Gunung Cadas Nangtung Batu Tonggak di Pasanggrahan Sumedang Selatan, Warisan Aktivitas Kebudayaan Pra Sejarah di Tatar Sunda kah?

PENDAHULUAN

Secara sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah (baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘mukti etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda-beda pula, baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.

Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas kebudayaan prasejarah di Tatar Sunda, secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental :
  • Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan ? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan
  • Apakah kebudayaan suatu masyarakat / individu / kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam ?
  • Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ?
Layaknya pepatah kuna mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘supraorganik’ atau perlatan ‘nonragawi’ yang merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.

Maka dalam rangka IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah yang dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.

Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara (protosejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim.

Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara dirinya kepada PenciptaNYA.


LETAK ASTRONOMIS DAN GEOGRAFIS CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN SUMEDANG SELATAN

Gunung Cadas Batu Tonggak Nangtung (Pasir Reungit) secara geografis (GPS) pada koordinat 06° 51’ 43”-51°43” Lintang Selatan (LS) dan 107° 53’59,9” Bujur Timur (BT), dengan ketinggian dari permukaan laut (dpl) 525 m. 

Terletak di Kampung Seulareuma (dahulu Salareuma), Desa Pasanggarahan Kecamatan Sumedang Selatan menempati lahan tertinggi dari sekitarnya diapit dua kampung lainnya yang mengisi dataran lebih rendah yaitu Kampung Lebak Huni (Sebelah Barat) dan Kampung Legok Bungur (sebelah Timur). Diapit oleh dua sungai yaitu Ciwaru dan Cikopok, dan berada pada jalur lintas propinsi Sumedang - Bandung 



Lokasi yang dirujuk berupa suatu bukit yang oleh penduduk bersangkutan disebut Pasir (Sunda : Pasir = Gunung Kecil) di lingkungan pegunungan Perbukitan Sumedang Selatan yang terdiri dari :
  1. Gunung Cadas Nangtung 
  2. Gunung Pasir Konci, Pasir Peti
  3. Gunung Benteng Ciguling.
  4. Gunung Palasari.
Keatas lagi di lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat ;   Batu korsi (Stonesit ) Gunung / Pasir Ciguling  dan Situs Makam Geger Hanjuang Makam Sunan Guling di Dusun Ciguling  Desa Margalaksana Kecamatan Sumedang Selatan.



Pasir Reungit merupakan salah satu bukit (Pasir) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap jalan raya Sumedang – Bandung). 

Penggalian berkaitan dengan usaha penambangan sumber daya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV. Stone House. Sekitar 50 % lahan bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan pihak perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang sangat besar sekali.


BATU TONGGAK DI GUNUNG CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG SELATAN, SITUS ATAU SEKEDAR HASIL PROSES GEOLOGI SEMATA ?

Dari catatan ringkas (arsip Polisi Wilayah Priangan) tentang Gunung / Pasir Reungit diberikan oleh seorang bernama Rohman (Bojongmenje - Cangkuang, Rancaekek, Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Ia membuat catatan ringkas (arsip Polwil Priangan Bripka. Asep Harijadi) tentang Gunung / Pasir Reungit atas dasar apa yang dilihatnya dengan dilengkapi keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar (87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung / Pasir Reungit ditemukan terowongan dari sungai Cipeles yang menembus hingga ke Pasir Reungit, di dalam terowongan ada jalan berupa teras-teras undakan yang disusun menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.

Disebutkan oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di Puncak Gunung / Pasir Reungit ini kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon. Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya Gunung / Pasir Reungit adalah SITUS :
1.  Ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung / Pasir Reungit;
2. Ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu–batu di atas, dan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.

Keterangan yang sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal dalam usia 74 tahun) menceritakan Pasir Reungit semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai digali dan diketahui mengandung batu-batu tonggak ketika pada tahun 1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan kawasan Pasir Reungit terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Pasir Reungit.

Dari kondisi yang telah ditampakkan CV Stone House. Gunung / Pasir Reungit mengandung sumber daya alam berupa batu-batu tonggak dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam. 

Maka permasalahan yang hadir : “Apakah kawasan Pasir Reungit ini hasil karya manusia (artefak) ataukah hadir semata karena gejala alam ?”

Karena alasan kondisi inilah pihak keamanan setempat yang berwenang di wilayah Pringan Timur – Polisi Wilayah Priangan dipimpin Kolonel Anton  (Kapolwil Priangan), menimbang dan mencurigai kemungkinan tidaknya Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan sebagai Situs Bersejarah.

Menegaskannya, perlu Tenaga Ahli yang secara profesional memiliki latarbelakang pengetahuan disiplin ilmu bersangkutan. Bersamaan dengan itu penyidik dari pihak PolWil Priangan mengundang beberapa Tenaga Ahli (Ilmuwan) dari berbagai disiplin ilmu, yang khusus dimintai pendapatnya tentang identifikasi dan status Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam yang tampak sebagaimana adanya kini.

Keterangan disampaikan beberapa oleh Tenaga Ahli tersebut direkam sesuai proses verbal menurut pihak Kepolisian Wilayah dan disimpan sebagai bukti saksi (istilah penyidik Polwil) atas status Pasir Reungit. Secara lisan diterangkan oleh Kompol Elman Limbong (salah seorang penyidik Polwil Priangan) bahwa pihak Polwil Priangan belum memperoleh ketegasan tentang status Gunung / Pasir Reungit.

Permasalahan yang menanti jawaban adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang dinilai cukup mencurigakan itu apakah dapat dikaitkan dengan warisan aktivitas budaya yang disebu “SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis semata?

Penggalian CV. Stone House telah menampakkan Gunung / Pasir Reungit dengan kandungan sumber daya alam berupa bongkah-bongkah batu andesit yang berbentuk tonggak dengan ukuran sangat besar dan kokoh. Lahan bukit yang telah ditampakkan tersebut sekitar 50 %, beberapa diantaranya dibaringkan di bagian bawah bukit di halaman rumah milik Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada pada tempatnya (intax sesuai matrixnya).

Sejumlah besar batu yang telah nampak ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan telah banyak dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga untuk menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat keras tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras, namun belakangan Perusahaan CV. Stone House menggunakan mesin berat dan besar yaitu Buldozer yang kini masih terparkir di halaman rumah penduduk.

Ketika diamati lebih seksama batu tonggak memiliki bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya, berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian bawah (menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas” sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuk- nya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara 60 - 70 cm.


Pada bagian lereng bawah Gunung / Pasir Reungit (dibawah susunan batu tonggak) masih terhampar kerakal andesit dan kericak sebagian masih tersusun rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil (kerikcak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam Gunung/Pasir Reungit.

Lahan paling atas tatanan batu tertutup tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu, diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan Gunung/Pasir Reungit kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara di Cimanuk.

Diantara dinding ruas jalan (Sumedang – Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus menjadi batas lahan Gunung/Pasir Reungit. Pada lahan ini ditemukan lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm) Kendati besaran ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero) sehingga sulit untuk diamati.

Hasil pengamatan terhadap Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan :
  • Lahan terbuka yang masih intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindahtempatkan atau diubah oleh manusia.
  • Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah - Gunung / Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan.
  • Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk.
Dapat disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan lebih merupakan lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dan tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya sekarang. Lalu bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan Gunung / Pasir Reungit dan keberadaannya? Ke dalam pengertian Gunung / Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak awal hingga sekarang?

Karena manusia di dalam upaya memanfaatkan lingkungan pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu lingkungan fisik. Pertimbangan ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative), sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu lingkungan tertentu.


Apakah yang disebut Situs, Bagaimana Kaitannya dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan ?

Seorang pakar Arkeologi Prof.Dr. Moendardjito di dalam salah satu artikelnya berjudul “Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi” salah satu makalah di dalam Laporan Pelaksanaan Workshop Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kabupaten Karawang” (Cikampek, 15-19 April 2002), Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalan Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Tahun 2002 (8 halaman).

