Siapakah Resi Guru Wangsa Ungkara dari Mandala Sindangkasih


Keraton-keraton di masa lalu, selain merupakan pusat pemerintahan juga menjadi pusat pengendalian usaha-usaha intensifikasi tatanan dunia yang dianut di kerajaannya masing-masing. Sayangnya, peninggalan dari tatanan dunia itu yang kita warisi tidak lengkap. Demikian pula dengan Kerajaan Sindangkasih Majalengka.

Sebelumnya, penulis AH Purnama Alam Wangsa Ungkara tidak terlalu tertarik menuliskan sejarah Kerajaan Sindangkasih yang dianggap keberadaanya hanya sekedar mitos belaka. Beberapa pihak menilai bahkan berani mengatakan bahwa kerajaan Sindangkasih Majalengka itu tidak ada. Jadi, sebenarnya seperti apa? dan bagaimana?


Kerajaan Sindangkasih adalah ke-Rajamandala-an Sindangkasih
Pengertian "Mandala" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah n kl 1 wilayah kekuasaan lembaga keagamaan; 2 bulatan; lingkungan (daerah). Semantara Mandala juga dapat dipandang secara politik. Mandala (मण्डल) adalah istilah bahasa Sanskerta yang bermakna "lingkaran". Mandala digunakan sebagai model untuk menggambarkan pola penyebaran pengaruh kekuasaan politik dalam sejarah purba Asia Tenggara ketika kekuasaan setempat memegang peranan penting. 

Konsep sejarah-politik mandala ini berkaitan dengan kecenderungan modern untuk memandang persatuan kekuasaan politik, misalnya kekuasaan kemaharajaan atau negara-bangsa besar di kemudian hari. Hal ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi pembuatan peta pada abad XV. Sejarawan asal Inggris O. W. Wolters meyebutkan gagasan ini pada 1982 :
"Peta sejarah purba Asia Tenggara berevolusi dari jejaring permukiman prasejarah yang muncul dalam catatan sejarah sebagai serpihan-serpihan yang membentuk mandala yang kadang saling tumpang tindih."
Istilah mandala digunakan untuk menjelaskan sejarah awal pembentukan politik Asia Tenggara, seperti federasi atau persekutuan beberapa kerajaan yang dipersatukan oleh kerajaan induk, atau kumpulan kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) yang tunduk pada satu pusat kekuasaan. Istilah ini digunakan pada abad ke-20 oleh sejarahwan Barat dalam diskursus pranata politik India kuno, untuk menghindari penggunaan istilah "negara" dalam arti konvensional. Pranata atau kesatuan politik Asia Tenggara purba berbeda dengan kesatuan politik dalam pengertian China dan Eropa, dimana kawasan negara ditentukan oleh garis perbatasan yang jelas dan aparat birokrat, akan tetapi menyebar dengan arah kebalikannya: kesatuan politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.


Dalam beberapa hal, sistem mandala ini mirip dengan sistem feodal di Eropa, negara-negara bagian atau negeri bawahan terikat oleh tuannya melalui hubungan tribut yaitu memberikan persembahan berupa upeti. Dibandingkan dengan sistem feodal, sistem mandala ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada negeri bawahannya; hubungannya lebih bersifat hubungan pribadi antar penguasanya; dan seringkali bersifat tidak eksklusif. Suatu daerah tertentu dapat menjadi bawahan beberapa sistem mandala tertentu, atau bahkan tidak samasekali.


Ke-Mandala-an
Mengutip pendapat Undang A Darsa, bahwa di Tatar Sunda terdapat 73 Mandala atau Kamandalaan. Mandala adalah kawasan perdikan (pusat pendidikan agama) di tatas Sunda. Salah satu diantaranya adalah Mandala Sindangkasih Majalengka. Mandala ini termasuk dalam daftar Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.

Para pemimpin Mandala atau dalam pandangan masyarakat umum sering disamakan dengan "Kabuyutan" adalah Guru Resi, Resi Guru atau Guruloka (dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian). Bedanya, Mandala atau Kemandalaan adalah Lemah Dewasasana yang merupakan tempat suci  yang di dalam ajarannya terpengaruh Hindu-Buddha (Siwa -Buddha) sedangkan Kabuyutan termasuk Lemah Parahyangan, yaitu tempat suci ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. 

Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan, dan 73 Mandala yang ada sering disamakan sebagai kabuyutan. Memang bisa dikatakan bahwa semua Mandala adalah kabuyutan, sedangkan tidak semua kabuyutan adalah kemandalaan.

Lemah Diwasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang (Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3 dalam Luthfiyani, 2017).

Wilayah Kamandalaan secara fisik berwujud adanya tempat suci khusus tempat pemujaan, misalnya berupa punden berundak Selain itu juga terdapat wilayah "paguron" yaitu tempat para murid atau Sastri (siswa Buddha) mengkaji (dari sini muncul istilah mengaji) ilmu agama dengan adanya bangunan-bangunan. Wilayah perdikan Mandala juga dilengkapi dengan pusat tata niaga, pertanian dan sebagainya untuk keperluan para sastri. Lingkungan paguron ini disebut pesastrian atau pesantren (yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi pesantren dalam ajaran Islam).

Yang paling menarik, Mandala-mandala ini mendapatkan perlindungan dari kerajaan Sunda-Galuh juga pada masa Pajajaran. Pihak kerajaan menempatkan tentaranya untuk menjaga keamanan Mandala. Pun demikian dengan Mandala Sindangkasih.

Pandangan masyarakat umum dikemudian hari yang menganggap bahwa Mandala adalah kerajaan wajar terjadi. Karena adanya keteraturan sistem pengelolaan yang mirip pemerintahan kerajaan juga ditambah adanya prajurit keamanan semakin menguatkan Mandala adalah kerajaan. Ditambah lagi, dalam tata kelola kerajaan pusat menyebut para pemimpin Mandala sebagai "Rajamandala".

Beberapa Mandala di tatar Sunda ada yang bermetamorfosis (berubah bentuk) menjadi kerajaan. Misalnya Mandala Sunda Sambawa. 

Ajaran Tri Tangtu Sunda diajarkan di Kamandalan Sunda Sembawa. Tri Tangtu (Rama, Resi, Ratu) merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasehat) Tangara (tanda alam), sebagai sistem pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara yang telah dipergunakan oleh para Pangagung mwah Pangluhung i Sunda Sembawa Sunda Mandala.

Panyca Pasagi (Sir Budi Cipta Rasa Adeg) adalah lima kekuatan dalam diri manusia (Raga Sukma Lelembutan) yang merupakan dasar kekuatan untuk menimbulkan serta menentukan Tekad Ucap Lampah Paripolah Diri manusia yang akan dan harus berinteraksi dengan Sang Pencipta, Bangsa dan Negara, Ibu Bapak Leluhur, Sesama makluk hidup, dan alam kehidupan jagar raya (Buana Pancer Sabuder Awun).

Lokasi Mandala Sindangkasih (maksudnya kota atau kecamatan Majalengka), bukan Kabupaten Majalengka. Alasannya Mandala Sindangkasih di  sebelah Tenggara dibatasi Mandala Bitunggiri yang kelak berubah menjadi Kerajaan Talaga Manggung. dan di Timur Laut berbatasan dengan Kerajaan Rajagaluh. Sibagian Selatan dan Barat Mandala Sindangkasih berbatasan dengan Cilutung dan Mandala Tembong Agung (Kerajaan Tembong Agung lalu berubah menjadi Mandala Himbar Buana). Di bagian Utara Mandala Sindangkasih dibatasi Mandala Wanagiri (Palimanan) yang juga bermetamorfosis menjadi Kerajaan Wanagiri dan Singhapura (Sing Apura) Cirebon.

Bila beberapa Mandala di sekitar Sindangkasih berubah menjadi Kerajaan, maka Sindangkasih tetap menjadi Mandala Sindangkasih dengan sebutan Raja-Mandala, buka kerajaan kedatuan. Ada banyak Mandala dan Kabuyutan yang tetap menjadi pusat keagaamaan. Tidak tercatat dalam sejarah bahwa 800 Kabuyutan (73 diantaranya adalah ke-Manndala-an) berubah menjadi 800 Kerajaan di Tatar Sunda. Bahkan terulis dalam Naskah kuno ada beberapa kerajaan yang di dalamnya terdapat dua atau lebih ke-Mandala-an.


