Suku Sunda Tradisional Kanekes di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten



Pada tanggal 10-13 September 2019, Komunitas Kebudayaan Tantungan Insun Medal Madangan (TIMM) Sumedang mengadakan Agenda kunjungan Silaturahmi ke Para Puun Baduy Dalam yaitu : Cikerterwarna, Cikeusik dan Cibeo, yang diantar oleh Jaro Luar Ciboleger Acin sebagai mediator dan guidenya. 


Asal-usul Orang Baduy Kanekes
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. 



Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut Prabu Nusiya Mulya atau Panembahan Pucuk Umun Pulosari yang beribukota di Kadu Hedjo Pandeglang Banten,  menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan Pajajaran yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. 

Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut. Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Kerajaan Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Anis Djatisunda, orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan adalah asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Prabu Rakeyan Darmasiksa.


Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Hindu, Budha dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari pikukuh atau kepatuhan Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin : Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa atau tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa atau tidak boleh disambung).

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.




Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Sasaka Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kelima. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Sasaka Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. 

Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Sistem Kepercayaan
a. Sistem kepercayaan yang dianut Mayoritas suku Kanekes mengakui kepercayaan Sunda Wiwitan yang meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.

b. Kewajiban dalam kepercayaan 
Ada 5 Upacara penting yaitu :
1. Upacara Kawalu yang dilakukan dalam rangka menyAmbut bulan Kawalu yang dianggap suci oleh masyarakat Baduy.
2. Upacara Ngalaksa yang dilakukan sebaagai ucapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat Baduy dengan pemerintah.
4. Upacara menanam padi
5. Upacara kelahiran

Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Pu'un.

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah Pu'un yang ada di kampung tilu tangtu tangtu (Cikertarwarna - Cikeusi - Cibeo). Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan atau pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung atau aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non - WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Pernikahan Suku Baduy
Sebelum menikah ada yang namanya pendekatan, mereka tidak boleh berdua tapi harus ada yang mengantarkan. Jika diketahui terjadi pegangan tangan akan dihukum 40 hari 40 malam oleh Jaro 7 atau dikeluarkan dari Baduy Dalam. Jika terjadi perzinahan akan mendapat kesusahan, pasangan tersebut akan sulit mendapat bantuan saat proses persalinan, pasangan tersbut harus menikah kemudian pasangan tersebut harus bercerai dulu, lalu dilakukan penobatan (tobat) di Lembaga Adat, sehingga hukumannya sangat memalukan, dengan demikian tercipta rasa takut untuk melakukan hal tersebut.

Pasangan di Suku Baduy menikah dengan mengucapkan syahadat yang berlaku sesuai Adat Baduy. Suku Baduy melarang adanya perceraian, namun masih ada perceraian yang terjadi. Suku Baduy melarang adanya poligami. Tidak diperkenankan menikah dengan sesama anggota keluarga.

Pemerintahan Suku Baduy
Suku Baduy memiliki pemimpin yang bernama Puun (dibaca : pu'un). Puun dipilih dan diangkat melalui musyawarah, tidak dari garis keturunan dan dapat diganti saat dibutuhkan atau usianya sudah tua. Puun dibantu oleh para Jaro yang memiliki tugas masing-masing. Jaro 7 dan dan jaro 12 bertugas sebagai penjembatan masyarakat baduy dengan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan program pemerintah.


Kesehatan Suku Baduy
Ada tiga tahapan pengobatan bagi orang Suku Baduy yang sakit, Jika dari mereka ada yang sakit, yang pertama dilakukan adalah memberikan pengobatan dengan obat-obatan yang berasal dari tanaman (herbal), kemudian jika masih tidak dapat diobati akan diberikan mantra-mantra, dan jika masih tidak dapat sembuh juga baru dapat dilarikan ke dokter terdekat.

Pemakaman Suku Baduy
Jenazah Suku Baduy akan dikuburkan di tempat tertentu, setelah 7 hari 7 malam kuburan tersebut dapat digunakan kembali untuk berladang. Hal ini lah yang menyebabkan anda tidak akan menemukan kuburan di Suku Baduy.


Kesenian Suku Baduy
Masyarakat Suku Baduy sering memaikan alat musik kecapi, degung dan angklung, alat musik ini dimainkan di acara adat dan pernikahan.


Ritual Suku Baduy
Suku Baduy memiliki hari raya sendiri yaitu Hari Raya Seren Taun, atau disebut juga Kawalu yang lamanya hingga 3 bulan. Saat perayaan Kawalu, pelancong tidak diizinkan masuk hingga Baduy Dalam karena disana digelar upacara adat.

Selain itu adapula Tradisi atau Ritual Seba, ritual ini adalah bentuk silaturahim Suku Baduy dengan Kepala Pemerintahan. Terdapat 2 jenis Seba, pertama adalah Seba kecil yaitu dilakukan di lingkungan sendiri tanpa perlu keluar kampung, adapula yang kedua adalah Seba besar yaitu wajib hukumnya untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin pemerintahan dengan membawa hasil bumi, terutama laksa (intisari padi hasil panen seluruh masyarakat baduy yang dikeringkan dan disatukan). Pada Seba Besar mereka melakukan silaturahim dengan Bupati Lebak di Kota Rangkasbitung kemudian dilanjutkan ke Gubernur Banten di Kota Serang yang memakan waktu 3 hari dengan berjalan kaki. Menurut sejarah, Seba dilakukan dari kesepakatan Suku Baduy dengan  Kesultanan Surasowan Banten pada masa silam, dan terus dilanjutkan hingga kini. Kegiatan Seba ini dilaksanakan setahun sekali. 

