Transkrip Babad Cerbon Dari Keraton Kanoman Cirebon

Bangsal Witana, menjadi awal sejarah pendirian bangunan pertama di Cirebon. Di tanah itulah, gedung atau bangunan pertama dibangun oleh Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang setelah dibuka lahan oleh Ki Gede Alang-Alang, tepat pada tanggal 1 Muharam.


Berikut ini Transliterasi Pembacaan Babad Cerbon :
Tatkala itu sang Prabu Siliwangi Pajajaran ditinggalkan oleh beberapa orang putranya. Sedangkan para putranya yang masih tinggal di keraton dua orang, yaitu yang sulung bernama Walangsungsang dan adiknya perempuan bernama Rarasantang. Suatu saat Prabu Siliwangi mengadakan pertemuan dengan para famili, bupati, menteri di bangsal Agung Padjadjaran. Sang Prabu bersabda, “Ki Patih Arga, negara harus dijaga, barangkali di wilayah kita ada orang-orang Arab, cepat diringkus dan dibunuh. Sebab saya takut pada orang-orang bersernbahyang”. Tersebutlah di puri Kaputran, Walangsungsang terbangun dari tidurya karena ia bermimpi bertemu dengan Nabi Rasulullah. Ia senang sekali bermimpi demikian, setiap ia menggeliat ada suara tanpa rupa, “Apabila anda ingin kemuliaan, pergilah ke gunung Amparan Jati. Di sanalah anda berguru agama Muhammad Rasulullah. Itu agama yang mulia. Bergurulah anda kepada Syekh Nur Jati alias Syekh Datul Kahfii, agar anda menjadi Waliyullah”.

Walangsungsang segera bangun dari tidurnya dan ingin segera memberitahukan kepada ayahanda Prabu, yang sedang mengadakan pertemuan. 
“Duhai putraku Walangsungsang, jadilah engkau raja menguasai negara dengan adikmu”, sabda sang Prabu. ‘
Ya ramanda, putranda mohon perkenan paduka, sebelum hamba bertemu dengan orang yang terbayang dalam impian, soal tahta hamba kesampingkan”, ujar Walangsungsang. 
“Oh, apakah irnpianmu gerangan?” 
“Putranda bertemu dengan Nabi Muhammad. Mohon ramanda agar berguru agama kepadanya, berguru agama Nabi Rasulullah kepada seorang pandita di gunung Amparan Jati. Jadilah orang muslim. Barang siapa tidak masuk Islarn akan menjadi kufur dan masuk neraka”.

Prabu siliwangi membentak, “Buat apa berguru Islam. Kita punya agama sendiri, Walangsungsang ! Bila engkau tidak menurut perintahku pergilah dari keraton. lebih baik aku tidak punya anak durhaka. Aku lebih senang tidak punya anak sepertimu. Patih Argatala, umumkan ke seluruh negara dan perbatasan, barang siapa menerima kedatangan anakku Walangsungsang harus dihukum atau kau bunuh, begitu marahnya sang Prabu.Siap, harnba junjung perintah paduka, begitu ucap Ki Patih Argatala.

Sepanjang hari dan malam Walangsungsang di puri Keputran senantiasa gelisah, karena ia merasa sudah tidak disukai ayahanda lagi.

Namun, apabila ia ingat adik perempuannya Rarasantang, kasihan tak ada yang mengasuh, maka kebimbangan merasuki kalbunya. Tetapi apabila dirinya tetap di keraton, bukankah ayahandanya sudah mengusir dirinya.

Akhirnya keputusan terbaiknya ia meloloskan diri di malam hari buta, dari keraton sambil sembunyi-sembunyi meninggalkan segala milik dan haknya yang ada di keraton. Jauhlah sudah Walangsungsang pergi ke arah utara dan sampailah ia di Karawang di tempat kediaman Syekh Quro. Amat heran Syekh Quro atas kedatangan pemuda yang bagus rupa, lalu.

