Mulih Ka Jati Mulang Asal (Balik Ka Hyang)
Keyakinan urang Sunda, "Ajaran Sunda Wiwitan" (Mimiti) sampai saat ini masih hangat dan menarik untuk diperbincangkan, adakalanya disebut agama Budha, atau agama Hindu, animisme, bahkan ada yang menyebut Agama Islam Wiwitan. Sedangkan para filolog, seperti Ekadjati (2005), Atja dan Saleh Danasismita (1987) menyebutnya ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Istilah agama Jati Sunda ditemukan didalam naskah Carita Para-hyang-an. Naskah tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 1580 masehi, menurut CM. Pleyte 1500 AD. Istilah Jati atau Wiwitan memiliki makna yang sama, yakni mula; pertama; asli, dengan demikian pengertian agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan bermakna agama (urang Sunda) asli atau tulen. (Ekadjati: 2005, hal. 181).
BEBERAPA SUMBER
Adanya beberapa perbedaan penafsiran tentang inti dan pe mahaman Sunda sebagaimana diatas, disebabkan adanya alur sumber informasi yang berbeda.
1. Pertama sumber yang berasal dari tutur tinular, pada umumnya di sampaikan secara lisan oleh para penganut ajaran SUNDA WIWITAN, namun masih sangat tertutup bagi orang-orang diluar penganut ajaran tersebut.
2. Kedua, penemuan sejarawan, filolog, arkeolog, akhli ke purbakalaan yang menafsirkan dari temuan ilmiah, dan diuji mengggunakan data ilmu pengetahuan, seperti naskah-naskah; prasasti-prasasti dan lain sebagainya.
Sayangnya dari acuan sumber yang berbeda ini jarang mene mukan titik temu, karena masing-masing memiliki alasan pembenar, dan sulitnya menemukan data primer.
Hal yang tidak mustahil, kegelapan ajaran Ki Sunda disebab kan Ki Sunda pada masa lalu kurang menyukai untuk mendo kumentasikan ajajarannya yang dianggap tabu (pamali), sementara ajaran lainnya yang juga berkembang mendokumentasikan ajarannya dalam bentuk naskah maupun prasasti. Hal paling mungkin mengambil kesimpuan para ahli, yang menyebutkan, bahwa : “ajaran yang berkembang dimasyarakat belum tentu sama dengan ajaran yang dianut keraton nya”. Karena penghuni keraton pada umumnya sudah bersentuhan dengan budaya luar, yakni sejak masa lengsernya AKI TIREM di SALAKANAGARA.
Sumber-sumber sejarah menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang berlangsung lama didalam kehidupan ma syarakat Sunda, baik sesudah maupun sebelum masa Pajaja ran terbentuk. Naskah CARITA PARAHYANGAN mendeskripsi kan adanya KAUM PENDETA SUNDA yang menganut ageman asli Sunda (NU NGAWAKAN JATI SUNDA). Mereka mempunyai tempat kegiatan, atau semacam tempat suci yang bernama KABUYUTAN PARAHYANGAN, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama lain, bahkan dibedakan dengan KABUYUTAN LEMAH DEWASASANA, yang dianggap sebagai pusat kegiatan keagamaan Budha. Naskah Carita Parahyangan menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah SEWABAKTI RING BATARA UPATI dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.
Selain naskah Carita Parahyangan, keyakinan Jati Sunda pada masa lampau dikisahkan para prepantun Bogor, seperti oleh AKI BUYUT BAJU RAMBENG. Menurut Ki Panjak (1970), Pantun Bogor (Pajajaran Tengah) berisi tentang Uga yang hanya da pat dibaca (dipahami) kisahnya jika dikalbunya tertanam ra sa kasundan.
Masalah ini dikisah didalam kisah Curug Si Pada Weruh, bahwa :
Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karu hun urang mah geus baroga agama, anu disarebut aga ma Sunda tea.
Artinya : Sebelum orang Hindi (Hindu-India) ber tahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.
Kisah dan istilah urang Hindi di Kaju Hejo dimaksudkan kepada para penguasa Salakanagara pasca pelengseran AKI TIREM lebih tepatnya jika disebutkan untuk DEWAWARMAN, pengganti Aki Tirem. Tentang penggantian Aki Tirem oleh Dewa warman ada pula yang memahami sebagai apa yang disim bulkan didalam kisah AJI SAKA dan DEWATA CENGKAR. Aji Saka dilambangkan sebagai seorang pemuda sakti yang berwajah tampan, sedangkan Dewata Cengkar dilambang sebagai seorang buta (cakil). Aji Saka dianggap budaya baru beragama, mewakili pendobrak tradisi pribumi (Aki Tirem). Oleh karenanya para pendatang itu sendiri menggambarkan dirinya sebagai manusia tampan, agar menarik simpati, sedangkan Dewata Cengkar mewakili entitas pribumi dilam bangkan sebagai sesuatu yang buruk, agar dijauhi. Demikian lah hukum penulisan sejarah, siapa yang kalah diniscayakan berposisi sebagai yang buruk, sedangkan yang menang adalah yang baik. Sama halnya dengan mengisahkan sejarah jaman orde lama oleh para penulis orde baru, yang selalu di posisikan sebagai si ‘salah’, bertujuan agar rezim orde baru memiliki legalitas, atau dukungan dari rakyat.
Pada masa Aji Saka terjadi pergantian penguasa dan status wilayah, dari nama kota yang dipimpin seorang penghulu (Aki Tirem) menjadi kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Dewawarman. Kisah kerajaan Salakanagara pada akhirnya dianggap sebagai kota dan kerajaan tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara. Pada masa ini pula diyakini sebagai awal mula budayaan Nusantara mulai bersentuhan dengan budaya dari India.
Peninggalan Salakanagara, berikut kisah Aji Saka dan Dewata Cengkarnya sangat dimungkinkan terkait dengan keberada an Krakatau. Pada masa itu disebut sebagai “NUSA APUY”. Salakanagara pada masa Tarumanagara, khususnya pada masa kejayaan Purnawarman sudah menjadi negara dibawah daulat Tarumanagara. Salakanagara, berikut kisah Dewata Cengkar tentunya habis dimusnahkan Gunung Krakatau, yang telah beberapa kali mengeluarkan letusan dahsyat.
