Revitalisasi Cagar Budaya Spiritual Kabuyutan Cipaku
Dasar Hukum Revitalisasi Kabuyutan menurut Al Qu’ran Surat Al Baqarah
127-128 disebutkan bahwa Nabi Ibrahim AS, membangun Ka’bah dengan cara
meninggikan pondasinya, artinya secara
De-Facto Nabi Ibrahim AS merevitalisasi Ka’bah dari bekas peninggalan
leluhurnya, dia tidak membangun baru di tempat yang baru, melainkan
mengembangkan yang sudah ada sehingga menjadi lebih bernilai tinggi dan
bermanfaat untuk masyarakat luas. Kabuyutan Cipaku merupakan peninggalan
leluhur yang diamanahkan dalam Amanah Buyut dan Amanah Galunggung,
seharusnya bisa “ditinggikan pondasinya” supaya lebih bernilai tinggi
dan bermanfaat untuk masyarakat luas bukan malah dihancurkan dan
ditenggelamkan.
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail seraya berdoa: ‘Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Ya
Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh
kepada-Mu (dan jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk
patuh kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Baqarah:
127-128)
Kata “الْـقَوَاعِدُ” dalam ayat di atas merupakan jamak dari kata
“قَـاعِدَةٌ”, yang berarti tiang dan pondasi. Artinya, Allah Ta’ala
berfirman, “Hai Muhammad, katakanlah kepada kaummu mengenai pembangunan
Baitullah oleh Ibrahim dan Ismail dan peninggian pondasi oleh keduanya,
dan keduanya pun berdoa, : رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surah Al-Baqarah, Ayat 127 – 128)
Sedangkan firman Allah Ta’ala:
Ïوَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ
وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ
أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ
إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Î
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail seraya berdoa: ‘Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui. Ya
Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh
kepada-Mu (dan jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk
patuh kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Baqarah: 127-128)
Kata “الْـقَوَاعِدُ” dalam ayat di atas merupakan jamak dari kata “قَـاعِدَةٌ”, yang berarti tiang dan pondasi. Artinya, Allah Ta’ala berfirman,
“Hai Muhammad, katakanlah kepada kaummu mengenai pembangunan Baitullah
oleh Ibrahim dan Ismail dan peninggian pondasi oleh keduanya, dan
keduanya pun berdoa, Î رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ Ï “Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”
Dan yang benar bahwa Ibrahim dan Ismail meninggikan pondasi dan
mengatakan apa yang akan diterangkan pada pembahasan berikut ini.
Mengenai hal ini Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits yang akan kami
kemukakan di sini, lalu kami sertai dengan beberapa atsar (riwayat) yang
berkenaan dengan masalah ini.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menuturkan: Wanita
pertama yang membuat ikat pinggang adalah ibunya Ismail, hal itu ia
lakukan agar dapat menutupi jejak kakinya dari Sarah. Kemudian Ibrahim
membawa isteri dan puteranya, Ismail, yang masih disusuinya. Hingga
akhirnya Ibrahim menepatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi sebuah
pohon besar di atas sumur Zamzam di bagian atas Masjidilharam. Dan pada
saat itu di Makkah tidak ada seorang pun, dan tidak ada air. Beliau
meninggalkan keduanya, juga meletakkan sebuah kantong yang berisi kurma
dan tempat dari kulit yang berisi air. Kemudian Ibrahim melangkah pergi,
lalu Hajar pun menyusulnya seraya bertanya: “Wahai Ibrahim, ke mana
engkau akan pergi (apakah) engkau (akan) meninggalkan kami di lembah
yang tidak ada seorang pun manusia dan tidak ada sesuatu pun?” Hajar
terus-menerus menanyakan hal itu, dan Ibrahim tidak menoleh kepadanya.
Maka Hajar bertanya kembali: “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan
ini?” “Ya,” jawab Ibrahim. Hajar pun berucap: “Kalau memang demikian,
Dia tidak akan mengabaikan kami.”
