Apa Itu Galuh?
Galuh Pakuan Di Ciduging Darmaraja Sumedang
Dalam Buku Pakuning Alam Darmaraja diterangkan keberadaan Galuh Pakuan di masa Permana Dikusuma / Ajar Padang, masa kecil Prabu Ciung Wanara yang diurus oleh Aki Balangantrang (Aria Bimaraksa / Resi Putih), ayahnya Prabu Guru Aji Putih, sbb :
[376] Geus nelah Ciung Wanara, ayeuna teu dicaritakeun lalakonna, Ciungwanara ka Aki Balangatrang matur, kuring ayeuna ka nagara hayang ngadeuheus ka Ratu, seja kuring ngadu hayam, manawi diaku ku gusti Ratu.[377] Ciungwanara geus mangkat, gancangna datang kakamantrian, geus ngadeuheusan ka Ratu, Ciduging geus pindah, pindahna ka Bojong Galuh, eta ngarana Galuh Bondan, Ciung Wanara geus ngadeuheus ka gusti. (Naskah Buku Pakuning Alam Darmaraja)
Ini salah satu info tentang posisi Galuh Pakuan 1*), yang hingga kini menjadi polemik. Ada yang berpendapat Galuh Pakuan itu di Rawa Lakbok, ada juga yang berpendapat di Darma Kuningan, dll.
Naskah Cipaku (Pakuning Alam) memberikan informasi berbeda tentang keberadaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Sang Wretikandayun 14 Suklapaksa Csitra 534 Caka / 23 Maret 612 M, yaitu satu tempat di Darmaraja, Ciduging. Tempat dimana Ciung Wanara berencana mengadu ayamnya dengan Tamperan Barmawijaya / Panaraban.
Tamperan adalah raja Galuh pengganti ayahnya Ciung Wanara yaitu Prabu Luhur Mulya Permana Dikusuma atau yang memiliki julukan Ratu Galuh, yang mengundurkan diri sebagai Raja di Galuh karena hanya sebagai raja boneka Sanjaya. Setelah mengundurkan diri dari tahta Galuh beliau dikenal sebagai Ajar Padang.
Kalimat "Ciduging geus pindah, pindahna ka Bojong Galuh", ini memberi indikator bahwa Ciduging adalah tempat pertama sebelum kerajaan pindah ke Bojong (Karang Kamulyan / Bojong Galuh). Artinya Ciduging adalah nama lain untuk Galuh Pakuan di masa Permana Di Kusuma putra Wijaya Kusuma putra dari Prabu Purbasora.
Bukti Situs dan Nama Tempat : Situs Gunung Padang atau Gunung Susuru Darmaraja, Ciseuma, Cijawura, Puncak Damar, Ciduging jsb, semua tempat tersebut ada di Wilayah Darmaraja Sumedang.
Keterangan
1*) Galuh Pakuan: terdiri dari 2 kata Galuh dan Pakuan
Dalam naskah Cipaku Galuh berasal dari Galih Galuh termasuk salah satu dari 3 manusia pertama yang diciptakan oleh Gusti Allah dari Nur Muhammad, ketiganya adalah:
1. Galih Galuh
2. Perbu Rosul
3. Tajimanusa Adam
Ketiganya dicipta di alam kalanggengan, kemudian ketiganya diturunkan ke alam padang dan titik mereka diturunkan di alam padang disebut Pakuning Alam.
Saat kali pertama diturunkan ke jagat (bumi) dimana air masih 100% menyelubunginya, yang dalam Tarekat Sattariyah disebut Iwak Telu Sirah Sanunggal.
Saat ketiganya kembali ke kalanggengan, yang menjadi utusan pertama Gusti Allah adalah Galih Galuh dan di Alam Padang (alam dunia) mendapat gelar Ratu Galuh dan Pakuning Alam kemudian menjadi keratonnya.
Karenanya Permana Dikusuma memberi namanya Galuh Pakuan artinya Galuh disekitar Pakuning Alam.
Ciduging kata dasarnya Dugi atau sampai. Hal ini murujuk kepada apa yang menjadi misi awal Maharesi Guru Manikmaya leluhur Sang Wretikandayun tentang tokoh Ratu Galuh yang terdapat dalam catatan di Hindustan. Dimana di era Sang Wretikandayun misi dari leluhurnya itu tercapai.