Mengemukakan secara rinci tentang apa dan bagaimana ketentuan suatu SITUS kedalam pengertian Arkeologi, pada lembar 3 aliena 10 ia menuturkan, sebagai berikut: “Nama Situs di Indonesia pada umumnya diberikan menurut nama lokasi administratifnya, meskipun tidak konsisten. Kadangkala menurut nama kampung, atau nama desa, kecamatan, dst. Seringkali juga menurut nama yang diberikan penduduk . . . Perlukah kita memberi nama secara sistematis seperti sekarang, atau kita memberi nama dengan cara lain, atau membebaskannya menurut keinginan masing-masing peneliti, perencana, atau penduduk.

Tingkat pengetahuan mengenai isi situs bertambah ketika mendalaminya, sehingga penamaan yang diberikan seringkali jadi berubah. Misalnya bukit yang dinamakan penduduk sebgai Unur Jiwa selanjut nya oleh peneliti menyebutkannya situs Unur Jiwa, setelah dilakukan penggalian dan ditemukan candi, peneliti menyebutkannya situd Candi Jiwa.

Tetapi mungkin ada peneliti yang menamakannya situs Segaran I karena berada di wilayah administratif Desa Segaran. Mungkin ini menguntungkan dari sudut pengelolaan secara administratif. Namun kerugiannya, jika desa tersebut berganti nama, akan menimbulkan permasalahan baru…”

Disebutkan bahwa kata ‘situs’ di Indonesia menimbulkan kerancuan dalam pemakaiannya, karena tidak konsisten dengan prinsip taksonomi keruangan yang sifatnya hirarkial. Untuk kota kuna Trowulan misalnya dengan luas 9 x 11 km dinamakan SITUS dengan tambahan keterangan yang menunjukkan keistimewaannya sebagi situs yang luas sebesar kota, yaitu SITUS KOTA (city-site, urban-site).

Istilah ini memang tidak salah benar karena ada dalam kepustakaan arkeologi. Hal ini mungkin disebab kan selama kita menganut definisi situs sebagai ‘sebidang lahan yang mengandung atau diduga meng andung tinggalan arkeologi’, tanpa merinci kompleksitasnya, dan keluasannya (apakah 1 meter persegi atau 1 hektar persegi), kepadatan penduduknya,dsb.

Penggunaan definisi tersebut di tasa tidak hanya dipakai di kalangan arkeolog-peneliti, tetapi juga arkeolog-pelestari sebagaimana tersurat dalm Undang Undang tentang Benda Cagar Budaya Tahun 1992. satuan ruang yang dinyatakan dalam undang-undang tersebut hanya ‘situs’, bukan ‘kawasan’. Kini, sudah ada upaya untuk memasukkan istilah, pengertian dan konsep ‘kawasan’ di dalam wacana para arkeolog Indonesia, tetapi belum dalam perundang-undangan…”

Moendardjito (2002:4) memperjelas keterangannya : bahwa pengertian ‘kawasan arkeologi’ secara sederhana diartikan ‘sebidang lahan yang relatif luas, yang mengandung sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan (spatial clustering sites), seperti kawasan Batujaya dan Pakisjaya tidak hanya berdekatan dal hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam hal bentuk (form), dan waktu (time).

Situs-situs yang berada dalam ‘kawasan’ tersebut dapat mengandung warisan aktivitas budaya (baca: arkeologi) yang sejenis atu aneka jenis, semasa atau lintas masa, tunggal atau banyak atau multi- componentsites, besar atau kecil. Di situs-situs itu juga terdapat sejumlah warisan aktivitas arkeologi berupa bangunan dan fitur, artefak, ekofak dan lingkungannya.

Menurutnya, di berbagai bagian dunia lain para arkeolog ‘Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi’ dikatagorikan dalam empat satuan ruang dengan berdasarkan kepada keluasan atu kompleksitasnya :
1. Satuan ruang ‘situs (site)’
2. Satuan ruang yang lebih luas dari situs yaitu ‘locality’
3. Satuan ruang yang lebih luas dari locality, yaitu ‘region’ 
4. Satuan ruang yang lebih luas dari region, yaitu ‘area’.

Namun di Indonesia ‘region’ dan ‘area’ disepadankan dengan istilah ‘kawasan’ atau ‘wilayah’ dipakai secara bergantian (rancu) di dalam tulisan-tulisan berupa laporan atau makalah/artikel; sedangkan ‘daerah’ dipakai sebagaimana adanya kini,

Ada juga istilah ‘mintakat’ untuk menyepadankan zona :
  1. Ada Zona I atau Zona Inti yang merujuk kepada Sanctuary Area
  2. Zona II atau Zona Penyangga yang merujuk kepada Buffer Area
  3. Zona III atau Zona Fasilitas yang merujuk kepada Facility Area, zona merupakan daerah sarana penunjang; di luar zona-zona atu mintakat-mintakat tersebut ada pula Zona IV atau Zona Lansekap Sejarah yang merujuk kepada Historical Landscape tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan lingkungan
Mengacu kepada paradigma ‘situs atau lahan situs’ yang diajukan Moendardjito tersebut, disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan situs-situs yang terletak diselilingnya berada dalam lahan yang tidak berjauhan, lahan-lahan yang secara tegas disebut SITUS dengan posisi mengelilingi, dengan mengambil pusat lahan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan, maka :
1. Situs Sanghyang Kolak di Gunung Palasari (1349,27 m)
2. Situs Batu Lingga Cikondang di Kampung Cikondang, Desa Pasanggrahan Baru (524 m)
3. Situs Batu Kursi di Kampung Pasir Peti, Desa Margalaksana (1641,61 m)
4. Situs Geger Hanjuang (Patilasan Kraton dan Makam Sunan Guling) Kampung Ciguling, Desa Margalaksana (1651,27 m)
5. Situs Cadas Gantung di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (1404,61 m)
6. Situs Patilasan Ibukota Sumedanglarang di Kampung Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan (1358, 78 m)
7. Situs Makam Prabu Pagulingan Raja Sumedanglarang ke-4 di Kampung Nangtung, Desa Ciherang (1291,07 m)
8. Situs Makam Bagus Suren di Kampung Jamban, Desa Girimukti (594,25 m)

Kedekatan antar ‘situs-situs’ tidak hanya ditunjukkan dalam keruangan (space) juga bentuk (form) dan waktu (time) yang secara ringkas :
  • Skala Ruang ditunjukkan oleh jarak yang tidak lebih dari 2 km (jarak yang cukup dekat) terletak pada delapan arah mata angin, dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan berada ditengah-tengah ‘situs-situs’ tersebut.
  • Skala Bentuk ditunjukkan oleh pemanfaatan batu-batu alam dengan bentuk yang sangat alami dengan “mengimposisi kepada lingkungan alam’. Seperti kenyataannya di Pasir Reungit terdapat singkapan lava bersifat basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint), oleh penduduk setempat disebut Batu Tonggak dan diyakini batuan andesitis. Kekar kolom (columnar joint) ini lazim terbentuk di daerah gunung api, hasil pembekuan magma yang keluar ke permukaan yang disebut lava. dengan bentuk yang bervariasi segilima, segienam ataupun segi delapan dengan arah kolom yang dapat berdiri / tegak, miring maupun rebah, tergantung dari arah dan pola aliran lavanya.
Dengan adanya kekar kolom, maka diketahui arah aliran lava, karena arah aliran lava tegak lurus dengan sumbu memanjang dari kolom kedudukan kekar kolomnya berdiri, meski miring sekitar 60%.

Di Situs bekas Ibukota Sumedanglarang di Ciguling terdapat batuan basaltis dengan kedudukan terguling/rebah, yang bertumpuk sejajar dan searah, yang pada dasarnya juga merupakan kolom-kolom dari lava basaltis.

Yang perlu dipelajari secara rinci adalah, apakah penumpukan tersebut merupakan hasil karya leluhur Kabuyutan, atau secara alami.