Kedahsyatan Letusan Gunung Krakatau antara lain ditemukan didalam cuplikan tulisan dari KITAB RAJA PURWA, dibuat oleh pujangga Jawa dari Kesultanan Surakarta, RONGGO WARSITO. Salinan kitab itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Cuplikan dari Kitab tersebut bertuliskan :
“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya, suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam kebagian terdalam dari bumi”
Kitab tersebut diterbitkan tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau (Inggris: Krakatoa volcanoes) pada 27 Agustus 1883. Penyebutan “Gunung Kapi” atau dalam bahasa Sunda “Nusa Apuy” tak banyak dikenal pada periode itu, sehingga tulisan Ronggowarsito dianggap membingungkan banyak kalangan. Namun, deskripsi berikutnya dalam buku itu semakin mirip dengan peristiwa tsunami saat Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883:
Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut be serta semua harta milik mereka.
Kemudian dalam edisi kedua yang diterbitkan pada 1885 atau dua tahun setelah letusan Krakatau, Ronggowarsito me nulis penanda tahun dan deskripsi lokasi Gunung Kapi yang bisa dipastikan adalah Krakatau, pernah meletus sebelum tahun 1883. Naskah tersebut mengungkapkan :
” …di tahun Saka 338 (416 Masehi) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang di jawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi yang terletak di sebelah barat Banten baru…”.
Masyarakat dan para sejarawan banyak mempersepsi agama Sunda buhun dari agama yang dianut keratonnya, seperti Tarumanagara yang meninggalkan prasasti, atau menarik kesimpulan dari tradisi yang dilakukan orang Sunda dalam ke sehariannya dianggap sama dengan saudara-saudaranya yang beragama baru (Hindu atau Buda), apalagi sejarah di tatar Pasundan, sejak Dewawarman 1 berkuasa bersentuhan dengan agama para pedagang India. Tapi jika ditelusuri dan dipilah perkembangan agama yang dianut keraton dengan yang dianut rakyatnya, niscaya akan ditemukan perbedaannya. Sampai saat ini para penganut Sunda Wiwitan sangat tidak memahami tradisi Hindu maupun Budha.
Sumber yang berasal dari keterangan FA-SHIEN, pendeta Budha dari Cina, dalam buku berjudul FA-KAO-CHI, menjelaskan kondisi sosial kemasyarakatan di ibukota Tarumanagara. Menurutnya, selain banyak penganut Hindu juga masih banyak penduduk yang menganut agama leluluhurnya. Contoh yang kedua, pada masa Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (diper kirakan tahun 382 masehi), pada masa itu pemerintahannya berupaya merubah keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi agama yang dianut Rajaresi, namun masih banyak penduduk disekitar kerajaan yang tetap menganut agama nenek moyangnya.
Pendapat tentang adanya perbedaan agama yang dianut penghuni keraton dengan agama yang dianut rakyatnya di tulis di dalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Menurut para penyusun buku tersebut: agama orang Sunda adalah hasil bauran dari agama Hindu dan Budha yang diracik dalam konsep agama asli (Nusantara). Menurut buku tersebut, baik pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905) sama-sama menjelaskan, bah wa hal itu hanya berlaku dalam lingkungan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat masih tetap setia kepada agama ajaran leluhur. Konon menurut penulis sejarah, didalam naskah Wangsakerta agama ini disebut PITARAPUJA.
Pengecualiannya terjadi pada masa penyatuan Sunda dan Galuh, atau banyak juga yang menyebutkan masa Pajajaran. Penyatuan entitas Sunda dengan Galuh mulai cair dan menjadi hanya sebutan Sunda pada abad ke-16. Pada masa penyatuan Sunda dan Galuh nampak ada pembauran keyakinan keraton dengan keyakinan rakyat, sebagaimana ditulis dalam naskah KAWIH PANINGKES, yang menerangkan telah kembalinya keraton dan masyarakat Sunda menganut agama asli (leluhur) urang Sunda.
Pada masa kerajaan Sunda dan Galuh sampai dengan Padjadjaran Sirna Hing Bumi Pasundan, masyarakat Sunda dan keraton sudah mulai nampak kebersamaan dalam beragama, namun pengaruh dari agama Budha dan Hindu masih ada dan masih melekat.
Pengaruh demikian dicatat dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan yang banyak menjelaskan tentang pedoman hidup Ki Sunda pada masa itu (KUNDANGAN URANG REYA). Naskah ini mengakui adanya ajaran leluhur dan menye butkan adanya BATARA SEDA NISKALA, yang dianggap YANG HAK DAN YANG WUJUD, bahkan didalam Hirarki Pembaktian, yang disebut DASA PERBAKTI, menempatkan HYANG diatas Dewa. Penemuan Tuhan semacam keyakinan terhadap Hyang bagi masyakat Sunda lama bukan penemuan baru, namun dilingkungan keraton keyakinan terhadap sesuatu yang maha tinggi pernah kasilih setelah masuknya budaya dari luar.
PENEMUAN AWAL
Dari data-data sejarah, arkeologi dan filologi, terutama dari sisa peninggalan megalitik dan naskah-naskah buhun, para arkeolog dan sejarawan membahas tentang adanya keyakinan masyarakat Sunda Buhun terhadap kekuatan ‘nu gaib’. Persepsi dan kesimpulan demikian di mungkinkan mendasarkan pada sejarah pemikiran manusia ketika menemukan Tuhan.
Munandar (2010 : 7) didalam memahami bentu-bentuk banguan suci di Tatar Sunda, menguraikan tentang cara melakukan kajian agama yang mengenal adanya lima butir pembentuk religi yang saling berkaitan, yakni :
1. Emosi keagamaan, yang menyebabkan manusia memiliki sikap yang religius, dan menggerakan jiwa manusia. Emo si keagamaan juga merupakan sikap takut dan bercampur percaya kepada hal-hal yang gaib dan keramat. Namun hemat penulis, ada juga yang bersumber dari keikhlasan dan kesadaran, bukan karena adanya rasa takut.
2. Peralatan ritus dan upacara, berupa sarana dan peralatan, antara lain berupa bangunan suci, arca-arca dewa, alat bunyi-bunyian, altar, dan piranti lain yang berkenaan dengan upacara.
3. Sistim kepercayaan, berupa pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa, alam gaib, asal-usul terjadinya alam semesta, estakologi, serta sistem nilai dan norma agama.