Duhai guru, hamba berasal dari Padjajaran dan nama harnba Walangsungsang begitu jawabnya. Syekh Quro hanya mengangguk dan dalam hatinya berkata, inilah putra Padjadjaran yang perkasa, yang kelak akan berkuasa di tanah Sunda ini dan pangeran inilah yang akan menjadi Waliyullah, membuka syariat Nabi Muhammad Rasulullah, lalu sambil berkata mantap Syekh Quro, Ya pangeran, kalau mencari guru agama Islam pergilah ke timur di gunung Arnparan Jati. Bergurulah di sana kepada Syekh Nur Jati. Beliau adalah guruku. Terima kasih paduka guru, hamba segera ke sana apabila paduka guru telah mengijinkan, begitu jawab Walangsungsang dan Syekh Quro amat suka citanya. Walangsungsang kemudian pergi berkelana ke timur selatan.

Perjalanannya ia penuh kewaspadaan, menyamar dan hati-hati, hingga ia lupa makan dan lupa tidur. Selanjutnya terlihatlah nyala api di gunung Merapi. Walangsungsang datang kehadapan Sanghyang Danuwarsih sujud mencium tangan Sanghyang Danuwarsih menyambutnya dengan senang hati, lalu ujarnya, dari manakah gerangan wahai pemuda bagus ? Hamba dari Padjadjaran dan nama hamba Walangsungsang. hamba telah diusir oleh ramanda Prabu, yang tidak mau memeluk agama Islam, begitu ujar Walangsungsang. Sang pendeta Budha itu tertegun tapi dalam kalbunya bergetar. Tibalah saatnya peralihan agama Budha dan Hindu beralih kepada Is1am. Dimanakah letak gunung Amparan Jati, ya sang Pandita ? Saya ingin berguru agama Nabi Muhammad. Sang pandita Danuwarsih berkata manis, aku baru mendengar adanya syari’at agama Muhammad itu.

Tapi aku mendengar serba sedikit tentang jaman Prama dari kitab Mustika Jamus dan Ogan Lopiyan, bahwa kelak putra Prabu Siliwangi yang mengganti agarna Hindu dan Budha kepada Islam. Ayahmu itu masih termasuk anak cucuku juga. Kalau pangeran ingin petunjuk gaib pada gambar Lopiyan tadi, terimalah dulu tentang kebudhaan dan kehinduan yang sejati, agar kepada Islam kelak akan menjadi gampang. Sebelum kamu tumbuh, hidup itu ada di mana dan ada apa hidup sebelum kamu itu ada. Carilah ikatan talinya, hingga ketemu kepada apa yang dinamakan hidup sejati. Hidupmu itu siapa, siapa yang menghidupi, kalau kamu meninggal bagaimana caranya masuk dan keluarnya seberapa dekat kalau engkau masuk dan seberapa jauhnya apabila keluar, dan semua itu dirnana tempatnya? Hamba mohon diajarkan sejatinya hidup, begitu jawab sang pangeran Walangsungsang yang telah menerima ilmu kebudhaan dan kehinduan secara tuntas. Sembilan bulan larnanya sang pangeran menggeluti ilrnu itu di pertapaan gunung Merapi. Tak Lama kemudian Rarasantang datang mencium tangan Ki Danuwarsih. Sanghyang berkata, duhai gadis cantik dari manakah asalimu? Rarasantang menjawab, hamba dari Padjajaran mencari kakanda Walangsungsang namanya. Barangkali paduka dapat menolong hamba, ke manakah ia perginya? Walangsungsang itu saudaramu ? begitu tegur sang pandita.

Kemudian Walangsungsang segera menubruk adiknya. Mereka berangkulan menumpahkan rindu, titik-titik air mata sang gadis berderai, Kemudian sang pandita berkata, sudahlah jangan bertangis-tangisan. Terimalah ini cincin pusaka Dewata, ali-ali Ampal namanya. Manfaatnya lebih sakti, bisa memuat lautan dan gunung, luasnya seperti alam semesta jagat raya ini’. Pangeran pun segera menerirna cincin wasiat pusaka Dewata itu dan segera dipakainya. Setelah menghias jari manisnya telah menyatu ke dalam daging dan kulit. Lalu sang pandita berkata lagi, aku nikahkan engkau dengan anakku satu- satunya ini, Indanggeulis narnanya. Sang pangeran pun menerima Nyi Indanggeulis sebagai isterinya. Sang pangeran kemudian mohon ijin untuk meneruskan perjalanannya. Lalu sang pandita berkata, Pangeran agar berganti nama Cakrabuwana sebagai nama pemberian dariku. Lalu rnampirlah engkau ke pertapaan di gunung Siangkup. Di sana berdiam Sanghyang Nago yang juga masih saudaraku. Kemudian sang pangeran mohon pamit untuk berangkat bersama adik perempuan dan isteri tercintanya.