Sang Tamperan Barmawijaya (putra Sanjaya) atau Panaraban (654-661) Saka / (732-739) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda saat setelah naik tahta menggantikan Permana Dikusuma (Ajar Padang), beliau memindahkan Galuh ke wilayah Bojong. Sejak itulah nama Galuh Pakuan hilang dan berubah menjadi Galuh Bojong, yang saat ini dikenal dengan Karang Kamulyaan di Kab. Ciamis.
Prabu Guru Aji Putih putra sulung Aria Bimaraksa atau Ki Balangantrang saat setelah Tamperan memindahkan Kerajaan Galuh ke Bojong, beliau mendirikan Kerajaan Tembong Agung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 678 M di Leuwi Hideung tidak jauh dari Ciduging.
Saat ini posisi Pakuning Alam dan Ciduging sebagian besar telah tenggelam oleh proyek bendungan Jati Gede - Sumedang.
Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya Galuh Berarti Putri Bangsawan Atau Sejenis Batu Permata
Diambil dari : Harian Pikiran Rakyat, 15 Mei 1990, Oleh Atja
Tanggal 16-19 Mei, di Tasikmalaya diadakan Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh. Seminar yang diselenggarakan oleh Unsil bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh itu membahas sejarah Galuh ditinjau dari berbagai kajian, antara lain epigrafi, filologi, arkeologi, numismatik dan sehagainya.
Untuk membuka pemahaman pembaca terhadap “Galuh”, “PR” menurunkan tulisan ahli sejarah, Drs. Atja. Tulisan ini berupa makalah yang juga disampaikan pada seminar di Tasikmalaya itu. Kami muat secara bersambung mulai hari ini. (redaksi)
Toponim suatu tempat sering sangat penting bagi suatu kajian serajah, karena di dalamnya terkandung nilai sejarah baik yang berhubungan dengan lingkungan alam maupun dengan kehidupan manusia yang menempatinya. Di samping itu penamaan suatu tempat merupakan ciptaan manusia yang sengaja dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan, mitologi, legenda, sejarah dan lain-lain. Itulah sebabnya di sini akan dicoba ditelusuri nama tempat dalam pasang surutnya, yang menjadi sorotan kini ialah “Galuh”, dan tempat lainnya yang diperkirakan ada kaitannya.
Seorang pakar yang telah memperhatikan dengan saksama perihal nama “Galuh” ialah mendiang Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka (baca: Purbocoroko). Beliau menulis sebuah makalah secara khusus tentang Galuh dalam majalah “Bahasa dan Budaya”. Tahun III, No.2, December 1954, halaman 6-10, berjudul: “3 Galuh”.
Untuk mencari arti leksikal, beliau membuka kamus Jawa (Gericke & Roorda 1901, II), galuh, Kw. zva. putri orang bangsawan dan dewi (Skt. galu, sejenis batu permata). KN nama kabupaten di dalam Keresidenan Cerbon, zaman dulu kota kerajaan. Di dalam kamus Purwodarminto; galuh kl. (kesusastraan lama) ratna (intan); putri (anak raja). Di dalam Kw. Bal. Ned. Wdb Van den Tuuk, kata galuh diterangkan dengan panjang lebar, tetapi artinya: I. antara lain juga cuma mengelilingi arti putri dan permata (emas), II. Nama kerajaan di tanah Jawa (zaman Kuna).
Galuh sebagai nama sebuah kerajaan di Tanah Jawa zaman kuno, Prof. Poerbatjaraka menyebutkan :
I. Terdapat hampir di tiap-tiap Serat Babad yang menceritakan “zaman itu”. Beliau memberi contoh di dalam Serat Babad No. 1 yang disimpan di Lembaga Bahasa dan Budaya (kini: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), hlm. 257, tentang perangnya Raja Banjaransari yang bermusuhan dengan raja (jin) perempuan di Galuh.
II. Di dalam Babad Tanah Jawi, sebagai negara Arya Bangah (ed. Meinsma-Olthof 1941).
III. Di dalam Serat Aji Saka, sebagai Raja Sindula, ayah Sang Dewata-cengkar, Negara Galuh ini diceritakan ketika diserang perang oleh Dewata-cengkar, sekonyong-konyong ilang menjadi utan. (Serat Aji Saka oleh CF Winter 1857).
IV. Di dalam Carita Parahiyangan, sebagai negara Raja Sanjaya. Sungguhpun cerita no. I, II,
III itu cuma cerita sebagai dongeng pula, tetapi dongeng yang sangat mendekati cerita riwayat (Riwayat Indonesia I 1952: 61).