4. Sistim ritus dan upacara, dalam sistim religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap alam gaib (Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk gaib lainnya).
5. Umat Agama, adalah pemeluk suatu religi atau suatu kesatuan sosial yang menganut sistim keyakinan dan yang melaksanakan sistim ritus serta upacara.
Sistim kepercayaan Sunda yang mungkin dapat dikaji, selain bersumber dari para penganut ajaran Sunda Wiwitan, juga dapat diteliti, didalami, dihayati dari naskah-naskah Sunda Buhun, seperti naskah Sang Hiyang Siksa Kandang Karesyan, Jatiniskala, Jatiraga, Kosmologi Sunda dan Bujangga Manik, serta artefak-artefak lainnya, seperti prasasti dan peninggalan ditempat-tempat yang pernah digunakan untuk melakukan ritual keagamaan. Dari naskah inilah dapat ditemukan hakekat keyakinan dan yang berhak disebut ditempatkan sebagai adikodrati.
Ekadjati (2005) menguraikan penemuan istilah nu Gaib, bermula dari rasa hormat Ki Sunda terhadap para pemimpinnya dan orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan. Penghormatan demikian rupanya tidak mengenal batas waktu, bahkan setelah meninggalpun masih tetap dihormati, akhirnya menjadi tradisi. Kebiasaan menghormati leluhur demikian di dalam paradigma barat dikatagorikan sebagai penyembah roh nenek moyang atau animisme dan dinamisme.
Pendapat tentang katagorisasi animisme dan dinamisme terhadap keyakinan leluhur Ki Sunda, menurut Engkus Ruswana di dalam Pikiran Rakyat Sabtu 14 Juni 2003, dijelaskan sebagai berikut :
.... mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur, yang pengertian secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.
Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi yang subur makmur Loh Jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.
Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (Wanda Aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (kala Sunda), perhitungan bulan (kala Candra) dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.
Menurut Ekadjati (2005), keinginan untuk menghormati arwah leluhur dan kekuatan gaib lainnya diwujudkan dalam bentuk bangunan batu besar (megalitik). Sekalipun demikian, bukan berarti Ki Sunda menyembah batu, sebagaimana yang ditafsirkan orang lain, namun batu tersebut hanya di gunakan semacam mediator, untuk membantu konsentrasi.
Dalam penemuan terakhir dikomplek Kawali diketahui adanya BATU KOLENJER, alat untuk menentukan waktu, sebagai mana yang digunakan masyarakat Baduy, namun menurut beberapa pendapat, batu tersebut adalah YANTRA, suatu alat yang biasa digunakan untuk membantu mengkonsentrasikan diri dalam melakukan ritual terhadap Tuhan, lebih jauh dapat ditelisik dari fungsi Gunung Padang Cianjur dan situs-situs peninggalan sunda buhun, yang memiliki tiga batu berundak.
Namun menurut Ekadjati, suatu hal yang patut dipahami, modal penting untuk menjalin hubungan dengan YANG GAIB bagi urang Sunda Buhun, adalah kesungguhan hati, kehidmatan didalam keheningan alam sekitar. Ditempat-tempat itulah penghormatan dilakukan.
Dari upacara ritual diharapkan muncul tenaga-tenaga gaib yang dipancarkan oleh alam yang memberikan kekuatan serta kesejahteraan hidup; kesuburan tanah; serta keselamatan dalam mencari nilai-nilai hidup yang baru (Asmar 1970; 1975).
Tradisi menghormati nenek moyang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Sunda selanjutnya. Sampai sekarang batu menhir yang ada di Kabuyutan Kanekes dipercaya sebagai awal mula kehidupan masyarakat Baduy (Ekadjati: 2005).
Peninggalan megalitik masih terlihat di tatar Sunda, seperti Arca Domas, Cibedug, Pasir Angin, Kampung Muara, Bukit Kasur, Gunung Padang dan tempat lainnya. Khususnya Gunung Padang sudah banyak yang meyakini keberadaan sejak masa Pra Sejarah, dan terbesar di Asia Tenggara, bahkan berdasarkan penelitian terakhir diketahui telah berumur 10.900 SM.
Tempat-tempat dimaksud umumnya berada didaerah dan tempat yang tinggi. Bangunan megalitik disusun menurut sis tim timur-barat yang melambangkan perjalanan hidup manusia. Timur adalah tempat matahari terbit yang melambang kan kelahiran; barat tempat matahari terbenam melambang kan kematian. Perjalanan matahari dari timur kebarat melam bangkan perjalanan hidup manusia.
Dari hal diatas para akhli menyimpulkan, bahwa SEJAK MASA NEOLITIKUM MASYARAKAT DI TANAH SUNDA SUDAH MEMILIKI PE MAHAMAN TENTANG YANG GAIB sebagai jiwa yang lepas dari raga manusia yang meninggal, namun tidak pergi jauh, berada di sekitar tempat tinggal sewaktu masih hidup, hanya sebagai roh yang gaib. Arwah leluhur diyakini dapat memancar kan kekuatan gaib yang berdampak baik maupun buruk, sangat tergantung kepada cara perlakuan manusia yang masih hidup terhadap arwahnya. Agar arwah memancarkan kebaikan dan dapat mencegah kekuatan gaib yang bersifat buruk maka dilakukan acara-acara ritual penghormatan. Penghormatan demikian sangat tergantung kepada masing-masing kelompok atau individu, karena sampai sekarang tidak diketahui, cara-cara ritual yang dilakukan pada masa lalu, kecuali dari upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Baduy.
Pada periode selanjutnya di tanah Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Budha. Periode ini secara resmi dapat diketahui dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Pasundan awal, seperti SALA KANAGARA, TARUMANAGARA dan KENDAN. Sekalipun demikian, masyarakat asli masih banyak yang tetap tuhu menganut keyakinan yang dianut leluhurnya.
Keterangan tentang kukuhnya masyarakat pribumi terhadap keyakinan leluhurnya antara lain berdasarkan keterangan :
1. Berita Fashien, seorang pendeta Budha dari Cina yang terdampar di Tarumanagara pada tahun 413 M, selama li ma bulan menetap di Ya-va-di (pulau Jawa). Fashien lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Bu dha, bahkan menyebut masih banyaknya penduduk yang menganut agama nenek moyangnya. Kisahnya ditulis da lam buku yang berjudul Fa-Kao-Chi.