Singkatnya cerita sang pangeran telah tiba di Gunung Siangkup. Sanghyang Nago yang tengah bertapa untuk mengetahui hidup dalam dua analisa pandang, menyatunya antara badan wadah dan sukma, tragedi sinar matahari kembar, itulah sejatinya hidup birahi kepada dirinya dengan tanpa putus menyerahkan panca inderanya. Lalu berkatalah ia, wahai, kalian berbahagialah yang baru datang. Dari manakah kalian datang ? LaIu pangeran pun menjawab sangat hormat, duhai sang pertapa, hamba ini datang dari Padjadjaran, nama hamba Cakrabuwana, hendak mencari guru ajaran Muhammad. Di sini tak ada agama Muhammad. Tapi aku tahu dalam Ogan Lopiyan, jikalau aku ini menjumpai kamu, berarti jadilah kamu bibit Islam dan ini berakhirnya agama leluhur kita. Tetapi aku tak mau berbicara tentang agama Islam. Hanya terimalah ini perlengkapanmu dari pusaka Dewata sebilah Golok Cabang, kasiatnya dapat terbang, bisa berbicara bagai manusia dan bisa mengeluarkan api. Dan aku beri nama kamu Kyai Sangkan. Selanjutnya pergilah dahulu ke gunung Kumbang. Di sana ada seorang wiku sedang bertapa meningkatkan wibawa yang berwujud ular naga. Ular naga itu memiliki pusaka, pintalah itu. Syahdan, sampailah sang pangeran di puncak Gunung Kumbang. Lalu sang Nagaraja waspada dan ia berkata dalam hati, inilah rupanya orang yang berhak menerima pusaka Dewata yang sanggup merawat dan memiiiki dengan baik. Lalu diserahkanlah pusaka Dewata itu yang berupa umbul-umbul dan kopiyah yang terbuat dari “Waring” atau bagor, setelah penyerahan serba cepat itu sang Nagaraja pun menghilang, kemudian suaranya dengan tanpa rupa menggema, Wahai sang pangeran, pergilah engkau ke gunung Cangak, di sana ada pandita raja berwujud burung Bangau. Di sanalah tersimpan pusaka “Panjang Jimat’ dan Gamelan Sekaten. Dia hanyalah memelihara dan menjaga, sesungguhnya pusaka itu milikmu semata. Kemudian segera sang pangeran pergi ke gunung Cangak dan seteIah sampai, sang pangeran bertemu dengan Sanghyang Bango. Lalu Shangyang Bango segera menyerahkan pusaka itu kepada sang pangeran, lalu segera ia masukkan ke dalam ali-ali Ampal. Selanjutnya Sanghyang Bango berkata, aku beri nama engkau Ki Kuncung.

Nur ilahi merambah dari puncak Giri lalu Cipta Rengga (Gunung Amparan Jati). Jalan ke martdhotillah adalah suatu fitrah manusia yang dari unsur tidak Ada lalu ada dan kemudian tidak ada lagi. Kuncinya adalah dari sejak “ada” setiap detik nadinya harus bernada amal soleh sampai detik nadi yang terakhir, yakni untuk menjalankan, melaksanakan perintah Tuhan dan rnenjauhi larangan-Nya (amal ma’ruf nahi munkar). Pangeran Walangsungsang telah sampai di puncak Gunung Amparan Jati dan langsung mencium tangan Syekh Dzatuk Kahfi. dari Mekah asalnya. Ia termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW. Ia tengah prihatin mandiri untuk menggeluti jati dirinya. Pandangannya hanya kepada Allah SW’I semata.