Jika penumpukan tersebut hasil karya leluhur, sangat mungkin bahannya diambil dari daerah sekitar yang tidak jauh, sebagaimana disebutkan seluruh tempat terdapatnya situs-situs merupakan batuan lava basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint). Namun jika penumpukan dengan kedudukan terguling / rebah adalah hasil kegiatan alam, artinya terdapat pola dan arah aliran lava yang berbeda dengan di Situs Batu Nantung, karena menghasilkan pola kekar kolomnya tidak berdiri / tegak seperti tonggak, melainkan terguling / rebah.

Demikian pula penamaan situs di daerah ini oleh masyarakat Sunda Sumedang masa lampau (Kabuyutan) sebagai Batu Nantung (Batu Tonggak / Berdiri) sangat sesuai dengan keadaan alam, batuan di situs tersebut berdiri tegak, atau Batu Tonggak memang terbentuk secara alamiah sebagai hasil pembekuan lava basaltis di permukaan, hasil kegiatan volkanisme pada Kala Plestosen (sampai sekitar 1,5 juta tahun yang lalu).

Batuan lava basaltis yang membentuk kekar kolom kiranya dimanfaatkan oleh Kabuyutan yang kini dapat dimaknai sebagai situs budaya masa lampau seperti di Situs Batu Menhir di Cikondang, Situs Ciguling, Situs Petilasan Kraton dan Situs Bagus Suren di Desa Girimukti. Selurus situs-situs itu terletak di suatu daerah bukit atau perbukitan yang diketahui jelas adanya suatu tubuh kekar kolom dari batuan basaltis digunakan Kabuyutan untuk kepentingan tertentu berhubungan sesuai nilai kehidupan kala itu.

— Skala waktu (time) ditunjukkan oleh sejumlah data tertulis (textual data) yang terdiri dari naskah prasasti, naskah karyasastra dan tradisi tutur 
— historiografi tradisional yang mengetengahkan peristiwa kontemporer Pasir Reungit selaras zamannya. 

Digunakannya sumber tertulis dalam rangka mengidentifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah sesuai sifat dan data Arkeologi yang didapat dengan melakukan pendaftaran, pencatatan dan pemugaran kemudian membahas masalah-masalah yang ada dibalik data kontekstual (artefak-artefak).

Akan tetapi penafsiran terhadap artefak-artefak atau data kontekstual selalu dilakukan kepada penjelasan-penjelasan sumber tertulis (data tekstual). Karena Arkeologi, disamping sebagai bidang ilmu yang berdiri sendiri juga dipandang bagian pengkhususan dari Antropologi, maka permasalahan perkembangan seni dalam kedua bidang tersebut didekati dengan cara yang sama.

Di belahan dunia lain Arkeologi sebagai bidang ilmu sebagian besar meliputi masa Prasejarah, maka warisan aktivitas budaya dipelajari tidak mengandung data tekstual (sumber tertulis). Dengan demikian penafsirannya bersandar pada analisis artefak dengan berbagai cara, ataupun pada analogi dengan data Etnografi. 

Di Indonesia membahas Arkeologi mengggunakan pendekatan 
1) Arkeologi Prasejarah dan pendekatan Antropologi, 
2) Oudheidkundige dan Art History.

Dalam hal inilah Oudheidkundige memberikan penjelasan mengenai artefak-artefak seni kuna meng- gunakan data tekstual berupa sumber-sumber tertulis yang memberi keterangan-keterangan pemikiran, khususnya tentang gagasan-gagasan keagamaan yang nyata dan secara faktual melandasi karya- karya seni tersebut. Sumber tertulis terutama digunakan untuk meletakkan suatu karya dalam titik waktu tertentu (kronologi) dalam tatanan Sejarah Kebudayaan.

Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah ‘Datum Point’ Kabuyutan (Ceremonial Center): Gerbang (Madyapada) Yang Berlaku Dalam Unsur Keyakinan Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda

Tatanan mengelilingi dengan pusat (puseur) di Gunung/Pasir Reungit adalah sesuai konsep Sang Sewasogata, Gunung/Pasir Reungit merupakan Pancatantramantra (lima unsur halus), yang secara gaib terdiri dari tujuh susun berupa kesirnaan/lenyap, tujuh susun bersuasana sunyi/hampa. Sedangkan di bagian selatan terletak Situs Batu Pangcalikan, simbol sakala (alam dunia) “Bhuhloka / Madyapada”(dunia tempat manusia).

Secara horizontal tatanan Gunung / Pasir Reungit dan situs-situs di sekitarnya yang mengilinginya di arah delapan mata angin merupakan pancer sebagai tonggak dangiang layaknya sarang lebah di dunia nyata “Jagat Leutik / Buana Leutik” dan secara vertikal melambangkan Jagat Gede / Jagat Ageung - Alam Semesta, sesuai Kropak 422 dan teks naskah Sang Hyang Hayu, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan :
  1. Susunan dunia bawah, saptapatala - ‘tujuh neraka’.
  2. Bhuhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada.
  3. Susunan dunia atas, saptabuana atau buana pitu ‘tujuh sorga’ bhuwarloka.
Tempat di antara saptapatala dengan sapta-buana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’. Senarai konsep tata ruang masyarakat Sunda yang secara kosmologis selalu bersifat triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’.

Dalam tatanan tersebut, Masyarakat Sunda mencari makna dunia menurut eksistensinya: menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun dikecualikan. Artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.

Di sini Gunung / Pasir Reungit atau Cadas Nangtung Pasanggrahan ataupun Selareuma merupakan Madyapada ‘bhuwarloka’ yang menjadi jembatan (Sunda: rawayan) batas antara alam pratiwi ‘dunia manusia’ atau bhuhloka menuju ke Swahloka atau buana. Dinamai Selareuma bukanlah semata mengacu pada ucapan asal-asalan dan semen-mena, melainkan tetap harus dikembalikan konsep dasar kosmologi Sunda.

Dijelaskan istilah selareuma secara morfologi terdiri atas dua kata, yakni sela dan reuma. Kata sela dalam bahasa Sunda artinya ‘celah atau jarak antara dua benda terpisah’, homofon dengan kata séla yang artinya ‘batu’. Kata reuma adalah varian bentuk dari istilah huma artinya ‘lahan perladangan/ perkebunan’, homofon dengan kata réma artinya ‘jari-jemari atau ujung rambut’ (R. Satjadibrata: KBS, 1954; Panitia Kamus LBSS: KBS, 1990; R.A. Danabrata: KBS, 2006).

Demikian pula istilah sela dikenal dalam bahasa Jawa berarti ‘sela, bersela, lapang, senggang’, sedang kan kata séla artinya ‘batu, kemenyan, intan, pelana, sela, ringka, ringga (gajah)’ (Prawiroatmojo, BJI. 1981). Dalam bahasa Jawa Kuno, sela dapat diartikan ‘selang, celah, antara; sedangkan séla adalah ‘batu’ (Mardiwarsito, KJKI. 1978; Zoetmulder, OJED. 1982). Akan tetapi Baik dalam bahasa Jawa masa kini maupun bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan kata réma juga reuma atau pun huma.

Namun secara morfologi ditemukan bahwa dalam bahasa Sunda, kata Selareuma artinya celah atau jarak di antara lahan perladangan atau perkebunan’; atau sélareuma, batu atau bebatuan di lahan perladangan / perkebunan. 

Selaréma juga merujuk arti celah atau jarak antara jari-jemari atau ujung rambut’; sélaréma artinya batu atau bebatuan bercelah seperti jari-jemari/ujung rambut. Dengan demikian, istilah selareuma, selaréma, juga selahuma merupakan bentukan kata asli dalam bahasa Sunda.

Selareuma atau sélareuma identik dengan selahuma mengandung pengertian sebuah tempat ladang bebatuan yang tegak berderet bagaikan jari-jemari; sementara itu istilah pasanggrahan secara morfologis terdiri atas kata dasar sanggrah yang artinya ‘menyimpan sementara (barang atau orang) sementara waktu’ mendapat gabungan awalan pa- dan akhiran –an yang berfungsi membentuk kata tempat atau lokasi. Jadi pasanggarahan artinya ‘tempat atau rumah peristirahatan sementara untuk bermalam para pejabat atau tamu penting’.