Resi Guru Wangsa Ungkara
Seperti disinggung di atas, penulis adalah keturunan Wangsa Ungkara. Siapakah dia? Ia adalah Guru Resi di Mandala Sindangkasih Majalengka. Keberadaanya sedang diteliti oleh "Komara Sunda" - Komunitas Masyarakat Arkeologi Sunda, Bandung sejak tahun 2014.

Keberadaan Mandala Sindangkasih ditemukan oleh Komunitas Masyarakat Pecinta Arkeologi Sunda (Komara Sunda) Bandung. Keberadaanya didapati berdasarkan naskah Sunda kuno Sanghyang Swawarcinta :

...nemu imah kabuyutan, lemah saki[l]lan pasagi, teherna ngalingga manik, rampés gurindaeu[nu]nana, lamunna diutamakeun, pinahayu dén sang pandita, ditarawas dicacaran, dituaran dipinggiran. Dé(k) dihuru, suga(n)na panas babakna, kaaré panycanagarana. Tuluy diduruk, disasap dimangka linyih, disaraan diradinan, anggeus ma éta sakitu, diilikan dibudiyan, disiaran halana hayuna, yogiya rampés dipahayu, geus ma rampés dipahayu. doraka diprecinta, diwindu diadu-adu, diréka diwalangsanga. Diteukteuk disampuraykeun, ditandé dipasigarankeun, ditiru dijiyeu(n) batur, diréka ti(ng)kah mandala, diririncik diririak, diturunkeun ditaékkeun, dihaeuc-haeuc. beunang ngamanon yuyukeun, ti pinggir ku batu putih, beunang ngala ti na tasik. Wastu beunang nu mahayu, bantar beunang ngadu balay, lemah dikakancanakeun, (ka)was papagét[n]an, Wastu man(a)n di galunggung, ru(m)bay manan di daksina. Katurut di jampang manggung, sarwa deung catih hiyang, kéna tunyjuk mulah carut, sugan sora sagala. Batur ta di jamburaya, ngarann(a) punycak niskala, dibalay[a] sakuli(li)ngna, diawuran (ma)nik a[s]sra, dibaur deung adur omas, diselang disegé sipat, ditilik ti kajauhan, caré(n)tam heuleut-heuleutna. Tajurna sarba kusumah, kusumah ngaraning kembang, handong bang deung ha(n)dong putih, handong lungsir kayu puri(ng), mandakaki jambu danti, wéra tumpang wéra lancar, kembang bulan kembang tanjung, jelag deung manyara parat,
Artinya:
... menemukan rumah kabuyutan.Tanah sejengkal persegi, kemudian ngalingga manik yang bagus kalau diasah, kalau dijadikan keutamaan, diperindah oleh sang pandita, disiangi, dipangkas,ditebangi, diratakan pinggirnya. Akan dibakar, supaya panas tempat tinggalna, terkuasai mancanegaranya. Kemudian dibakar, diratakan supaya bersih, disapukan dan dibersihkan. Setelah selesai itu, diamati diperhatikan, dicari buruk dan baiknya.Pantas, baik, diperindah, sudah baik tambah diperindah. Pintunya diperbagus. Berdampingan diluruskan. Direka-reka seperti walangsanga. Dipotong dibiarkan tergerai, dionggokkan seperti belahan kayu, ditiru seperti pertapaan,direka seperti mandala, ditetesi diririak, diturunkan dinaikkan dipercepat. Hasil menggubah seperti mata kepiting, dari samping dengan batu putih, hasil mengambil dari danau. Nyata hasil memperindah, bantar hasil ngadu balay, tanahnya dibuat seperti emas, seperti ukiran. Lebih jelas daripada di Galunggung, lebih panjang daripada di selatan. Ditiru di Jampangmanggung, Sama dengan catih hiyang, karena petunjuk jangan disalahkan, barangkali merendahakan semua. Pertapaan di Jamburaya, Namanya puncak niskala, dipagari batu sekelilingnya, ditaburi manik asra, dicampur dengan adur emas, diselingi dilihat dari kejauhan, gemerlapan warna-warni. Kebunnya serba bunga-bungaan, kusumah nama bunganya, hanjuang merah dan hanjuang putih, hanjuang lungsir, kayu puring, mandakaki, jambu danti, wera tumpang, wera lancer, kembang bulan, bunga tanjung, jelag dan manyara parat,

