbangan Garut.


Ciung Wanara anak Permana Dikusumah dari istri pertama Dewi Naganingrum saat dewasa membongkar “kasus” ini dan memerangi ayah tirinya dan kakak tirinya Arya Bangah, setelah Dewi Pangreyep dan Tamperan terbunuh. 

Arya Bangah minta Bantuan Sanjaya Raja Mataram yang juga ayah dari Tamperan, sehingga Perang besar tak terelakan. Perang ini berakhir setelah seluruh sesepuh Sunda-Galuh berekonsiliasi, Arya Bangah dan Ciungwanara keduanya dinikahkan dengan kakak adik putri buyut Resi Demuwan (Kencanasari dan Kencanawangi) dan Arya Bangah jadi Raja Sunda, Ciungwanara (Prabu Surotama) jadi Raja Galuh.

Di sebelahnya juga ada tempat di Cikeusi ada petilasan Prabu Raden Suratoma (Ciung Wanara), sewaktu "nyumput buni dinu caang" dari kejaran para ponggawa prabu Tamperan Bramawijaya. Dongeng Ciung Wanara kemungkinan hanyalah proganda media masa pada jaman tersebut dengan cerita turun temurun, karena jika ketahuan Rd. Suratoma ada di Daerah Sumedang sudah barang tentu tak luput dari kejaran para ponggawa Prabu Tamperan Barma Wijaya Kusuma seperti yang dilakukannya ketika membunuh ayah kandungnya yaitu Permana Dikusuma.  (baca juga Harti Ciung Wanara)




Dalam Buku Pakuning Alam Kadarmarajaan dipantunkan dalam bait ke 327 :
Tah ieu elmu mandita, lamun jampe hayang matih, ngabisu tapana meunang tilu taun leuwih, ulah ganggu ka Istri, lilana tilu taun ... ieu elmu ki Ajar Sakti anu mandita di Gunung Padang.

Ilmu ini hampir sama dalam ajaran kejawen, Sunan Kalijaga yaitu "Ilmu Pangrucutan". Kangjeng Susuhunan di Kalijogo menceritakan sebagai berikut: “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjizat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta adalah :
- Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
- Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
- Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
- Puasa padam api (patigeni), tujuh hari tujuh malam
- Jaga, (tidak tidur) lamanya tiga hari tiga malam
- Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam caranya :
1. Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan
2. Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan
3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
6. Pati raga selama sehari semalam.

Adapun caranya Pati Raga tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang tubuh (babagan howo songo), tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas, nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.

Perlunya Pati Raga
Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”

Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut." (Dediesmd ~ 5/2/2017).

Baca Juga :

Tidak ada komentar