Senarai data tekstual (sumber tertulis) dan data kontekstual (data arkeologi) kini nyata bahwa Gunung / Pasir Reungit – Selareuma – Pasangggrahan merupakan tempat sementara persinggahan “Axis Mundi” karena itu Selahuma (baca : Selareuma) dalam Serat Purusangkara disebutkan sebanyak 25 x penyebutan, pada bagian yang menyebutkan istilah Selahuma merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris. Istilah yang sangat Sunda mencakup berbagai makna yang teramat dalam yang merujuk kepada kegiatan berladang (agraris) di dalam melangsungkan kehidupan sehari-hari (sensorable-message) yang juga dipakai untuk menamai hingga ke alam kalanggengan (unsensorable-message).

Gunung/Pasir Reungit adalah “Axis Mundi” alam sela / Madyapada, dan bukan kebetulan pula jika bentuk-bentuk tonggak batu menjulang “menhir” ini disediakan alam (proses geologi), sesuai konsep kepercayaan Sunda, layaknya untaian reuma ‘alam celah’ pemberhentian sejenak, perjalanan jiwa / sukma / roh selanjutnya menuju ke alam lebih tinggi yaitu buanasapta atau saptaloka yang dalam tatanan Kabuyutan Sumedanglarang adalah Gunung Tampomas.

Alam sementara atau alam sejenak adalah adalah alam gaib yang dalam Serat Purusangkara disebutkan sebagai berikut :

“. . . Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan (Hal.135) Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu”. Sanghyang Girinata bertanya kembali, “Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya . . . ”

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Sanghiyang Girinata, Sanghiyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghiyang Kala dan Sanghiyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah Sang Hyang Hayu termasuk alam saptabuana atau buanapitu. Artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.

Tidak perlu dipertanyakan dan diragukan mengapa pada lahan Gunung / Pasir Reungit tidak ditemukan artefak (hasil buatan manusia) kecuali benda-benda yang merupakan sumber daya alam. Artefak-artefak (situs-situs) ditemukan justru berada dan terletak disekeliling Gunung / Pasir Reungit. Karena Gunung / Pasir Reungit merupakan lahan dalam kosmologi Sunda merupakan gerbang ke alam Kahiyangan sebelum menuju ke Gunung Tampomas.

Selaras pemilihan dan penmpatan lahan lingkungan (ecological factor:faktor ekologis) sebagian besar Kabuyutan Tatar Sunda menempati lahan gunung, bukit-bukit, atau dataran-dataran tinggi di lingkungan pegunungan; juga dekat aliran atau pertemuan sungai besar; juga bentuk dan konsep continuity, bangunan kabuyutan dilandasi kepercayaan yang dianut masyarakat dengan budaya Megalitik yakni penghormatan kepada leluhur.

Lahan-lahan ekologis yang dipilih tersebut merupakan pusat atau sumber dan sarat dengan
kandungan daya dalam menunjang sarana kehidupan manusia, tidak hanya berlaku bagi bangunan suci, juga hunian sekaligus mencerminkan landasan keyakinan pokok yakni menghormati leluhur (Karuhun; Rumuhun) yang diistilahkan Hiyang.

Para pakar sependapat bahwa pengaruh India di Nusantara identik dengan hadirnya agama Hindu-Buda ditandai oleh sejumlah besar bangunan dengan latar keagamaannya, mengakibatkan kekunaan sejarah selalu diukur dan dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Buda. Mengesankan seakan-akan seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Buda padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Seorang sarjana Belanda bernama C.M. Pleyte (cf. Danasasmita 1975 : 37) pernah menegaskan: ““Hinduisme i.e. Sivaism made its entry into the Pasundan but wether it ever became popular is rather doubtful, as not more about half a score of images belonging to the Sivaitic pantheon have been discovered, whilst such temples and monasteries as ain Middle and Eastern Java sought for in vain. It is fair to conclude therefore, that while a few of the native princes did perhaps adopt the foreign religion, the bulk of the population remained true to their original creed founded on animism and ancestor worship”.

Sejak awal Masyarakat Sunda akrab dengan kehidupan berladang dan identik dengan sebutan masyarakat peladang tidak memberi peluang subur untuk pertumbuhan kultur Hindu melainkan sebaliknya tradisi megalitiklah yang tetap bertahan sebagai esensi dari kehidupan spiritualnya. Leluhur (hiyang) adalah unsur pemujaan tertinggi yang mewarnai pusat-pusat keagamaan (kabuyutan) di Tatar Pasundan, Jawa Barat.

Kabuyutan merupakan khas carek masyarakat Tatar Sunda yang dituliskan di dalam beberapa sumber tertulis, diantaranya karyasastra Kabuyutan ti Galunggung dan piagam resmi kerajaan sebagai Piteket dang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharajadhiraja Sri Sang Ratudewata. Raja yang untuk kesekian kalinya memimpin dan mempersatukan pusat Kerajaan Galuh (wetan – kidul) dengan pusat Kerajaan Sunda (kulon – kaler) ke dalam satu panji kekuasaan mutlak Pakwan Pajajaran.

Kedudukannya sebagai ‘maharaja’ inilah yang membuatnya memiliki kedudukan mutlak sebagai pemimpin politik dan pemimpin keagamaan. Karena itu beliau bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan alam dan segenap rakyatnya, diantaranya dengan membuat ‘piteket’ mengamankan seluruh gunung sebagai sumberdaya alam dimana di dalamnya terdapat (ditempatkan) bangunan suci kerajaan ‘khas’ Sunda yakni Kabuyutan yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya.

Berkaitan kepada konsep yang hingga kini tetap diberlakukan dengan ketat pada komunitas Kanekes (Baduy di Banten Selatan) bahwa ngabaratapakeun nusa “apa yang telah dianugrahkan oleh Sang Cipta tidak boleh dirubah melainkan harus diperlakukan dan dipulasara sebagaimana adanya, tanpa merubah apalagi dengan mengeksploitasinya”. Maka Kabuyutan di Tatar Sunda selalu mengimposisi kepada lingkungan dan bukan memodifikasi, jikalaupun ada atau diperlukan perubahan akan dilakukan seperlunya tanpa merusak tatanan aslinya.

Kabuyutan dengan corak tradisi Megalitik adalah representasi pengulangan tingkah laku ke dalam simbol-simbol keagamaan yang khas Sunda. Bangunan keagamaan didirikannya dengan ciri dan karakter sesuai latar belakang budayanya. Sebagaimana istilah kabuyutan identik dengan istilah Sunda Wiwitan, ajaran yang menjadi landasan dasar paling azasi dan mewarnai sebagian besar warisan aktivitas budaya Tatar Sunda.

Rangkaian tingkahlaku yang secara ”nirsadar” telah terbentuk dari endapan pengalaman pribadi di masa lampau, dengan dipilihnya corak tradisi megalitik, tiada lain adalah penstrukturan kepribadian sejalan motivasi dan kemampuan. Di dalam upaya Masyarakat Tatar Sunda menjembatani diri, memberi arah kehidupan sesuai tuntutan sosial budaya keagamaan.

Continuity kentalnya tradisi megalitik pada hakekatnya mencerminkan perilaku kognitif kesinambungan pengakuan peran leluhur terhadap keberadaan kehidupan dunia. Dengan kata lain kabuyutan adalah kepribadian Masyarakat Tatar Sunda di dalam dimensi ruang, bentuk dan waktu.

Kiranya perlu dikemukakan bahwa tidak satu kata maupun istilah yang pernah disebut dalam seluruh sumber tertulis (textual data) yang berhasil ditemukan di Mandala Sunda (Tatar Sunda), yang mencantumkan kata “Candi” untuk menyebut bangunan suci atau pusat upacara keagamaan, melainkan Kabuyutan. Istilah logis mengacu konsepsi dasarnya yakni penghormatan kepada leluhur, dengan aspek dan perangkat pusat upacara keagamaan termasuk faktor keselarasan lingkungan turut dipertimbangkan sehingga memperlihatkan ciri dan karakter khas sesuai lingkup lahannya.

