Tentang Kabuyutan

Amanah Buyut: “Buyut nu dititipkeun ka Puun Nagara Satelung Puluh Telu (33 Nusa), Bangawan Sawidak Lima (65 Sungai), Pancer Salawe Nagara (25 Nagara). Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang dirubah, Lojor teu menang dipotong, Pondok teu meunang disambung, Nu lain kudu dilainkeun, Nu ulah kudu diulahkeun, Nu enya kudu dienyakeun”. Amanah Leluhur Dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan “Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sempalan Kebonan, Pasir Talunan, Datar Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasareun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun jeung  Basisir Jagaeun”.

Saat ini masih terdapat jejak-jejak Kabuyutan peninggalan Leluhur Nusantara yang masih terjaga keasriannya, sebagai cagar budaya dan spiritual serta warisan peradaban dunia sudah sepatutnya situs-situs kabuyutan tersebut dilestarikan oleh kita semua untuk dapat kita wariskan kepada anak cucu kita nanti.

Pun sapun kaluluhuran,


Berikut ini tulisan Kang Oman Abdurrahman Geologi ITB dan Majalah Geomagz tentang Fungsi Kabuyutan:

“KABUYUTAN”: NILAI POKOK BUDAYA UNTUK PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN (I)

Oleh: manAR[1]


Pembangunan Kebudayaan

Akhir-akhir ini berkembang beberapa model atau konsep pembangunan yang saling terkait dan hampir sama maksudnya. Tiga diantaranya adalah:  “pembangunan berbasis masyarakat (PBM)”, “pembangunan berbasi budaya (PBB)”, dan “revitalisasi kebudayaan”. Pada dasarnya ketiga konsep tersebut fokus kepada hal yang sama, yaitu: peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Pembangunan berbasis masyarakat (PBM atau CBD: community-based development), atau istilah yang berdekatan maknanya didefinisikan sebagai: program dan kegiatan  yang berfokus kepada lokasi khusus dan dialamatkan kepada masyarakat di lokasi tersebut[1].   Kegitan-kegiatan dalam PBM  dijalankan “di dalam” dan “oleh” masyarakat setempat. Dalam PBM, sangat digarisbawahi perbedaan makna antara “pertumbuhan” (growth) dan “pembangunan” atau “pengembangan” (development). “Pertumbuhan” berarti peningkatan kuantitatif dalam skala dimensi fisik dari ekonomi, sedangkan “pembangunan” bermakna peningkatan kualitas dalam struktur, rancangan, dan komposisi dari simpanan dan aliran fisik yang diperoleh dari pengetahuan yang lebih luas, baik teknik maupun tujuan. PBM berfokus pada “pembangunan” atau peningkatan kualitas hidup masyarakat atas kegiatan-kegiatan yang melibatkan mereka dan segenap sumber daya yang mereka miliki.  Issu-issu dalam PBM saat ini berkembang dari pertanyaan mengenai posisi “modal” -yang maksudnya tiada lain dari modal masyarakat – dan proses penggunaannya. Modal dapat berbentuk: (1) fiskal, (2) konstruksi fisik dari infrastuktur dan lingkungan atau alam,  (3) manusia, dan (4) masyarakat (sosial). Adapun proses yang melibatkan modal tersebut adalah penanaman modal (investment) dan regenerasi. Dari issu-issu di atas, tampak bahwa dalam PBM terdapat hubungan yang tak terpisahkan antara lingkungan alam dan kondisi sosial sebagai modal pembangunan yang harus diperhatikan secara seksama, baik penggunaannya maupun keberlanjutannya. 

Sebagai respon terhadap krisis kebudayaan, dewasan ini mulai diwacanakan juga “pembangunan berbasis budaya” (PBB). “Berbasis Budaya” dalam PBB menekankan pentingnya budaya sebagai poros pembangunan. Dengan kata lain, PBB tidak semata-mata mengejar kemajuan ekonomi (“pertumbuhan” atau growth), melainkan lebih mengutamakan nilai-nilai yang mendasari sekaligus menjadi inti kekuatan kehidupan masyarakat. PBB bertujuan untuk membangun ketangguhan budaya bangsa agar bangsa tersebut terhindar dari krisis kebudayaan yang merupakan sumber dari berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi. Jika PBM lebih menekankan pada proses keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, maka PBB lebih fokus pada kekuatan dan penguatan nilai-nilai budaya sebagai poros seluruh aktivitas pembangunan, mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (monitoring) dan evaluasi.

Seiring mulai dikenalnya konsep PBM dan PBB, akhir-akhir ini telah mulai populer pula wacana “revitalisasi budaya”, baik di kalangan pemerintahan maupun di tengah masyarakat luas. Revitalisasi budaya (RB) berdasarkan akar katanya mengandung maksud sebagai: “menjadikan budaya kembali sebagai sesuatu yang mendasar, menetukan, atau sangat diperlukan”. Menurut Hasan Zafer Dogan (dalam Dede Mariana dan Caroline Paskarina, 2005[2]), revitalisasi budaya lokal adalah respon pemulihan kembali yang terjadi ketika masyarakat menerima modernitas dan menjadikannya sebagai sarana untuk memulihkan budaya lokal yang telah hancur oleh modernisasi (globalisasi).   Tampak bahwa terdapat saling keterkaitan yang erat antara  PBM, PBB, dan RB. Kesaling-terkaitan ini akan semakin jelas jika kita melihat langkah-langkah RB.