Menunggu kehadiran fitrah murni manusia muslim, lalu katanya, Wahai sang pemuda, dari manakah asalmu dan siapa namamu ? Hamba dari Padjadjaran, nama hamba Walangsungsang. Hamba putra sang Prabu Siliwangi. Ini isteriku Indanggeulis dan adik perempuan hamba, Rarasantang namanya. Hamba ingin berguru agama Islam, ingin berbakti kepada sang guru Nurul Jati yang berdiam di gunung Amparan Jati. Oleh karena itu hamba mohon petunjuk di manakah Syekh Dzatuk Kahfi. Syekh Nurul Jati menjawab, akulah Syekh Datuk Kahfi. Alhamdulillah, sudah kehendak Allah SWT beranjak dari alamat juga terbukanya ajaran Muhammad Rasullah SAW. Tercenganglah Walangsungsang sambil meneteskan air mata bahagia. Toh, akhirnya sampailah ke jalan Tuhan menuju mardhotillah semata, hari ini terkabul, Walangsungsang terimalah ajaran Islam dari saya ini sudah dipastikan engkau akan menjadi kekuatan pemula negara dan agama IsLam. Oleh karena itulah engkau buka tanah sebelah selatan gunung Amparan Jati ini yang dikenal Kebon Pesisir. Bangunlah engkau di sana sebagai tempat mukimmu dan tempat mukim orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk perjuanganmu”.

Kemudian sang pangeran melaksanakan perintah sang gurunya untuk membuka hutan Kebon Pesisir itu. Di sinilah akhirnya “Hari Jadi Cirebon’ yang dimemorikan pada Minggu Kliwon, tanggal 1 Sura tahun Saka 1367 / 1 Muharam, tahun Hijriyah 867/1445 M. Tanggal 1 Sura / 1 Muharram pangeran Cakrabuana telaksanakan membuka pemukiman pada hari pertamanya dijadikan Hari Jadi Cirebon. Pangeran Walangsungsang menerima perintah dan mohon ijin untuk pengabdiannya sebagai Santri terpilih. Kemudian ia keluarkan “Golok Cabang” untuk membabat hutan dengan sendirinya. Pohon-pohon rebah, dari golok itu keluarlah api, lalu terbakar habis, berubahlah menjadi tanah lapang luas seribu jengkal persegi.

Selanjutnya pondok Ki Danusela (adik Ki Danuwarsih) yang telah ada diperbaiki, yang lama-kelamaan hingga sekarang menjadi Keraton Kanoman. Pondok itu kini telah menjadi bangsal Witana (bangsal yang digunakan sebagai bangsal Abhiseka sultan-sultan di Kesultanan Kanoman). Adiknya dan isterinya dikeluarkan dari ali-ali Arnpalnya lalu mereka berkumpul di pondok Ki Danusela. Menurut petunjuk gurunya, Ki Danusela agar dilantik menjadi Kuwu Cirebon I, sedangkan sang pangeran dijadikan wakil, Raksabumi, dengan gelar Ki Cakrabumi. Tiap harinya ia menangkap ikan dan rebon. Rebon-rebon itu dibuatlah terasi dan petis.

Kemudian sang gurunya berkata, Sang pangeran pergilah engkau naik haji ke Baittullah Mekah bersama adikmu. Isterimu kau tinggal, sebab ia sedang hamil. bawalah surat ini kepada Syekh Bayanullah di Mekah, ia adalah adikku di sana. Segera perintah sang guru akan hamba laksanakan, begitu jawab sang pangeran mantap. Singkatnya ia sampailah ke Tanah Suci menjumpai Syekh Bayanullah untuk menyerahkan surat gurunya. Lalu syekh Bayanullah bertanya, wahai Jawa, sekarang Syekh Datuk Kahfi ada di mana ? Beliau ada di Jawa dan akulah santrinya, jawab sang pangeran. Alhamdulillah, itulah harapanku, bila kau pulang nanti aku ikut bersamamu. Persilahkan Tuan, saya akan bersenang Hati. Saya ingin berguru juga kepadamu bila Tuan berkenan, Oh, tentu saja, jawab Syekh Bayanullah dengan ramah. Pangeran Walangsungsang kemudian menerima pelajarannya.

Akhirnya Syekh Bayan kehabisan ilmu. Seluruh Al-Quran telah dimengerti, lalu Syekh Bayan tidak bisa rnengajarkan lagi. Akhirnya Syekh Bayan terlalu banyak bicara saja, karena santrinya sudah lebih pintar dari dirinya. Syahdan cerita beralih di kerajaan Mesir. Rajanya telah berkabung dengan wafatnya sang perrnaisuri. Karena ia amat rnencintai isterinya, lalu ia menderita berkepanjangan. Setiap malam orang berdzikir turut memikirkan keprihatinan rajanya.