Selanjutnya Hajar pun kembali, dan Ibrahim pun terus berjalan hingga
ketika sampai di sebuah bukit, di mana mereka tidak melihatnya, beliau
menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa dengan beberapa doa,
seraya mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan:
Ï رَبَّنَآ إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ
عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ
أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ
الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ Î
“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami, (yang demikian itu)
agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki kepada mereka dari
buah-buahan, mudah-mudah mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Lalu Hajar menyusui Ismail dan meminum dari air tersebut, dan ketika
air yang di dalam kantong itu sudah habis, ia pun merasa kehausan,
demikian pula puteranya, maka dilihatnya putranya merengek-rengek
kehausan. Kemudian ia pergi karena tidak tega melihatnya. Selanjutnya ia
menemukan Shafa, gunung yang paling dekat dengannya, maka ia pun
berdiri di atasnya, dan kemudian menghadap ke lembah sambil
melihat-melihat, adakah seseorang, tetapi dia tidak melihat seorang pun.
Setelah itu ia turun dari Shafa, hingga ketika sampai di lembah, dia
mengangkat ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang berjuang
mati-matian hingga berhasil melewati lembah, lalu mendatangi Marwah, dan
kemudian berdiri di atasnya sembari melihat, apakah ada seseorang yang
dapat dilihatnya? Tetapi dia tidak melihat seorang pun, hingga dia
melakukan hal itu tujuh kali.”
Ibnu Abbas mengatakan, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
قَلِذَلِكَ سَعَى النَّاسُ بَيْنَهُمَا
“Karena hal inilah orang-orang melakukan sa’i di antara keduanya (Shafa dan Marwah).”
Ketika mendekati Marwah, ia mendengar sebuah suara. Ia pun berkata,
“Diam.” -maksudnya ditujukan pada dirinya sendiri-. Kemudian ia berusaha
mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya. Lalu ia berkata, “Engkau
telah memperdengarkan. Adakah Engkau dapat menolong?” Tiba-tiba ia
mendapatkan malaikat di tempat sumber air Zamzam. Kemudian malaikat itu
menggali tanah dengan tumitnya, dalam riwayat lain dengan sayapnya,
sehingga muncullah air.
Selanjutnya ia membendung air dengan tangannya seperti ini. Ia
menciduk dan memasukkan air itu ke tempatnya. Dan air itu terus mengalir
deras setelah ia menciduknya.”
Ibnu Abbas mengatakan, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَـرْحَمُ اللهُ أُمُّ إِسْمَاعِيْـلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ -أَوْ
قَالَ لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ- لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا
مَعِينًا.
“Semoga Allah melimpakah rahmat kepada ibunya Ismail, jika saja
ia mem-biarkan Zamzam -atau Beliau bersabda: ‘Seandainya ia tidak
menciduk airnya- niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Lebih lanjut Ibnu Abbas mengatakan, kemudian ia meminum air itu dan
menyusui anaknya. Lalu malaikat berkata kepadanya: “Janganlah engkau
khawatir akan disia-siakan, karena di sini terdapat sebuah rumah Allah
yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah
tidak akan menelantarkan penduduknya.
Rumah Allah itu posisinya adalah lebih tinggi dari permukaan bumi,
seperti sebuah anak bukit yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian
kiri dan kanannya. Kondisi ibu Ismail itu terus demikian, sampai
sekelompok Bani Jurhum atau sebuah keluarga dari kalangan Bani Jurhum
melewati mereka, datang melalui jalan Keda’. Kemudian mereka mendiami
daerah Makkah yang paling bawah, lalu mereka melihat seekor burung
berputar di angkasa. Dan mereka pun berkata: “Burung itu pasti sedang
mengitari air, karena kita mengenal lembah ini tidak ada air.” Mereka
pun mengutus satu atau dua orang utusan. Ternyata utusan itu menemukan
air. Lalu mereka kembali dan memberitahukan perihal air tersebut. Maka
mereka pun datang.
Ibnu Abbas selanjutnya menceritakan, Ibunya Ismail ketika itu masih
berada di sumber air itu. Maka mereka pun bertanya kepadanya: “Apakah
engkau mengizinkan kami untuk singgah di sini?” “Ya, tetapi kalian tidak
berhak atas air ini,” jawab ibunya Ismail. Mereka pun menyahut:
“Baiklah.” Kemudian lanjut Ibnu Abbas, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda: “Maka ibu Ismail menerima hal itu, karena ia memerlukan
teman.” Selanjutnya mereka pun singgah di sana dan mengirimkan utusan
kepada keluarga mereka, hingga mereka juga ikut datang dan menetap di
sana bersama mereka, sehingga berdirilah beberapa rumah.