Menurut Chaedar Al-Wasilah (2001)[3], revitaliasai budaya memiliki tiga langkah mendasar yang mesti dilalukan. Ketiga langkah mendasar tersebut adalah: (1) pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan sosial, dan (3) kreativitas (budaya).  Dengan demikian, baik PBM, PBB mapun RB yang sama-sama berfokus pada kebudayaan sebagai soko guru pembangunan, mestilah melaksanakan ketiga langkah tersebut. Langkah pertama merupakan sesuatu yang mendasar. PBM, PBB maupun RB mestilah diawali dengan pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran mengenai nilai-nilai kebudayaan sebagai sesuatu yang mendasar dalam pembangunan. Perencanaan sosial merupakan tahap berikutnya yang harus dilaksanakan guna internalisasi, inseminasi dan sosialisasi agar nilai-nilai mendasar tersebut menjadi milik dan kesadaran bersama masyarakat. Akhirnya kreativitas budaya harus digarisbawahi sebagai muara dan sasaran dari seluruh proses dalam RB. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat sebagaimana disampaikan W.S. Rendra[4], kembali kepada budaya lokal pada situasi sekarang tiada lain adalah upaya untuk menghasilkan kreativitas budaya. Tak ada kebudayaan yang benar-benar “asli” dewasa ini disebabkan telah kentalnya persentuhan antar budaya. Jargon “kembali kepada kebudayaan lokal” dalam pembangunan kita pada dasarnya adalah penggalian kreativitas budaya agar kita mampu bertahan bahkan unggul dibanding masyarakat lain dengan tetap mempertahankan nilai-nilai pokok budaya kita.

Berdasarkan uraian-uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa pembangunan berbasis masyarakat (PBM), pembangunan berbasis budaya (PBB), dan revitalisasi budaya mengusung suatu pengertian yang sama, yaitu: Pembangunan Kebudayaan. Tulisan pertama ini akan dilanjutkan dengan  penjelasan lebih lanjut tentang nila-nilai sebagai dasar pembangunan kebudayaan. Selanjutnya, akan diidentifikasi salah satu nilai pokok kebudayaan Tatar Sunda untuk aplikasi pembangunan kebudayaan pada beberapa unsur kebudayaan, khususnya pengelolaan lingkungan. Terkahir, akan disampaikan implikasi nilai pokok yang telah teridentifikasi tersebut untuk perencanaan program. Pada bagian kedua dari seri tulisan ini akan disajikan salah satu contoh upaya pengembangan kreativitas budaya berkenaan dengan nilai pokok tersebut.


Nilai-nilai sebagai Dasar Pembangunan Kebudayaan

Pembangunan kebudayaan mengasumsikan bahwa perubahan budaya itu  direncanakan dan diarahkan kepada kondisi yang lebih baik. Inti dari proses perubahannya, sebagaimana inti dari perubahan sosial, adalah perubahan norma-norma atau nilai-nilai yang dianut masyarakat. Beberapa definisi kebudayaan menunjukkan bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah nilai-nilai  yang menjadi pola untuk hidup atau pedoman potensial bagi tingkah laku manusia.  Dalam kaitan ini, kebudayaan sebagai kepribadian memang berkaitan dengan proses penyesuai terus menerus dengan sistem nilai (Umar Kayam, 1981)[5].

Nilai sebagaimana menurut Melvin Rader dan Bertram Jessup[6] (1976), berkaitan dengan kepentingan, yaitu  kepentingan pada suatu obyek dan obyek dari kepentingan tersebut. Keduanya menjelaskan lebih lanjut bahwa nilai dapat diuraikan menjadi tiga komponen, yaitu kepentingn subyek (K), obyek dari kepentingan (O), dan hubungan diantara subyek dan obyek tersebut (H), sedemikian sehingga gabungan yang utuh antara kepentingan, obyek, dan hubungan tersebut adalah satu-satunya nilai yang lengkap dan aktual.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt[7] mempertegas pengertian nilai yang terkait erat dengan kepentingan. Menurut mereka, nilai (values) adalah gagasan mengenai apakah pengalaman berarti atau tidak berarti. Dengan kata lain, apa yang menjadi kepentingan subyek dan obyek dari kepentingan, serta hubungan yang ditetapkan diantara keduanya oleh masyarakat adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian terdapat nilai ekonomi, nilai politik, nilai lingkungan, dan nilai-nilai lain dari aspek kebudayaan selebihnya.

Nilai-nilai melahirkan norma-norma. Norma ialah sesuatu yang dirumuskan oleh masyarakat supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan (Soekanto, 1990[8]). Norma-norma mengikat kehidupan masyarakat. Kuat-lemahnya ikatan tersebut bergantung kepada jenis-jenis norma. Terdapat empat pengertian norma, yaitu-dari yang paling lemah ke yang paling kuat ikatannya-sebagai berikut: cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom). Nilai-nilai dan norma-norma menjadi dasar perkembangan budaya, sebagaimana dinyatakan oleh  Paul B. Horton dan Chester L. Hunt6:  “kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut”.