V. Galuh ditambah Ujung, jadi Ujung-Galuh, nama tempat, yang dikatakan bula mengasingkan sang Jayakatwang, raja di Kediri oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit yang pertama (Pararaton 1920).
VI. Ada nama Galuh pula yang ditambah awalan pra, jadi Pragaluh, ialah nama desa atau daerah, yang terdapat pada batu tulis, yang terdapat di Desa Gandasuli (Kedu), yang masih terletak di tempatnya (De Casparis 1950: 62). Kabar inilah yang mempunyai derajat bahan epigrafi, yang di dalam ilmu pengetahuan sejarah sangat pentingnya.
VII. Galuh sebagai betul-betul nama ilmu bumi di Tanah Jawa, terdapat di dalam karangan CM Pleyte, seorang yang boleh dianggap ahli dalam ilmu Kesundaan, yang mengatakan bahwa Galuh sekarang ialah (ongeveer) Ciamis. (Pleyte 1913: (282).
Prof. Poerbatjaraka selanjutnya menunjuk kepada sebuah nama kampung: Begalon di sekitar Keraton Surakarta, menurut tradisi kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang menggosok intan berlian. Katanya, asal-mulanya nama kampung itu tentu : Pegalon, dari Pegaluan dari pegaluhan dari galuh pula. Barangkali keterangan “tempat pegawai tukang menggosok intan-berlian” itu, setelah galuh diberi arti “permata”. Karena itu Prof. Poerbatjaraka mengajukan pertanyaan; mungkinkah bahwa kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang membuat barang perak, barang perak upacara yang besar-besar seperti lancang, sumbul, bokor dan lain-lainnya, karena kampung itu sangat berdekatan dengan Kawatan. Sayangan dan “kemasan”.
Prof. Poerbatjaraka berpendapat, bahwa Galuh sebagai nama tempat, yang letaknya di Tanah Jawa tulen ada di arah barat, maka artinya tanah, daerah, atau Negara Galuh itu ialah tanah, daerah atau Negara Perak.
Dalam karangan no. 4, berjudul Bagelen. Perihal kata itu, beliau menunjuk kepada rangkaian bentuk dari kata: Pegalon dari Pegalon, dari Pegaluan, dari Pegaluhan, dari Galuh. Demikian juga nama Bagelen itu dari Pagelen, dari Pegalian, dari Pegalihan, dari Galih. Adapun kata Galih itu bentuk krama dari Galuh. Prof. Poerbatjaraka memperingatkan, katanya, jangan dicampur bentuk krama dengan kata krama. Yang dimaksud dengan kata krama oleh beliau, ialah : putra, krama, anak ngoko; griya krama, omah ngoko. Sebagai temannya beliau menunjukkan beberapa rangkaian contoh: pangguh; panggih; lungguh; linggih; sungguh; singgih ; suruh; sirih. Maka bendasarkan beberapa contoh, Prof. Poerbatjaraka berkeyakinan, bahwa Pegalihan itu bentuk krama dari Pegaluhan, seperti juga Galih dari Galuh; dan Galih itu di dalam cerita “rakyat” Sunda memang nama negara zaman kuno, cuma saja ditambah Pakuan, menjadi Galuh Pakuan.
Dalam pada itu kesimpulan yang ditarik oleh Prof. Poerbatjaraka, bila keterangan tentang Galuh dan Bagelen digabung, maka sejarah daerah aliran Sungai Bagawanta – Serayu – Citanduy, zaman dulu ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang pusatnya ada di daerah Ciamis sekarang.
1. Bahwa untuk menelusuri perkembangan sejarah Galuh sebagai sebuah pusat kekuasaan raja-raja pada zaman dahulu, hampir dapat dikatakan tidak mungkin mendapat dukungan prasasti-prasasti atau peninggalan purba lainnya, demikian juga berita-berita asing, yang ada hanyalah beberapa naskah, yang tertua sampai kepada kita hanya beberapa buah berasal dari akhir abad ke-16 Masehi dan beberapa buah dari abad ke-17 Masehi. Berbeda dengan sistem penyalinan di daerah kebudayaan Bali, karena mereka masih sangat terikat kepada agama yang sama dengan isi naskah yang disalinnya, mereka berusaha menyalin naskah sepatuh mungkin, biarpun kesalahan kecil-kecil yang tidak mungkin mereka lakukan secara sadar. Sedangkan para penyalin di Jawa Barat menganut agama yang berbeda dengan isi naskah tentang kepercayaan yang lama, mereka merasa lebih bebas melakukan penyalinan kreatif, disesuaikan dengan kepentingan orang atau pembesar yang membiayainya.