Akhirnya sang bayi (Ismail) pun tumbuh besar dan belajar bahasa Arab
dari mereka serta menjadi seorang yang paling dihargai dan dikagumi,
ketika menginjak usia remaja. Setelah dewasa mereka menikahkannya dengan
seorang wanita dari kalangan mereka. Setelah itu, ibunya Ismail
meninggal dunia. Setelah Ismail menikah, Ibrahim pun datang untuk
mencari yang dulu ditinggalkannya, tetapi ia tidak menemukan Ismail di
sana. Lalu Ibrahim menanyakan keberadaan Ismail kepada isterinya
(menantu Ibrahim), maka isteri Ismail itu menjawab: “Ia sedang pergi
mencari nafkah untuk kami,” Kemudian Ibrahim menanyakan perihal
kehidupan dan keadaan mereka, maka isterinya itupun menjawab: “Kami ini
dalam kondisi buruk, kami hidup dalam kesusahan dan kesulitan.” Ia
mengeluh kepada Ibrahim. Maka Ibrahim pun berpesan: “Jika suamimu
datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya agar merubah
ambang pintunya.”
Ketika Ismail datang, seolah-olah ia merasakan sesuatu, kemudian
bertanya: “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” “Ya, kami
didatangi seorang yang sudah tua, begini dan begitu, lalu ia menanyakan
kepada kami mengenai dirimu, dan aku memberitahukannya, selain itu ia
pun menanyakan ihwal kehidupan kita di sini, maka aku pun menjawab bahwa
di sini kita hidup dalam kesulitan dan kesusahan,” jawab isterinya.
“Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?” tanya Ismail. Isterinya pun
menjawab: “Ia menitipkan salam kepadaku untuk aku sampaikan kepadamu dan
menyuruhmu agar merubah ambang pintu rumahmu.”
Ismail pun berujar: “Ia adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk
menceraikanmu, karenanya kembalilah engkau kepada keluargamu.” Maka
Ismail pun menceraikannya, lalu mengawini wanita lain dari Bani Jurhum.
Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama beberapa waktu. Setelah itu
Ibrahim mendatanginya, namun ia tidak juga mendapatinya. Kemudian ia
menemui isterinya dan menanyakan perihal keadaan Ismail. Maka isterinya
pun menjawab: “Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” “Bagaimana
keadaan dan kehidupan kalian?” tanya Ibrahim. Isteri Ismail menjawab:
“Kami baik-baik saja dan berkecukupan.” Seraya memuji (bersyukur kepada)
Allah Ta’ala.
Kemudian Ibrahim bertanya: “Apa yang kalian makan?” Isteri Ismail
menjawab: “Kami memakan daging.” “Apa yang kalian minum?” lanjut
Ibrahim. Isteri Ismail menjawab: “Air.” Kemudian Ibrahim berdoa: “Ya
Allah, berkatilah mereka pada daging dan air.”
Selanjutnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada saat itu, mereka belum mempunyai makanan berupa biji-bijian.
Seandainya mereka memilikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya
mereka diberikan berkah pada biji-bijian itu.” Lebih lanjut Ibnu Abbas
berkata, “Untuk di luar Makkah, tidak ada seorang pun dapat mengkonsumsi
hanya kedua jenis makanan itu.
Ibrahim berpesan: “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya
dan suruh ia untuk memperkokoh ambang pintunya.” Ketika datang, Ismail
bertanya: “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” Isterinya
menjawab, “Ya, ada orang tua yang berpenampilan sangat bagus -seraya
memuji Ibrahim- dan ia menanyakan kepadaku perihal dirimu, lalu
kuberitahukan. Setelah itupun ia menanyakan perihal kehidupan kita. Maka
kujawab bahwa kita baik-baik saja.” “Apakah ia berpesan sesuatu hal
kepadamu?” tanya Ismail. Isterinya menjawab: “Ya, ia menyampaikan salam
kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh ambang pintu pintumu.”