Pembangunan kebudayaan yang mumusatkan aktivitasnya pada pembangunan tata nilai merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini mengingat krisis yang melanda bangsa Indonesia dipandang dari kacamata kebudayaan muncul sebagai akibat tata nilai kehidupan bangsa Indonesia saat ini rendah (Saini K.M.,  2004)[9].

Muara dari pembangunan kebudayaan – yang tak lain dari pembangunan nilai-nilai kehidupan masyarakat – adalah eksistensi bangsa. Tentang hal ini, falsafah sejarah menurut Matt I. Dimont[10] patut menjadi acuan. Dimont berpendapat bahwa sesederhana apa pun suatu bangsa jika ia masih eksis atau pernah hadir dalam sejarah, maka bangsa tersebut niscaya memiliki nilai-nilai pokok yang apabila nilai-nilai pokok tersebut lentur (flexible) – yakni mampu menangkap makna perubahan jaman dalam konteks sejarah – maka bangsa tersebut berpeluang untuk kembali meraih kejayaannya.


Kabuyutan sebagai Nilai Pokok Kebudayaan Tatar Sunda

Nilai-nilai pokok atau dimensi paling penting dari suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang universal yang akan diterima oleh bangsa apa pun di dunia ini; atau nilai-nilai yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi dan yang diperlukan hanyalah aplikasi atau pengamalannya. Nilai-nilai pokok adalah landasan, sumber, dan muara dimensi-dimensi atau nilai-nilai penting lainnya dari suatu kebudayaan. Apabila suatu bangsa berhasil merevitalisasi nilai-nilai pokok budayanya, maka bangsa tersebut berpeluang untuk meraih kembali kejayannya.

Salah satu dimensi paling penting dalam nilai-nilai universal kebudayaan Tatar Sunda adalah apa yang terangkum dalam istilah kabuyutan. Leluhur-leluhur Sunda sangat mewanti-wantikan anak keturunan dan masyarakatnya agar mereka benar-benar menjaga dan memelihara kabuyutan. Dalam salah satu naskah kuno Sunda dikatakan bahwa anak bangsa yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan-nya jauh lebih hina dibanding kulit musang  yang tercampak di tempat sampah. Untuk identifikasi kandungan nilai-nilai dalam nilai pokok kabuyutan ini penting kiranya untuk mengenal penggunaan istilah kabuyutan dalam sejarah.


–  Sejarah Penggunaan Istilah “Kabuyutan”

Catatan atau peninggalan sejarah Sunda tertua yang memuat istilah kabuyutan sejauh ini adalah sebuah prasasti yang dikenal dengan prasasti Cibadak. Prasasti ini merupakan peninggalan Sri Jaya Bupati, seorang raja Sunda, yang dibuat antara 1006-1016 M, Prabu Sri Jaya Bhupati memerintah bersamaan saat di Kediri, Jawa Timur, memerintah Raja Airlangga. Dalam prasasti tersebut, Sri Jayabupati telah menetapkan sebagian dari Sungai Sanghyang Tapak, sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang memiliki pantangan (larangan) untuk ditaati oleh segenap rakyatnya. Lebih jelasnya, di bawah ini dikutipkan kabuyutan dari Raja Sri Jayabupati dalam prasasti tersebut[11]:

“Selamat, dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari Hariyang-Kliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuana-mandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa membuat tanda di sebelah Timur Sanghyang Tapak, dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah Kabuyutan Sanghyang Tapak dibagian hulu…”

Istilah kabuyutan selanjutnya terdapat dalam naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13, yaitu Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai “Amanat Galunggung” atau “Amanat Prabuguru Darmasiksa”. Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002)[12]. “Amanat Galunggung” adalah peninggalan raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 – 1297 M), yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Isi naskah kuno ini menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi ajaran hidup sejak abad 13 – 15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah:

–  Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).

–  Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan) Galunggung, akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.

–  Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.

–  Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.

–  Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.

– Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutan-nya) pada jamannya.

Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V, yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M. Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh Danasasmita, dkk., 1984[13]):

“Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang megurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.”

Penggunaan istilah kabuyutan dapat ditelusuri lebih lanjut dalam sejarah, tidak saja di kalangan masyarakat Sunda, namun ternyata dijumpai pula dalam sejarah peradaban suku bangsa selain Sunda. Teknologi- dalam hal ini telematika atau sederhananya: teknologi internet – membantu kita dalam mencari rujukan penggunaan istilah kabuyutan. Berdasarkan penelusuran menggunakan internet (misalnya: surfing di internet dengan menggunakan kata kunci: “kabuyutan”), terdapat tidak kurang dari 65 situs (website) yang memuat istilah kabuyutan. Hasil pengamatan terhadap seluruh situs-situs tersebut, tak kurang dari 20 situs yang memuat istilah kabuyutan dengan makna atau rujukan pengertian yang berbeda. Berdasarkan pengamatan terhadap situs-situs yang memuat istilah tersebut, sedikitnya terdapat 10 arti, makna atau maksud istilah kabuyutan, yaitu:

1) Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat yang disucikan atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau prasasti, di (menurut) masyarakat Tatar Sunda[14], [15], [16]

2) Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang menggunakannya adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah “kabuyutan Majapahit” oleh Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda yang hidup kl. Pada abad 15-16 M[17]);

3) Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa pertapaan[18], gunung[19], sungai[20], atau kawasan kerajaan[21] yang secara geografis dapat dijumpai sampai di luar wilayah Jawa Barat sekalipun[22].

4) Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang[23]

5) Berasal dari kata “buyut”, digunakan untuk menyebut larangan, tabu, atau pantangan  dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy[24];

6) Nama lembaga pendidikan dalam sejarah Tatar Sunda yang berlangsung sampai sebelum periode pesantren[25]

7) Nama pedang pusaka kerajaan di yang terdapat di museum Sumedang dan diperlihatkan kepada masyarakat luas pada upacara tertentu[26]

8) Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di Kahiyangan[27]; atau nama suatu jenis penyakit[28]

9) Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan “Buyut” atau “Dhari” adalah nama pemimpin desa (kabuyutan) tersebut [29]

10) Berarti musuh yang harus dijauhi atau musuh abadi (musuh bebuyutan)[30]



–  Makna Kabuyutan dan Revitalisasinya

Pemahaman yang mendalam terhadap sejarah penggunaan istilah kabuyutan akan melahirkan beberapa tingkatan makna kabuyutan, meliputi makna aslinya maupun pengembangan pemaknaan dalam rangka revitalisasi (nilai-nilai) kebudayaan. Dalam kaitan konteks demikian, maka terdapat tingkatan-tingkatan makna kabuyutan sebagai berikut: 1) kabuyutan sebagai tempat yang suci atau tempat yang disakralkan beserta segala kandungan isinya, baik yang tampak (tangible) maupun tak tampak (inatngible), 2) kabuyutan dalam arti tempat tinggal (atau kampung halaman atau tanah air dalam arti sempit); dan tanah air (regional maupun nasional)  beserta segenap kekayaan alam dan sosial budayanya dan   makna lainnya yang merupakan makna revitalisasi.

Makna kabuyutan sebagai tempat suci merupakan makna asli atau makna yang paling sering digunakan di masa lalu. Menurut Ayatrohaedi[31], tempat suci ini di kalangan masyarakat Sunda setara dengan tempat yang dikeramatkan beserta kandungan di dalamnya. Dalam kaitan ini, maka makna kabuyutan setara dengan situs, tempat-tempat yang dianggap suci atau dikeramatkan, prasasti berikut benda cagar budaya, tatanan air, tumbuhan, bentang alam serta seluruh kandungan diversitas bio-geo-fisik-sosial-budaya lainnya yang terdapat di dalamnya. Seluruh situs, cagar budaya, dan tempat serta benda-benda lainnya yang menjadi peninggalan/bukti sejarah adalah kabuyutan. Tempat-tempat tersebut disucikan atau dikeramatkan karena fungsinya sebagai penyangga keberlanjutan kehidupan bersama seluruh warga masyarakat.

Kabuyutan dalam makna yang kedua merupakan pemakaan lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti serta kesetaraan argumentasi penggunaan istilah tersebut  dalam sejarah. Pertama-tama,  kabuyutan bermakna “kampung halaman” atau “tempat tinggal” kita masing-masing, baik dalam skala lokal maupun regional. Makna ini sangat relevan karena kampung halaman kita masing-masing pada dasarnya adalah benteng kelangsungan hidup masyarakat kita satu terhadap lainnya. Lahan-lahan pertanian harus dipertahankan agar tidak beralih fungsi menjadi pemukiman atau lahan kritis. Mataair-mataair yang banyak tersebar di kaki gunung dan kawasan lainnya harus dijaga agar tidak beralih fungsi menjadi sumber air minum kemasan milik segelintir orang. Hingga saat ini ancaman dan praktek “penguasaan lahan oleh orang lain” dalam bentuk alih fungsi dan sejenisnya masih berlangsung, baik di perkotaan maupun pedesaan.

Makna, kabuyutan yang senantiasa dipesankan untuk selalu dijaga dan dipertahankan itu, dapat diperluas  menjadi “ibu pertiwi” atau “tanah air”.  Tanah air dalam arti luas yaitu wilayah negara yang merupakan kesatuan tanah dan air yang menjadi milik negara. Tanah air dengan seluruh kandungannya berupa: air, tanah, lahan, keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan keragaman bentukan alam, lingkungan-lingkungan strategis dan sumber penting penghidupan dan kehidupan masyarakat, baik fisik maupun sosial budaya. Pengertian ini membawa kepada hasil pemaknaan  berikutnya: kebuyutan sebagai lingkungan hidup.