2. Pada masa pemerintahan Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (382 M), berupaya merubah cara keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi agama yang dianut Rajaresi, namun tidak membuahkan hasil. Padahal Rajaresi mengajarkannya kepada para penghulu desa, dan mendatangkan para brahmana dari India, namun rakyat masih banyak yang tetap setia kepada ajaran leluhurnya.
3. Naskah-naskah yang menempatkan hirarki Hiyang diatas panteon agama lainnya, seperti DASA PERBAKTI, didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan, Jatiraga dan Kawih Paningkes.
Jika saja ageman Sunda Wiwitan sebagaimana yang nampak dari anutan warga Baduy dikaitkan dengan peradaban megalitik, maka akan diketahui, bahwa prinsip warga Baduy percaya kepada satu yang kuasa, Batara Tunggal, pemilik karakteristik satu kekuasaan dan kekuatan yang tak tampak (Maha Gaib), tetapi berada di mana-mana, dan sangat bijaksana dan suci.
Istilah Batara di mungkinkan sebagai bentuk adaptasi dari bahasa keyakian sesudahnya, tanpa merubah substansi atau maksud. Istilah Batara kemudian ditambahkan kepada Tunggal, sehingga menjadi BATARA TUNGGAL (Judistira K. Garna : 2006).
Penggunaan bahasa, seperti dalam menyebutkan nama BATARA CIKAL digantikan dengan sebutan ADAM TUNGGAL, atau menyisipkan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah islam wiwitan untuk sebutan agama Sunda Wiwitan (lihat Asep Kurnia dkk : 21010), hal ini dimungkinkan karena adap tifnya bahasa keyakinan urang Sunda Buhun terhadap istilah-istilah yang digunakan pada jamannya, namun memiliki maksud dan substansi yang sama dengan paradigmanya, untuk menyebut pemilik adikodrati.
PENGARUH BUDAYA INDIA
Kepercayaan agama Hindu dan Budha mengenal adanya istilah yang Gaib lainnya, yakni dewa-dewa. Panteon Hindu ini mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri diluar kehidup an manusia, yakni di nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam agama Hindu jumlahnya banyak (politheis) dan memiliki fungsi dan tugas masing-masing.
Didalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984), yang banyak merujuk kedalam naskah Carita Parahyangan disebutkan, bahwa pada masa Salakanagara dapat diduga bahwa agama resmi negara adalah agama Siwa, termasuk di dalamnya madhab Ganapatya (pemuja Ganesa), mengingat Dewawarman I dianggap asli keturunan dari India, sedangkan pada masa Tarumanagara, seperti nampak dari prasasti peninggalan masa Purnawarman, menganut agama Wisnu, termasuk madzhab Saura (Pemuja Surya). Anutan terhadap madzhab masing masing berhubungan dengan ke yakinan, bahwa raja adalah titisan Wisnu yang menjaga dan melihara ketertiban Jagat raya. Di tatar Sunda yang disebutkan titisan Sanghyang Wisnu adalah Prabu Dharmasiksa. Hal demikian sebagaimana disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan, yaitu :
Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nyaeta nu ngawangun sanghyang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahantina parahiangan."Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghyang Darma, ngamalkeun Sanghyang Siksa. (Atja : 1968).
Banyak pula raja-raja dahulu yang menganggap dirinya keturunan Dharmaraja, sehingga menggunakan gelar Dharma untuk nama nobatnya.
Kisah Dharmaraja dapat ditelusuri dari kisah Satria Piningit dan Ratu Adil. Sumber ajaran ini berasal dari KITAB TANTU PAGELARAN. Kitab ini mengisahkan tentang Siwa atau Batara Guru nu ngayuga Dewa Dharmaraja. Keduanya memiliki kemiripan dalam bertapa dan memancarkan kebajikan-kebajikan yang bersifat ilahiyah. Kelak ratu Adil akan muncul dalam wujudnya sebagai resi. Inilah yang menunjukan adanya pengaruh India didalam sistim kepercayaan diwilayah Pa sundan.
Pada masa selanjutnya, didalam Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan tersurat jejak keyakinan agama Siwa dan Budha sekaligus, seperti pada kata :
Hong kara namo sewa ya baktining huluan di Sanghi yang Panca Tatagata ... Panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga. (sesung guhnya puji dan sembah ku untuk Siwa, baktiku kepa da Sanghyang Panca Tatagata .... Panca berarti lima, tata berarti ucapan, gata berarti wujud).
Dari naskah diatas nampak penggunaan simbol-simbol hindu dengan mengistilahkan Siwa, serta agama Buda Mahayana. Tataga dalam agama Buda adalah gelar untuk Budha. Panca Tataga adalah lima orang Dyani Buda atau Buda yang mere nung sebagai Lokapala, pelindung dunia. Paradigma ini tetap hidup dan tertransformasikan kedalam istilah Buana Panca Tengah, untuk istilah bumi atau dunia. Jejak lainnya saat ini ada dalam pemahaman tentang kalimat Opat Kalima Pancer, seperti dalam pepatah orang tua :
Coba riksa anu opatnu jadi bakal manusabumi, geni, banyu jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya koneng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metukeun cahaya bodas, nu nyata jadi paningal.
Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi malaikat sawiah. Nu metukeun cahaya beureum, tina geni malaikat tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina angin na malaikat mutmainah, nu metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur ngaja di hiji, ngajadi papancer ning manusa.
(Coba periksa yang empat cikal bakal manusia, tanah, api, air dan angin. Tanah menimbulkan cahaya hitam, menjadikan bisa mengucap. Api menimbulkan cahaya merah, yang menjadikan bisa mendengar. Angin menimbulkan cahaya kuning, menjadikan bisa mencium. Air yang menimbulkan cahaya putih, yang menjadikan bisa melihat.
Yang melahirkan cahaya hitam dari bumi malaikat sawiah. Yang melahirkan cahaya merah dari api ada lah malaikat tamarah. yang melahirkan cahaya kuning dari angin adalah malaikat loamah. Yang melahirkan cahaya putih dari air adalah malaikat loamah. Yang empat melebur menjadi satu, menjadi pertandanya manusia).