Dalam kesempatan berbicara seputar Galuh kali ini, saya ingin mengetengahkan, beberapa naskah, baik yang telah diterbitkan maupun yang belum, yang dianggap berisi semacam “sejarah”, dalam pengertian masa naskah itu ditulis, yang isinya sudah barang tentu terikat kepada “kode budaya” masyarakatnya.
Pengertian “sejarah” (atau “sajarah”) pada masa itu ialah stamboom, bukan geschiedenis atau history. Tetapi “sejarah” pada waktu pendudukan Jepang dipakai pengganti istilah geschiedenis, yang dilarang dipakai di dunia persekolahan pada masa itu, padahal yang lebih dekat artinya, ialah “tarikh”.
Dalam pemakaiannya zaman dulu istilah “sejarah”, dipertukarkan secara bebas dengan kata “silsilah”, yang di Filipina Selatan, disebut “tarsilah” (Majul 1977, 1989).
Istilah “sejarah” pada dasarnya merupakan semacam “catatan”, tentang baris keturunan yang tertulis. Salah satu fungsi yang utama, adalah untuk menelusuri leluhur seseorang atau keluarga hingga pada seorang tokoh yang terkenal pada masa yang lampau, mungkin seorang tokoh politik atau seorang guru agama. Kenyataan ini memberi kesan, bahwa karya “sejarah” demikian tidak dimaksudkan untuk tetap sebagai dokumen sejarah saja. Tetapi sebaliknya catatan garis keturunan itu berfungsi untuk mendukung pengakuan individu-individu dan sesuatu keluarga untuk memperoleh kekuasan politik atau menikmati hak-hak istimewa tertentu yang bersifat tradisional, atau paling tidak menikmati martabat yang lebih tinggi di antara sesama anggota masyarakatnya.
Dengan demikian untuk melayani tujuan-tujuan itu, maka “sejarah” harus dipelihara agar tidak ketinggalan zaman. Bila ditulis pada bahan-bahan yang dapat rusak, seperti kertas, maka isinya harus dilestarikan dengan menyalinnya pada kertas baru. Dengan demikian, usia bahan yang digunakan bukan merupakan petunjuk usia atau keotentikan catatan-catatan itu (Majul 1989: 98-9).
Kalau kita nanti menelaah beberapa jenis naskah yang saya anggap berisi “sejarah”, yang tampaknya bervariasi, maka janganlah dengan serta-merta beranggapan, sebagai dokumen yang berisi silsilah yang memperlihatkan suatu kesalahan. Sesungguhnya silsilah itu bisa berisi pemberian mengenai sebagian tokoh, nama-nama tempat dan data sebenarnya dari peristiwa masa lampau, tetapi juga dimasukkan unsur-unsur mitologis, karena dimaksudkan untuk memenuhi beberapa tujuan di luar fungsi genealogis yang bersangkutan. Mungkin saja untuk sesuatu tujuan beberapa nama disingkirkan, misalnya guna mencegah agar keturunan-keturunan tertentu tidak dapat menuntut haknya atas tahta.
2. Di bawah ini akap saya kupas beberapa naskah :
Kitab Waruga Jagat (untuk selanjutnya disingkat (KWJ) hanyalah sebagian kecil saja dari sebuah naskah, yang kini tersimpan di Museum Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) di Sumedang. Bagian yang lainnya dari naskah tersebut merupakan jenis parimbon, yang isinya terdiri atas bermacam-macam hal, sebagai catatan yang berhubungan dengan ilmu nujum, dalam sastra Melayu disebut pestaka (vademecum).
Bahan naskah bukan dari kertas, melainkan dari bahan yang kita kenal dengan sebutan daluwang (Jawa : dluwang), yang terbuat dari serta kulit pohon “saeh”.
Naskah itu berukuran kuarto. Bagian yang disebut KWJ tertulis dengan huruf pegon (Arab-Jawa), dengan bahasa Jawa-Sunda, tebalnya hanya terdiri atas 12 lembar.
Kecuali sebuah naskah yang tersebut di atas, di museum YPS; tersimpan juga sejumlah naskah yang lain, di antaranya yang sangat menarik, ialah Silsilah Keturunan Bupati-bupati Sumedang, tertulis dengan huruf pegon (Arab-Jawa), dengan bahan kertas Eropa, berukuran folio, ditulis atas nama Raden Adipati Suryalaga II, yang pernah menjadi bupati di Bogor, Karawang dan Sukapura, masa hidupnya sezaman dengan Pangeran Kornel, pada abad 18-19 Masehi.
