Situs Galuh Pakuan Ratu Galuh Desa Cibubut Kecamatan Cibugel

Kecamatan Cibugel berdiri menjadi wilayah Kecamatan secara resmi pada tanggal 11 Januari 1992, hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 03 Tahun 1992, yang ditetapkan di Jakarta, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia.

Sebelum menjadi wilayah kecamatan, Cibugel merupakan wilayah Perwakilan Kecamatan/Kapermat, yang pada saat itu hanya terdiri dari 2 Desa yaitu Desa Cibugel dan Desa Cipasang. Dan termasuk wilayah kecamatan Darmaraja. Saat ini Kecamatan Cibugel berkembang menjadi 7 (tujuh) desa yaitu: Desa Cibugel, Desa Cipasang, Desa Tamansari, Desa Sukaraja, Desa Buanamekar, Desa Jayamekar dan Desa Jayamandiri.

Di lokasi Situs Galuh Pakuan ada "Padepokan Simpay Galeuh Pakuan Pajajaran", yang didirikan oleh Uyut Ohan Wijaya Kusumah (alm).


Penduduk Kecamatan Cibugel sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani baik tanah kering (perkebunan) maupun tanah basar (sawah). Hasil bumi yang dihasilkan kecamatan Cibugel diantaranya adalah padi, jagung, ketela pohon, tembakau dsb.

Secara geografis Kecamatan Cibugel berlokasi di bagian selatan Kabupaten Sumedang berbatasan langsung dengan Kabupaten Garut (Kecamatan Limbangan dan Kecamatan Selaawi). 

Sebelah baratnya berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, sementara sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Darmaraja dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wado. Jarak dari Kota Sumedang sekitar 43 km melalui jalur Kecamatan Darmaraja. Wilayah Kecamatan Cibugel merupakan dataran tinggi sehingga cuacanya cukup dingin walau di siang hari. Posisinya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Garut ditambah mudahnya akses ke wilayah Kabupaten Garut, kegiatan perekonomian penduduknya cenderung ke arah Kabupaten Garut. Kendaraan umum yang tersedia juga baru yang menghubungkan Cibugel - Limbangan, Garut.

Berawal tempat pertemuan Sayidina Ali r.a bertemu Ratu Galuh Abad ke-7, tepatnya 625 M, ketika Sayidina Ali melakukan Ekspedisi ke Bumi Nusantara dengan Banten, Tanjung Lisung, Situs Batu Hitam di Cipaku sebagai gerbangnya. Pertemuan Wretikandayun dengan Sayyidina Ali r.a, menginspiriasi beliau mendirikan Kerajaan Galuh, dimulai dari Cibubut, ke Limbangan.




"Ratu Galuh ngabakal nyieun Nagara, ngabukbak deui, terus ngadamel kadatun, jangeun tempat karatuan, di Cibubut Nagara Galuh, nyaeta nagara nu paling mimiti, terus nyieun deui Nagara di Maraja Sakti" - Manuskrip Cipaku.
Alih bahasa Indonesia :
"Ratu Galuh memulai membuat Negara galuh, membuka lahan lagi, terus membuat kedaton, untuk membuat Keraton di Cibubut Negara Galuh, yaitu Negara yang paling awal, terus membuat lagi keraton di Maraja Sakti".  - Manuskrip Cipaku.

Menurut keterangan Kuncen Cibubut Cibugel : "Kerajaan Galuh Pakuan awalnya didirikan di Cibubut Cibugel, kemudian dialihkan ke Limbangan"

Raja pertama Kerajaan Galuh adalah Wretikandayun (ada yang menulisnya Wertikandayun). Kendati hingga kini belum ada bukti di mana letaknya yang pasti ?, namun hingga sekarang ada sebuah desa bernama Bojong Galuh atau Galuh Bojong di Kawali Ciamis. Kita ketahui Galuh Bojong sendiri didirikan oleh Tamperan (Raja Bondan), warisan karajaan daripada Mandiminyak, Sanjaya lalu ke Tamperan (Raja Bondan), pada  masa Permana di Kusuma (Permana Ajar Padang - Situsnya ada di Gunung Padang Cikeusi Darmaraja) 

Manuskrip Cipaku hal. 28 menjelaskan : 
"Raja Bondan indit ti Ciduging, pindah Ka Bojong Galuh, eta ngaranna Galuh Bondan" 
Alih Bahasa Indonesia :
"Raja Bondan (Tamperan) pergi dari Ciduging Darmaraja, pindah ke Bojong Galuh, itu namanya Galuh Bondan"

