Sekilas Prabu Lembu Agung dan Dalem Santapura

Prabu Lembu Agung (Jaya Brata), Raja Tembong Agung Antara Tahun 778-839 Masehi
Prabu Lembu Agung dinobatkan menjadi Raja Tembong Agung di Darmaraja pada saat bulan gelap tahun 700 saka atau 778 masehi. 


Dalam versi layang Darmaraja selama menjadi Resi Prabu Lembu Agung diceritakan sebagai berikut ; "Ti Nagara Tembong Agung lungsur bus ka Karang Tanjung, sareng ngaganti nama Batara Ayah, ti Karang Tanjung bus ka Paniis sareng ngaganti nama Batara Sakti".

Dalam persepsi pupuh dahulu dahulu "ngaganti nama Batara Ayah", dimaksudkan adalah putranya, begitu juga Batara Sakti adalah cucunya. Hal ini bisa kita telaah bahwa di makam Pasarean Luhur Paniis ada makam Batara Sakti dan makam Prabu Darma Purbawisesa atau Prabu Haji Darma Purbawisesa  

Jadi Prabu Lembu Agung memerintah kerajaan Tembong Agung tidak lama ada estafet kerajaan Tembong Agung antara 778-839 masehi atau selama 115 tahun, kemudian Prabu Lembu Agung menjadi Resi di Karang Tanjung dan digantikan oleh anaknya Batara Ayah.  Dari Karang Tanjung lalu Prabu Lembu Agung turun lagi ke Paniis dan menobatkan cucunya Batara Sakti, sebagai penerus kerajaan Tembong Agung dan berakhir pada masa kerajaan Tembong Agung yaitu Prabu Darma Purbawisesa, yang situs makamnya di Paniis Darmaraja. 

Setelah itu menjadi Kerajaan Tembong Agung di Darmaraja menjadi wilayah kadaleman yaitu wilayah karamaan dan karesian, karena Kerajaan Sumedanglarang beralih ke Ciguling pada masa Prabu Pagulingan atau Prabu Wirajaya antara 998-1114 masehi.

Selama menjadi resi Prabu Lembu Agung mempunyai kewajiban menata agama dan berhasil membangun sarana-sarana ibadah di Kawasan Gunung Sanghyang di Cibugel, Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Simpay. 




Kemudian mendirikan perkampungan di sekitar daerah "Bagala Asih Panyipuhan", dengan membuka hutan angker yang disebut negara keling atau tempat bersemayamnya makhluk jin.

Setelah menjadi pemukiman diganti namanya menjadi Karang Kawitan, Karang artinya tempat, Kawitan artinya yang pertama. 

Tempat tersebut dijadikan tempat pertemuan para resi dan keluarga raja atau petinggi kerajaan.

Selain itu beliau sebagai pengembang ilmu Kedarmarajaan, suatu ilmu yang memberi petunjuk kepada kemulyaan hidup, melalui penjabaran yang nyata. Landasan pancakaki merupakan landasan untuk saling mengenal, saling memahami dan saling pengertian di antara sesama manusia.

Prabu Lembu Agung  mempersunting putri Banon Pujasari putrinya Hidayat dan Sari Fatimah a
sal Galuh Pakuan Cipancar Girang Limbangan keturunan Harisdarma atau Mbah Khotib dan Mariana Jaya atau Sunan Ulun, dari perkawinan tersebut melahirkan keturunan para pemuka agama di Darmaraja. Makam Prabu Lembu Agung, Lembu Ananah dan Lembu Ananih ditemukan pertama kali ditemukan di Cipeueut, kemudian dipindahkan ke Astana Gede yang terletak di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja.


Dalem Santapura Keturunan Prabu Lembu Agung
Dari Babon keturunan Kerajaan Tembong Agung Darmaraja dituliskan sebagai berikut :
Generasi ke 1 :
1. Prabu Aji Putih x Nawang Wulan, mempunyai anak :  
1.1 Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela
1.2 Sakawayana atau Zainal Mustofa atau Mbah Jalul
1.3 Haris Darma atau Abidin Muja Hairi atau Mbah Khotib
1.4 Jagat Buana 

Generasi ke 2 :
1.1. Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela x Rangga Wulung, putrinya Adihata dan Sari Ningrum, mempunyai anak  :
1.1.1 Jayadi Brata atau Prabu Lembu Agung
1.1.2 Atma Brata atau Prabu Gajah Agung
1.1.3 Marija Jaya atau Mariana Jaya atau Sunan Ulun