Carita Parahyangan (naskah Sunda kuno akhir abad ke-16) mencatat, raja Sunda yang bernama Sang Rakeyan Darmasiksa atau dikenal dengan nama Prabu Darmasiksa, merupakan pendiri lembaga pendidikan di tatar Sunda pada masa itu. Lembaganya diberi nama Sanghyang Binayapanti, sedangkan kompleks pendidikannya disebut Kabuyutan atau Mandala.


Meskipun awalnya Mandala merupakan sebuah tempat suci keagamaan, namun penyebutannya mencakup ke dalam wilayah yang lebih luas. Kota Majalengka sekarang dahulu disebut Sindangkasih. Hingga abad ke-18 - abad ke-19, Setidaknya dalam buku "Tijdschrift voor neërlands indie" tahun 1844 masih menyebut kota Sindangkasih, bukan Majalengka[8]. kota Majalengka masih disebut Sindangkasih sebagaimana dicatat dalam buku Haan, Frederik: I. "Commentaar § 1-1500. II. Staten en Tabellen", 1912 mengaskan bahwa Sindangkasih yang dimaksud adalah Majalengka. Buku ini merupakan komentar atau review sejarah penyerangan Mataram ke Batavia dari sudut pandang Belanda. Kejadian ini pada 17 Juni 1741. Yang paling tegas menyebutkan pada buku "Handleiding bij de beoefening der land- en volkenkunde van Nederlandsch-Oost Indie" lebih jelas dan tegas bahwa kota Majalengka sekarang adalah Sindangkasih.


Penulis AH Purnama Alam bin Zaenal Arifin bin Kyai Hasim bin Kyai Abhari dan seterusnya ke atas. Sebagai catatan, Kyai Abhari adalah Uyutnya Penulis yang berjuang mendapingi KH Abdul Halim sebagai pengajar Agama di lembaga pendidikan Darul Ulum Persatuan Umat Islam (PUI) Majalengka. Nama keluarga Wangsa Ungkara tidak dipergunakan lagi. Alasannya sebagai penegas dan pembeda antara Islam abangan dan Islam putih. Islam abangan biasanya masih berpengaruh di kalangan pelaksana pemerintahan sebagai kelanjutan kerajaan-kerajaan di masa itu. Akhirnya, keberadaan Wangsa Ungkara "hilang ditelan bumi".

Keluarga kami tidak menyarankan penggunaan Wangsa Ungkara dalam nama keluarga. Alasannya sesuai pepatah Sunda "Ulah Agul ku Payung Butut". Zaman telah berganti, penulisan silislah dan ditunjukan kepada orang lain dianggap tidak sesuai zaman. Menurut Ekadjati (1988: 9), naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah pada masanya merupakan pegangan kaum bangsawan. Selain itu, naskah tersebut juga menjadi alat legitimasi bagi raja yang berkuasa. Pada masa lalu raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar sekali memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasa-annya. Namun, kini fungsi tersebut mengalami proses pelunturan, bahkan tidak berfungsi lagi.

Sejarah asal usul Guru Resi Wangsa Ungkara dari Kerajaan Galuh. Seperti halnya Kerajaan Talaga Manggung (berawal dari Mandala Bitunggiri) dan Mandala Purwa Talaga), Kerajaan Indraprahasta (Mandala Indraprahasta) dan Kerajaan Saunggalah (Mandala Saunggalah - Kuningan). Berawa adanya perbutan kekuasaan antara Sanjaya dan Purbasora, cucu Wretikandayun.

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari tahun 717(?) – 746 Masehi. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta naskah Carita Parahyangan. Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya. Ia anak Bratasenawa atau Sang Sena putera Sang Wretikandayun penguasa Kerajaan Galuh.