Lihat Silsilah di bawah ini : 


Wretikandayun memerintah Kerajaan Galuh selama 90 tahun, dari tahun 612 hingga 702. Ia menikah dengan putri Resi Makandria, Nay Manawati atau disebut juga Dewi Candrarasmi. Dari pernikahan ini, Wretikandayun memiliki tiga orang anak, yakni Sempakwaja, Wanayasa (Jantaka), dan Mandiminyak (Amara). Karena Sempakwaja dan Jantaka memiliki kekurangan fisik, yang menjadi raja Galuh menggantikan Wretikandayun adalah Mandiminyak, putra bungsu.



Sempakwaja yang bergigi ompong (Sempakwaja berarti “bergigi ompong”) menjadi pendeta di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Wanayasa atau Rahyang Kidul memilih jadi pendeta di Denuh karena dirinya menderita kemir (hernia).

Mandiminyak memerintah di Kerajaan Galuh selama tujuh tahun, dari 702-709. Permaisurinya bernama Dewi Parwati, putri pasangan Kartikeyasingha-Ratu Sima dari Kerajaan Keling (Kalingga). Namun, ternyata Mandiminyak menjalin hubungan gelap dengan kakak iparnya sendiri, Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja. Dari Parwati, Mandiminyak memiliki putri bernama Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu dihasilkan anak lelaki bernama Sena (Bratasenawa).

Kemudian, Sannaha dinikahkan dengan Sena (saudara sebapak, lain ibu) yang menghasilkan seorang anak lelaki yang kelak menurunkan raja-raja di Jawa Tengah, yakni Sanjaya. Pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal (dibuat tahun 732 M), disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha. Sedangkan dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena.

Dewi Parwati sendiri memiliki adik lelaki bernama Narayana. Narayana menikah dengan putri dari Jayasinghanagara dan memiliki anak bernama Dewasingha. Salah seorang anak Dewasingha adalah Limwa atau Gajayana, yang ketika berkuasa memindahkan ibukota kerajaan ke Linggapura di Jawa bagian timur yang asalnya berlokasi di Jawa Tengah bagian selatan.


Kudeta Pertama Di Galuh
Raja Galuh ketiga, Sena (709-716 M), memiliki nama nobat Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun (669-723). Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi atau Nay Sekarkancana.

Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Tarusbawa, yakni Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun (723-732).

Sena digulingkan dari takhta Kerajaan Galuh oleh Purbasora Jayasakti, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Jadi, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, Sempakwaja tidak diangkat menjadi raja karena dinilai kurang layak menjadi pemimpin.

Hubungan Purbasora dan Sena tak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun. Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu. Dari Pwahaci, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan (Carita Parahyangan menyebutnya Seuweukarma yang menganut Buddha).

Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, Purbasora melancarkan kudeta merebut Kerajaan Galuh. Sena melarikan diri ke daerah timur di sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima. Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun (716-723). Ia menikah dengan putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citrakirana.

Sanjaya alias Rakeyan Jambri, anak Sena, pun tak tinggal diam; berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Segera Sanjaya, yang penganut Hindu-Siwaisme, meminta bantuan Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, sahabat baik Sena juga.

Pasukan khusus ini dipimpin Sanjaya langsung, sementara pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari secara diam-diam dan sangat mendadak. Seluruh keluarga Purbasora tewas. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, Bimaraksa yang menjabat Patih Kerajaan Galuh, bersama segelintir pasukan.

Bimaraksa dikenal juga dengan nama Ki Balangantrang karena ia pun merupakan senapati kerajaan. Bimaraksa juga merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Dalam pelariannya, Bimaraksa bersembunyi di kampung Geger Sunten dan diam-diam menghimpun kekuatan untuk melawan Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, kerajaan yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Sanjaya karena dahulu membantu Purbasora dalam usaha menjatuhkan Sena.

Sena sempat menasehati Sanjaya bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri memang tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia menyerang Galuh hanya dalam rangka balas dendam. Setelah mengalahkan Purbasora, Sanjaya segera mendatangi ayah Purbasora, yakni Sempakwaja, di Galunggung. Ia meminta agar uwaknya itu menobatkan Demunawan, adik Purbasora, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga kalau hal tersebut merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sementara itu, Sanjaya pun tidak bisa menghubungi Balangantrang karena tak mengetahui keberadaannya. Melihat situasi ini, terpaksa Sanjaya mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh. Dengan demikian, Sanjaya merupakan raja pertama yang memerintah di dua kerajaan sekaligus, Sunda dan Galuh.