Sebuah naskah lagi dengan bahan daluwang dalam keadaan sangat rusak, pada mulanya sukar ditebak apa isinya, mempergunakan bahasa dan askara Jawa-Sunda yang sulit dibaca, dalam bentuk puisi/kidung (Sunda : wawacan). Pada awal tahun 1972 bersama Drs. Didi Suryadi almarhum, saya berusaha untuk dapat membaca dan mengetahui garis-garis besar isinya. Akhirnya ada bagian yang terbaca perihal uraian percintaan antara Mundingsari dengan putri Amberkasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah salah satu versi dari apa yang disebut dengan Babad Siliwangi, mungkin salah satu salinannya adalah Babad Siliwangi yang tersimpan di Museum Nasional (kini ditempatkan di Perpustakaan Nasional Jakarta), dengan judul yang sama turunan naskah itu dikerjakan oleh Raden Panji Surya Wijaya, Betawi, 1866 (Poerbatjaraka 1933: 293). Naskah tersebut telah disinggung pula dalam Cariosan Prabu Silihwangi yang disunting oleh Sunarto & Viviene Sukanda-Tessier (1983). Pada dasarnya KWJ menguraikan mata rantai para tokoh yang pernah memegang peranan penting dalam sejarah, yang diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti dalam suasana lslamisasi khususnya di Jawa Barat.
Di dalam KWJ, selain dapat kita telaah deretan penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat tradisional pernah berkuasa di tanah air kita, juga dihubungkan dengan para penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama di dunia Islam, yang menurut anggapan penulisnya, kesemuanya bertalian keluarga satu sama lain. Demikianlah makna yang sesungguhnya dan istilah Waruga Jagat.
Jika kita perhatikan arti kata waruga, maka perlu saya ketengahkan akan makna yang diberikan oleh CM Pleyte dalam karyanya: “De Patapaan Adjar Soekaresi, andere gezegd de kluizenarij op de Goenoeng Padang”, TBG, jilid 55, hal. 380, catatan 2, dia mencoba mengupas pengertian waruga, dalam rangka membicarakan naskah Carita Waruga Guru. Pleyte menulis, makna waruga: belichaming (penjelmaan, pengejawantahan), lichaam (badan, tubuh), dan lijf (badan, tubuh). Dari ketiga arti yang diberikan oleh Pleyte itu, yang lebih mendekati ialah penjelmaan atau pengejawantahan. Pengejawantahan tokoh-tokoh, yang memegang peranan penting di dunia, ditinjau dari wawasan dan sudut pandangan penulis.
Kata waruga dalam Bahasa Jawa Kuno sebagaimana dicatat oleh Prof. Zoetmulder (1982: 2211), a Mind of building (“bale”? hall, pendopo?), sedangkan pada tempat sebelumnya dicatat pula kata: waruga I a part. official or functionary. Van der Tuuk (1901) mencatat tentang arti waruga dalam beberapa bahasa yang bersaudara, dalam Bahasa Bali, waruga : bale, Sasak, barugaq; bale; Bima, paruga: rumah-rumahan di atas kuburan; Sangir, bahugha, Rejang, Bugis, Makasar, baruga; Lampung, parugan, berugu (baca: baruga), bangunan berbentuk kubah atau anjung di muka atau di samping rumah tempat wanita bertenun; Bengkulu, brogo– ruangan tempat duduk-duduk.
3. Pada halaman 12, ditulis kolofon, berbunyi: tamat kitab waruga jagat tutug ing tulis ing malem Salasa wulan Rayagung ping 8 tahun alip 1117 hijrah. kang gaduh mas ngabehi prana. (Tamat Kitab Waruga Jagat, selesai ditulis pada Senin malam, bulan Zulhijjah, tanggal 8, Tahun Alip, 1117 Hijrah (23 Maret 1706 Masehi), kepunyaan Mas Ngabehi Prana.
Kitab Waruga Jagat ini selanjutnya dilengkapi dengan paririmbon, terdiri atas :
(a) Salinan Kitab Barzanji dan Doa Maulud Nabi;
(b) Uraian tentang kebiasaan bersawah;
(c) Uraian tentang uga zaman.