Lalu Ismail berkata: “Ia adalah ayahku. Engkaulah ambang pintu yang dimaksud. Ia menyuruhku untuk tetap hidup rukun bersamamu.”
Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Setelah
itu, ia datang kembali, sedang Ismail tengah meraut anak panah di bawah
pohon besar dekat sumur Zamzam. Ketika melihatnya, Ismail bangkit,
hingga keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anak dengan
ayahnya dan ayah dengan anaknya (jika bertemu).
Ibrahim berkata: “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memerintahkan
sesuatu kepadaku.” “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Rabb-mu
itu,” sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya: “Apakah engkau akan
membantuku?” “Aku pasti akan membantumu,” jawab Ismail. Ibrahim
bertutur: “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membangun sebuah rumah di
sini.” Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang lebih tinggi dari
sekelilingnya.
Ibnu Abbas pun melanjutkan ceritanya, pada saat itulah keduanya
meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat batu, sedang Ibrahim
memasangnya. Hingga ketika bangunan itu sudah tinggi, dia datangkan batu
itu, dan dia meletakkannya untuk dijadikan pijakannya. Ibrahim pun
berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail menyodorkan
batu kepada-nya. Keduanya pun berdoa, Î رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ
إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيـمُ Ï “Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”
Ibnu Abbas meneruskan, maka keduanya terus membangun hingga keduanya
menyelesaikan keseluruhan bangunan Baitullah, seraya keduanya ber-doa, Î
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ Ï “Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”
Al-Bukhari berkata, firman Allah Ta’ala:
Î وَإِذْ يَـرْفَعُ إِبْرَاهِيـمُ الْقَوَاعِـدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلَ Ï “Dan ingatlah, ketika Ibrahim me-ninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail.” “القَوَاعِدُ”
berarti landasan, jama’ dari “قَـاعِدَةٌِ”, sedang “القَـوَاعِدُ مِنَ
الـنِّسَاءِ” (perempuan-perempuan yang sudah manupause) adalah jama’
dari “قَاعِدٌ”.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha , isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah pernah bersabda:
أَلَمْ تَرَى أَنَّ قَوْمَكِ حِيْنَ بَنَوْا الْبَيْتَ اقْتَصَرُوْا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ؟
“Tidakkah engkau menyaksikan bahwa kaummu ketika membangun Baitullah telah mengurangi dari pondasi bangunan Ibrahim.”
Lalu aku (Aisyah) tanyakan: “Ya Rasulullah, apakah engkau tidak
me-ngembalikannya ke pondasi (yang dibangun oleh) Ibrahim?” Beliau
menjawab: “Seandainya kaummu itu bukan orang-orang yang baru saja melepaskan ke-kafirannya, (pasti aku akan melakukannya).”
Kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Jika benar Aisyah mendengar itu langsung dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tentu aku tidak melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam eninggal-kan menyentuh dua rukun yang berada setelah hijir, hanya saja bangunan Ka’bah tidak sempurna menurut asas bangunan Ibrahim ‘alaihissalam.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab haji, dari al-Qa’nabi, Muslim, dan an-Nasa’i)
Muslim pun meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ –أَوْ قَالَ:
بِكُفْرٍ– لأَنْفَقْتُ كَنْزَ الْكَعْبَةِ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَلَجَعَلْتُ
بَابَهَا بِاْلأَرْضِ، وَلأَدْخَلْتُ فِيْهَا الْحِجْرَ.
“Seandainya kaummu itu bukan baru saja mengalami masa Jahiliyah
-atau beliau mengatakan, kekufuran- niscaya aku akan menginfakkan
simpanan Ka’bah di jalan Allah, dan akan aku jadikan pintunya sejajar
dengan tanah, dan aku memasukkan ke dalamnya hijir (hijir Ismail).”