Selama menjadi raja Galuh, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Kerajaan Galuh kurang begitu disenangi. Sebabnya: karena ia bukan asli Galuh melainkan orang Pakuan (Sunda). Maka dari itu, ia menobatkan Premana Dikusuma, cucu Purbasora, menjadi penguasa Galuh. Sebelumnya, Premana Dikusuma merupakan raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Karena itu, ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

Selain karena Premana cucu Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana, yakni Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.

Premana Dikusumah dan Naganingrum kemudian memiliki anak lelaki bernama Surotama alias Manarah. Surotama lahir pada 718 M. Saat Sanjaya menyerang Galuh ia masih kecil, berusia 5 tahun. Dalam sastra (literatur) Sunda klasik, Surotama dikenal sebagai Ciung Wanara. Di hari kemudian, kelak Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, akan mengurai kisah tragis yang menimpa keluarga leluhurnya, sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan balas dendam.

Untuk mengikat kesetiaan Premana terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.

Di lain pihak, Premana pun terpaksa menerima kedudukan Raja Galuh. Ia segan menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia namun tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Posisi Premana dalam keadaan serba sulit.

Sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda, ia harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya sendiri. Sebagai solusinya, Premana memilih meninggalkan istana. Telah bulat tekadnya: ia akan bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Sungai Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya. Pemerintahan ia serahkan kepada Tamperan, Patih Galuh yang menjadi “telik” sekaligus anak Sanjaya.

Ternyata, Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat hubungan terlarang. Dengan Pangrenyep, istri Premana, Tamperan terlibat hubungan gelap. Hubungan rahasia mereka membuahkan seorang anak lelaki bernama Kamarasa alias Aria Banga (723 M). Hubungan terlarang ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, ketika ditinggal suaminya pergi bertapa, Pangrenyep merupakan pengantin baru yang berusia 19 tahun.

Kedua, baik Tamperan maupun Pangreyep umurnya sebaya dan telah mengenal satu sama lain ketika masih di Keraton Pakuan. Ketiga, keduanya sama-sama cicit Tarusbawa. Selain itu, mereka sama-sama merasakan penderitaan jiwa karena kehadiran mereka sebagai orang Pakuan yang kurang diterima di Galuh.

Agar hubungan gelapnya tak tercium oleh orang lain, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Premana. Dan setelah si pembunuh bayaran tersebut berhasil menghabisi Premana, sungguh malang ia pun dibunuh pula oleh orang-orang suruhan Tamperan. Langkah ini diambil Tamperan agar rahasianya tertutup rapat-rapat. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan kejadian ini akhirnya tercium oleh Ki Balangantrang.

Pada 732 M Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan Medang Kamulan (Bhumi Mataram) dari ibunya, Sannaha. Sebelum meninggalkan Pakuan, ia mengatur pembagian kekuasaan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan (lahir pada 646 M). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja. Demunawan inilah yang kemudian mendirikan istana di Saunggalah, yang kelak sempat dijadikan istana raja-raja Sunda-Galuh selama beberapa kali.


Keterkaitan Makam Mbah Jangkung Panjangnya 7 Meter dengan Mandala Purwa Galuh

Adanya Makam Panjang di Kamandalaan atau Kabuyutan Galuh Pakuan berkaitan dengan  Kemandalaan atau Kabuyutan Purwa Galuh baru tercatat di masa Kerajaan Tarumanagara dalam 48 Kemandalaan atau Kabuyutan di Tatar Parahyangan pada abad 3 Masehi, itu juga berdasarkan Naskah Carita Parahyangan, Sanghyang SiksakandaNg Karesian, Sewaka Dharma, dan Bujangga Manik.

Mandala, Ashram, Kabuyutan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat-tempat para Hyang tersebut. Dalam konteks Jawa Barat dan Masyarakat Sunda, kata Kabuyutan lebih sering digunakan untuk menyebut tempat-tempat seperti itu, seperti tercantum dalam naskah-naskah kuno. Ada dua jenis Kabuyutan yang dikenal oleh masyarakat Sunda yaitu : Lemah Dewasasana dan Lemah Parahyangan. Lemah Dewasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang (Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3).

