Batu Lingga Taji: Situs Petilasan Prabu Brata Kusuma Tajimalela Di Gunung Lingga



Sampurasun...
Rasanya baru pertama kalinya saya membahas situs petilasan Prabu Tajimalela di Gunung Lingga setelah beberapa kali ke Gunung Lingga, kebanyakan orang menuliskannya adalah makam Prabu Tajimalela, ketika tapabrata di Gunung Lingga, akan tetapi setelah membaca beberapa sumber buku literatur buku Layang Darmaraja dan buku Pakuning Alam Darmaraja yang berkaitan dengan semasa hidupnya Prabu Tajimalela, akan menambah pengetahuan sejarah lokal di masa kerajaan Sumedanglarang.

Terahing Raja lahir ke dunia diterangi cahaya bulan, bintang-bintang bergerlapan dilangit, dan menebar kebahagian para pengagung Tembong Agung. Buah dari lamunan Prabu Aji Putih menjadi seorang pandita ksatria, berpenampilan menarik dam penuh keberanian untuk meneruskan jejak ayahnya. 

Prabu Tajimalela bernama Brata Kusuma putra sulungnya Prabu Aji Putih dari isterinya Dewi Nawang Wulan. Jauh sebelum mengganti ayahnya menjadi Raja, Brata Kusuma meninggalkan keraton mencari ilmu, untuk jadi pemimpin di keprabuan. Di suatu ketika Brata Kusuma diperintah oleh ayahnya untuk berguru kepada seorang Resi Sakti yang tinggal di suku Gunung Cakrabuana. Setelah menjadi murid Resi Sakti diberikan ilmu lahir dan batin, lalu mewariskan ilmu tawajuh atau tapabrata di gunung selama 21 hari untuk menyempurnakan kekuatan ilmunya.

Brata Kusuma meninggalkan tempat pertapaannya untuk mendatangi gunung-gunung, yaitu Gunung penuh, Gunung Palasari, Gunung Puyuh, Gunung Merak, Gorowong, Gunung Nurmala atau Sangkanjaya, Gunung Simpay dan Gunung Lingga. Setelah melaksanakan perintah gurunya lalu pulang ke karaton Tembong Agung. Di kala cahaya terang bulan Brata Kusuma diistrenan menjadi pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelarnya Prabu Tajimalela. 

Sesudah menjadi Raja, Brata Kusuma lalu menikah dengan Dewi Mayakasih atau yang disebut juga Gandrunia atau Rangga Wulung terah Raja Saunggalah, dan melahirkan ;  Jayabrata atau Lembu Agung atau Peteng Aji, Atmabrata atau Gajah Agung dan Marija Jaya atau Sunan Ulun.

"Deudeug lanjeur Jaya Perang di Buana Panca Tengah, Ulun Santri Demang Raja Prabu Tajimalela nu murba di Darmaraja". Kalimat tersebut jelas dalam ilmu kedarmarajaan, tujuannya meyakinkan bahwa Prabu Tajimalela gagah sakti mandraguna tanpa tanding, tiada lawan, menguasai ilmu perang yang sudah membawa kepada kejayaan kerajaan. Raja dihormati tinggalnya di Darmaraja, dan memberi nama kerajaan yang dinamai Sumedang Larang. Asal dari kata "ingsun madangan". Ingsun artinya aku, Madang artinya padang, terang tampak. Aku menerangi kehidupan.

Oleh sebab menyebutkan Ingsun Madangan ketika bertapa di Gunung Lingga melihat cahaya bergulung-gulung seperti lingkaran berputar-putar dan di atas gunung terlihat menjadi terang, disaksikan oleh pengawalnya Darmawisesa dan Kuntawisesa lalu berkata "Ingsun madangan Larang Tapa" yang artinya Aku melihat cahaya menyinari tempat bertapa menjadi terang benderang, tandanya aku harus memberi penerangan kepada yang kegelapan. Yang disebut larang yaitu tempat yang jarang dikunjungi oleh manusia atau kemandalaan yang disakralkan oleh pahingan.