Bukhari meriwayatkan dari al-Aswad, katanya, Ibnu Zubair pernah
berkata kepadaku, “Aisyah menyampaikan berita rahasia kepadamu, lalu apa
yang disampaikannya kepadamu mengenai Ka’bah?” Al-Aswad menjawab:
“Aisyah pernah bercerita, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Ya
Aisyah, kalau seandainya kaummu itu tidak berdekatan dengan masa mereka
(Jahiliyah) -Ibnu Zubair mengatakan, dengan kekufuran- niscaya aku akan
merobohkan Ka’bah, lalu kubuatkan dua pintu untuknya, satu pintu
sebagai jalan masuk bagi orang-orang, dan pintu lainnya menjadi jalan
keluar mereka.” Maka Ibnu Zubair pun mengerjakannya. (HR. Bukhari)
Dalam kitab Shahih Muslim, diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, katanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:“Seandainya
kaummu itu tidak baru saja melepaskan kekufurannya, maka aku pasti akan
membongkar Ka’bah dan akan aku bangun sesuai dengan pondasi Ibrahim.
Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika membangun Baitullah ini telah
mengurangi pondasinya, dan aku juga akan membuatkan untuknya pintu
keluar.” (HR. Muslim)
Masih menurut Imam Muslim, ia menceritakan, Muhammad bin Hatim
memberitahuku dari Sa’id bin Mina’, ia bercerita, aku mendengar Abdullah
bin Zubair, ia menuturkan, bibiku, yakni Aisyah radhiallahu ‘anha, pernah memberitahuku, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya
Aisyah, seandainya kaummu itu tidak baru saja lepas dari kemusyrikan,
niscaya aku akan robohkan Ka’bah, lalu aku dekatkan ke tanah, dan
kubuatkan untuknya satu pintu menghadap ke timur dan satu pintu lainnya
menghadap ke barat, lalu akan kutambahkan enam hasta dari hijir Ismail.
Karena kaum Quraisy telah menguranginya ketika membangun Ka’bah
tersebut.” (HR. Muslim)
Kisah orang-orang Quraisy membangun Ka’bah beberapa lama se-telah
meninggalnya Ibrahim dan Lima tahun sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berusia tiga puluh lima tahun, beliau ikut memindahkan batu bersama orang-orang Quraisy.
Dalam kitab as-Siirah, Muhammad bin Ishak bin Yasar menceritakan, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berusia
tiga puluh lima tahun, orang-orang Quraisy berkumpul untuk merenovasi
Ka’bah. Mereka ingin melakukan hal itu untuk memberikan atap pada
bangunan Ka’bah tersebut. Sementara mereka takut merobohkannya. Padahal
bangunannya ketika itu hanya berupa tumpukan batu yang sedikit lebih
tinggi dari ukuran orang sedang berdiri. Lalu mereka bermaksud untuk
meninggikannya dan memberinya atap. Yang demikian itu, karena ada
beberapa orang yang mencuri simpanan Ka’bah yang berada di dalam sebuah
sumur yang ada di dalam Ka’bah. Harta simpanan Ka’bah itu ditemukan pada
Duwaik maula Bani Malih bin Amr dari kabilah Khuza’ah, maka orang-orang
Quraisy memotong tangannya.
Pada saat yang sama ada sebuah kapal milik salah seorang dari
kalangan pedagang Romawi terdampar di Jeddah. Kayu-kayunya pun diambil
oleh mereka untuk di buat atap Ka’bah. Dan ketika itu, di Mekkah
terdapat seorang dari suku Qibti sebagai tukang kayu yang menyediakan
beberapa hal yang dibutuhkan mereka untuk memperbaiki Ka’bah.
Selanjutnya, kata Muhammad bin Ishak, beberapa kabilah Quraisy
mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Masing-masing kabilah
mengumpulkan batu-batu itu untuk mereka masing-masing, lalu mereka
membangunnya, hingga ketika bangunan itu sampai pada bagian rukun, yaitu
Hajar Aswad, maka mereka pun bertengkar mengenai hal itu. Masing-masing
kabilah ingin mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Sampai akhirnya
mereka berdebat, saling adu mulut, dan bahkan bersiap untuk perang.
Kemudian Banu Abdiddar mendekatkan mangkuk besar yang berisi darah,
lalu mereka dan Banu ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay berjanji setia untuk mati,
dan memasukkan tangan mereka ke dalam darah yang berada di dalam
mang-kuk besar tersebut, dan mereka menamainya dengan sebutan “لَـعْقَةُ
الـدَّمِ”
Orang-orang Quraisy pun menunggu selama empat atau lima malam.
Selanjutnya mereka berkumpul di masjid untuk memusyawarahkan dan
menyelesaikan persoalan secara adil.