73 Mandala di Tatar Parahyangan yang disebut dalam Naskah Sunda Kuno. Dalam pemahaman masyarakat Sunda, tempat suci Mandala dan Kabuyutan sering dipersamakan. Keduanya merupakan tempat Suci bagi masyakat Sunda di tatar Sunda. Bedanya, istilah Kabuyutan mengacu pada Sundayana, Agama Sunda yang kini dikenali Sunda Wiwitan. Sedangkan Mandala atau Kemandalaan dipengaruhi Agama Buddha. Semua tempat suci yang disebut Mandala atau Kemandalaan dapat disebut sebagai kabuyutan, tetapi tidak sluruh Kabuyutan dapat diklasifikasikan sebagai Kemandalaan. Sementara di Tatar Sunda, menurut Undang A Darsa terdapat 800 Kabuyutan. Mandala yang dipimpin Gururesi atau Guruloka Wangsa Ungkara. Nama ini sangat khas berasal dari Agama Hindu : Ongkara, Hongkara. 

Lemah Dewasasana, mungkin merupakan Mandala bagi para penganut Budha atau Hindu, karena Dewa adalah zat tertinggi (Tuhan) menurut konsep Agama Hindu, yaitu Dewa-Dewa : Brahma, Wisnu dan Siwa yang menyatu menjadi Trimurti. 

Lemah Parahyangan adalah Mandala bagi para penganut yang lebih memuja kepada para leluhur atau nenek moyang yang telah berlaku sejak jaman Prasejarah (Kebudayaan Megalithikum).

Lemah Parahyangan disebut juga sebagai Kabuyutan Jatisunda. Dari prasasti dan naskah-naskah Sunda kuno dapat diketahui beberapa Mandala di tanah Sunda, antara lain Mandala Sunda Sambawa, Mandala Jayagiri (dari prasasti Kabantenan), Mandala Galunggung (naskah kropak 632), Mandala Gunung Kumbang (naskah kropak 408), Mandala Denuh (Kropak, Carita Parahyangan).

Warga masyarakat Mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa di Mandala, sedangkan warga negara bertugas melakukan tapa di nagara. Tapa disini bukanlah dalam pengertian umum yang berlaku sekarang, yaitu hidup mengaasingkan diri di hutan atau gunung untuk melakukan hubungan dekat denga Zat Maha Tinggi (Tuhan / Karuhun) dalam rangka mencari kekuatan lahir dan batin untuk mencapai suatu tujuan. 

Namun masyarakat Sunda lama memiliki konsep tersendiri mengenai tapa. Naskah kropak 632 menjelaskan mengenai pengertian tapa sebagai berikut :

Carekna patikrama na urang lanang-wadwan. Iya twah iya tapa. Iya twah na urang. Gwareng twah gwareng tapa, Maja twah maja tapa, Ram pes twah, ram pes tapa; apana urang Ku twahna mana beu(ng)har, ku twahna mana waya tapa.”
Artinya :
Menurut ajaran dalam Patikrama (segala adat), bagi kita, laki-laki dan wanita, Amal itu sama dengan tapa. Itulah makna amal pada kita. Buruk amal, buruklah tapa, sedang amal, sedanglah tapa. Sempurna amal, sempurnalah tapa. Kan kita ini karena amal kita dapat menjadi kaya, karena amal pula kita berhasil dalam tapa” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 31,38).

Dengan kata lain, dalam pengertian Sunda lama, pengertian tapa sama dengan berkerja. Dalam hal ini berkerja menurut tugasnya masing-masing. Sebagai penduduk Mandala, telah melakukan tapa, apabla mereka telah berkerja sesuai denga tugas penduduk Mandala. Bagi orang Sunda warga masyarakat nagara (diluar masyarakat Mandala), telah melakukan tapa, apabila telah berkerja sesuai dengan tugas sebagai penduduk Nagara.

Pada perkembangannya selanjutnya Mandala ini bisa menjadi Mandala Raja (Keraton atau Keprabonan Raja) karena ada wilayah dan masyarakat yang dipimpinnya.



