Sancang Pameunpeuk Yang Penuh Misteri

Dalam peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut Selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. 

Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekitar awal abad ke 13.

Kota Garut tempo dulu dibagi menjadi tiga distrik :
1. Distrik Garut Kota
2. Distrik Limbangan
3, Distrik Kandang Wesi.

Di kandang wesi memiliki hutan yang sangat luas dengan nama leuweung sancang, leuweung Sancang, pada saat itu kawasan Leuweung Sancang sangatlah luas sebelah barat hingga ke Ranca Buaya, sebelah utara hingga Gunung Gelap dan Tegal Siawat-awat di kawasan Pakenjeng, ke timur sampai ke Cikaengan perbatasan Tasikmalaya (sekarang). 

Leuweng Sancang memiliki mitos yang sangat melegendaris di tatar Sunda dengan kemunculan maung bodas dan lodaya sakti, maka hingga kini Sancang dikenal memiliki macan jejadian.

Sancang dikenal ke seluruh Nusantara bahkan kedunia sekalipun. Karena sejak jaman kerajaan Salakangara dan Tarumanagara, Sancang yang memiliki situs Gunung Nagara sudah diijadikan tempat peristirahatan Raja-raja dari kedua kerajaan tersebut.

Sancang sudah bayak dikenal berbagai kalangan namun tidak tahu mana-mana saja Sancang itu, orang tahu bahwa sancang ada sancang satu, sancang dua, tiga dan seterusnya.  Namun secara detailnya masih banyak yang belum mengetahuinya.
  • Sancang satu mulai dari Ranca buaya sampai ke sungai Cikaso,
  • Sancang dua mulai dari Sungai Cikaso sampai ke Sungai Cibaluk,
  • Sancang tiga mulai dari Sunga Cibaluk sampai Ci balieur dan Cigandawesi,
  • Sancang Empat mulai Ciganda wesi sampai Cipareang,
  • Sancang lima mulai cipareang sampai Cibako,
  • Sancang enam, tujuh delapan dan Sembilan mulai dari Cibako sampai ke Karang Gajah dan Cikaengan.
Di setiap Sancang ada banyak situs makam-makam kuno, yang paling banyak menyimpan situs pemakaman di Sancang Utama atau Sancang Satu yaitu Situs Gunung Nagara dan Makam Sunan Geusan Ulun/Sunan Ulun di Bukit Sayang Heulang dan masih banyak yang saya tidak sebutkan disini.





Situs/Petilasan Sunan Ulun putra Prabu Brata Kusuma Tajimalela di Sayang Heulang Garut Pameungpeuk
  • Di Sancang dua terdapat situs Maung Bodas dan Munding Bule.
  • Di Sancang tiga ada situs Makam ki Gojali.
  • Di Sancang empat terdapat situs Eyang Salatim
  • Di Sancang lima dan seterusnya ada makam Syekh Pandita Rukmin, eyang Rukmantara dan Rukmantiri dsb.
Menurut cerita setempat Syekh Pandita Rukmin, yang ada di wilayah Sancang 5, konon seorang pertapa  Islam yang pulang dari tanah Persia, sekaligus tokoh pejuang ketika terjadi perang bajo. 


Yang paling diburu oleh peziarah adalah kayu kaboa di Wilayah Sancang 3, konon kalau orang yang ada bagian maka akan mendapatkan kayu kaboa yang dipercaya dengan khodam penjaga sebangsa macan lodaya.


Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. Hingga pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, tetapi pada tahun 1998 mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar. Salah satu satwa liar penghuni Sancang, Banteng, hilang lenyap tak berbekas. Mungkin satwa itu kabur ke arah Hutan Pangandaran yang masih cocok untuk habitat Banteng atau mungkin bergelimpangan mati akibat dampak perusakan hutan. Nasib banteng Sancang sangat mirip dengan nasib banteng Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, yang juga rusak terkena penyelewengan eforia reformasi.

Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan jalur jalan lintas selatan. Kondisi keamanannya sangat rawan. Kekayaan flora dan faunanya juga sangat menyusut. Selain kehilangan banteng, Sancang juga kehilangan berbagai jenis burung langka, seperti rangkong dan julang, serta harimau, baik maung Sancang maupun maung Lodaya. Jenis kayu werejit yang getahnya mengandung racun keras ikut tumpas bersama kayu-kayu hutan tropis heterogen lainnya. Yang masih tersisa dari Hutan Sancang mungkin hanya legenda dan mitos, yang juga mulai tergerus oleh jaman.