Ada yang menyebutkan, di awal pemerintahannya Prabu Tajimalela membuka pelabuhan untuk menyebrangi sungai Cimanuk di daerah Lebaksiuh. 

Aria Bimaraksa menitipkan padepokan ke putranya yaitu Astajiwa, oleh sebab diundang oleh Permana Dikusuma atau Ajar Padang, lalu Aria Bimaraksa atau Sang Resi Agung diutus menjadi Patih Kerajaan Galuh di Kawali.  Pengangkatan Permana Dikusuma oleh Raja Sanjaya tak lama, oleh sebab Permana Dikusuma terpaksa untuk menjadi Raja, bagaimanapun Raja Sanjaya adalah yang memerangi Prabu Purbasora kakeknya sebagai Raja Kerajaan Galuh ke-4 antara 716-723 masehi, dengan demikian Permana Dikusuma hanya setahun menanggalkan sebagai Raja Galuh Pakuan ke-6, antara 724-725 masehi, yang berlokasi di Ciduging Galuh Pakuan Darmaraja.  Dan Aria Bimaraksa sebagai patih kerajaan Galuh di Kawali pulang lagi ke Darmaraja, Permana Dikusuma pun selanjutnya bertapa di Gunung Padang.

Sumber dari buku sejarah, ketika Raja Sanjaya sebagai Raja yang memerintah di Kerajaan Sunda antara 723-732 masehi dan akan menguasai pandai besi yang berjumlah 800 buah di wilayah kerajaan Sunda, anaknya Tamperan atau Aria Bondan atau Rakai Panaraban resmi diserahi negara dan pemerintahan, sebagai Raja Galuh Pakuan ke-7 antara 725-739 masehi. 

Sebelum diangkat resmi menjadi Raja Galuh ke 7, karena cinta buta Tamperan dan kesepiannya Dewi Pangrenyep oleh sebab sering ditinggal bertapa oleh Permana Dikusuma, akhirnya mempunyai anak hubungan gelap yaitu Aria Banga atau Rahyang Banga, juga memicu Tamperan menjadi haus kekuasaan dengan mengutus telik sandinya untuk membunuh Permana Dikusuma di tempat pertapaannya, untuk menghilangkan jejak pembunuhan Permana Dikusuma akhirnya dibunuhnya juga telik sandi itu oleh Tamperan. Setelah meninggalnya Permana Dikusuma, Tamperan memindahkan Kerajaan Galuh di Darmaraja ke Galuh Bondan Di Kawali Ciamis, serta memboyong kedua isterinya Permana Dikusuma yaitu Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum.

Ketika isterinya Naganingrum melahirkan, Raja Bondan atau Tamperan memerintahkan patihnya untuk membuang bayi tersebut, karena bayi tersebut adalah anak Permana Dikusuma.  Sang Bayi dalam kandaga emas itu adalah Raden Jaka Suratama atau dengan nama lain Ciung Wanara.  Bayi tersebut lalu ditemukan di sungai oleh Ki Balagantrang atau Aria Bimaraksa dan Ni Balagantrang atau Dewi Komalasari, lalu menyerahkan bayi dalam kandaga emas, kepada saudaranya yaitu Prabu Tambak Wesi atau Ki Anjali, putra kedua Prabu Resi Guru Demunawan.

Prabu Tambak Wesi adalah Raja Saunggalah ke-2, masa kerajaan selama 51 tahun,  antara 797–847 Masehi, setelah perebutan tahta di kerajaan Galuh di zaman Prabu Purbasora yang diserang oleh Sanjaya dan kerajaan Saunggalah adalah kerajaan yang bebas dan tak pernah ditundukan oleh Sanjaya dan setelah lengser dari keprabuan beliau menjadi lurah Pande Domas. Tambak Wesi atau Ki Anjali  setelah  mengetahui bahwa Ciung Wanara adalah anak Permana Dikusuma dari Naga Ningrum yang masih merupakan cucunya juga, karena Prabu Tambak Wesi adalah anaknya Prabu Demunawan adiknya Prabu Purbasora, akhirnya Ciung Wanara diwarisi panday domas tersebut, dan Ciung Wanara pun menguasai teknik pembuatan senjata. 