Perkebunan Teh di Puncak Pebukitan Daerah Cibubut Kecamatan Cibugel Sumedang 
Photo 1 : Pangawung Rangga Jelajah Situs Cibubut Kecamatan Cibugel Siang Hari

Photo 2 : Pangawung Rangga dan Kuncen  Jelajah Situs Cibubut Kecamatan Cibugel Siang Hari

Photo 3 : Pangawung Rangga dan Kuncen  Jelajah Situs Cibubut Kecamatan Cibugel Siang Hari

Photo 5 : Makam Lainnya di Situs Galuh Pakuan Cibubut  Kecamatan Cibugel 


Photo 6 : Makam Panjang 6 - 7 Meter Mbah Jangkung di Situs Galuh Pakuan Cibubut  Kecamatan Cibugel


Photo 7 : Penulis bersama Rombongan NKSL Musium Geusan Ulun
berjiarah ke Makam Cibubut Cibugel Galuh Pakuan 




Kemandalaan Purwa Galuh lokasi menyebar dari Majalengka - Sumedang - Garut - Ciamis - Tasikmalaya
Contoh : Kemandalaan atau Kabuyutan Purwa Galuh  di Majalengka - Ciamis adanya situs Batu Jahim Batu Panjang, Di Sumedang ada : Situs Selahuma atau Situs Seulareuma, Mandala Mandala Herang, Situs Gunung Cupumanik Gunung Tampomas,  Situs  Batu Lingga di Gunung Mandalasakti di Darmaraja, Situs Sanghiyang Tapak di Ciparigi Tapak Kaki manusia raksasa, dsb. 

Lebih jauh penghuni manusia di tatar Parahyangan kemungkinan telah mengisi beberapa wilayah di Tatar Parahyangan sebagaimana diungkapkan dalam pemaparan video sejarah tanah Parahyangan Sunda yang di mulai peradaban Gunung Padang, Peradaban Manusia Gua Pawon dst, yang terus berkesinambungan. 

Lihat videonya : https://www.youtube.com/watch?v=6vWOkXDgGUE

Beberapa Kemandalaan atau Kabuyutan Purwa Galuh tersebar di wilayah Darmaraja Sumedang yang berada pada kawasan "Sungai Cimanuk Purba".

Teks naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 menjelaskan uraiannya dengan keadaan di Pulau Jawa sejak sudah adanya pemukiman manusia.

Dikemukakan pula tentang kesuburan tanah dan kemakmuran di Pulau Jawa, disusul uraian mengenai kedatangan orang-orang dari luar Nusantara yang kemudian menyebar dan menetap di Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara. Dengan rinci bagan awal teks naskah ini menguraikan lima jaman di Pulau Jawa.

1. Jaman Purba yang pertama, disebut Jaman Satwapurusa. Jaman ini dihuni oleh manusia yang berjalan seperti kera. Mereka berdiam di atas pohon, belum berpakaian dan belum berperasaan seperti manusia sekarang. Kulit mereka berwarna hitam dan berbulu. Mereka hidup antara 1.000.000 – 500.000 tahun sebelum permulaan tarikh Saka. Mahluk ini punah tanpa sisa. Di wilayah lain di Pulau Jawa hidup pula sejenis satwapurusa yang lain, tetapi tingkah lakunya seperti manusia. Kulitnya berwarna hitam kemerah-merahan, tabiatnya baik, tetapi selalu membawa senjata yang terbuat dari batu dan tulang. Mereka ini lebih cerdas daripada satwapurusa yang berjalan seperti kera. Mereka hidup antara 750.000 – 250.000 tahun sebelum tarikh Saka.

2. Kemudian jaman purba kedua yang disebut Jaman Yaksapurusa. Jaman ini dihuni oleh manusia seperti yaksa atau raksasa. Tabiatnya buas, tubuhnya tinggi dan besar, kulitnya berwarna hitam dan berbulu. Manusia yaksa ini hidup antara 500.000 – 300.000 tahun sebelum tarikh Saka. Sesudah manusia yaksa ini lenyap, muncul manusia yaksa jenis yang lain yang asal-usulnya tidak diketahui dengan jelas. Manusia yaksa jenis ini badannya lebih kecil, sedangkan kulitnya tidak hitam dan tidak banyak bulu. Manusia yaksa ini lebih cerdas dari manusia yaksa sebelumnya. Mereka hidup antara 300.000 – 50.000 tahun sebelum tarikh Saka.

3. Selanjutnya jaman purba ketiga yang disebut Jaman Wāmanapurusa. Manusia jaman ini berbadan kecil. Senjata mereka terbuat dari batu, buatannya belum sempurna. Mereka hidup di Pulau Jawa pada 50.000 – 25.000 tahun sebelum tarikh Saka. Oleh sang mahakawi jaman purba ini disebut pula jaman purba madya.