Gunung Nagara Desa Sukanegara Kecamatan Pameungpeuk Garut
 

Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.

Sesampainya di Puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. 

Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. 

Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.

Menurut Kepala Desa Sukanegara, tiga pusaran tersebut melambangkan Al Quran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada :

1. Pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut / pengawal yang salah satu di antaranya perempuan.

2. Pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Brajasakti (Brajadilewa), istrinya Ratu Gandawani dari kerajaan Sancang Pameunpeuk Garut.

3. Pusaran ketiga merupakan Petilasan Prabu Siliwangi dan patih Parenggong, namun entah prabu Siliwangi yang mana? Sebab ada banyak raja-raja Pajajaran Siliwangi dalam masa pemerintahannya, yaitu :
- Prabu Niskala Wastu Kancana, Mp. 1371 - 1475.
- Prabu Susuk Tunggal, Mp 1475 - 1482.
- Prabu Dewa Niskala, Mp 1482 - 1521.
- Prabu Jaya Dewata /Sri Baduga Maharaja,  Mp. 1478 - 1521.
- Prabu Surawisésa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam), Mp. 1521 - 1535
- Prabu Déwatabuanawisésa / Ratu Dewata, Mp. 1535 - 1543
- Prabu Ratu Sakti, Mp. 1543 - 1551.
- Prabu Nilakéndra / Tohaan di Majaya, Mp. 1551 - 1567

- Prabu Raga Mulya Surya Kencana (Panembahan Pulosari), Mp. 1567 - 1579

Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syekh Abdul Jabar).

Gunung Nagara


Dalam sebuah riwayat sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar diperseorangan. Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.


Rakryan Sancang Jeung Agama Selam

Ceput Sawal
Cakrawarman – adina Purnawarman kungsi baruntak ka alona, anu ngarana: Wisnuwarman (Raja Tarumanagara ka-4, 434-455 M, anakna Purnawarman). Mangsa Tarumanagara dicekel ku Purnawarman, Cakrawarman dibenum jadi Mahamantri jeung Panglima Perang Tarumanagara. Ningali Cakrawarman kasambut ku panah tentara Wirabanyu (pimpinan koalisi Tarumanagara) di wewengkon Manukrawa –Cimanuk, Ceput Sawal minangka Puragabaya Turangga ti tentara pemberontak Cakrawarman, bisa ngaloloskeun diri tina pangepung tentara koalisi Tarumanagara. Ceput Sawal terus kabur ka pakidulan nepi ka wewengkon basisir, saterusna bumén-bumén di éta pileuweungan –Sancang. Nya ti Ceput Sawal, ngarundaykeun turunan nepi ka Cakradiwangsa –anu ceuk urang kampung adat Dukuh Cikelét mah: Candradiwangsa ti Karajaan Manukrawa.


Balad-baladna Ceput Sawal ti pasukan pemberontak, kaburna téh aya nu mangprét ka Wétan jeung aya nu ka Kulon. Nu ka Wétan, nyumput di Galunggung. Nu ka Kulon, labas ka Gunung Kolot – Banten. Anak turunanana, ngababakan nyarieun kampung adat.



Rakryan Sancang
Mangsa Prabu Kretawarman – Raja Tarumanagara ka-8, Tarumanagara geunjleung pédah sang prabu ngawin awéwé ti golongan sudra. Setyawati dikawin ku Kretawarman téh lain awéwé teureuh ménak, tapi ti cacah kuricakan. Tapi kusabab sagala kalakuan raja mah geus jadi hukum nagara, wenang sakumaha karepna, antukna kajadian ieu disidem teu dibarubahkeun. Ngan dina hiji mangsa, Setyawati api-api ngaku reuneuh. Padahal pangeusi Tarumanagara geus apal cenah, yén Kretawarman téh dianggap mandul. Pikeun ngaleungitkeun skandal ieu, antukna Kretawarman ngangkat anak anu ngaranna : Brajagiri

Manuver Kretawarman saperti kitu téh teu bisa ngabalukarkeun suasana karajaan jadi kondusif, tetep waé harénghéng. Najan kitu, Kretawarman tetep ngabahureksa jadi Raja Tarumanagara tepi ka tamat teu aya anu wani ngagunasika. Pikeun nyingkahan harénghéngna suasana di karaton, Kretawarman kungsi bubujeng ka daérah pakidulan –pernahna di wewengkon Sancang Garut. 