Tempat Suci Suku Baduy
Saka Domas adalah tempat suci Suku Baduy. Saka Domas diperkirakan seluas 30 Ha dan tempat ini sangat dirahasiakan oleh Suku Baduy. Saka Domas sangat dijaga dan dipelihara agar tidak rusak oleh masyarakat Suku Baduy supaya terhindar dari bencana gempa dan sebagainya. Saka Domas diceritakan terdapat bebatuan dan tidak ada arca apapun disana.

Hukum Adat Suku Baduy
Suku Baduy tidak mengenal budaya tulis, mereka hanya mengenal budaya bicara/ nasihat. Karena menurut mereka tulisan dapat hilang, sedangkan nasihat dapat masuk ke hati dan dapat diwujudkan dengan tingkah laku sehingga tidak hilang dari hingatan. Jika ada kejadian pencurian di masyarakat Suku Baduy, akan dilakukan pertemuan adat yang kemudian akan diberikan pelajaran atau hukum adat kepada pelaku hingga pelaku sadar akan kesalahannya. 

Jika masalahnya besar akan dibawa ke kantor kepala desa dan biasanya sudah dapat diselesaikan disana. Di dalam masyarakat Suku Baduy belum pernah terjadi peristiwa pembunuhan.

Suku Baduy melarang turis berkebangsaan kaukasoid / kulit putih maupun kulit hitam untuk masuk mengunjungi Suku Baduy.

Ketahanan Pangan Suku Baduy
Makanan utama suku baduy adalah nasi dan garam, jika ada rezeki mereka bisa menambahkan menu dengan ikan. Oleh karena makanan pokok mereka adalah beras, mereka memiliki banyak huma atau ladang, untuk menanam padi di bukit-bukit.  

Suku Baduy luar dan dalammenyimpan hasil panen padi mereka di dalam leuit atau lumbung. Padi di dalam leuit dapat digunakan jika kampung dalam bahaya. Setiap keluarga di Suku Baduy memiliki leuit masing-masing. Leuit ini dapat membuat padi bertahan hingga 200 tahun lamanya. 



Perumahan Suku Baduy
Suku Baduy membuat rumah mereka secara gotong royong. Konstruksinya di gambar oleh Suku Baduy yang ahli membuat rumah. Tanah yang ada di kampung ini bisa dijual belikan namun biasanya sudah diplotkan kepemilikannya.


Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto.

Etimologi
Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” Lintang Selatan dan 108°3’9” – 106°4’55” Bujur Timur. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung.

Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 meter di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.




Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan atau agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.



Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis menggambar.

Kelompok masyarakat
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung : Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)


Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain :
  1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  2. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  3. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  4. Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  5. Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
  6. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Ciboleger, Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. 

Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar :
•  Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
•  Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
•  Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
• Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
• Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
• Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
• Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring, gelas kaca dan plastik.
• Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Kelompok Masyarakat
Kelompok masyarakat suku  baduy dibagi menjadi dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok baduy dalam atau kelompok tangtu dan kelompok baduy luar atau sering disebut kelompok masyarakat panamping.

Kelompok Tangtu (Baduy Dalam)
Kelompok tangtu merupakan kelompok baduy dalam yang bertempat tinggal di pedalaman hutan yang letaknya masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. suku ini paling patuh pada hukum adat berupa aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh kepala adat, masyarakat baduy dalam terdiri dari tiga wilayah penyebaran yaitu di kampung Cibeo, Cikartawan, dan Cikeusik. Ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat suku baduy dalam adalah dari pakaianya yang masih memakai pakaian berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok.

Pakaian yang mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak menggunakan alas kaki. Mereka pergi dengan hanya berjalan kaki tanpa alas kaki dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka ketahui adalah Aksara Hanacaraka dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar, mereka juga hidup tanpa menggunakan listrik. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu, mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. Sebagai pembatas antara baduy luar dan baduy dalam terdapat sebuah aliran sungai  jembatan bambu, begitu juga baduy dalam dan baduy dalam lainnya. 


Kelompok Masyarakat Baduy Luar (Panamping)
Masyarakat Baduy Luar mempunyai ciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah dan menggunkan uang. Umumnya masyarakat baduy luar tinggal di desa Ciboleger, Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang letaknya mengelilingi wilayah tinggal baduy dalam.












Pakaian Suku Baduy
Pakaian suku baduy seperti halnya dengan kelompok masyarakatnya, setiap kelompok masyarakat sebenarnya memiliki pakainan adat yang sama akan tetapi dibedakan dengan warna yang dikenakan. Untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada.

Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang  yang ditenun sendiri.


Pakaian untuk Baduy Dalam (Kelompok Tangtu)
para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, serba putih polosyang merupakan simbol  dari makna suci bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatan busana ini hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang kemudian ditenun.

Puun Cikertawarna

Untuk di bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang, sarung kemudian diikat dengan selembar kain. Kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala warna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.

Pakaian Untuk Baduy Luar (Kelompok Masyarakat Panamping)
busana yang di pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memang ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.





Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar menggambarkan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.

Salam Santun.




Baca Juga :

Tidak ada komentar