Sekilas mengular Raja Kerajaan Galuh Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah Raja pertama di Kerajaan Galuh yang memerintah di Kerajaan Galuh dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa dari tahun 612 Masehi sampai 702 Masehi sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kendan masih bawahan kerajaan Tarumanagara. Sang Wretikandayun ber­kuasa di Kerajaan Galuh pada tahun 534-­592 Saka (612/613 - 670/671 Masehi), lamanya 58 tahun, sebagai ratu wi­layah di bawah kerajaan Tarumanagara. Pa­da tahun 592-624 Saka (670/671 - 702/703 Masehi), selama 32 tahun sebagai raja Kerajaan Galuh merdeka. Dalam Carita Parahiyangan ditegaskan Kerajaan Galuh didiri­kan oleh Sang Wretikandayun, Wretikandayun berkuasa selama 90 tahun.

Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut Rakyat Limbangan dan Sumedanglarang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh, sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora. Di awal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara.

Bratasenawa (Sang Sena) menjadi Pemangku kerajaan Kalingga Utara kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa. Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sondjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sanjaya. 

Para pembesar Kerajaan Galuh termasuk para resi menyingkir atau mengungsi. Banyak yang menyingkir akibat terbunuhnya Purbasora oleh Sanjaya yang menganut Bhairawa. Pelarian ini terjadi karena Sanjaya yang memeluk agama Syiwa Bhairawa cenderung agresif dan berusaha menaklukan raja-raja. 

Sementara para raja Kerajaan Galuh menganut Hindu Waisnawa (menyembah Wisnu) dan adanya sinkretisme Hindu Buddha. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Tamperan Panaraban / Raja Bondan, dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.

Diantara para pengungsi dimasa terbunuhnya Prabu Purbasora tersebut adalah Guru Resi Wangsa Ungkara. Pelariannya hingga tiba di Gunung Balay Pancurendang Tonggoh, (kini masuk kelurahan Babakan Jawa Majalengka Wetan, Kecamatan Majalengka). Posisinya aman dari jangkauan prajurit Galuh. Gunung Balay berada di Utara Sungai Cilutung dan di Selatan sungai Cijurey. Menurut cerita tutur tinular, turun temurun bahwa di Gunung Balay terdapat petilasan Prabu Aji Putih, pendiri Kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang.

Ada hal yang menarik dalam sejarah Kerajaan Sumedang Larang bahwa Patih Aria Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejak Patih Aria Bimaraksa.

Patih Aria Bimaraksa beserta istrinya, yaitu : Dewi Komalasari serta kakaknya yaitu Wijaya Kusuma dan Wiradi Kusuma yang mana merupakan putra Prabu Purbasora, melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah Utara melintasi hutan lebat hingga tiba di Daerah Cipancar Sumedang Selatan, kemudian mendirikan kemandalaan-kemandalaan : di Citembong Girang di Ganeas,  Gunung Penuh di Darmaraja, Gunung Mandalasakti di Darmaraja, Gunung Nurmala (Sangkanjaya sekarang) di Darmaraja dan lain sebagainya yang berakhir di Mandala Raja Muhara Leuwi Hideung Darmaraja.

Disanalah Aria Bimaraksa mendirikan "Padepokan Tembong Agung" sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.

Padepokan Tembong Agung mendorong perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara perlahan-lahan Padepokan Tembong Agung menjadi Pusat penyebaraan Keagamaan dan kebudayaan Sunda. Setelah Penobatan putranya, Bimaraksa yang telah menjadi seorang Resi Bimaraksa pergi kedaerah utara ditepian sungai Cimanuk. Disana mendirikan "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" (Bagala atau Bagara = Tempat, Asih = Kasih sayang) yang bermakna tempat untuk menjalin kasih sayang antara sesama insan (tempat bersilaturahmi antara sang pencipta dan sesama insan) Panyipuhan = Membersihkan/penyucian jasmani dan rohani. Kemudian "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" menjadi tempat bekumpulnya / tempat konsultasinya para Resi ditatar Sunda. 