Paradigma tentang kalimat diatas diabadikan dalam setiap gerak hidupnya, seperti yang diabadikan dalam bentuk jurus Tepak Hiji dalam Ilmu Silat Cimande Embah Buyut Khaer Cimande Gunung Salak Bogor, jurus empat (mata angin) di tambah satu pancernya (tengah), atau opat kalima pancer (empat yang kelimanya pancer). Pada masa lalu, maksud yang sama menunjukkan lima huruf didalam kepercayaan Hindu, yang disebut panca aksara, yaitu Na, Mo, Si, Wa, Ya. Aksara tersebut dianggap perwujudan Siwa :
NA Siwa sebagai Iswara Di timur
MO Siwa sebagai Brahma Di selatan
SI Siwa sebagai Mahadewa Di barat
WA Siwa sebagai Wisnu Di utara
YA Siwa sebagai Siwa Di tengah (Pancer)
Tentang naskah dimaksud, selengkapnya sebagai berikut :
Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngara nya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, ti mur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya; daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon) kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya); utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.
Artinya : Kalau terpahami sanghyang wuku lima di bumi tentu semua tempat menyenangkan. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Puwa yaitu timur tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hyang Mahadewa kuning warnanya.Utara tempat Hiyang Wisnu hitam warnanya Madya di tengah tempat Hyang Siwa aneka macam warna. Yaitulah wuku lima di bumi).
Masyarakat dahulu meyakini, dari sorga para hyang mengatur dan mengawasi kehidupan manusia. Tiap pemeluk agama Hindu dan Budha meyakini, jika mereka mengindahkan tuntunan moral dan agama maka akan masuk sorga, bersatu di alam kehidupan dewa-dewa. Sebaliknya, akan masuk neraka dan mengalami samsara, jika tekad dan perilakunya buruk.
Jejak lainnya terdapat didalam naskah Sewaka Darma (kebaktian terhadap Dharma). Hal ini menunjukan bahwa Tantrayana di wilayah Sunda sudah terpengaruh oleh ajaran Budha Mahayana. Pengaruh tersebut masih terjalin dengan agama leluhur Sunda. Seperti unsur Hiyang dibedakan dari dewa, sekalipun keduanya tinggal di Kahiyangan atau Parahiyangan.
Dari sudut pernaskahan, seperti naskah Jatiniskala mengandung embaran mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu, Budha dengan ajaran Pribumi. Naskah Jatiniskala lebih banyak menyebutkan nama-nama kuasa imajiner pribumi. Mereka disederajatkan dengan apsari, makhluk kahyangan, pendamping para Dewa. Seperti tujuh pohaci, yaitu : Pwah sri Tunjungherang, Pwah Sri Tunjunglenggang, Pwah Sri Tunjunghanah, Pwah Sri Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, Pwah Sri Tunjungbwana. Kesemuanya berada didalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari, yaitu: Aksari Tunjungnaba, Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali, dan Nagagini. Kemudian ada juga apasari Manikmaya, Mayalara, dan lainnya.
Dari uraian diatas memang kedua agama diatas dikenal da lam kehidupan masyarakat Sunda Buhun, bahkan diabadikan didalam naskah-naskahnya. Namun perlu juga dikaji tentang silib, sampir, siloka dan apapun yang tersirat didalam setiap kalimatnya lebih dalam. Seperti dari naskah Sanghyang Kan dang Karesiyan (1518 m), tentang DASA (10) PERBAKTI yang menempatkan hirarki HYANG diatas DEWA. Nakah tersebut menyebutkan, bahwa “... mangkubumi bakti di ratu, ratu bak ti di dewata, dewata bakti di hyang ... “ (mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata, dewata tun duk kepada Hyang) (Danasamita dkk. 1987: 74,96). Hal ini mengandung makna, bahwa hirarki Hyang atau Sang Hyang Tunggal tidak sama dengan Siwa (dewa), Sanghyang Wenang tidak sama dengan Brahma (dewa). Sanghyangg Wening ti dak sama dengan Wisnu (dewa). Oleh karena itu, didalam cara memahami konsepsi ajaran Sunda Wiwitan, tidak dapat diacampur adukan dengan Panteon lain.
Konon menurut Juru Pantun : “ti baheula mula, urang sunda mah geus miboga Hi yang Tunggal, nu teu bisa dibandingkeun jeung ciptaannana”.
BEBERAPA ISTILAH
Dalam perspekrif penggalian ajaran Sunda didunia maya, istilah Sunda, sebagaimana pendapat LUCKY DARMAWAN dise butkan sebagai nama agama didunia. SU artinya Abadi atau Sejati; NA artinya Api ; DA artinya Besar atau Agung, sehingga Sunda diartikan sebagai Api Abadi Yang Agung atau mata hari, karena matahari dianggap lambang Hyang Maha Kuasa (di langit), pemberi kehidupan di Bumi. Sunda adalah Maha Cahaya, pusat dari segala Cahaya; Sang Hyang Tunggal, ada juga yang menyebut Sanghyang Syiwa. Sunda juga disebut Sang Hyang Manon; Sang Batara Guru; Sang Guru Hyang; Sang Guriang (Sangkuriang); Sang Surya; Sura; Ra. Konon kabar ada kaitannya juga dengan di Mesir dan Jepang. Sunda atau Sang Hyang Manon dikenal sebagai Dewa Matahari Amon–Ra. Sunda/Matahari dieropa disebut Sun, hari pemujaan Sunda/Matahari disebut Sunday. Ajaran Sunda atau agama Matahari berkembang ke seluruh dunia pusatnya di Jawa Barat, oleh sebab itu di Jawa Barat nama daerah diawali deng an ‘Ci’ yang artinya Cahaya. Pusat Pa–Ra-Hyang pertama terletak di Gunung Parang, Purwakarta. Ajaran Sunda telah menjadi agama dunia yang dianut oleh segala bangsa, membangun peradaban dunia menuju bangsa unggul paripurna.