Sebagian perawi mengatakan bahwa Abu Umayyah bin Mughirah bin
Abdullah bin Amr bin Makhzum, yang saat iu adalah orang tertua di antara
orang-orang Quraisy mengatakan, “Hai sekalian kaum Quraisy, serahkanlah
keputusan persoalan yang kalian perselisihkan itu kepada orang yang
pertama masuk dari pintu masjid ini, untuk selanjutnya memberikan
keputusan di antara mereka.”
Maka mereka pun melakukannya, dan ternyata orang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun berkata, “Inilah al-Amin (orang yang terpercaya), kami menyetujui Muhammad ini.”
Setelah beliau bertemu mereka dan mereka pun menceritakannya kepada beliau, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ambillah sehelai kain untukku.” Kemudian beliau dibawakan sehelai
kain. Selanjutnya beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkan kain itu
pada Hajar Aswad dengan tangannya. Dan setelah itu beliau berujar,
“Hendaklah setiap kabilah memegang sisi kain, lalu angkatlah secara
bersamaan.”
Mereka pun melakukannya sehingga ketika sampai pada tempatnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan
Hajar Aswad dengan tanganya sendiri pada tempatnya semula. Setelah itu
beliau membangun di atasnya. Orang-orang Quraisy me-nyebut Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum
diturunkan wahyu kepada beliau dengan sebutan “al-Amin”, kemudian
mereka meneruskan pembangunan Ka’bah seperti yang mereka kehendaki.
Selanjutnya Muhammad bin Ishak menceritakan, pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam Ka’bah
itu berukuran delapan belas dzira’ (hasta), dan ditutupi dengan kain
katun dari Mesir, kemudian setelah itu dengan kain wool hitam, dan yang
pertama kali menutupinya dengan kain sutera adalah al-Hajjaj bin Yusuf.
Berkenaan dengan hal tersebut penulis (Ibnu Katsir) katakan, bangunan
Ka’bah itu tetap seperti yang dibangun oleh orang-orang Quraisy hingga
terbakar pada awal kepemimpinan Abdullah bin Zubair, setelah tahun 60 H,
dan pada akhir pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, ketika mereka
mengepung Ibnu Zubair, maka pada saat itu, Ibnu Zubair merobohkan Ka’bah
ke tanah dan mem-bangunnya kembali di atas pondasi yang dulu dibuat
oleh Ibrahim ‘alaihissalam. Ibnu Zubair memasukkan hijir (hijir
Ismail) ke dalam bangunan Ka’bah dan membuatkan pintu Ka’bah pada
bagian timur dan bagian barat yang bersentuhan dengan tanah. Sebagaimana
hal itu didengarnya dari bibinya, Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Bangunan Ka’bah itu masih tetap demikian selama masa kepemimpinannya
hingga akhirnya ia dibunuh oleh al-Hajjaj. Lalu ia mengembalikan Ka’bah
itu ke bentuk semula atas perintah Abdul Malik bin Marwan.
Tetapi setelah Ka’bah itu berada dalam keadaan seperti itu, maka
sebagian ulama memakruhkan untuk dirubah dari kedaan itu. Sebagaimana
disebutkan dari Amirul Mukminin, Harun ar-Rasyid atau ayahnya al-Mahdi,
bahwasanya ia pernah bertanya kepada Imam Malik mengenai perobohan
Ka’bah dan pembangunannya kembali seperti apa yang telah dilakukan oleh
Ibnu Zubair.
Maka imam Malik pun menjawab: “Ya Amirul Mukminin, janganlah engkau
menjadikan Ka’bah Allah itu sebagai permainan para penguasa, tidak
seorang pun yang bermaksud merobohkannya, melainkan Dia pasti
merobohkannya.” Akhirnya, Harun al-Rasyid tidak melakukan hal tersebut.
Hal itu dinukil oleh Iyadh dan an-Nawawi. Dan –wallahu a’lam- Ka’bah
itu masih terus seperti itu hingga akhir zaman hingga dirusak oleh Dzu
Suwaiqatain dari Habasyah (Ethiopia). Sebagaimana hal itu telah
ditegaskan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu HurairahRadhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخَرِّبُ الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيْقَتَيْنِ مِنَ الْحَبَشَةِ.