4. Setelah itu muncul jaman purba keempat yang disebut Jaman purwapurusa. 
Jaman purwapurusa ini terbagi dua, yaitu : 
- Jaman purwapurusa pertama, antara 25.000 – 10.000 tahun sebelum tarikh Saka. Manusia jaman ini membuat berbagai perkakas dan senjata dari batu, kayu, tulang, dan lainnya. 
- Jaman purwa purusa kedua, antara 10.000 – 1.000 tahun sebelum tarikh Saka.

Purwapurusa jaman ini membuat perkakas dan senjata yang sudah bagus buatannya. Setelah itu jaman purba kelima yang disebut jaman orang-orang pendatang baru dari daerah sebelah timur Bharatanagari. Oleh para mahakawi jaman ini disebut jaman purba terakhir. Jaman purba terakhir ini terbagi dalam lima bagian, yaitu :
(1) yang pertama antara 10.000 – 5.000 tahun sebelum tarikh Saka; 
(2) yang kedua antara 5.000 – 3.000 tahunsebelum tarikh Saka;
(3) yang ketiga antara 3.000- 1.500 tahun sebelum tarikh Saka; 
(4) yang keempat antara 1.500 – 300 tahun sebelum tarkh Saka; 
(5) yang kelima antara 300 sampai awal tarikh Saka.

Keberadaan manusia-manusia penghuni kabuyutan tatar parahyangan pada awal 300 tarikh Saka, tak hanya di tatar kulon saja yang berada di wilayah "Sungai Citarum Purba", yang kita kenal sebagai pendirinya di tatar kulon yaitu Mandala Raja Salakanagara. Sementara di tatar "Cimanuk Purba" berdiri pula-pula kabuyutan atau kemandalaan purba hyang yang tersebar secara sporadis, meskipun masih sedikit penghuninya. (MATARUM).

Selanjutnya diuraikan mengenai pendatang-pendatang baru dari Singhanagari, Salihwahananagari, dan Bhumi Ghaudi, dari Bharatawarsa (India). Mereka datang di Pulau Jawa pada awal tarikh Saka. Mereka datang dengan memakai perahu. Mula-mula tiba di Jawa Timur, kemudian ke Jawa Barat. Mereka dating dengan tujuan berdagang dan menjual jasa dengan penduduk setempat. Mereka membawa barang dagangan berupa pakaian, berbagai perhiasan, emas, perak, permata, obat-obatan, dan berbagai barang lainnya. Barang-barang yang dibelinya di sin adalah rempah-rempah, hasil bumi, dan lai-lain.

Di antara pendatang kemudian banyak yang bermukim di sini dan memperistri penduduk setempat, serta tidak kembali ke negeri asalnya. Mereka hidup akrab dan bersaudara. Para pendatang dari Bharatanagari ini juga mengajarkan agama mereka kepada penduduk setempat. Mereka memuja dewa trimurti di samping dewa-dewa lain. Penduduk setempat asalnya para pendatang juga, sejak dahulu mereka mengadakan pemujaan kepada nenek moyang. Tidak lama antaranya banyak pula penduduk yang memeluk agama baru, dan banyak pula para pendatang yang menikah dengan anak penghulu setempat. Para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawadi bumi Bharatanagari.

Mereka datang menaiki beberapa perahu yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa. Sang Dewawarman sudah bersahabat dengan penduduk daerah pesisir Jawa Barat, Nusa Apuy, dan Pulau Sumatra bagian selatan. Sang Dewawarman bersahabat pula dengan penghulu penduduk setempat, akhirnya bermukim di sini dan lama-kelamaan menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat. Sang Dewawarman kemudian beristrikan anak penghulu penduduk wilayah desa itu. Sang penghulu (Aki Tirem - Misi Ti Rama) atau dikenal di Pesisir Kulon ada yang menyebutnya Wali Jangkung - Rama Jangkung - berbadan tinggi), kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepada menantunya Dewawarman

Pada tahun 52 Saka (130 Masehi) Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja. Kerajaannya diberi nama Salakanagara, ibukotanya diberi nama Rajatapura. Ia bergelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarma Haji Raksagapurasagara, dan menjadi raja sampai dengan tahun 90 Saka (168 Masehi).
____________________
Sosmed Media : Dedi E Kusmayadi Soerialaga, DKS & KSL Sumedang, Kamantren Sejarah

Baca Juga :

Tidak ada komentar