Dalam konteks ilmu pengetahuan lingkungan saat ini, maka makna kabuyutan dapat direvitalisasi menjadi: sumber daya alam atau lingkungan fisik, baik hayati maupun non hayati yang meliputi lahan, keanekaragaman bentukan alam (geodiversity), dan keanekaragaman hayati (biodiversity). Yakni: hutan, sungai, gunung, rawa, danau, dan lingkungan alam lainnya beserta segala kandungan isinya, baik hayati maupun nonhayati. Dengan kata lain, kabuyutan adalah lingkungan hidup (fisik) kita yang memiliki fungsi daya dukung dan daya tampung lingkungan guna keberlanjutan kehidupan manusia di dalamnya.

Yang terakhir, kabuyutan dalam makna lingkungan sosial budaya. Dalam kaitan ini, sebagaimana catatan sejarah juga mengindikasikannya, kabuyutan berati segenap kandungan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek sosial dan budaya yang telah dan mungkin dapat dikembangkan dari kandungan kabuyutan secara fisik. Pengertian ini meliputi unsur: pendidikan dan pembelajaran, kandungan bahan pengembangan sain dan teknologi, bahasa dan sastera, kesenian; dan kandungan sejarah, filologi dan arkeologi. Pada gilirannya, kabuyutan akan terkait erat dengan unsur ekonomi, sosial dan politik.

Demikianlah, kabuyutan untuk pembangunan kebudayaan dapat kita pandang sebagai salah satu nilai-nilai pokok dari Kebudayaan Tatar Sunda. Dari sudut pandang pembagian unsur kebudayaan, dimensi penting kabuyutan  ini memuat kandungan multi nilai, diantaranya: sistem religi dan kepercayaan yang terkandung dalam situs, tempat keramat atau sakral; pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi; sejarah, arkeologi dan filologi; lingkungan, arsitektur dan tatanan alam lainnya; bahasa dan kesenian. Dimensi kabuyutan akhirnya berkaitan erat dengan unsur ekonomi, sosial, dan politik, sehingga secara keseluruhan kabuyutan mengandung muatan nilai-nilai seluruh unsur kebudayaan.


Implikasi terhadap Perencanaan Program

Dalam mengidentifikasi implikasi kabuyutan sebagai dimensi penting kebudayaan Tatar Sunda (TS) terhadap perencanaan program akan digunakan pendekatan perencanaan stratejik (PS) yang dimodifikasi berdasarkan kondisi PS yang aktual saat ini di Pemerintahan Propinsi Jawa Barat (Pemprop. Jabar). Berdasarkan pendekatan PS, kita memerlukan visi dan misi, tujuan stratejik, sasaran stratejik (yang merupakan penurunan indikator outcome atau pencapaian hasil), program dan kegiatan. Unsur modifikasi yang dimaksud adalah bahwa perencanaan program yang akan mengusung kabuyutan sebagai dimensi penting dalam pembangunan kebudayaan Tatar Sunda ini mengandaikan visi dan misi Pemprop. Jabar saat ini benar-benar berlaku sampai akhir tahun anggaran 2008.


–  Penurunan Tujuan dan Sasaran Stratejik dari Visi-Misi

Terdapat 5 (lima) misi Pemprop. Jabar[32], yaitu: 1) Peningkata Kualitas dan Produktivitas Sumber Daya Manusia Jawa Barat, 2) Pengembangan Struktur Perekonomian Regional yang Tangguh, 3) Pemantapan Kinerja Pemerintah Daerah, 4) Implementasi Pembangunan Berkelanjutan, dan 5) Peningkatan Kualitas Kehidupan Sosial yang Berlandaskan Agama dan Budaya Daerah. Dari kelima misi tersebut, maka implementasi kabuyutan sebagai dimensi penting kebudayaan sangat terkait langsung – atau memperoleh peluang yang sudah semestinya digunakan – dalam penjabaran misi nomor 4) dan 5) tersebut di atas.

Di dalam menurunkan tujuan dan sasaran stratejik untuk implementasi nilai-nilai pokok kabuyutan dalam pembangunan, beberapa aspek bersumber dari prinsip pembangunan kebudayaan dan kondisi aktual pembangunan saat ini semestinya diperhatikan. Tujuannya tiada lain untuk  sinergi, koordinasi dan penghindaran tumpang tindih program-kegiatan yang berbasis kabuyutan dengan program-kegiatan yang selama ini telah berlangsung. Sebab, sejatinya program dan kegiatan yang selama dilaksanakan pun banyak yang telah menyentuh dimensi penting kabuyutan. Dalam hal ini, Peraturan Daerah (Perda) Jabar tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah; Pemeliharaan Kesenian; dan Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai-Nilai Tradisional dan Museum (Perda Nomor 5, 6, 7 Tahun 2003) sudah semestinya diperhatikan dalam penyusunan rencana program berbasis kabuyutan ini.