Bangunan keagamaan yang bentuk dan gayanya sangat jauh berbeda dengan bangunan suci pengaruh Hindu-Buda yang disebut Candi. berhasil ditemukan dicirikan oleh kemegahan artefak-artefaknya yang artifisial, bentuk yang jauh berbeda dengan bangunan keagamaaan di Tatar Sunda yang sebagian besar warisan aktivitasnya ketika ditemukan itu tidak lebih daripada sejumlah besar bongkah dan kerakal andesit berserakan, tidak tampak sebagai bangunan tertentu melainkan lahan dipenuhi batu.

Inilah ciri atau variabel yang sekaligus menegaskan khas bangunan Kabuyutan :
  • Selalu ditemukan pada suatu dataran tinggi, bukit atau gunung atau lahan-lahan tertinggi diantara sekitarnya yang sarat dengan sumber daya alam.
  • Kabuyutan merupakan mandala gaib puseur dangiang, tahta para leluhur, atau karuhun, karenanya bukit atau gunung dimana pun berada dipercaya sebagai pusat paragi ngahiyang (parahiyangan).
  • Gunung, bukit atau dataran tinggi identik dengan kabuyutan itu sendiri umumnya terletak sebagai batas desa atau batas suatu pemukiman.
Bangunan Kabuyutan, di satu pihak secara tegas menggugurkan asumsi di Tatar Sunda tidak ada atau sangat jarang ditemukan bangunan keagamaan, dilain pihak memberi peluang intentitas budaya tentang bagaimana sesungguhnya Kabuyutan masyarakat Tatar Sunda pada masa tatanan pemerintahan masih bercoarak kerajaan (Monarki absolut).

Bukit / Pasir Reungit dengan keberadaan dan kandungan sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak tersusun rapi dengan kemiringan sekitar 60° ke arah timur. Lahannya terletak di lingkungan pegunungan termasuk dalam rangkaian Dataran Tinggi Parahiyangan yang marupakan “benteng pakidulan” dan kawasan hulu (girang) aliran sungai-sungai Tatar Sunda; seperti kenyataannya bahwa aliran (sungai) Cipeles bermuara ke timur yakni Cimanuk.

Semua tatanan fisiografis tersebut bukan semata kebetulan belaka, melainkan fakta bahwa Pasir Reungit berorientasi ke timur “Leluhur alias Karuhun” yang mengawali kehidupan. Selaras tataran waktu, sejarah mencatat raja-raja Sumedang keturunan raja-raja yang pernah berjaya di masa lalu berpusat di wetan yakni Kerajaan-kerajaan pendahulunya Talaga hingga ke GALUH yang menjadi PANGRUHUM kerajaan-kerajaan di PAKIDULAN atau PRIANGAN TIMUR.

Batu tonggak yang tersusun rapih tersebut sebagian besar menunjukkan ciri khusus yakni bagian badan yang diletakkan di bawah (di atas tanah) menunjukkan permukaan yang rata, sedangkan bagian badan mendongak ke atas berpermukaan kerucut semu “seperti bekas dipangkas kasar” bukan pula kebetulan, namun berkait kepada pola alami bahan bangunan yang secara umum ditemukan pada sebagian besar Kabuyutan di Tatar Sunda khususnya yang mengambil corak tradisi Megalitik.

Kabuyutan adalah mandala kerajaan maka setiap kerajaan selalu memilikinya., karena itu Kabuyutan disebutkan dalam karyasastra Kabuyutan ti Galunggung sebagai timbang taraju jawadwipa mandala.

Maka bukan asal berkata jikalu Warga Pribumi yang termasuk dalam katagori senior (sesepuh) yang menjabat sebagai ketua yayasan Kraton Sumedang Larang menyampaikan kepada Kapolwil Priangan Kolonel Anton (pers.com mobile: 12 November 2009), bahwa Pasir Reungit bagi masyarakat Sumedang merupakan “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.

Selaras dengan yang digambarkan oleh Pantun Lutung Kasarung: “Gunung Cupu Mandala-hayu, Mandala Kasawiatan, di Hulu Dayeuh, dina cai nu teu inumeun, dina areuy nu teu tilaseun, dina jalan teu sorangeun, sakitu kasaramunan..”

Bahkan lebih tegas dinyatakan oleh pakar Sunda (almarhum) Prof.Dr. Ayatrohaedi :
“Bangunan suci masayarakat Tatar Sunda tidak selalu harus diidentifikasi sebagai bangunan dengan artefak atau struktur seperti bangunan suci yang dimengerti masyarakat umumnya (candi); atau bangunan lengkap dengan fondasi, dinding dan atap, melainkan lahan bukit alam atau dibuat lambang suatu bukit (bukit buatan = gugunungan) dengan vegetasi hutan yang dibiarkan tumbuh alami…”
Maka sesuai kenyataannya bahwa sautu Kabuyutan selalu ditemukan pada suatu bukit, gunung, dataran tinggi di lingkungan pegunungan, sekaligus menjadi batas/ujung lahan suatu pemukiman/ hunian (hulu dayeuh) di sekitarnya, sehingga yang nampak tidak seperti megahnya “bangunan candi Borobudur” melainkan tiada lain gunung yang dipenuhi serakan batu berbagai bentuk di tengah-tengah kawasan hutan lebat. Sejauhmana dan bagaimana bentuk dan tatanan Pasir Reungit ketika masih berfungsi dan digunakan pemangku budaya, tidak dapat dijelaskan.

Jelas Gunung/Pasir Reungit dengan seluruh yang nampak ke permukaan, ditunjang letaknya di wilayah Dataran Tinggi Parahiyangan sebagai “BENTENG PAKIDULAN’ dengan tatanan alami yakni “mengimposisi” pada (alam) lahan bukit, juga kandungan benda-bendanya yang dimanfaatkan sesuai bentuk alaminya, yang merupakan variabel –varibel penunjang, maka tegas disebutkan Gunung / Pasir Reungit adalah Situs “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.

Dalam pengertian seluas-luasnya Gunung / Pasir Reungit adalah salah satu Kabuyutan Cadas Nangtung disebut :
“Mandala Kasawiatan nu aya di Hulu Dayeuh, dina cai teu inumeun, dina areuy teu tilaseun, dina jalan sorangeun sakitu kasaramunan”
Kawasan yang dahulu merupakan hutan lebat “leuweung geledegan” kondisi dan karakter lahan seperti inilah tempat dan lokasi yang senantiasa dipilih dan ditempatkan Kabuyutan bagi masyarakat Tatar Sunda sejak masa paling awal,

Berdasar pernyataan tentang BCB 1992 bahwa “dalam wacana para Arkeolog sepakat bahwa pengertian ‘situs’ sebagai kawasan adalah lahan yang relatif luas, yang berada dan mengandung sebaran sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan atau dalam satuan ruang (spatial clustering sites)…”. Gunung / Pasir Reungit dengan situs-situs Kabuyutan yang terletak di sekelilingnya (dalam bentang keruangan delapan arah mata angin) tidak hanya berdekatan dalam hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam bentuk (form) dan waktu dalam sejarah kebudayaan Sumedanglarang”

Hasil kegiatan lapangan membuktikan pula Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site dalam Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Sumedanglarang.


PENUTUP
Kiranya, setiap situs memiliki karakter yang unik dan khas sesuai pengalaman pengetahuan budaya masyarakat pendukung yang telah dijiwai sejarah masa lampaunya, maka tidak semua situs arkeologi dapat digeneralisasi begitu saja, apalagi dengan kondisi pengetahuan si peneliti yang kerap terbatas hanya pada pilihan bidang-bidang minat spesialisasi tertentu.

Andaikan di era globalisasi saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa silam, hal itu cukup arif, karena jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun terdahulu yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini. Lain daripada itu, harus diakui bahwa di era globalisasi sekarang, ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya ‘pituin’ kita sendiri.

Globalisasi memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut agar pandai memilih dan memilah budaya asing yang masuk, serta lebih menghargai peninggalan warisan budaya karuhun kita di atas kepentingan pribadi, karena warisan budaya nenek moyang kita jauh lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan materi semata.

Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, karena naskah dapat dipandang sebagai dokumen budaya yang berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya tertentu.

Oleh karena itu beberapa hal menarik dari naskah, prasasti, maupun tradisi lisan, baik itu tuntunan moral, sistem pemerintahan, kepemimpinan, kosmologis, topografi, pandangan hidup, situs atau ‘kabuyutan’, maupun unsur budaya lain yang dapat memberi sedikit gambaran sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta kosmologis masa lampau yang masih sangat relevan untuk dicermati dan dikaji guna menunjang mengungkapakan data arkeologi yang sifatnya sangat terbatas. Maka sebagai sumber informasi, dipastikan naskah-naskah buhun termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya.

Terutama karena menyangkut isinya yang menyiratkan aspek-aspek kehidupan masyarakat meliputi kondisi sosial dan budaya, religi, teknologi, ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan, bahasa, dan seni.

Dalam kaitan ini warisan karuhun orang Sunda disebut ‘kabuyutan’ Gunung/Pasir Reungit ada hubungannya dengan salah satu naskah Sunda berjudul Puru Sangkara yang secara faktual mengungkapkan keadaan sosial pendukung budaya tatkala ‘kabuyutan’ tersebut masih berfungsi. Ditunjang oleh tradisi lisan berupa folklore yang berkembang di masyarakat sekitar daerah tempat Gunung/Pasir Reungit berada.

Hal itu membuktikan bahwa naskah bukan isapan jempol belaka, tidak dianggap dan tidak dihargai, apalagi diremehkan keberadaannya. seluruh kabuyutan yang ada di daerah Sumedang Selatan, maka terlihat bahwa sebagian besar kabuyutan terletak di daerah perbukitan landai, dan hanya sedikit di perbukitan terjal, dan tidak ada di daerah lembah yang datar, sehingga kalau dihubungkan dengan aspek arkeologis, kosmologis, antropologis dan lain-lain, maka sangat wajar dan menunjukkan “KEHEBATAN DAN KEGENIUSAN PENGALAMAN PENGETAHUAN PARA BUYUT” YANG MAMPU MEMILIH LOKASI YAKNI KEHIDUPAN YANG MENYATU DENGAN ALAM, MEMBUAT MEREKA SANGAT MEMAHAMI ASPEK LINGKUNGAN DAN DAPAT MEMILIH DAERAH “YANG RAMAH LINGKUNGAN” UNTUK SELURUH KEHIDUPANNYA TERMASUK ASPEK RITUALITASNYA!

Dari hasil kegiatan lapangan (data kontekstual) ditunjang berdasarkan (data tekstual) kutipan teks naskah Carita Ratu Pakuan, tercatat nama Sumedang-larang (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar.

Dicatat pula Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik (tiga kali). Tegas dan nyata bahwa Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Kebudayaan Sumedanglarang.


Legenda dan Mitos Selareuma dan Lingkungan Sekitarnya 
Apabila disimak lebih mendalam dari sudut pandang filologis melalui data-data yang tercatat dalam teks-teks naskah Sunda Kuno sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yakni naskah: Sang Hyang Hayu, Sanghyang Raga Dewata, Kisah Sri Ajnyana, Serat Purusangkara, Carita Ratu Pakuan, Kisah Bujanggamanik, dan naskah Sunda Kuno lainnya, akan banyak dijumpai bukti tentang dasar kosmologis dari sistem tata ruang di daerah Sumedang ini, khususnya berkenaan dengan Kampung Selareuma Pasanggrahan Sumedang Selatan.

Berkaitan dengan salah satu naskah yang menyinggung-nyinggung serta merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris adalah naskah yang berjudul Serat Purusangkara (SP), milik Museum Sri Baduga Jawa Barat, berasal dari Kuningan, berbahan kertas. Identitas naskah tersebut adalah: nomor kode 07.46; bahan daluang; aksara Cacarakan; bahasa Jawa dialek Pesisir Utara Jawa Barat; tebal 371 hl.; bentuk penyajian prosa; nama penulis dan / atau penyalin (?); waktu penulisan abad ke-19; asal naskah: Dalem Kangjeng Pangeran Panji Puspakusuma. Teks naskah SP ini secara garis besar mengisahkan tentang perjalanan Prabu Jaya Purusa yang susunan ceritanya terbagi ke dalam 11 bagian atau episode.

Bagian yang menyebutkan istilah Selahuma sebagaimana tampak pada kutipan terjemahannya dalam bahasa Indonesia berikut ini :
Selesailah cerita negeri Yawastina akan diganti dengan keadaan di negeri Suralaya. Ketika itu Saghyang Girinata ditemani seluruh bidadara-bidadari. Sanghyang Naradha memanggil Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun menjelma ke bumi. Kata Sanghyang Naradha, 
Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu‖. 
Sanghyang Girinata bertanya kembali, ― Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya. 

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Saghyang Girinata, Sanghyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah SHH dapat diacukan pada alam saptabuana atau buanapitu. Ini artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.

Selareuma yang biasa disebut juga Pasir Reungit bukanlah sebuah tempat berdiri sendiri, tetapi tempat itu dipandang sebagai axis mundi dalam sebuah sistem tata ruang kosmologis yang saling mempengaruhi dengan tenaga-tenaga yang bersumber pada tempat-tempat di sekitarnya. Di samping itu, Selareuma atau Pasir Reungit merupakan lingkungan dengan kandungan bebatuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya alam yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai makhluk historis memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya alam itu sebagaimana adanya sekarang. Tenaga-tenaga ini mungkin bisa menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau bahkan bisa berakibat kehancuran. Hal tersebut bergantung pada dapat tidaknya individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat berhasil dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagat raya.

Dengan demikian, lokasi Selareuma atau Selahuma tidak bisa dipisahkan dengan lokasi lain yang ada di sekitarnya. Lokasi yang dimaksud, antara lain, adalah lokasi Batukursi di Pasir Peti yang secara geografis segaris lurus mengarah ke Utara-Selatan tembus ke Gunung Tampomas. Sejajar dengan posisi lokasi Batukursi di Pasir Peti adalah Pasir Gegerhanjuang. Di Pasir Gegerhanjuang ini terdapat sebuah kuburan atau makam Sunan Guling, salah seorang penguasa di Pagulingan. Lokasi Pagulingan ini masih berada di Pasir Gegerhanjuang. Tidak jauh dari lingkungan tersebut adalah lokasi Cadasgantung. Pagulingan ini merupakan pusat dari Sumedanglarang masa lalu. Bahkan, dalam teks naskah Carita Ratu Pakuan (CRP ; Ceritera Sunda-Kuno dari Léréng Gunung Cikuray), ada bagian-bagian yang berhubungan dengan gambaran lokasi tersebut, yakni:

Gunung Cupu Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo Agung, nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, seuweu patih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang (baris 21-28) -  Gunung Cupu Bukit Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Taambo Agung, yang penuh kasih sayang, adik tuan Rahmacute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara Putih, dari Sumedanglarang‘.

Gunung si Purnawijaya, lumenggang larang sorangan, di Sanghiyang keusik manik batu mirah, hanjuang di kembang homas, patapaan Raga Pwah Hérang Manik, nitis ka nu geulis Rajamantri, nu geulis palang ngajadi, nu micaya sisit peuting, cangkang beurang kale hésé, panonpoé miawak séda karuna, ahis tuhan Sunten Agung, sang Raja Gunung, seuweuna juru labuan, dayeuhan di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, ngapwahan mohéta bedas, nu ngirutan Acidéwata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang Nusa, di susuku gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, nu mepek na bumi manik, patapaan Bagawat Sang Jalajala, susulan watek déwata, murba ka bumi Pakuan (baris 60-86).

Gunung si Purnawijaya, terpencil suci sendiri, di Sanghiyang pasir permata batu mirah, pohon hanjuang berbunga emas, pertapaan Raga Pwah Herang Manik, menitis kepada si cantik Rajamantri, yang cantik tiada tanding, yang menyinari sisik kegelapan malam, kulit siang tanpa susah, matahari menjelma suci karunia, adik tuan Sunten Agung, sang Raja Gunung, putera juru pelabuhan, bertempat tinggal di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, menakjubkan luar biasa, yang mempesonakan Acidewata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang Nusa, di kaki gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, yang berkumpul dalam bangunan permata, pertapaan Bagawat Sang Jalajala, undangan bisikan gaib dewata, berkuasa ke tanah Pakuan‘.

Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, nu mungguh di handaru, deung Sanghiyang Linggamanik, deung Sanghiyang Hindit-hinditan, nu mungguh di siki panon, deung Sanghiyang Karang Curi, nu mungguh tumpak di huntu, deung Sanghiyang Cadas Gumantung, nu mungguh di tungtung létah, deung Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, nu mungguh di harigu, deung Sanghiyang Adong Agung, sagedé munding saadi, nu mungguh di tulang tonggong, deung Sanghiyang Bitung Wulung, patét ka langit, nu mungguh tumpak di siki éta, reujeungna ngajadi (baris 102-119) 

Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, yang bersemayan di halilintar, kemudian Sanghiyang Linggamanik, dan Sanghiyang Hindit-hinditan, yang menetap di biji mata, kemudian Sanghiyang Batu Tegak, yang menetap tunggang pada gigi, lalu Sanghiyang Cadas Gumantung, yang menetap di ujung lidah, kemudian Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, yang menetap di dada, kemudian Sanghiyang Adong Agung, sebesar anak kerbau sesusu, yang menetap pada tulang punggung, lalu Sanghiyang bambu wulung, menjulang ke langit, yang menetap tunggang pada biji zakar, bersamanya menjelma‘.

Penulis teks naskah lontar CRP yang mengisahkan prosesi perjalanan perpindahan Raja Sunda dari Keraton Timur di Galuh Pakwan ke Keraton Barat di Pakwan Pajajaran pada sekitar abad ke-15 Masehi masih menyertakan beberapa gunung dan daerah tertentu sebagai simbol magis sekaligus penunjuk tempat asal seseorang tokoh dalam kisah perjalanan itu. Hal dimaksud nampak pada kutipan berikut.

Ini carita Ratu Pakuan, ti Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Séda, patapaan Pwahaci Mangbang Siang, nitis ka Rucita Wangi, ahis tuhan Jayasakti, seuweu patih Sang Atus Wangi… (baris 1-7) 
Inilah kisah Ratu Pakuan, dari Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Seda, pertapaan Pohaci Mambangsiang, menitis kepada Rucita Wangi, adik tuan Jayasakti, putera Patih Sang Atus Wangi…‘. 

Deung nu geulis Déwa Karuna, ahis Kebo Sang Mantriguru, putri ti Gunung Kukusan, deung nu geulis Cepet Manik, nu tarahan na Harisa Keling, ahisna Ponggang Sang Raja Panji, putri ti Hulu Padang, deung nu geulis Maya Padang, ahis tuhan Patih Pala, putri ti Nagara Tengah… (baris 300-319) 

Bersama yang cantik Dewa Karuna, adik Kebo Sang Mantriguru, puteri dari Gunung Kukusan, kemudian yang cantik Cepet Manik, yang diperebutkan Harisa Keling, adiknya Ponggang Sang Raja Panji, puteri dari Hulu Padang, kemudian yang cantik Maya Padang, adik tuan Patih Pala, puteri dari negara Tengah‘.

Berdasarkan kutipan teks naskah CRP itu, tercatat nama, seperti Sumedanglarang dicatat dua kali (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar. Di situ pun dicatat Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik sebanyak tiga kali :

Ku ngaing geus kaleumpangan, meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 69-73). Semua itu telah ku lalui, nyeberang di sungai Cipunagara, daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘.

Meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 716-719). Menyeberang di sungai Cipunagara, wilayah Medang Kahiangan, berjalan lewat Gunung Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘. Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunung Wangi (baris 1200-1203). Itulah yang disebut Gunung Tompo Omas, daerah Medang Kahiangan. Yang itu Gunung Tangkuban Parahu, sebagai tiang tapal batas Gunung Wangi‘.


Mitos dan Legenda Gunung Padang Cianjur
Keberadaan Gunung (Bukit) Padang ini kemungkinan besar pada masa silam pernah ditata menurut konsepsi kepercayaan masyarakat Sunda Kuno tentang keadaan alam menjelang atma naik melewati tujuh lapisan aras langitan; perjalanan ke alam kesorgaan, menghadap ke Kahyangan - Alam Dzat Maha Gaib‘ dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga34, sebagaimana telah ditunjukkan pada uraian terdahulu. Bias-bias dari salah satu teks naskah lontar Sunda Kuno yang berjudul Kawih Panyaraman - Senandung Tauziah‘ yang berisi tentang Séwaka Darma - pengabdian terhadap hukum kehidupan‘ telah memantulkan bayangan gambaran wujud fisik dari keberadaan situs megalitik tersebut.



Dengan kata lain, mitos penggambaran mengenai keadaan struktur fisik situs Gunung Padang ini dikembangkan melalui deskripsi panjang sebagaimana nampak tersirat dalam bagian redaksi teks naskah tadi, yakni yang berkenaan dengan paparan atau pelukisan perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi. 

Konsep pembebasan berkaitan erat dengan pengetahuan yang benar atau pengetahuan tertinggi, sebab pengetahuan itulah yang pertama-tama diperlukan untuk menggapai kebebasan; bukan hanya renungan yang abstrak melainkan mencakup juga pengetahuan yang konkrit. Pembebasan tercapai tingkat demi tingkat hingga mencapai titik kulminasi pada tingkatan ketujuh. Tingkatan-tingkatan itu dipandang sebagai yang terkait dengan eksistensi serta manifestasi sang atma.

Di antara teks naskah yang memberi gambaran legendaris mengenai keberadaan lokasi yang bernama Gunung Padang ialah naskah berjudul Purwaning Jagat (PJ)35 yang merupakan salah satu koleksi Museum Negeri Jawa Barat - Sri Baduga‖. Identitas naskan ini adalah: nomor kode 07.136; bahan kertas Eropa berwatermark Garden of Holland, Pro Patria; aksara Pegon dan Arab; bahasa Jawa dialek Priangan dan Arab; tebal 46 halaman; bentuk penyajian prosa; nama penulis dan/atau penyalin Hanapi, Wedana Pensiun Rongga; waktu penulisan abad ke-19 Masehi. Redaksi teks naskah PJ terdiri atas 38 episode, yang diawali bacaan berikut :
Ieu kitab nu kaula, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi. Bismillahirrahmanirrohim. Hada Purwaning Jagat kang gumelar kabéh tatkala uwung-uwung awang-awang durung ana sawiji-sawiji. La ta’yun arané, goibul guyub arané, naqtu goibu arané iku. Maka ana karsa, ana kinarsakaken dén arané ‘ayan sabitah arané iku. Maka ana warna ana rupa dén arané alam arwah roh idopi…(01). 37 
Kitab ini milikku, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi.Bismillahirrahmanirrohim. Inilah kisah Purwaning Jagat (awal mula terjadinya jagat) yang lahir serempak ketika planet-planet dan angkasa raya belun ada satu pun. Namanya La ta‟yun, goibul guyub, dan naqtu goibu. Maka ada yang berkehendak untuk menciptakan danada hasil ciptaannya yang dinamakan "ayan sabitah". Lalu mulai ada berbagai jenis dan rupa yang dinamakan alam arwah roh idopi.