Ti dinya, dihiji tempat, tepung jeung Nyi Arumhonjé – siwina Cakradiwangsa, anu gawéna disagédéngeun pangebon ogé pamayang, tampolana mah jadi tukang ngala suluh ka leuweung. Kretawarman ka jamparing ati ka panah rasa, ningali kageulisan Nyi Arumhonjé. Teu ku hanteu maké silih kelétan sagala jeung Nyi Arumhonjé – tempat silih kelétanana, kiwari nelah: Cikelét. 

Nyi Arumhonjé terus baé dikawin, tapi dicampuran ngan ukur salapan poé – da Raja kudu mulang, ngurus nagri ngolah nagara. Nyi Arumhonjé, ditinggalkeun – lantaran embungeun dibawa ku Raja ka karaton. Sanajan kitu, dipipanumbasna – mas kawin ti raja mah mangrupa pakéan jeung perhiasan, disérénkeun ka Nyi Arumhonjé. Kitu deui lilingga anu dijieun tina gading dilapis emas minangka tanda kahormatan, dipasrahkeun ka Nyi Arumhonjé – bisi jaga hayang nepungan raja ka nagara.

Sabada ditinggalkeun ku Kretawarman, Nyi Arumhonjé terus kakandungan – dina Naskah Pangéran Wangsakerta, Prabu Kretawarman téh disebutkeun teu bogaeun anak atawa mandul. Keun baé, da Naskah Pangéran Wangsakerta ogé masih disebut wadul alias disangka teu ilmiah. Basa keur nyiramna, pikawatireun. Miraga tineung ka nu jadi carogé. 

Rara hulanjar – wanoja anu dikantun ku panutan, antukna mah gering. Nepi ka mangsana ngajuru, Nyi Arumhonjé terus purané – maot. Untung orokna mah salamet anu saterusna dirorok ku nini akina, bari kituna téh teu wasaeun méré ngaran – ukur nyebut : Jalu’ tampolana osok disebut ‘Rakryan’ (anak raja) dina ngébréhkeun kadeudeuhna téh.

Budak anu disusuan ku citajén, tampolana mah ku susu embé – ingon-ingon Aki Cakradiwangsa téh katingalina séhat. Gedé saeutik, geus bisa ngorondang. Sapopoéna, dibéré dahar lauk laut jeung beubeutian. Ti keur orok beureum kénéh ogé osok dikojaykeun di laut, dina karang anu ngampar supaya teu kabawa ku lambak. Sanggeus bisa leumpang, osok mimilu ka akina ngala suluh ka leuweung atawa dibawa nguseup ka tengah laut. Ku akina diwarah ngojay jeung milebuh – teuleum. Rada gedé saeutik, jadi budak jarambah. Karesepna taya lian ti ulin di Leuweung Sancang atawa ngangkleung di sagara dina luhur bahétra – parahu. 

Nepi ka mangsa rumaja, basisir Kidul mah geus jadi pangulinan Rakryan – ti Pananjung nepi ka Panaitan. Salian ti kitu, Rakryan Sancang resep ngulik élmu kabedasan. Méh sakabéh anu weduk, didatangan diajak madwandwa yuddha – ngalaga, gelut paduhareupan. Mun éléh osok terus diguruan, mun meunang osok terus dipisobat. Tara pinejahan – maéhan ka musuh, ari lain kapaksa mah. Bayu sasanga – kakuatan anu aya dina diri manusa, diulik kalayan daria. Ti harita, ngaranna jadi sohor : Rakryan ti Sancang Garut.


Tanah Arab
Sanggeus sawawa, Rakryan Sancang hayang panggih jeung anu jadi bapana. Ku akina diterangkeun sacéréwéléna teu di dingdingkelir sindangsiloka, yén bapana téh Maharaja Tarumanagara: Prabu Kretawarman. Ku akina dibahanan lilingga – ciri atawa tanda kulawarga raja, supaya di ditu teu disaha-saha. Geus kitu mah, Rakryan Sancang nyieun bahétra.