Sumber lainnya menegaskan Prabu Tajimalela Raja Sumedanglarang ke-1 antara 721-778 sejaman dengan Ciung Wanara atau Jaka Suratama, Raja Galuh ke-8 antara 739-783 masehi yang bertahta di Karang Kamulyan Ciamis. Umurnya sepantaran tidak jauh beda dan pernah bersama, sewaktu Ciung Wanara diasuh dan di didik bersama oleh Aria Bimaraksa atau Ki Balagantrang atau Sanghyang Resi Agung sewaktu menetap di Bagala Asih Panyipuhan di Darmaraja.

Tamperan atau Aria Bondan atau Rakai Panaraban yang diserahi negara dan pemerintahan, sebagai Raja Galuh Pakuan ke-7 antara 725-739 masehi oleh orang tuanya Raja Sanjaya, pada akhirnya menimbulkan perang besar di masa Ciung Wanara yang sudah menginjak usia dewasa, oleh sebab Ciung Wanara mempunyai hak untuk meneruskan kekuasaan di Kerajaan Galuh karena garis keturunan dari Prabu Permana Dikusuma, anak ke 1 Prabu Wijaya Kusuma, Prabu Wijaya Kusuma anak pertama dari Prabu Purbasora, Prabu Purbasora anak dari Sempak Waja putra pertama Wretikandayun pendiri pertama kerajaan Galuh. Demikian juga setelah mengetahui Prabu Permana Dikusuma atau Ajar Padang ayahnya Ciung Wanara dibunuh oleh Tamperan atau Aria Bondan.

Dengan  didukung oleh pasukan bala tentara Tajimalela dari Sumedang ditambah pasukan Limbangan Garut, akhirnya  Ciung Wanara atau Jaka Suratama menjadi Raja Galuh di Karang kamulyan Kawali Ciamis dan menggulingkan kekuasaan Tamperan atau Aria Bondan sebagai Raja  ke 7 di Kerajaan Galuh antara 725-739 masehi. Dan kemudian terjadi perang besar antara Ciung Wanara dengan Arya Bangah atau Rahyang Banga anaknya Tamperan, oleh sebab Rahyang Banga meminta bantuan dari kerajaan Kalingga di Jawa Tengah.

Kita kembali ke Sejarah Sumedang, Prabu Tajimalela menikahi Dewi Mayakasih atau Dewi Rangga Wulung, dan melahirkan tiga putra, yaitu: Jayadibrata atau Prabu Lembu Agung, Atmabrata atau Prabu Gajah Agung dan Marija Jaya atau Sunan Ulun yang merupakan cikal bakal pembesar Kerajaan Sumedang Larang. Setelah memegang tampuk kerajaan yang cukup lama, Prabu Tajimalela lengser dari keprabuannya.

Dalam tahun 778 Masehi Prabu Tajimalela turun dari keprabuan dan kekuasaannya diserahkan kepada putranya Jayabrata dengan gelar Prabu Lembu Agung antara 778-839 Masehi. Selanjutnya Prabu Tajimalela menjadi resi dalam melaksanakan keresiannya menyebarkan ajaran ke setiap tempat dan menyempurnakan ilmunya di Gunung Lingga. Ketika menjadi resi menciptakan ilmu kasumedangan atau Tassawuf Kasumedangan dan putika Kasumedangan atau atikan Tata krama orang Sumedang.

Menurut cerita ketika Prabu Tajimalela menyempurnakan keilmuannya di Gunung Lingga, beliau ngahyang atau tilem jasadnya hilang tak ada bekas, Kuntawisesa menata Batu Menhir dengan tumpukan batu di petilasan moksanya untuk memperingati terhadap kejadian yang aneh dan menakjubkan atas kesempurnaan ilmunya Prabu Tajimalela ketika tapa brata telah mencapai target kesempurnaan antara hidup dan mati.