Kitab Waruga Jagat versi lain kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, (Juyboll 1912: 7071, CXXVI. (Cod. 239 (Bijb. Gen.), dalam sebuah berkas, yang terdiri atas empat bagian, tebal 44 halaman, terdiri atas :
(a) Waruga Jagat (hlm. 1-23). daftar rangkaian garis keturunan dari Adam dan Nuh (Enoh) sampai kepada Pangeran Saba Kingkin (Hasanuddin), bahasanya lebih bersifat Jawa daripada Sunda (meer Javaansch dan Soendaneesch);
(b) Waruga jagat atau Babad Pajajaran (hlm. 23-33), mengenai daftar silsilah yang sama, tetapi ditulis dalam bahasa Sunda dan sebagian membicarakan tentang agama Islam;
(c) Dongeng Ki Basra, isinya sebuah cerita rakyat dalam bahasa Sunda, dan
(d) Isinya tujuh buah teka-teki dalam bahasa Sunda dengan penyelesaiannya. Juyboll tidak menyebut ukuran naskah, bahan dan huruf yang digunakan, demikian pula tahun penulisannya tidak disebutkan.
(d) Isinya tujuh buah teka-teki dalam bahasa Sunda dengan penyelesaiannya. Juyboll tidak menyebut ukuran naskah, bahan dan huruf yang digunakan, demikian pula tahun penulisannya tidak disebutkan.
4. H. Said Raksakusumah almarhum, menggarap sebuah naskah, yang berjudul : Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh, sebuah naskah yang dimiliki oleh masyarakat Cisondari, Bandung Selatan. Hasil garapannya, terjemahan dan pembahasan secara singkat dalam bahasa Indonesia (1973). Naskah itu ditulis dalam huruf pegon dengan bahasa Sunda-Jawa, tetapi tidak menyebutkan bahannya apakah kertas atau daluwang.
Dalam kolofon pada halaman terakhir kebetulan dicatat olehnya, sebagai berikut: “Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh…. dipedalkeunana di Pamarican tanggal 15 bulan…. Rabu akhir tahun Dal Hjrah 1271. Karena nama bulan tidak terbaca, mungkin naskah rusak – Tahun 1271 Hijrah = 1854/5 Masehi. H. Said Raksakusumah mencatat isi kitab itu, meliputi:
(a) Tulisan Sejarah;
(b) Sifat 20;
(c) Kumpulan Du’a-du’a di antaranya Du’a Nurbuat.
Selanjutnya disebutkan, penulis menguraikan sejarah di Pulau Jawa sesuai dengan pengertian kata sejarah pada zamannya, yaitu memberikan urutan nama (silsilah) orang-orang yang memegang pimpinan kemasyarakatan, baik politis maupun spiritual. (Said Raksakusumah 1973: 1).
Kenyataan yang kita hadapi menunjukkan bahwa penulisan KWJ, pada tahun 1117 Hijrah (1706 Masehi), tidak menyebut tempat ditulisnya, mungkin di Sumedang, sedangkan Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh ditulis tahun 1272 Hijrah (1854/5 Masehi) di Pamarican, Ciamis Selatan. Mengingat waktu penulisannya berjangka ± 150 tahun, jarak tempat antara Sumedang dan Pamarican demikian jauhnya, kita bisa menduga, bahwa penulis di Pamarican tidaklah menggunakan KWJ Sumedang sebagai contoh.
Arti serta Makna Galuh dan Ciamis
Kata ”galuh” memiliki beberapa arti dan makna. Kata ”galuh” dipahami secara umum berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti permata. Dalam kehidupan kerajaan di Indonesia, khususnya di Jawa, sebutan “Galuh” biasa ditujukan pada pada putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
Dalam budaya masyarakat Galuh (Sunda), makna kata ”galuh” identik dengan ”galeuh”, bagian tengah (inti) pohon/kayu berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan galeuh yang berarti beli. Kata ”galuh” juga dipahami identik dengan “galih” (qolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa Sunda, ”Galuh galeuhna galih” (“Galuh intinya hati” atau “inti hati adalah galuh”). Ungkapan itu menunjukkan bahwa kata ”galuh” memiliki makna filosofis yang dalam.