Suatu hari, sultan Khut Abdullah rnengutus patihnya, Wahai Anwar, carilah seorang isteri yang sama dengan almarhumah dan penampilannya harus benar- benar mirip. Apabila rnelampaui berwindu sekalipun engkau tak boleh kembali sebelum memperoleh hasil. Berangkatlah Ki Patih Anwar untuk memenuhi titah sang sultan. Ia melewati negara-negara manca, seperti keseberang. Ia ke Syam, Turki, Iran kembali ke Mekah. Di sana kebetulan sedang saatnya menunaikan ibadah haji. Ia IaIu menghadang orang-orang yang sedang berhaji. Ribuan manusia yang baru saja selesai haji, Ki Patih meneliti kalau-kalau ada seorang perempuan yang mirip dan sepadan dengan almarhumah permaisuri junjungannya. Ki Patih tajam penglihatannya. Ia memperhatikan seorang perempuan.yang tak salah lagi amat mirip dan sepadan, lalu segera saja memberhentikan orang itu, mohon maafku, ya sang pangeran. Aku bertanya dari manakah asal negeri Tuan? saya dari Jawa, sedang melakukan haji di sini. Saya rnondok di syekh Bayan, sedangkan perempuan ini adalah adik saya, begitu penjelasan Pangeran Haji. Bagus, bagus, bolehkah bila saya menyertai kalian untuk dapat menjumpai Syekh Bayan ? tentu saja boleh, silahkan,,.

Dikarenakan sultan Khut Abdullah isterinya dan tak sabar menanti utusan muncul. semakin prihatin, semakin kerinduan yang telah dinantikan. Singkatnya cerita Ki Patih datang menghadap raja sambil nnembawa tiga orang tamu, kemudian raja Mesir berkata, bagaimana, berhasilkah wahai patih ? inilah orang Jawa yang tengah haji. bernama Rarasantang.

Kemudian sang raja memerintahkan Syekh Bayan segera menghadap, wahai Syekh Bayan, saya minta tamu anda akan saya nikah. Kami persilahkan tuanku tanyakan kepada saudara laki-lakinya yang berhak menjawab, begitu jawab Syekh Bayan. Kemudian Rarasantang dinikah sang raja dengan wali nikahnya kakaknya sendiri. Mas kawinnya adalah sorban pusaka milik Nabi Muhammad SAW yang panjangnya 40 depa (kira-kira 1,25 meter per depa) terbagi dua. Bagian yang berumbai dan tersulamkan emas terbawa ke Jawa dengan bertuliskan Nabi Muhammad SAW. Kakak, terima-lah ini sebagai upah wali nikah adikmu, begitu ucap sang raja Mesir. Walangsungsang menerimanya dengan senang hati, lalu sorban itu langsung di simpannya dalam ali-ali Ampal. Pandai-pandailah membawa diri, jadilah isteri yang tahu berbakti kepada suami. Kakak akan segera pulang, begitu ujar walangsungsang, lalu meneruskan perjalanannya kembali ke Mekah. Sebulan setelah pondok di rumah Syekh Bayan, sang pangeran barulah lepas pulang ke Jawa.

Perjalanannya senantiasa menyinggahi Negara lain-lain. Campa, Mandala Upih dan tersebutlah di Aceh sedang dilanda wabah penyakit. Rakyat, banyak yang rneninggal dunia. Sang Raja Sultan Aceh sedang sakit berat, ia sudah tidak masuk nasi maupun air. Para bupati dan prajurit berjaga-jaga dengan perasaan was-was. Para inang yang memelihara dan menjaga sakitnya sang Sultan. Di luar heran ada seorang laki-laki datang, siapakah Tuan ini ? Begitu tanya pembantu istana itu. Saya berasal dari Jawa, ingin menengok sultan, begitu ujar Walangsungsang. Maaf saudara, anda tak diperkenankan masuk ke istana. Para bupati pun tidak diperkenankan karena paduka Sultan sedang sakit keras. Orang Jawa itu memaksa, sampaikanlah kepada sang Sultan, saya sanggup menyembuhkan sakitnya Sultan. Kemudian pembantu istana itu tentu saja segera menyampaikan hal ini kepada sultan, akan tetapi apa mau dikata, sultan sudah, tak sanggup apa-apa.