Sabada parahuna siap, laju ngangkleung ka kulonkeun di Sagara Kidul. Di Palabuhan Tanjung Lada – Banten, reureuh heula saméméh neruskeun lampahna. Ti dinya papanggih jeung sudagar Arab anu ngabéwarakeun yén di tanah Arab aya agama anyar anu nyebarkeunana téh, jago pilih tanding tur sakti, ngaranna: Ali bin Abi Thalib. Kataji ku éta jago, Rakryan Sancang henteu tulus nepungan bapana di Tarumanagara. 

Ongkoh deui ngadéngé béja yén bapana geus muksa – maot, diganti ku pamanna: Rajaresi Suddhawarman. Rakryan Sancang mutuskeun milu ka sudagar maké kapal gedé, nuju ka tanah Arab. Di satengahing balayar, Rakryan Sancang diajar paranusa – basa anu dipaké di nagara-nagara deungeun. Tepung jeung Ali bin Abi Thalib, Rakryan Sancang katétér jajatén. Geus kitu mah, Ali bin Abi Thalib dipiguru ku Rakryan Sancang. Saterusna jadi catrik – santri, diajar agama Islam di Arab.


Agama Selam
Mangsa harita di tanah Arab, khalifah Abu Bakar di ganti ku Umar bin Khatab. Rakryan Sancang diajar agama Islam ku cara ditalar langsung ti Ali bin Abi Thalib, tacan aya buku Qur’an jeung buku Hadist –aya ogé mushaf Al Qur’an di Siti Hafshah, istri Nabi SAW.

Mulang deui ka Sunda, Rakryan Sancang népakeun élmu agama Islam ka sobat-sobatna (abad ka-7). Pangpangna di lingkungan kaum Sudra – kaum somah anu ajénna panghandapna. Pangikutna loba, bari terus nambahan. Kusabab basa Arab susah dihartikeunana, Rakryan Sancang ngajarkeun akidah Islam téh maké basa Sunda Kuna. Asmaul Husna ngaran-ngaran Alloh anu ku basa Sunda disebut Hyang, ditataan nepi ka 99 (Para Hyang). 

Nya Asmaul husna ieu anu disebut : Parahyangan – tempat sumerah diri (Islam). Kawasna baé ti harita, wewengkon Sunda sok disebut Parahyangan tug ka kiwari – malah robah vocal, osok nyebut : Priangan. Ku para pangikutna, agama Islam téh disebutna: agama Selam. Agama urang Sunda anu wiwitan – mimiti.

Dina agama Sunda Wiwitan, aya anu unina kieu:
Nya inyana anu muhung di ayana; aya tanpa rupa; aya tanpa waruga; hanteu ka ambeu-ambeu acan; tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana. (nya mantenna anu Maha Agung di ayana; aya tanpa rupa; aya tanpa wujud; henteu ka ambeu-ambeu acan; tapi kawasa maha kakawasaanana di sagala karep-Na).

Hyang tunggal tatwa panganjali; ngawandawa di jagat kabéh alam sakabéh; halanggiya di saniskara; hung tatiya ahung. (hyang tunggal anu Maha Luhung; satemenna tujuan utama manusa ‘sembahyang’/sembah Hyang; henteu boga anak henteu boga dulur; boga baraya jeung batur ogé henteu di jagat jeung ieu alam; anu pang-unggulna dina sagala rupa hal; hung, tah éta téh nu ngagem bebeneran sajati, ahung). Upama ditengetan, apan éta harti kalimah téh sarua jeung surat Al Ikhlas – anu béda, ukur basana.


Lawang Sanghyang
Rakryan Sancang terus muka pasantrén di Lawang Sanghyang – lawang ka Gusti Alloh (maksudna mah meureun: masjid). Wewengkon Lawang Sanghyang di Nangkaruka, kiwari katelah jadi : Pakénjéng – wancahan tina: pakéna élmu ajengan. 


Mimitina mah santrina téh ukur hiji dua urang, sobat-sobatna anu baheula kungsi ditalukeun ogé terus anut jadi santrina. Masjidna anu mangrupa wawangunan badawang sarat – wangunan anu maké hiasan lauk, dijadikeun tempat meuseuh élmu agama Islam. Tihangna dijieun tina kai kalapa, ukuranana 7 x 9 méter, mangrupa wangunan panggung, hateupna ku injuk. 