Sebagaimana konsep Tri Tangtu Sunda (Rama, Resi, Ratu) yang merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasehat) Tangara (tanda alam). Guru Resi Wangsa Ungkara dipastikan bukan nama sebenarnya. Ungkara adalah Nasehat. Bisa diartikan Wangsa Ungkara adalah seorang pemberi nasehat, yaitu para pendeta agama Hindu-Buddha. Sementara itu, keturunan-keturunan Guru Resi Wangsa Ungkara kelak menjadi para Kyai yang menyebarkan agama Islam di Sindangkasih (Majalengka). Oleh karena nama Wangsa Ungkara tidak digunakan lagi sejak Kyai Abhari dalam perjuangannya bersama KH Abdul Halim. Kyai Abhari berputera 8 orang. Diantaranya ada Kyai Haji Adnan, Kyai Hasyim dan Muchsin. Kyai Haji Adnan, serta para puteranya menjabat di Kantor Urusan Agama (KUA) Majalengka dan MUI Majalengka.

Siapa Wangsa Ungkara? meskipun dari penjelasan keluarga dan leluhur bahwa bergelar Raden, Rahadyan atau Rakyan, tetapi menurut penulis Wangsa Ungkara bukan dari kalangan Tohaan (Raja), khususnya nama Wangsa tersebut, tetapi dari Kasta Brahmana atau Resi Guru. Wangsa Ungkara atau Wangsa Ongkara atau Wangsa Hungkara atau Wangsa Hongkara. Hongkara ini didapati sebagai Shiwa dalam kitab Weda Hindu. Disebutkan Hongkara Wangsa. Oleh karena itu penulis mengerti jika keluarga tidak ingin mencantumkan Wangsa Ungkara dibelakang nama keluarga kami yang dikenal keluarga Kyai.

Keturunan Wangsa Ungkara semenjak Guru Resi Wang Ungkara tetap menjadi Para Ungkara atau pemberi nasihat keagamaan. Yang membedakannya adalah agamanya. Putra-putri Kyai Abhari (pengajar PUI masa kepemimpinan KH Abdul Halim), seperti Kyai Muchsin memperdalam Ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren di Cirebon, diantaranya pesantren Ciwaringin.

Bila mengacu ke kerajaan Talaga Manggung, agama yang dianut di Talaga adalah Budha Sarwastiwadha. Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung, dikenal dalam Naskah kuno Sunda sebagai Mandala Bitunggiri.

Aliran ini diperkatakan mula muncul di rantau Awanti di India. Pengagasnya, seorang bhikkhu bernama Puranna, yang dihormati dalam Mahisasaka Winaya. Penghormatan kepada beliau terdapat dalam sastera ajaran Buddha dalam bahasa Cina. 

Dalam kurun ke-7 M, bhikkhu I Tsing menggolongkan aliran ini bersama dengan Dharmmaguptaka dan Kasyapiya sebagai cawangan ranting kepada Sarwastiwada dan menyatakan bahwa ketiga aliran ini tak terkenal di lima bagian India tapi tersebar di Oddiyana, Khotan dan Kucha, China. Ciri khas aliran ini, bikkhu menggunakan pakaian berwarna biru. Jadi besar kemungkinan Talaga manggung telah kontak dengan bikkhu dari Tibet atau China sebagaimana beberapa artefak yang tersimpan di Museum Talaga Manggung menunjukkan bukti itu.

Dalam sejarahnya Mandala Sindangkasih, tidak tercatat bermetamorfosis menjadi kerajaan. Catatan Sindangkasih ketika pemerintahan Wedana Dipati Ukur hanya sebagai Umbul Sindangkasih dan merupakan wilayah yang diklaim bagian dari Kesultanan Mataram. Ketika penyerahan Sindangkasih oleh Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 1585 ke Kesultanan Cirebon hanya disebut sebagai Sindangkasih saja. Hanya dalam Naskah Sunda Kuno disebut sebagai Mandala Sindangkasih. Hingga perubahan nama menjadi Majalengka di zaman Kolonialisme Belanda, Sindangkasih hanya disebut sebagai wilayah saja bukan kerajaan.

===============
Sumber diakses dari  : Histroriana dan Kerajaan Sindangkasih

Baca Juga :

Tidak ada komentar