Makna kabuyutan sebagai situs, misalnya, sudah semestinya menjadi perhatian utama dalam penurunan tujuan dan sasaran stratejik pembangunan kebudayaan nilai pokok kabuyutan. Prof. Dr. Ayatrohaedi telah mengusulkan perubahan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya karena kebijakan tersebut lebih memusatkan perhatian pada aspek benda cagar budaya dan kurang memberi perhatian pada aspek “situs”. Kondisi ini - menurut Ayatrohaedi - telah mengakibatkan kegagalan perlindungan “situs” Rancamaya, di Bogor. Definisi situs yang akan mampu memberi peluang perlindungan optimal terhadapnya, dapat berbentuk sebagai berikut (Ayatrohaedi, [33]):  ”Situs adalah lokasi yang (a) mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya, (b) oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tempat keramat atau suci; termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Pembangunan kebudayaan yang mengusung kabuyutan sebagai nilai pokok kebudayaan memberi peluang kepada Jawa Barat untuk menjadi lebih mampu memberikan perlindungan terhadap situs dan cagar budaya beserta segenap kandungannya.

Prinsip pembangunan kebudayaan yang mesti dilibatkan tiada lain adalah: prinsip penguatan dan pemberdayaan nilai-nilai dari PBB, prinsip keterlibatan (partisipasi) masyarakat dari PBM, dan  ketiga langkah RK (pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran, perencanaan sosial, dan kreativitas budaya). Ketiga prinsip tersebut akan lebih memberikan rumusan yang kongkret mengenai indikator pencapaian sasaran stratejik (outcome), kebijakan yang diperlukan, dan siapa berbuat apa (baik dinas, badan, dan lembaga Pemerintah; swasta, lembaga masyarakat, maupun masyarakat luas).

Dimensi kabuyutan sangat memenuhi kriteria untuk dituangkan ke dalam perencanaan tujuan stratejik, sasaran stratejik, hingga program dan kegiatan guna pencapan misi Pemprop. Jabar, yaitu: peningkatan implementasi pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas kehidupan sosial  yang berlandaskan agama dan budaya daerah.  Untuk itu, beberapa target besar capaian yang dapat menjadi muatan tujuan stratejik dan sasaran stratejik diusulkan beserta identifikasi indikatornya sebagai alternatif, sebgaimana pada Tabel di akhir tulisan ini.


–  Acuan Penurunan Program dan Alternatif Pembiayaan

Pencapaian tujuan stratejik dijabarkan dalam rencana pencapaian indikator sasaran (outcome) yang selanjutnya dituangkan dalam program dan kegiatan. Mengingat dewasan ini merupakan masa transisi perencanaan, yaitu dari perencanaan berdasarkan anggaran ke perencanaan berdasarkan kinerja (perencanaan stratejik), maka perencanaan implementasi nilai pokok kabuyutan ini  memerlukan strategi. Hal ini tiada lain agar aspek pembiayaan dapat terpenuhi oleh sumber pembiyaan program-program berjalan. Strategi dimaksud adalah  mengkaitkan program dan kegiatan yang telah diturunkan berdasarkan sasaran stratejik di atas kedalam program yang tersedia saat ini.

Program yang telah tersedia saat ini dapat berasal dari Pemerintahan (sesuai Renstra aktual Pemprop. Jabar hingga Tahun 2008) atau dapat juga mengacu kepada program-program atas nama kerjasama internasional. Strategi yang terakhir ini dimungkinkan mengingat semangat pengelolaan lingkungan yang sejalan dengan perhatian terhadap nilai pokok kabuyutan juga terdapat dalam konvensi regional maupun internasional (hal ini juga menunjukkan bahwa semangat kabuyutan merupakan sesuatu yang universal). Dalam hal ini, progaram semacam Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Pembangunan Berkelanjutan – yang merupakan tindak lanjut konvensi dunia tentang lingkungan (KTT Bumi 2002) –  merupakan salah satu contoh  acuan program dimaksud.

Salah satu keuntungan dari strategi mengkaitkan program dan kegiatan kabuyutan kepada program-program yang bersifat internasional semacam Agenda 21 adalah peluang untuk mendapat sumber alternatif pembiayaan. Informasi berbagai alternatif pendanaan dari luar Pemerintah,  sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan yang telah digariskan Pemerintah, sudah sepatutnya disebarluaskan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat luas.  LSM, Swasta dan berbagai komponen masyarakt seyogyanya dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan lingkungan berbasis kabuyutan ini.

Berbagai program dalam Agenda 21[34] yang dapat menjadi acuan penurunan program-kegiatan berbasis kabuyutan adalah: (1) Pengelolaan Limbah, terdiri atas: a) perlindungan atmosfir, b) pengelolaan bahan kimia beracun, c) pengelolaan limbah berbahaya dan beracun, d) pengelolaan limbah radio aktif, dan e) pengelolaan limbah padat dan cair; (2) pengelolaan sumber daya lahan, terdiri atas: a) perencanaan sumber daya lahan, b) pengelolaan hutan, c) pengembangan pertanian dan pedesaan, dan d) pengelolaan sumber daya air; dan (3) pengelolaan sumber daya alam, terdiri atas a) konservasi keanekragaman hayati, b) bioteknologi, dan c) pengelolaan terpadu daerah pesisir dan laut.