Rohanganana ngagemblang, aya kamar leutik lebah Kulon 2 x 2,5 méter. Di tengah-tengahna kosong, aya paimbaran –tempat imam mingpin ibadah. Terus aya wangunan pawon –dapur, jeung pagencayan – wangunan tempat nutu paré. Leuit – tempat nyimpen paré, rada anggang ti dinya. Aya pancuran tujuh Cikahuripan, keur dipaké susuci. Para wasi – santri méméh arasup ka wangunan badawang sarat, wajib beberesih heula di pancuran tujuh Cikahuripan. Ja mandi junub/ hana ti sarira / santi ku ti katuhu / santi ku ti kényca/ sungut nirmala nyarék / ceuli nirmala ngadéngé (mandi jeung adus; beberesih awak; beresih ku ti katuhu; beresih ku ti kénca; sungut suci tina nyarita; ceuli suci tina pangdéngé). Rohangan utamana disebut Hinten Managgay, nyaéta tempat pikeun muja parahyang – asmaulhusna téa. Loba citrik byapari – kaom terpelajar anu daratang ka dinya ngadon cacahan – ngobrol, gotrasawala – diskusi, jeung tolabul ilmi – nyuprih élmu.

Ceuk angkeuhan urang Hindu anu aya di Tarumanagara mangsa harita (638 - 639 Masehi), Rakryan Sancang dianggap geus nyebarkeun agama ‘kotor’. Agama anu mahiwal disebut ‘agama Sunda nu mimiti’ téh, salawasna ngabebegigan ka urang Hindu. Atuh meredih ka Rajaresi Suddhawarman – Raja Tarumanagara ka - 9 (paman Rakryan Sancang), sangkan ngahukuman Rakryan Sancang. Perang campuh Rajaresi Suddhawarman jeung Rakryan Sancang, dimeunangkeun ku Rakryan Sancang. Rajaresi Suddhawarman kasoran ngejat ti pakalangan – bari terus diudag-udag ku alona (Rakryan Sancang), lamun teu dihalangan ku senapati Brajagiri – anak kukutna Kretawarman (Kretawarman téh bapana Rakryan Sancang) mah tinangtu Suddhawarman baris kasambut ku wewesén Rakryan Sancang. Brajagiri nyadarkeun duanana, yén masih aya hubungan alo-paman. 

Taun 639 Rajaresi Suddhawarman terus maot. Tahta Tarumanagara ragrag ka Déwamertyatma Hariwangsawarman – jadi Raja Tarumanagara ka-10 anakna Suddhawarman, tapi teu lila jadi rajana (639-640 M), ukur bubulanan. Kaburu dipaéhan ku Brajagiri. Raja Tarumanagara ka-11 tungtungna ragrag ka minantuna Hariwangsawarman, anu ngarana : Nagajayawarman. 

Satemenna, Hariwangsawarman téh anakna Suddhawarman ti putri karajaan Pallawa India. Hariwangsawarman digedékeun di Pallawa, kalayan meunang atikan anu keras dina urusan kasta. Waktu ngaganti bapana jadi Raja Tarumanagara di Tatar Sunda, Hariwangsawarman ngonclah Brajagiri tina kadudukan senapati karajaan jadi penjaga gerbang karaton. 

Ku angkeuhan Prabu Hawiwangsawarman, Brajagiri diturunkeun pangkatna téh pédah lain ti golongan ménak karajaan. Brajagiri anu diangkat anak ku Kretawarman téh, ti golongan sudra. Nya pédah diturunkeun pangkatna tina senapati Tarumanagara jadi penjaga gerbang karaton ieu, anu ngabalukarkeun Brajagiri kolu téga maéhan Hariwangsawarman.

Sanggeus réngsé perang campuh jeung pamanna, Rakryan Sancang indit deui ka Mekkah (antara taun 640 M) rék neuleuman élmu agama, rada ngampleng di dituna. Ngampleng sotéh, ngilu jihad heula di Iraq; Mesir; Syria; terus ka Jerusalem jeung pasukan Islam. Mulang deui ka Tatar Sunda maké kapal sudagar Arab, malahan sababaraha urang Arab anu geus asup Islam ogé marilu. Di Palabuhan Sumatera Kalér, kapal téh balabuh heula. Ngakut barang dagangan, kayaning: kapol jeung pedes, saméméh diteruskeun ka Palabuhan Banten. 

Kusabab angin jeung lambak laut kacida motahna, atuh rada lila cicing di Acéh na téh. Malahan sawaréh mah aya anu karawin ka urang dinya, anu saterusna jaradi urang Acéh. Ti harita, hubungan urang Arab jeung Acéh jadi raket. Sanggeus angin jeung lambak teu motah teuing, kapal dagang Arab rék neruskeun deui lalampahan ka Tatar Sunda. Tapi, teu ku hanteu. Di tengah laut, angin jeung laut motah deui. Kapal kapaksa kudu balabuh di Sumatera Kulon – Minangkabau. 