Adapun redaksi teks naskah yang berkaitan dengan mitos dan legenda mengenai Gunung Padang ini, antara lain, dilukiskan pada episode 17 sebagai berikut :
Maka kocap Atmasuci iku tapané ing Samlor pernahé. Maka alaki maring Ki Sadana, putrané wadon namané Déwi Rasa. Maka alaki maring Sang Jaya Keling,iya iku purwaning sakéhé sandangan, lan anggowané iku ana ing Rajaputra.maka angalih maring Gunung Padang. Kang dén sujudé cahya kang metu saking nétra iku karana dén arané Ratu Galuh dadi nyakrawati. Maka wonten karsaning Allah Ta’ala ambendoni maring umaté sabab ora anut ing saréaté Nabi Enuh. Maka metu angin topan, meti saking poncoroting sagara, maka kalem alam dunya antara patang puluh dina. Maka sakéhé kan anuting saréaté Nabi Enuh pada munggahing baita sadaya (17).
Maka tersebutlah tempat pertapaan Atmasuci di Samlor (Sam Utara). Lalu berjodoh kepada Ki Sadana, anaknya perempuan bernama Dewi Rasa. Lalu berjodoh kepada Sang Jaya Keling, yaitu yang awal mula menjadikan pakaian, dan menjadi baju kebesaran Rajaputra. Lalu pindah ke Gunung Padang, dan yang disembahnya cahaya yang keluar dari matanya sehingga yang namanya Ratu Galuh menjadi berkuasa. Maka atas kehendak Allah Swt yang murka terhadap hambanya karena tidak mengikuti syariat Nabi Nuh, lalu berhembuslah angin topan dari berbagai penjuru lautan sehingga alam dunia menjadi gelap-gulita selama empat puluh hari. Sementara itu yang mengikuti syariat Nabi Nuh ke atas perahu 37.

Pembahasan yang terperinci tentang kekayaan flora-fauna, bentuk postur jasmaniah, glotokronologi, sistem sosial, dan kebudayaan masa prasejarah dan masa sejarah dari sebagian besar Nusantara yang secara antropologis sangat berarti tetapi cukup kompleks. 

Berkenaan dengan Gunung Padang dan Pasir / Bukit Padang (Gunung Kecil), menyatakan lokasi dan masa sejarah yang berbeda atau lebih tepatnya disebut Bukit Padang, Raffles memberi tempat cukup panjang pada catatan kaki buku karyanya itu dalam rangka pembicaraan yang berhubungan dengan Galuh. Hal yang dimaksud nampak pada sebagian kutipan berikut : 

Berdasarkan cerita-cerita orang Sunda bahwa, Ciung Wanara dan Raden Tanduran (Hariang Banga) adalah dua saudara keturunan Raja Galuh yang bernama Raja Pamekas (Tamperan / Bondan), sedangkan negerinya disebut Bojong. 

Dalam pada itu, berjangkit wabah penyakit yang banyak merenggut nyawa penduduk. Raja kemudian memerintahkan kepada patih pergi ke Bukit Padang untuk memanggil seseorang bernama Ki Ajar yang memiliki kemampuan memberi pertolongan dalam menghadapi musibah dan kesulitan itu. 

Ketika raja bertemu dengan Ajar dari Bukit Padang dan menyampaikan permintaannya, malah Ajar itu berkata, ―Oh Raja, menurut pendapat hamba, kamilah orang yang tepat memerintah negeri ini dan untuk melakukan apa yang diperlukan demi kebaikan negeri dan para penduduknya! 

Raja langsung marah dan hampir membunuh Ajar itu. ―Raja, jika paduka berkeinginan untuk membunuhku, hamba menyerahkan sepenuhnya hudupku. Akan tetapi, paduka harus membayarnya, dan itu dengan putramu sendiri!, kata Ajar. Sekembalinya ke Bukit Padang, Ajar itu lalu dibunuh oleh Patih Galuh. 

Akhirnya kisah, antara lain, pernyataan Ajar dari Bukit Padang dulu menimpa raja yang tidak adil itu dan menemui ajalnya di tangan putranya sendiri.



Korelasi Legenda dan Mitos Gunung Padang (Cianjur) dengan Selareuma (Sumedang)

Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa susunan cerita dalam teks naskah Serat Purusangkara (SP) terbagi ke dalam 11 bagian atau episode. Adapun kisah mitos dan legenda yang berkaitan antara Selareuma dengan Gunung Padang terdapat pada episode 16 dan 17. Ringkasannya episode yang dimaksud adalah sebagai berikut. Ketika berjalan satu bulan pada tahun 841 Suryasangkala atau dua bulan pada tahun 866 Candrasangkala, termasuk tahun Sambrama, mangsa Pusa. 

Diceritakan bahwa di Suralaya, Sanghyang Girinatha memerintahkan Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun ke bumi dan memimpin para raksasa di Sélahuma. Sanghyang Kala sebagai rajanya bergelar Prabu Yaksa Dewa dan Sanghyang Brahma menjadi pakaian dan gada Prabu Yaksa Dewa. 

Lalu diceritakan Maharsi Mayangkara alias Resi Anoman disuruh oleh Sanghyang Girinatha menuju ke negeri Yawastina untuk memberikan perjodohan antara putra-putra di Yawastina dengan putri-putri di Widarba. Di negeri Widarba, Prabu Jaya Purusa hendak menikahkan putranya yang bernama Raden Jaya Amijaya dengan Ken Satapi, cucu Resi Kumbayana di Gunung Padang. Tidak lama di sana kedatangan 2 raksasa Gawaksa dan Pradaksa utusan Prabu Yaksa Dewa dari Sélahuma untuk menyampaikan pustaka (surat) yang isinya ingin melamar putri raja yang bernama Dewi Pramesti. Namun, Prabu Jaya Purusa tidak menyetujuinya dan akhirnya terjadilah peperangan. Berkat bantuan Maharsi Mayangkara, pasukan dari Sélahuma dapat dikalahkan. Selanjutnya, ketiga putri Prabu Jaya Purusa dinikahkan dengan putra-putra negeri Yawastina, yaitu Dewi Pramesti dengan Prabu Astra Darma, Dewi Pramuni dengan Raden Darma Sarana, dan Dewi Sasanti dengan Raden Darma Kusuma. Ketiga putra negeri Yawastina berganti nama, Prabu Astra Darma menjadi Prabu Purusangkara, Raden Darma Sarana menjadi Arya Amijaya, dan Raden Darma Kusuma menjadi Arya Jaya Kirana. (Episode 16; hal. 95-225).

Ketika berjalan tiga bulan pada tahun 842 Suryasangkala atau empat bulan pada tahun 867 Candrasangkala, termasuk tahun Biswawisu, mangsa Sitra. Diceritakan di negeri Yawastina, Prabu Purusangkara sangat sedih karena istrinya, yaitu Dewi Pramesti belum jua mengandung, sedangkan istri-istri adiknya tengah hamil. Ia berpikir takut terjadi apa-apa pada istrinya itu. Ketika sampai usia kandungan istri-istri adiknya, lahirlah dari Dewi Pramuni, seorang peremuan bernama Dewi Renggawati, dan dari Dewi Sasanti lahir seorang laki-laki bernama Raden Sanjaya. 

Kelahiran putra-putri adiknya itu semakin membuat sedih Prabu Purusangkara. Lalu, Prabu Purusangkara mengutus dua pengawalnya yaitu Arya Sudarsa dan Arya Sarana ke negeri Widarba untuk memnyampaikan kabar gembira, bahwa raja Widarba telah mempunyai 2 orang cucu dari putrinya, yaitu Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti. Sesampainya utusan Yawastina di Widarba dan menyampaikan kabar itu, Prabu Jaya Purusa sangat senang karena telah memiliki 2 cucu. Namun, ia pun sedih karena Dewi Pramesti, putrinya belum juga mengandung. Selanjutnya Prabu Jaya Purusa menyuruh Patih Suksara pergi ke Gunung Padang untuk menikahkan putranya, yaitu Prabu Jaya Amijaya dengan putri Ajar Subrata yang bernama Ken Satapi. Sesampainya di Gunung Padang, Patih Suksara menceritakan maksud kedatangannya, oleh Ajar Subrata disetujui. Akhirnya, Prabu Jaya Amijaya dinikahkan dengan Ken Satapi, pestanya selama 40 hari 40 malam. (Episode 17; hal. 225-248).

________________
Sumber : 
1. BATU TONGGAK DI GUNUNG CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG SELATAN, SITUS BCB-KAH ATAU SEKEDAR HASIL PROSES GEOLOGI SEMATA? Richadiana Kadarisman Kartakusuma
2. KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi), Undang A. Darsa

Baca Juga :

Tidak ada komentar