Penutup

Semangat dasar dari tulisan ini terletak pada 2 (dua) aspek penting. Pertama, falsafah sejarah yang mengatakan bahwa sesederhana apa pun suatu bangsa, jika ia pernah hadir atau masih eksis di muka bumi ini, tentulah bangsa tersebut memiliki nilai-nilai pokok kebudayaannya; dan jika nilai-nilai pokok tersebut lentur dalam arti dapat makna perubahan jaman dalam konteks sejarah, maka bangsa tersebut berpeluang untu meraih kejayaannya kembali. Kedua, pembangunan kebudayaan yang semestinya menjadi model pembangunan dewasa ini – mengingat sejatinya krisis bangsa kita dewasa ini adalah krisis kebudayaan – mestilah menempuh langkah-langkah revitalisasi kebudayaan, yakni respons yang positif terhadap tatanan kebudayaan yang sudah kental dengan serbuan budaya luar. Upaya yang dilakukan dalam tulisan ini diharapkan dapat memenuhi 3 (tiga) langkah revitalisasi yang diperlukan dalam pembangunan kebudayaan: pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran, perencanaan sosial, dan kreativitas budaya.

Karena itu, pengukuhan kabuyutan sebagai salah satu dimensi penting dalam kebudayaan Tatar Sunda hanyalah sebuah usaha dalam konteks manifestasi dari dua aspek penting semangat tersebut di atas.  Jika beberapa kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat merasa keberatan atau belum yakin dengan kabuyutan sebagai nilai-nilai pokok, prinsip utamanya janganlah ditinggalkan. Prinsip utama tersebut adalah:  bahwa masyarakat memerlukan nilai-nilai pokok kebudayaan mereka yang dapat direvitalisasi maknanya sehingga dapat diimplementasikan guna meraih pengelolaan lingkungan yang optimal dalam konteks pembangunan kebudayaan mereka.

Apabila kabuyutan ini dapat diterima sebagai salah satu dimensi penting atau nilai pokok kebudayaan Tatar Sunda, maka perlu dicari strategi implementasinya sesegera mungkin dalam pembangunan Jawa Barat saat ini dan di masa depan. Sebelum nilai pokok kabuyutan ini dicantumkan dalam misi Pemerintah Propinsi Jawa Barat di masa depan, strategi tersebut harus memberi peluang  pelaksanaan pembangunan kebudayaan unsur lingkungan hidup dengan basis kabuyutan. Strategi dimaksud diantaranya adalah modifikasi perencanaan pembangunan dengan melibatkan tujuan dan sasaran stratejik, serta program dan kegiatan pembangunan lingkungan berbasis kabuyutan kedalam program dan kegiatan aktual saat ini di bidang-bidang yang relevan.


Tabel: Contoh Penurunan Tujuan dan Sasaran Strategi Untuk Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kabuyutan

Tujuan Stratejik
Sasaran Stratejik
Implikasi
Kebijakan
Uraian
Indikator
Inventarisasi data keberadaan, kondisi dan kandungan nilai-nilai, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa, kesenian, sejarah, filologi dan arkeologi, serta ling-kungan kabuyutan Optimalisasi data keberadaan kabuyutan
  • Jumlah dan jenis kabuyutan yang teridentifikasi
X
Optimalisasi data kandungan unsur budaya nilai-nilai dari kabuyutan yang teridentifikasi
  • Jumlah dan jenis unsur budaya nilai-nilai dari kabuyutan yang teridentifikasi
X
Dst…..
  • Dst….
x
Penggalian, pengembangan dan pemberdayaan kabuyutan untuk pendidikan, penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi lokal,  kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan pengelolaan lingkungan Optimalisasi penggalian, pengembangan dan pemberdayaan kabuyutan untuk pendidikan, penemuan iptek lokal
  • Jenis & jumlah peng-galian, pengembangan dan pemberdayaan kabuyutan untuk pendidikan, penemuan iptek lokal
X
Optimalisasi penggalian, pengembangan dan pemberdayaan kabuyutan untuk kesehatan
  • Jenis & jumlah peng-galian, pengembangan & pemberdayaan kabuyutan untuk kesehatan
X
Dst……
  • Dst….
X
Perlindungan dan pemulihan kabuyutan Optimalisasi perlindungan kabuyutan
  • Jumlah kabuyutan yang dilindungi
  • Jenis perlindungan kabuyutan
X
Optimalisasi pemulihan kabuyutan
  • Jumlah kabuyutan yang dipulihkan
  • Jenis pemulihan
X
Dst……
  • Dst….
X
Penyusunan database dan sistem informasi kabuyutan dan pengelolaannya Penyusunan database kabuyutan
  • Jenis & kapasitas data-base; Jml data entry
X
Penyusunan sistem informasi kabuyutan
  • Jenis dan jumlah sistem informasi
X
Dst…..
  • Dst…..
X
Sosialisasi pengelolaan kabuyutan melalui pendidikan dan penyebarluasan informasi melibatkan bidang kesenian, pendidikan, bahasa dan sastra dan pengelolaan lingkungan Optimalisasi sosialisasi pengelolan kabuyutan melalui pendidikan
  • Jenis dan jumlah sosialisasi kabuyutan melalui pendidikan
X
Optimalisasi penyebar-luasan informasi  pengelolan kabuyutan melalui kesenian
  • Jenis dan jumlah penyebarluasan informasi kabuyutan
X
Dst…..
  • Dst……
X
Catatan:
–   X : mungkin perlu ada pengaturan khusus atau perubahan pengaturan
–   Berdasarkan tujuan dan sasaran stratejik kemudian disusun program dan kegiatan.