“Ka’bah itu akan dihancurkan oleh Dzus-Suwaiqatain dari Habasyah atau Ethiopia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَأَنِّى بِهِ أُسْوَدَ اَفْحَجَ يَقْلَعُهَا حَجَرًا حَجَرًا.
“Seolah-olah aku mengenalnya seperti orang berkulit hitam dan berkaki pengkor yang melapas batu Ka’bah satu persatu.” (HR. Bukhari)
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad, dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, katanya, aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخَرِّبُ الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيْقَتَيْنِ مِنَ الْحَبَشَةِ،
وَيَسْلُبُهَا حِلْيَتَهَا، وَيُجَرِّدُهَا مِنْ كُسْوَتِهَا، وَلَكَأَنِّى
أَنْظُرُ إِلَيْهِ أُصَيْلِعَ أُفَيْدِعَ يَضْرِبُ عَلَيْهَا
بِمِسْحَاتِهِ وَمِعْوَلِهِ.
“Ka’bah itu dirusak oleh Dzus-Suwaiqatain dari Habasyiah
(Ethopia), dicopoti-nya perhiasan Ka’bah, dan dilepas kiswahnya
(penutupnya). Seolah-olah aku menyaksikan Dzus-Suwaiqatain itu orang
berbadan kecil yang botak, lagi ber-kaki pengkor. Ia menghantam Ka’bah
dengan sekop dan linggisnya.” (HR. Imam Ahmad)
Hal ini terjadi, wallahu a’lam, setelah Ya’juj dan Ma’juj keluar, berdasarkan riwayat dalam kitab Shahih Bukhari, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلَيُحَجَّنَّ الْبَيْتُ وَلَيُعْتَمَرَنَّ بَعْدَ خُرُوْجِ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ.
“Sesungguhnya Baitullah ini tetap akan dijadikan tempat menunaikan ibadah haji dan umrah setelah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj.” (HR. Bukhari)
Firman Allah Ta’ala yang menceritakan doa Ibrahim dan Ismail
عليهما السلام, Î رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن
ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ
عَلَيْنَآ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Ï “Ya Rabb kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan jadikanlah
di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan
tun-jukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami,
serta terima-lah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahamenerima
taubat lagi Maha-penyayang.” Ibnu Jarir mengemukakan, yang
dimaksudkan oleh mereka berdua adalah, “Ya Allah, jadikanlah kami orang
yang patuh kepada perintah-Mu, tunduk menaati-Mu, dalam ketaatan dan
juga dalam menjalankan ibadah itu kami tidak menyekutukan-Mu dengan
seorang pun.”
Dan mengenai firman Allah Ta’ala, Î وَاجْـعَلْنَا مُسْلِمَيْـنِ لَـكَ Ï “Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu,” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdul Karim, ia mengatakan, “(Artinya), tulus ikhlas karena-Mu.”
Î وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ Ï “Dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu,” ia mengatakan, “Artinya, umat yang tulus ikhlas.”
Ia juga meriwayatkan dari Ali bin Husain, dari Salam bin Abi Muthi’i, mengenai firman-Nya, Î وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ Ï “Dan jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh,” ia mengatakan, “Keduanya sudah dalam keadaan tunduk patuh, tetapi dalam hal itu mereka meminta keteguhan.”
Mengenai firman-Nya, Î وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ Ï “Dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu,” as-Suddi mengatakan, “Yang mereka maksudkan adalah bangsa Arab.”