Generasi ke 3 :
1.1.1 Jayadi Brata atau Prabu Lembu Agung atau Peteng Aji x 
Banon Pujasari atau Hasanah putrinya Hidayat dan Sari Fatimah, mempunyai anak :
1.1.1 Batara Ayah
1.1.1 Lembu Ananah
1.1.1 Lembu Ananih

Generasi ke 4 :
1.1.1 Batara Ayah, mempunyai anak :
1.1.1.1 Batara Sakti 

Generasi ke 5 :
1.1.1.1 Batara Sakti, mempunyai anak : 
1.1.1.1.1 Prabu Darma Purbawisesa

Generasi ke 6 :
1.1.1.1.1 Prabu Darma Purbawisesa, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1 Tumenggung Jagasatru

Generasi ke 7 :
1.1.1.1.1.1 Tumenggung Jagasatru, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1 Dalem Santapura atau Jayadipura 

Generasi ke 8 :
1.1.1.1.1.1.1 Dalem Santapura x Cicih Legawa Ningrum putrinya Wangsadipura dan Omah, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1 Dalem Santadinata atau Sutaderepa

Generasi ke 9 :
1.1.1.1.1.1.1 Dalem Santadinata atau Sutaderepa, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Mangunraga

Generasi ke 10 :
1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Mangunraga, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Jaya Manggala atau Dalem Astu Manggala

Generasi ke 11 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Jaya Manggala, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Tanudipa

Generasi ke 12 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Tanudipa, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Dipawangsa 

Generasi ke 13 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Dipawangsa, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Sacamanggala 

Generasi ke 14 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Sacamanggala, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Jayamanggala II

Generasi ke 14 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Jayamanggala II, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Sacamanggala II

Generasi ke 15 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Sacamanggala II, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Demang Putih Mangkupraja atau Dalem Panungtung Haji Putih Sungklang Larang.

Generasi ke 16 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Dalem Demang Putih Mangkupraja, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Raden Raksadipraja

Generasi ke 17 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Raden Raksadipraja, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Raden Santadipraja  

Generasi ke 18 :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Raden Santadipraja, mempunyai anak :
1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1.1 Raden Sacamanggala 

Dari bacaan ini berakhirnya kerajaan Tembong Agung sampai dengan Prabu Darma Purbawisesa karena setelah itu menjadi ka Tumengungan, dan Kerajaan Tembong Agung beralih menjadi kerajaan Sumedanglarang pada jaman Prabu Gajah Agung yang kemudian diteruskan oleh putranya Prabu Pagulingan. 


Santapura sejak kecil tinggal bersama ayahnya di Kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja. Setelah Lembu Agung turun tahta, Santapura tinggal di Padepokan Lemah Sagandu atau Cipeueut (Cipaku). 

Di sanalah Dalem   Santapura bersama kerabatnya belajar ilmu keagamaan dan ilmu kedarmarajaan, sebagai cikal bakal ilmu kasumedangan. Ilmu kedarmarajaan banyak menerangkan tentang kepemimpinan dan membuat petunjuk tentang cara-cara untuk memperoleh kekuatan gaib. 

Untuk memperoleh ilmu tersebut diharuskan melakukan ilmu tapabrata di tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Dengan cara itulah Resi Peteng Aji atau Prabu Lembu Agung menempa mental anak-cucunya. Rupanya Lembu Agung sengaja mempersiapkan keturunannya untuk mensyiarkan agama tauhid atau agama suci di daerah Darmaraja.

Suatu waktu, Dalem Santapura diperintah bertapa ditepian sungai Cimanuk yang tidak jauh dari Cipeueut. Di tepi sungai Cimanuk berderet pohon-pohon besar, di antara pepohonan itu terdapat pohon Tanjung yang usianya sudah tua. 
Oleh penduduk setempat dianggap memiliki kekuatan batin. Di bawah pohon Tanjung terdapat batu persegi empat dengan warna kehitam-hitaman, sebagai tempat bertapa nenek moyang. Di sanalah ia bertapa untuk mendapatkan ketajaman panca inderanya dan selama bertapa mendapat pengawalan saudara dekatnya.

Setelah selesai bertugas, ia menancapkan tongkat di dekat pohon Tanjung, tiba-tiba keluar air harum semerbak. 

Dalem Santapura berkata kepada pengawalnya ; “nyeungitan di Ciwangi, mancuhkeun di Cipaku"

Sejak itulah tempat tersebut dikenal Ciwangi dan disitu pulalah Dalem Santapura mendirikan padepokan kecil yang asri, yaitu tempat berguru ilmu lahir dan bathin. Padepokan tersebut banyak di datangi oleh penduduk yang haus ilmu, lalu berguru agama selanjutnya menetap di situ dan sampai menutup usia di sana.

Baca Juga :

Tidak ada komentar