Sampai sekarang Gunung Lingga sering dikunjungi oleh orang banyak untuk berdua, riyadoh atau tawassulan. Banyak yang mengatakan bahwa Prabu Tajimalela seorang resi yang teruji penuh dengan keilmuan, arif dan bijaksana. 

Persepsi saya itu jelas bukan makam Prabu Brata Kusuma Tajimalela, melainkan situs petilasan Prabu Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela atau Prabu Batara Tuntang Buana atau Prabu Cakrabuana atau Panji Romahyang, putranya Prabu Guru Aji Putih keturunan Galuh Pakuan.

Situs dan Makam yang ada di Puncak Gunung Lingga Desa Lingga Jaya, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, dari sumber referensi sekunder yang dipunyai penulis dan kondisi dilapangan dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Batu Mustadad Agung, menurut buku Pakuning Alam Darmaraja batu Mustadad Agung adalah batu lingga atau batu menhir kemandala-hyangan dan juga sebagai mandala kawikwan tempat bertapa di antara 12 gunung yang ada di Sumedang, sedangkan dalam buku Sejarah Layang Darmaraja merupakan batu ciri tempat moksanya Prabu Tajimalela yang diberi tanda oleh Kuntawisesa.




2. Batu tempat duduk atau ada juga yang menyebutnya Batu Pangsujudan, merupakan batu tempat duduknya Prabu Tajimalela melakukan Tapa Brata.



3. Batu Sela Kuda, menurut cerita adalah tempat mengikat tali kuda sempraninya Prabu Tajimalela, namun bila diperhatikan dengan seksama besar kemungkinan batu andesit tersebut adalah batu alam yang besar yang akan dipakai sebagai batu menhir lainnya.



4. Batu Lulumpang dan Mutu, adalah sepasang alat yang telah digunakan sejak zaman purbakala untuk menumbuk, menggiling, melumat, mengulek, dan mencampur bahan-bahan tertentu, misalnya bahan makanan, bumbu dapur, rempah-rempah, jamu atau obat-obatan.


5. Batu Kanon, batuan andesit besar yang tersedia di lokasi tersebut, dan disebut batu Kanon karena mungkin bentuknya mirip sebuah peluru kanon yang besar. Jadi orang-orang menyebutnya Batu Kanon.


6. Makam Raden Gedeng Waru atau Kuntawisesa, putranya Prabu Pucuk Bumi Darma Swara, Raja Kerajaan Sunda Pakuan antara 795-819 Masehi dan makam isterinya Raden Gedeng Waru yaitu Sari Anten atau Sari Ruhniati, ayah-ibunya Ratu Gandrunia atau mertuanya Prabu Gajah Agung dari permaisurinya Ratu Gandrunia.


7. Makam Husnatul Aliman atau Abu Ngamuk dan makam isterinya Mukoisyah atau Hipro Kayah, kedua orang tuanya Dalem Aji Agung Mustopa atau Isak Maulana, yang makamnya di Desa Kadaka Kecamatan Tanjungsari.



Kenapa disebut Batu Lingga Taji disebut Petilasan? 
Dalam Buku Rucatan Sejarah Darmaraja dijelaskan diatas ketika Prabu Brata Kusuma Tajimalela melakukan Tapa Raga / Tapa Brata, jasad dari Prabu Brata Kusuma tidak ada (menghilang) di Puncak Gunung Lingga atau dalam basa Sunda tilem (ngahyang) atau moksa dalam istilah Hindu. Bahkan ketika itu disaksikan oleh Kuntawisesa dan Darmawisesa salah seorang yang melayani Prabu Brata Kusuma ketika melakukan Tapa Brata.

Bila kita kaji secara ilmu ke kinian yang dimaksud tilemnya atau moksanya Prabu Tajimalela disebut dengan ilmu kesempurnaan Al Hadro (Ilmu Kesempurnaan dari Air), kalau kita uraikan dalam ilmu kimia science modern al Hadro adalah meledaknya (reaksi berantai dari atom Hidrogen) karena ada unsur Hidrogen dalam unsur H2O (air), begitu juga jika kita analogikan dengan jasad manusia yang mengandung kadar air dalam raga atau jasadnya. 