Sedangkan Ibnu Jarir mengemukakan, “Yang benar, bahwa yang demikian
itu mencakup bangsa Arab dan selain mereka karena Bani Israil juga
termasuk keturunan Ibrahim.” Sebagaimana yang telah Allah Ta’ala firmankan: Î وَمِنْ قَوْمِ مُوسَـى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ Ï “Dan
di antara kaum Musa itu terdapat satu umat yang memberi petunjuk
(kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak itu mereka menjalankan
keadilan.” (QS. Al-A’raaf: 159)
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis katakan, bahwa apa yang
dikatakan oleh Ibnu Jarir ini tidak menafikan pendapat as-Suddi karena
pengkhususan kepada mereka (Bangsa Arab) di dalam doa Ibrahim dan Ismail
itu tidak menafikan bagi orang-orang selain bangsa Arab. Oleh
karenanya, setelah itu Nabi Ibrahim berdo’a: Î رَبَّنَا وَابْعَثْ
فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْـهِمْ ءَ ايَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ Ï “Ya Rabb
kami, utuslah kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan kepada
mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan
mereka.” Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus kepada mereka, sebagaimana Allah Ta’alaberfirman:
Î هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ Ï “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri.”(QS. Al-Jumu’ah: 2) Namun demikian, hal itu tidak menafikan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga
diutus kepada orang-orang berkulit merah atau hitam, sebagaimana
firman-Nya: Î قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّـي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ
Ï “Katakanlah: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah rasul Allah bagi kalian semua.’” (QS. Al-A’raaf: 158) Dan juga dalil-dalil qath’i (pasti) lainnya.
Dan inilah do’a yang dipanjatkan oleh Ibrahim dan Ismail, sebagaimana yang diberitahukan Allah Ta’ala mengenai hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan beriman melalui firman-Nya:
Î وَالَّذِيـنَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ï “Dan orang-orang yang mengatakan: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah
kepada Kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74) Hal ini sangat dianjurkan secara syari’at, karena di antara kesempurnaan cinta pada ibadah kepada AllahTa’ala adalah
keinginan agar keturunannya juga beribadah kepada Allah semata dengan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman kepada Ibrahim ‘alaihissalam: Î إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا Ï “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh umat manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124) Ibrahim berkata: Î وَ مِنْ ذُرِّيَّتِـى Ï “Dan saya mohon juga dari keturunanku.” Dia juga berfirman: Î لاَ يَنَالُ عَهْـدِي الظَّالِمِينَÏ “Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah: 124) Karena itu Nabi Ibrahim berdo’a: Î وَاجْنُبْنِـي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ Ï “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Dan dalam kitab Shahih Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْـنُ آدَمَ انَقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ،
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْعِلْـمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَـالِحٍ
يَدْعُوْلَهُ.
“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya
kecuali tiga hal, yaitu: sedekah yang mengalir terus pahalanya, ilmu
yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Firman Allah Ta’ala berikutnya, Î وَ أَرِنَا مَنَاسِكَنَا Ï “Dan tunjukkanlah ke-pada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.” Ibnu Juraij menceritakan, dari Atha’, ia mengatakan, “(Artinya), perlihatkanlah dan ajarkanlah hal itu kepada kami.”
Masih mengenai firman-Nya itu, Î وَ أَرِنَا مَنَاسِكَنَا Ï “Dan tunjukkanlah ke-pada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.” Mujahid mengatakan, Î أَرِنَا مَنَاسِكَنَا Ï “(Artinya), tempat-tempat penyembelihan kurban kami.”
Abu Daud ath-Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
Sesungguhnya ketika diperlihatkan kepada Ibrahim beberapa perintah dalam
ibadah haji, lalu ia dihalangi oleh syaitan pada saat di tempat sa’i,
lalu syaitan itu dikalahkan oleh Ibrahim. Kemudian Jibril berangkat
bersamanya dan sampai di Mina, Jibril berkata kepadanya: “Ini adalah
tempat berkumpulnya manusia.” Dan ketika di Jumratul Aqabah,
dihalang-halangi oleh syaitan, lalu ia melemparnya dengan tujuh batu
kecil hingga akhirnya pergi. Kemudian Ibrahim dibawa ke Jumratul Wustha,
dan ia pun dihalangi oleh syaitan lalu ia melemparnya dengan tujuh batu
kecil hingga akhirnya syaitan itu pergi. Dan pada saat dibawa ke
Jumratul Qushwa, dihalangi pula oleh syaitan, maka ia melemparnya dengan
tujuh batu kecil sehingga pergi. Kemudian Jibril membawa Ibrahim
mendatangi tempat berkumpul (Muzdalifah). Jibril berkata: “Ini adalah Masy’arul Haram.” Setelah itu dibawa lagi oleh Jibril ke Arafah. Jibril berkata: “Inilah Arafah,” lalu Jibril bertanya: “Apakah engkau sudah mengetahui semua itu?.”
============= Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)
Post a Comment