Sunda bukan nama Etnis atau ras manusia yang tinggal di Jawa Barat. Sunda dianggap nama agama yang tertua dan pertama, mengajarkan segala bangsa Cinta Kasih dan berterima kasih. Sebagai inti ajaran Sunda yakni Penghormatan dan Kehormatan; budhi bahasa; budhi dharma – tata karma (sopan santun); tata dharma (bakti); kenegaraan, kebangsaan, kebudayaan dan Jatidiri. Ajaran Sunda telah membentuk kelembutan sikap Sopan Santun dan perilaku berbudhi pada setiap diri bangsa Indonesia. Sunda mengajarkan bentuk untuk ber terima kasih kepada segala yang telah memberi kehidupan. Oleh sebab itu Sembah-Hyang di lakukan dalam upacara Bende–Ra (panji matahari) untuk menghormati Negeri dan Sang Guru Hyang (Sunda). Istilah Sang Guru Hyang kemudian mengalami perubahan ucapan menjadi Sang Guriang atau Sang Kuriang, namun apakah demikian?.
Jawaban yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan diatas dapat dikaji antara lain dari pendapat AGUS ARISMU-NANDAR DKK, didalam bukunya tentang BANGUNAN SUCI SUNDA KUNA (2011). Munandar mengungkapkan tentang berita dari sumber PANTUN BOGOR dan NASKAH JATIRAGA (Koropak 422), diperkirakan naskah ini seumur dengan naskah SERAT BUDA, berbahasa Jawa Kuno, yang dibuat pada tahun 1357 saka, atau 1435 M, atau pada abad ke-15, sejaman dengan masa Pajajaran. KITAB JATIRAGA antara lain menguraikan tentang adanya kekuatan adikodrati dalam agama masa kerajaan Sunda, yang disebut BATARA JATINISKALA, yang memiliki julukan lain, yakni JATINISKALA yang bersifat KEMAHAGAIBAN. Ia menjelma (mengejewantah) menjadi tujuh sanghiyang, dengan sebutan GURIANG TUJUH. Munandar pada akhirnya menyimpulkan, bahwa SANGHIYANG JATINISKALA benar-benar NISKALA, gaib, tidak terbayangkan, tidak mungkin dikonkretkan.
Hiyang atau Sanghiyang didalam Ensiklopedia Sunda, ditujukan untuk menyebutkan para penghuni kahyangan. Hal yang tentunya berbeda dalam cerita wayang, karena kahyangan di huni oleh para dewa. Menurut pendapat lain, Para-hyang-an adalah istilah untuk tempat tinggalnya para Hyang, sedangkan Nirwana tempat tinggal para Dewa. Yang Maha kuasa menurut kepercayaan Sunda lama adalah SANGHYANG KERESA, yang menghendakai atau sang Maha pencipta, disebut juga BATARA TUNGGAL atau BATARA SEDA NISKALA (YANG GAIB). Semua Dewa yang datang kemudian diposisikan berada dialam Niskala, sedangkan Hyang berada dialam Jatiniskala. Oleh karena itu didalam DASA PREBAKTI, Sanghyang lebih tinggi hirarki nya dari Dewa-dewa atau Batara.
Istilah Sanghyang adakalanya digunakan pula untuk menyebut orang atau makhluk yang dihormati, seperti Sanghyang Lutung Kasarung, Sanghyang Sri Pohaci, Sanghyang Borosngora dan lain-lain yang sudah meninggal bagi para raja. Namun bisa juga sebutan itu untuk menyebutkan pengejawantahan dari Hyang, yang memang tidak ber-wujud.
KONSEP HYANG
Perkembangan selanjutnya menurut Ekadjati (2005), konsep banyaknya Dewa-dewi (politheis), pada masa kerajaan Sunda dan Galuh menimbulkan kecenderungan untuk mengutamakan roh dan dewa (Tuhan) tertentu, namun mengabaikan dewa lainnya. Selain itu di dalam upacara keagamaan lain yang sarat tata cara, dan urutan yang ketat serta mantera-mantera yang tidak boleh salah ucap atau salah susun, dianggap kurang sesuai dengan watak agama asli leluhurnya. Oleh karena itu mereka mencari konsep alternatif lain untuk menemukan Tuhan yang sesuai dengan karakternya yang berpindah-pindah setiap musim panen. Sehingga perlu praktis, akrab dengan alam, mengutamakan isi dari pada bentuk, cara memuja dapat dilakukan dimana saja, karena Tuhan itu lebih dekat dari apapun, bahkan masih jauh urat dileher kita dibandingkan dengan Tuhan.
Bagi masyarakat Sunda waktu itu, sebongkah batu alam yang agak aneh bentuknya sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara ritual. Setelah usai batu tersebut ditinggalkannya karena di tempat lain pun masih mudah memperoleh jenis batu yang sama. Modal penting untuk menjalin hubungan dengan yang Gaib adalah kesungguhan hati, kehidmatan di dalam keheningan alam sekitar. Sedangkan bongkahan batu hanya sekedar Yantra, pembantu konsentrasi, bukan sesuatu yang harus disembahnya.
Konsep Hyang menurut Ekadjati (2005, hal 178) baru diketahui pada masa pemerintahan Sri Jayabupati (abad ke-11), namun baru pada tahap menggunakan pengertian yang gaib atau yang suci. Sang Hyang sudah mulai di letakan ditempat suci, yakni Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Pada masa sesudahnya, konsep Hyang dengan Dewa dapat ditemukan pada saat memfungsikan kabuyutan, seperti Kabuyutan Lemah Dewasasana, tempat kegiatan menurut agama Hindu (Kabuyutan Sundasembawa dan Gunung Samaya) dengan Kabuyutan Lemah Para-hyang-an, tempat kegiatan agama Sunda Buhun, atau agama Jatisunda (Kabuyutan Kanekes). Sekalipun disebutkan agama Hindu berinteraksi di Kabuyutan, namun ditatar Sunda sulit untuk menemukan candi, termasuk di kabuyutan Dewasasana. Pendapat Ekadjati tersebut rupanya berasal dari dokumen-dokumen tertulis, seperti prasasti Sanghyang Tapak. Suatu hal yang perlu diteliti lebih jauh dari sumber lisan, yang mungkin akan berbeda makna dengan tafsiran para filolog.
Buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) menyebutkan, bahwa agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa ditatar Sunda pada periode 1175-1297 M. Hemat penulis, kitab ini merupakan bentuk pengulangan dan penegasan, karena Prabu Darmasiksa bukanlah penganut agama Sunda yang pertama, bahkan keberadaan ageman Jati Sunda sudah diketahui pada masa Aki Tirem, untuk kemudian kasilih dan bersentuhannya dengan budaya dari India. Namun memang setelah masa Prabu Darmasiksa agama Sunda Wiwitan menjadi agama resmi kerajaan.
Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme atau percaya akan adanya keberadaan Hyang itu gaib dan Tunggal, tidak jamak. Hyang atau Sanghyang didalam Ensiklopedia Sunda ditujukan untuk menyebutkan Yang Maha kuasa, menurut kepercayaan Sunda lama adalah Sang hyang Keresa (Maha Pencipta), disebut juga Batara Tunggal (Yang Esa), atau Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Semua Dewa yang datang kemudian, tunduk kepadanya. Oleh karenanya Sanghyang dianggap memiliki hirarki tertinggi di bandingkan para dewa.
Paradigma yang menempatkan hyang sebagai hiraki pembaktian tertinggi ditemukan, antara lain didalam naskah-naskah :
1. Uraian tentang Dasa Prebakti yang ditulis didalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, yang menyebutkan :
“ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan; siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hyang. Yaitulah yang disebut dasa prebakti. (Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa; ewe bakti di laki; hulun bakti di pacandaan; sisya bakti di guru; wang tani bakti di wado; wado bak ti di mantri; mantri bakti di nu nangganan; nu nangga nan bakti di mangkubumi; mangku bumi bakti di ratu; ratu bakti di dewata; dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebakti). (Dana Sasmita,dkk. 1987: 74,96)
2. Naskah Paningkes, atau Naskah Panikis menyebutkan :
“... katanya, jika wiku ‘pendeta’ bersamadi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri ....”. (... baruk da sang wiku lamun muja ka dewata langit kawikwana ma pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkon kati nong sarwa dingan trisna bala swarangan ...”). (Ayatrohaedi : 15,33)
Nakah ini berhubungan pula dengan naskah terakhir dari Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, bahwa ketentuan ini sudah ditentukan sejak alam diciptakan oleh Batara Seda Niskala, sebagai Yang Hak dan Yang Wujud. Naskah tersebut berbunyi demikian :
Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara ! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Pu rusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun situhu lawan preityaksa.
Artinya : Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwah, baktilah kepada Batara! Ujarnya: India. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Semua menemukan Yang Hak dan Yang Wujud)
3. Naskah Jatiraga menyebutkan Batara Jati Niskala, sebagai kekuatan adikodrati :
Batara Jati Niskala, Tema(h)han Batara Niskala, Yata dewata niskala, Pitu racok jadi tunggal, Mari sirnanan tu.” (Batara Jatiniskala (adalah) penjelmaan Batara Niskala yakni yang besrifat gaib, tampil tujuh menjadi tunggal, demikian smuanya itu).(Darsa & Edi S. Eka djati, 2006: 129 dan 149).
Sifat Hyang tercermin dari nama-nama yang diberikan kepadanya, yaitu BATARA NISKALA ATAU JATNISKALA yang bersifat gaib, SANGHYANG JATINESTEMEN (hakikat keteguhan), didalam naskah Serat Dewa Buda disebut SANGHYANG TAYA. Ia menjelma menjadi tujuh sanghyang, dengan sebutan TUJUH GURIANG. Tujuh Guriang ini dapat ditemukan didalam naskah Jati raga (koropak 422), yakni :
1. Sang Hyang Ijuna Jati
2. Sang Hyang Tunggal
3. Sang Hyang Batara Lenggang Buana
4. Sang Hyang Aci Wisesa
5. Sang Hyang Aci Larang
6. Sang Hyang Aci Kumara
7. Sang Hiyang Manwan (Manon).
Guriang Tujuh saat ini banyak ditafsirkan sebagai indra manusia, yakni mata (penglihatan); hidung (pencium); mulut (pengucap); telinga (pendengar); pikir; hati (rasa); dan birahi, yang harus dikendalikan agar bermanfaat dan tidak menjadi sumber malapetaka.
Naskah JATIRAGA menyebutkan pula:
“Berhasilah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan ....” (Darsa & Edi S. Eka djati, 2006: 149).
Inilah yang disimpulkan Munandar (2010 : 41), bahwa Sang Hyang Jatiniskala benar-benar bersifat niskala, tidak dapat terbayangkan, tidak dapat dikonkritkan. Kalaupun dikonkretkan harus diambil dari alam dalam wujud aslinya, “sebab aku adalah asli dan dari keaslian’, tidak perlu dirubah dalam bentuk benda alam, yang tidak asli dan tidak jujur, sebab “aku adalah jujurnya dari kejujuran”. SANGHYANG NISKALA tidak muncul dalam bentuk nyata, tidak berwujud, atau tidak seperti SIWA MAHA DEWA yang masih dibayangkan dalam bentuk arca bertangan empat, memiliki mata ketiga didahi, memakai UPAVITA (tali kasta) naga dipuncak kepala. SANGHYANG TUNGGAL atau SANGHYANG JATINISKALA bukan menunjukan Siwa.
Tentang dzat pencipta yang tunggal ditemukan pula didalam naskah SANG HYANG RAGA DEWATA, yang menuliskan:
“...Tidak ada yang menjadikan Aku, Tidak ada yang menciptakan Aku, Aku menamai diri sendiri, Sang Hyang Raga Dewata ...” (Hanteu nu ngayuga aing, Hanteu manggawe aing, Aing ngarana maneh, Sanghyang raga dewata). (Ekadjati & Endang Undang A. Darsa 2004, 2004).
Naskah tersebut menjelaskan pula tentang sifat-sifat Sang Hyang Raga Dewata, yakni:
“ ... datang tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat per kataan (senantiasa) benar, rupa direka, karena ada. Akulah yangmenciptakan tetapi tak terciptakan, Aku lah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Akulah yang menggunakan tetapi tidak digunakan ...”. (ibid).
Sifat-sifat Sang Hiyang Raga Dewata tersebut sama dengan Sang Hiyang Jatiraga atau julukan lainnya Jatniskala, Jatiniste men, atau Sang Hyang Tunggal. (Munandar, 2010). Itulah hakekat tertinggi dalam sistim keyakinan Sunda Buhun. Dan inilah konsep HYANG dalam agama Sunda Buhun.
BALIK KA HYANG
Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran Ka-hyang-an terungkap dalam Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :
1. Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya Sang Hyang keresa.
2. Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
3. Buana Larang atau neraka.
Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia. Tingkatan alam tersebut sebagai berikut:
1. Bumi Suci alam Padang.
2. Sang Hyang burung ribut.
3. Sang Hyang Sorong Kancana
4. Bumi cengcerengan.
5. Bumi Putih.
6. Bumi Hawuk.
7. Bumi koneng.
8. Bumi Hejo.
9. Bumi Hideung.
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek seah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patapan Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul
Didalam tradisi para prepantun Bogor (Ki Panjak) mengenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam baka. Ke-sembilan mandala tersebut adalah:
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Parmana
3. Mandala Karna
4. Mandala Rasa
5. Mandala Seba
6. Mandala Suda
7. Jati Mandala
8. Mandala Samar
9. Mandala Agung.
Sejak dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah termasuk Mandala Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (leluhur) yang sudah dapat turun kebumi serta menitis. Namun Manadala Agung diyakini sebagai :
“...nya eta mandala anu disebut Mandala Agung tea...! nya di dinya ayana: Sanghyang Tunggal...anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat.
Naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), pada intinya membagi jagat raya menjadi tiga, yaitu SAKALA; NISKALA dan JATINISKALA. Sakala atau dunia nyata dihuni oleh berbagai makhluk yang memiliki jasmani dan rohani. Mereka disebut manusia, hewan, tumbuhan, serta benda-benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan yang diam. Niskala atau Dunia gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, ruh-ruh netral atau syanu, BAYU (KEKUATAN), SABDA (SUARA) dan HEDAP (ITIKAD). Semua memiliki tugas di neraka maupun di sorga. Jati niskala, atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon, Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijunati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam Dzatnya.
Munandar (2010) sama halnya dengan diatas, membagi menguraikan alam menjadi tiga. Dan menghubungkan dengan makna dari pantun Bogor, tentang perumpamaan “Pamujan batu nu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan”, serta undakan suci yang ada dikampung Sindangbarang. Undakan ini sama hal dengan posisi tanah di setiap kabuyutan, yang memiliki tiga undakan. Inilah penggambaran jagat raya, dimana posisi Jatiniskala dihuni oleh Sanghyang Jatiniskala, atau didalam pantun Bogor disebut : “Mandala Agung tea. Nya didinya ayana Sanghiyang Tunggal, anu nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat”. Sedangkan : “pamujaan batu nu tujuh” menggambar Guriang Tujuh, sebagai pengejawantahan dari Sanghyang Jatniskala.
Pemujaan terhadap Hyang tidak menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya, namun tetap ditempatkan di bawah Hyang. Tempat Hyang berada di Parahiyangan bukan di dunia. Parahiyangan memiliki beberapa tingkatan. Tingkat paling bawah dihuni oleh para dewa Panteon lain. Diatasnya di tempati Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Di atasnya lagi dihuni oleh Dewi Sri (Pwa Sanghyang Sri), Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini). Posisi ini berada pada tataran alam Sakala Niskala.
Lebih jauh Munandar menjelaskan pula, bahwa tataran dalam bentuk konkrit, seperti arca batu, yantra, kitab agama, batu tertentu, ekagantra dan lain-lainnya yang sifatnya fisik, seperti yang nampak di alam manusia, berada di tataran Sakala. Inilah pembagian jagat raya dalam paradigma agama Sunda Buhun.
Konsepsi keagaamaan Sunda Buhun pada dasarnya tidak mengenal bahwa Sang Hyang tidak muncul dalam bentuk nyata, namun untuk alasan apapun agak sulit mempertegas, bahwa sanghyang dapat dikonkretkan dalam bentuk apapun, sebagaimana yang nampak nyata dialam Sakala maupun Sakala Niskala. Jika pun mungkin tentunya harus diambil dari “alam dalam wujud aslinya”.
Naskah Jatiraga menjelaskan hal ini, sebagai berikut:
“Hakekat Jatinistemen berkata, nah bayu sabda hedap, bagaimana mungkin muncul bentuk nyata, karena aku sebenarnya dalam hakikat jatinistemen; sebab aku adalah bebasnya dari kebebasan, sebab aku adalah mustahilnya dari kemustahilan, sebab aku adalah mungkinnya dari kemungkinan, sebab aku adalah sirnanya dari kesirnaan, sebab aku adalah lepasnya dari kelepasan, sebab aku adalah aslinya dari keaslian, sebab aku ada lah jujurnya dari kejujuran ... “.
Hyang didalam naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga ditempat sebagai tujuan manusia yang paling tinggi, merupakan cita-cita jika atma (roh) manusia dikelak kemudian hari harus keluar dari kurungannya. Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon, Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Iju nati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam Dzatnya.
Suasana di Jatiniskala digambarkan suka tanpa mengenal duka, kenyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa mengenal mati, bahagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk, pasti tanpa mengenal kebetulan, lepas tanpa mengenal ulangan hidup.
Menurut Saleh Danasasmita (1987) alam Jatiniskala, sebagai tempat : “Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik pati, sorga tanpa balik papa, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, moksa tanpa balik wulan”.
Kembali ke Jatiniskala adalah cita-cita orang dahulu yang saleh, sehingga kematian pun disebut ngahyang, dari ada menjadi gaib, atma menuju tempat bersemayamnya Hyang. Peris tiwa ngahiyang ada dua cara. Pertama, Atma manusia menuju alam kalanggengan namun jasadnya masih tetap di dunia. Kedua jiwa dan raganya lenyap, ngahyang atau tilem. Didalam metologi urang Sunda dikenal dengan tilem, mendasarkan pada pemikiran bahwa manusia meminjam jasad dari yang berhak. Seperti jika manusia meminjam barang maka harus dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, termasuk raganya. Berdasarkan mitologi pula menyatakan, bahwa ngahyang sebagaimana yang kedua sangat jarang terjadi, kecuali jika manusia semasa hidup dapat menghindarkan semua perbuatan (tapa) yang buruk.
Teks buhun umumnya mengabarkan perihal cita-cita urang sunda buhun jika meninggalkan alam dunya, yakni balik ka Hyang lain ka Dewa. Kita harus memperteguh diri, menertibkan hasrat, ucap dan budi. Bila hal itu tidak diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang dari golongan rendah, menengah dan tinggi semua akan dijerumuskan ke dalam neraka Si Tambra Gohmuka. Karena ilmu manusia terungguli oleh dewata. Demikianlah kata Sanghyang Siksa.
Post a Comment