Namun di jaman kini susah ditemukan dengan elmu kesempurnaan Sangkan Paraning Dumadi, hal dikarenakan selain ujian tapabrata/taparaga yang lama dan berat dengan persyaratannya (susah dicerna/dilakukan oleh manusia modern, karena jaman sudah serba berubah ke arah kematerian).

Seperti yang tercatat dalam Naskah Cipaku yang dilakukan oleh Permana Dikusuma ketika Taparaga / Tapa Brata di Gunung Padang Darmaraja sebagai berikut :
"Tah ieu elmu manditha, lamun jampe hayang matih, ngabisu tapana, meunang tilu taun leuwih, ulah ganggu ka istri, dahar, sare meunang, eta elmuna ki Ajar Sakti, elmu manditha keur aya di Gunung Padang". 
Artinya "Nah ini ilmu untuk menjadi Pendita, kalau doa mau mustajab, membisu menahan hawa nafsunya selama 3 tahun lebih, tidak boleh bercampur suami-isteri, makan dan tidur boleh (maksudnya upawasanya), itu ilmu Permana Ajar Padang, ketika menjadi Pendita di Gunung Padang" (Naskah Pakuninng Alam Darmaraja)

Namn Ki Ajar Padang / Permana Di Kusuma keburu tiwas karena dibunuh oleh telik sandinya Raja Bondan/Tamperan Panaraban, sehingga tak mencapai ilmu Taparaga untuk mencapai kesempurnaan ilmu berikutnya, seperti yang dilakukan saudaranya Prabu Brata Kusuma di Gunung Lingga. (lihat silsilah diatas)

Satu hal lagi kenapa disebut Batu Lingga Taji diebut Petilasan, dalam Buku Pakuning Alam disebut ada 12 Gunung yang ada di Lemah Sagandu, yang saya jelaskan dibawah ini :
Setelah terciptanya Nur Muhammad (Allahumma sholi ala Muhammad wa aali Muhammad), Allah Azza Wajalla mencipta 3 (tiga) manusia dengan Ruh Tunggal.  Adapun Paku Alam merupakan sebuah tanda atau ciri bagi 3 (tiga) manusia dengan ruh tunggal, yaitu : 
1. Galuh
2. Adam
3. Muhamad
Saat kali pertama diturunkan ke bumi dimana air masih 100% menyelubunginya. Salah satu dari ketiganya yaitu Galuh, setelah diturunkan ke alam padang dan sekembalinya dari membangun kabah di tanah kosong bersama dengan 2 manusia yaitu Purbawisesa dan Teurawisesa dalam setelah jaman Tirta atau jaman setelah jaman banjir di masa Nabi Nuh a.s datang ke Paku Alam, Teurawisesa diperintahkan mendirikan 12 Ciri ke Mandala hyangan di Puncak dua belas Gunung, yaitu :
01. Gunung Rengganis
02. Gunung Padang
03. Gunung Lingga
04. Gunung Surian
05. Gunung Cakrabuana
06. Gunung Penuh
07. Gunung Sanghyang / Sangiang
08. Gunung Jati
09. Gunung Sunda
10. Gunung Burangrang
11. Gunung Jagat
12. Gunung Agung 
Dari kedua belas gunung tersebut kemudian lahir 12 (dua belas) nama bulan.

Begitu bila ditelaah batu Lingga Taji kemungkinan batu Lingga tersebut adalah batu besar sampai kedalam tanah, namun tertumpuk oleh tumpuk-tumpukan batu di atasnya, sebagai ciri Lingga Kabuyutan, yang nyungcung seperti aseupan. 

Jadi "Batu Lingga Taji" sudah ada dari awalnya dan di Gunung Lingga tersebut, dimana dijadikan tempat oleh Prabu Brata Kusuma melakukan Tapa Raga / Tapa Brata dan jasadnya moksa karena kesempurnaan ilmu yang beliau pelajari dari para Resi.


Sumber Bacaan :
1. Buku Rucatan Sejarah Darmarja
2. Naskah Pakuning Alam Darmaraja

Baca Juga :

Tidak ada komentar