Daftar Rujukan

[1] alias Oman Abdurahman, peneliti pada Bujangga Manik Research Center (BMRC), Ketua Lembaga Jajar Paku Desa (LJPD) untuk Kemitraan dan Penguatan Masyarakat Pedesaan, narasumber/moderator  website/ milist http://www.sundanet.com, kisunda@yahoogroups.com , urangsunda@yahoogroups.com, domisili di Bandung, e-mail address: o_arahman@yahoo.com , omanarah@gmail.com
[1] http://www.ssu.missouri.edu/faculty/kpigg/cbd.htm
[2] Dede Mariana dan Caroline Paskarina, 2005, Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Sunda bagi Penciptaan Local Good Governance di Jawa Barat, Makalah Seminar Pembangunan Berbasis Budaya Sunda, Bandung, 2005
[3] A. Chaedar Alwasilah, M. A, Ph.D, 2001, KISB Upaya Revitalisasi Jatidiri, Sambutan pada “Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi, Laporan KIBS, Yayasan Rancage, Bandung
[4] W.S. Rendra, 2005, ceramah umum di UNSIL, Tasikmalaya, pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat
[5] Umar Kayam, 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Sinar Harapan, Jakarta
[6] Melvin Rader & Bertram Jessup, 1976, Art and Human Values, terjemahan Drs. Johny Prasetyo, Arti Nilai dan Seni, Prentice Hall, Inc; terjemahan untuk kalangan sendiri
[7] Paul B. Horton & Chester L. Hurt, 1984, Sociology, edisi ke-6, terjemhan, Erlangga, Jakarta
[8] Soerjono Soekanto, 1990, Sosiologi, Suatu Pengantar, edisi baru keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta
[9] Saini K.M., 2004, Krisis Kebudayaan, Pilihan 10 Esai, Kelir, Bandung
[10] Wawancara dengan dr. Halim Ahmad, seorang peminat sejarah tinggal di Jakarta: Buku: Max I. Dimont, 1994, Jews, God and History, edisi kedua, paperback: http://www.amazon.com/
[11] Saleh Danasasmita dkk, 1984, Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid ke-3, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Jawa Barat, Bandung
[12] Drs. H.R. Hidayat Suryalaga, Amanat Galunggung Prabuguru Darmasiksa, http://www.sundanet.com/artikel.php?id=117
[13] Saleh Danasasmita dkk, 1984, Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid ke-4, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Jawa Barat, Bandung
[14] “Kabuyutan” di Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Ayatrohaedi, harian “Kompas”, Selasa, 13 Agustus 2002, http://www.langsing.net/gunung/artikel/kabuyutan.html
[15] Prasasti Astana Gede Kawali, http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Astana_Gede
[16] “Situs dan Benda Cagar Budaya Menurut Masyarakat Sunda”, Prof. Dr. Ayatrohaedi, Harian Pikiran Rakyat : http://arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=148
[17] Dr. Agus Aris Munandar, 2005, Peran Penting data dari Karya Sastra Jawa Kuna dalam Kajian Arkeologi Hindu-Buddha: Candi Pendharmaan (13-15M), http://www.fib.ui.ac.id/
[18] (lihat rujukan nomor 12)
[19] Nama salah satu gunung di komp. G. Guntur, http://www.vsi.esdm.go.id/gunungapiIndonesia/guntur/
[20] (lihat rujukan nomor 10)
[21] Kabuyutan Pajajaran, http://pasundan.homestead.com/files/Sejarah/b34.htm
[22] Sungai Kabuyutan, Brebes, http://www.pu.go.id/infopeta/CONTENT/pangan/33pangan.htm
[23] Lontar Usada Tiwang: http://www.ringingrocks.org/www/lontar_vol2/usada%20ila/pages/page12.htm
[24] Arca Domas Baduy: http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=238
[25] “Dari Kebuyutan Lewat Pesantren ke Sekolah”, Edi S. Ekadjati, harian “Pikiran Rakyat”, 23-11-2004:  http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/23/0802.htm
[26] http://www.indosiar.com/v2/culture/culture_read.htm?id=24345
[27] (lihat rujukan nomor 22)
[28] Lontar Usada Tiwang http://www.babadbali.com/pustaka/usadatiwang.htm#top
[29] Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 10-7-2005 http://www.kedaulatan-rakyat.com/article.php?sid=20612
[30] Wawacan Gagak Lumayung :  http://wikisource.org/wiki/Wawacan_Gagak_Lumayung
[31] (lihat rujukan nomor 15)
[32] Peraturan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2008, Lembaran Daerah Propinsi Jawa Barat No. 1 2004 Seri D
[33] (lihat rujukan nomor 16)
[34]  Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996, Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta

 

Baca Juga :

Tidak ada komentar