W.J. van der Meulen S.J. dalam bukunya berjudul Indonesia di Ambang Sejarah (1988), menyatakan kata ”galuh” berasal dari kata “saka lo” (bahasa Tagalog) yang berarti “dari sungai asalnya” = air. Kata itu berubah menjadi “segaluh/sagaluh”.
w Ciamis
Secara etimologis (bahasa Sunda), “ciamis” berasal dari kata “ci” yang berarti air dan “amis” yang berarti manis. Dalam konteks kesejarahan Galuh, sebutan “Ciamis” bukan baru muncul pada peristiwa perubahan nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis (diudangkan dalam Staatsblad tahun 1915). Sebutan “Ciamis” yang ditujukan pada tempat/daerah sudah muncul jauh sebelumnya.
Menurut sumber-sumber tradisi, sebutan “amis” dalam kata “ciamis” yang ditujukan pada tempat/daerah (Galuh), bukan “amis” dalam arti “manis”, melainkan “amis” dalam bahasa Jawa yang berarti “anyir”. Hal itu berkaitan dengan peristiwa penyerangan pasukan Mataram ke pussat Kerajaan Galuh (akhir abad ke-16). Peristiwa itu mengakibatkan “banjir darah” di daerah Galuh. “Banjir darah” yang terhebat terjadi di Ciancang (1739), sehingga peristiwa itu disebut “Bedah Ciancang”. Kata “amis” yang berarti “anyir” dilontarkan oleh pejabat Mataram yang mengontrol ke daerah pusat Kerajaan Galuh dan ditujukan pada bau darah manusia. Berarti sebutan “ciamis” yang dilontarkan oleh pihak Mataram adalah cemoohan atau hinaan.
Informasi itu beralasan untuk dipercaya, karena bila kata ”ciamis” dimunculkan oleh orang Galuh (orang Sunda), tentu ”amis” yang dimaksud adalah rasa manis atau amis yang bermakna baik. Misal, ungkapan ”amis budi”, ”adu manis” dan lain-lain. Tidak masuk akal bila orang Galuh (orang Sunda) memberi nama daerahnya dengan nama yang memiliki arti jelek. Sampai saat, saya belum menemukan sumber akurat yang memuat penjelasan lain mengenai asal-usul dan pengertian kata “ciamis” pada awal kemunculannya.
Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa asal-usul nama Ciamis mengandung makna yang jelek dan penghinaan terhadap orang Galuh.
Penggunaan Nama Galuh dan Ciamis
Beberapa sumber tertulis menunjukkan, bahwa nama “Galuh” telah digunakan jauh sebelum berdirinya Kerajaan Galuh (awal abad ke-7) yang berpusat di Bojong Galuh (sekarag Karangkamulyan). Mungkin nama atau sebutan “galuh” mulai dikenal oleh sejumlah warga masyarakat melalui cerita bersifat mitos, karena cerita itu menyebar di kalangan masyarakat. Tokoh sentral dalam cerita itu adalah Ratu Galuh, penguasa di daerah yang kemudian bernama Galuh. Ia adalah seorang ratu yang memiliki kesaktian. Diduga cerita itu muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Galuh. Boleh jadi sang ratu dalam cerita tersebut menggunakan kata “galuh” menjadi bagian nama dirinya atau julukan pada dirinya (Ratu Galuh), karena parasnya yang cantik dan bersih, sehingga seolah-olah bersinar seperti permata.
Nama ”Galuh” kemudian digunakan menjadi nama beberapa tempat, kerajaan, dan lain-lain
w Galuh Sebagai Nama Tempat dan Kerajaan
Pada peta Pulau Jawa, khususnya peta kuno, tercatat tempat-tempat yang menggunakan kata “galuh”, antara lain Galuh (Probolinggo), Galuh Timur (Bumiayu), Samigaluh (Purworejo), Sagaluh (Purwodadi), Sirah Galuh (Cilacap), Rajagaluh, Ujung Galuh, Tatar Galuh (wilayah Kerajaan Galuh). Nama kerajaan: Kerajaan Galuh Purba (abad ke-5 Masehi) di sekitar Gunung Slamet, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galuh-Kawali.
w Galuh Dalam Sumber Tradisi
Sejalan dengan keberadaan kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, kata/sebutan ”Galuh” juga dikenal oleh masyarakat melalui sumber-sumber tradisi (sumber tertulis) berupa babad/naskah, antara lain Babad Bojong Galuh, Babad Galuh-Imbanagara, Carita Ciung Wanara, Carita Lutung Kasarung, Carita Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Wawacan Sajarah Galuh, dan lain-lain.
w Galuh dan Ciamis Dalam Panggung Sejarah
Nama ”Galuh” muncul dalam panggung sejarah terutama berkaitan dengan Kerajaan Galuh dan Kabupaten Galuh. Kerajaan Galuh berlangsung selama lebih-kurang 10 abad (awal abad ke-7 hingga awal abad ke-17). Fakta sejarah menunjukkan Kabupaten Galuh (kabupaten bernama Galuh) di Tatar Sunda berlangsung selama lebih-kurang tiga abad (awal abad ke-17 hingga awal abad ke-20).