Akhirnya tamu dari Jawa itu diperkenankan masuk istana dan langsung memasuki ruangan dimana sang sultan tergeletak di tempat tidurnya. Duhai adikku sultan, asalmu itu sehat, maka engkau kembalikan sehat, begitu ujar Syekh Abdul Iman, seorang haji Jawa yang tidak lain adalah Walangsungsang, sambil mernberi tangan untuk bersalaman kepada raja. Tentu saja membuat terkejut seluruh penghuni istana melihat kejadian itu. Hal itu tidak lain berkat kasiat dari ali-ali Ampal sang pangeran yang telah menyatu dengan daging dan kulit. Selanjutnya sang sultan duduk sejajar dengan tamunya, lalu sabdanya, duhai kakakku, terimakasih atas kedatanganmu. Apakah ada keperluan yang penting ? Tidak juga, saya hanya sedang berkeliling dan kebetulan mampir ke sini, menengok anda yang kabarnya anda sedang sakit. kemudian mendengar ada suara bayi menangis terus-menerus, sampai- sampai para pernbantu turut menangisi pula sebab amat kasihan. Oh, keluarga kami memang sedang terkena musibah. Itu adalah bayiku, ibunya baru meninggal dunia”, begitu sabda sultan sambil bersedih. Aku bawa saja bayi yang cantik ini, ujar Abdul Iman. Tentu saja aku persilahkan, kelihatan bayi itu kini sehat, begitu ucap sultan terkagum-kagum. Aku mohon pamit Sultan dan kubawa bayi ini. Kelak ia menjadi gadis yang amat baik. Sultan Aceh pun melepaskan kepergian tamunya dengan senang hati, karena musibah negara itu kini telah sirna.

Sedangkan bayi yang dibawa sang pangeran ini setelah di Cirebon terkenal dengan narna Nyi Mas Gandasari. Syahdan raja Mesir telah berbulan madu dengan isteri tercintanya Nyi Mas Rarasantang -yang telah beralih nama dengan Syarifah Mudaim. Tetapi masa-rnasa bulan madunya amat mengesalkan hatinya, karena Syarifah Mudaim belum berkenan diajak menikmati kemesraan fisiknya, karena sang isteri selalu menangis karena ia senantiasa ingat kakaknya saja. Aku amat heran, engkau senantiasa bersedih. Apakah engkau tidak mencintaiku? ceritakan apa maumu sesungguhnya? ujar sultan Mesir. Duhai suamiku, junjunganku. Maafkan hamba apabila kanda prabu menjadi bimbang dan ragu. Sesungguhnya ada permohonan hamba selama jni. Hamba ingin punya anak laki-laki bagus rupa dan bagus hati, luar biasa, serta ditakuti dan diasihi oleh para Wali Allah. Sang raja tertegun dan termangu setelah mendengar isterinya berkata demikian. Jelas-jelas suatu permintaan di luar kemampuan manusia dan menguji diriku sebagai suaminya, begitu ucap dalam hati dan kemudian sang raja, di kamar semedinya berhari-hari, bersemedi mohon petunjuk Illahi Robbi agar memperoleh anugerah kebeningan kalbu. Suatu saat, seolah sang raja mendengar suara gaib dan terasa getaran suara tanpa rupa itu amat agung, “Wahai sang raja Mesir bersabarlah, sanggupilah permintaan isterimu itu”. Tuhanlah yang Maha Mengetahui lagi Maha penyayang,,. Singkatnya cerita sang raja Mesir telah mempunyai dua orang anak laki-laki yang sulung bernama Syarif Hidayatullah dan adiknya bernama Syarif Nurullah.

Wallahu alam bissawab.

Cirebon, Rabu malam Kamis Legi 1 Suro Ram-Ji-Ji Aboge Tahun Be-Mis-Gi 1952 Saka / 1 Muharam 1440 Hijriyah/12 September 2018 Masehi


Sumber :
- Babad Cirebon Keraton Kanoman 

Baca Juga :

Tidak ada komentar