Eksistensi kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, diikuti oleh corak kehidupan masyarakat yang melahirkan budaya Galuh. Dalam budaya Galuh terkandung hal-hal yang berupa kearifan lokal, sekaligus bersifat falsafah yang disebut ”Falsafah Kagaluhan”. Falsafah ini merupakan suatu ilmu yang diciptakan oleh Prabu Haurkuning – keturunan raja Galuh --, sehingga ilmu itu disebut ”Elmu Kagaluhan Haurkuning”. Inti ilmu/falsafah itu adalah prinsip dalam kehidupan manusia :
”Hirup kumbuh téh kudu didasaran ku silih asih. Ananging hirup téh teu cukup ku asih baé, tapi kudu dipirig ku budi pekerti anu hadé. Kudu aya pamilih antara hadé jeung goréng. Ari nu sok kaseungitkeun teh taya lian anging anu berbudi”.(Hidup bermasyarakat harus dilandasi oleh kasih-mengasihi. Namun tidak cukup demikian, tetapi harus disertai pula oleh budi pekerti yang baik. Harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk. Orang berbudi baik, namanya akan ”harum”).
Kearifan lokal yang bersifat falsafah dan merupakan bagian dari Falsafah Kagaluhan antara lain terkandung dalam kalimat penutup pada Prasasti Kawali I :
”Pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya di buana”[1]. (”Membiasakan melakukan hal-hal yang baik, agar lama berjaya di dunia”).
Setelah Writekandayun mendirikan Kerajaan Galuh dan melepaskan diri dari kekuaaan Kerajaan Tarumanagara yang telah berubah menjadi Kerajaan Sunda, ia mengadakan perundingan dengan Raja Sunda Maharaja Tarusbawa mengenai batas wilayah kedua kerajaan. Kedua belah pihak sepakat, batas wilayah kedua kerajaan adalah sungai Citarum. Perundingan itu disebut ”Perjanjian Galuh”.
Hal-hal tersebut adalah contoh penggunaan nama/kata ”galuh” dalam panggung sejarah. Contoh-contoh dimaksud mengandung arti nama Galuh memiliki nilai historis yang tinggi[2].
Fakta sejarah menujukkan, nama ”Ciamis” pertama kali digunakan secara formal sebagai nama ibukota baru Kabupaten Galuh, menggantikan kedudukan Cibatu. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Bupati Pangeran Sutawijaya (1812-1815) yang berasal dari Cirebon. Mengapa ibukota baru ittu diberi nama Ciamis, belum diketahui secara pasti. Boleh jadi nama itu diberikan oleh Pangeran Sutawijaya, sehingga ”amis” yang dimasud adalah ”amis” yang berarti ”anyir”, karena dalam bahasa Jawa Cirebon pun kata ”amis” memang berarti ”anyir”.
Perpindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Cibatu ke Ciamis terjadi pada masa pemerintahan Bupati Wiradikusumah (1815-1819). Masih pada awal abad ke-19, Kabupaten Galuh masuk ke dalam wilayah Keresidenan Cirebon yang berlangsung sampai tahun 1915. Dalam kurun waktu itu, nama Ciamis digunakan menjadi nama distrik dalam lingkungan Kabupaten Galuh. Setelah Kabupaten Galuh dikembalikan ke dalam wilayah Keresidenan Priangan, Bupati Galuh R.A.A. Sastrawinata (1914-1936) mengubah nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis. Namun alasan perubahan nama itu tidak jelas.[3] Nama Kabupaten Ciamis – seperti telah disebutkan – dikukuhkan/diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1915.[4] Berarti penggunaan nama Ciamis sampai sekarang (2012) berlangsung selama lebih-kurang dua abad (awal abad ke-19 hingga awal abad ke-21).
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa nama Ciamis pun memang memiliki nilai historis. Namun nilai itu menjadi rendah karena dikotori oleh arti kata ”amis” menurut asal-usulnya, dan nama Ciamis tidak mengandung makna filosofis.
Sumber :
=======
1. Manuskrip Pakuning Alam Darmaraja
Post a Comment