Tina kajadian éta, hubungan: Acéh; Minang; jeung Sunda (Rakryan Sancang) jadi kacida raketna. Samalah loba urang Acéh jeung Minang, anu milu tolabul ilmi di Pasantrén Lawang Sanghyang – Pakénjéng Garut. Urang Acéh jeung Minang daratangna ka tempat éta, ngaliwatan laut anu saterusna nonggoh ka kalérkeun ti Darmaga Rancabuaya.

Samulangna di Tatar Sunda, Rakryan Sancang ngadegkeun pertahanan di Gunung Nagara –Cisompet, Garut Kidul. Bari nyebarkeun agama Selam – Islam hasil talaran ti Ali bin Abi Thalib anu lolobana Akidah jeung Tauhid. Pertahanan di Gunung Nagara, katelahna: kadatuan Suramandiri. Kacida wedel jeung kuatna, pikeun nyingkahan  tina panarajang musuh ti luar.

Nalika ngadéngé béja Ali bin Abi Thalib dibacok mastakana waktu keur sholat di Masjid Kuffah, Rakryan Sancang angkat deui ka tanah Arab. Miangna Rakryan Sancang ka tanah Arab, pikeun Nagajayawarman mah jadi boga kasempetan keur ngarurug umat agama Sunda nu mimiti. Tentara Tarumanagara diasupkeun jadi telik sandi – mata-mata bari pura-pura asup agama Selam. 

Atuh waktu pasukan Nagajayawarman ngagempur Gunung Nagara téh, harita kénéh burak teu manggapulia. Pertahanan Gunung Nagara, bangkar. Nu anut ka Rakryan Sancang, mancawura. Mulang ti tanah Arab, Rakryan Sancang kacida prihatinna. Ningali Gunung Nagara jadi kuburan masal. Ti dinya, terus indit ka Kalér. Lebah Cihideung, kungsi ngajejentul lila naker. 

Nyawang pasir anu tingrunggunuk, mulan-malen nyaksrak leuweung di eta patempatan – wewengkon Cisompét nepi ka Pakénjéng. Sugan tepung jeung umatna anu birat, tapi lebeng. Pasukan Nagajayawarman ogé teu kapanggih saurang-urang acan. Terus ngalér deui, nepi ka Pasir Tujuhpuluh (Cikajang). Leuweung geledegan, batuna baradag sagedé pasir. 

Di dinya nyawang ngalér ngidul, kabeneran halimun keur nyingray. Bréh Laut Kidul, asa hayang balik deui ka Sancang. Laju, turun mapay-mapay Cikaéngan. Sakur pasir anu diperhatikeun ku Rakryan Sancang, biwirna ngucapkeun: Subhanalloh. Di Sancang ogé, suwung. Taya saurang ogé umatna, atawa musuh nu nyampak. Basisir anu upluk-aplak, pinuh ku kikisik anu tingborélak. Biwirna, deui-deui ngucapkeun: Subhanalloh, bari ngeclakkeun cimata. 

Di Sancang, asup ka hiji guha – ngadon tirakat. Meunang sababaraha minggu, jengkar ti guha terus indit ka Kalér –ka tempat panyawangan. Belecet deui ka Kulon, mapay-mapay pasir jeung leuweung. Lebah Gunung Kolot, ngarandeg heula. Sanggeus ngarandeg, ku sabab panasaran, Rakryan Sancang nuluykeun lalampahanana ngembat ngalér terus ngétan nuju ka Tarumanagara. 

Anjog di puseur dayeuh Tarumanagara, Rakryan Sancang ngelendep asup ka karaton – rék nyieun karaman di dinya. Tapi kaburu sadar, yén kitu peta téh teu matut jeung teu dipirido ku Hyang Tunggal tatwa panganjali – Alloh SWT. Atuh niat nyieun kakacowan téh, bolay.

Geus wareg aya di wilayah karajaan bapana, Rakryan Sancang balik deui ka Kidul. Mapay-mapay walungan Cimanuk, anjog deui ka Pasir Tujuhpuluh. Di Pasir Tujuhpuluh, Rakryan Sancang ngababakan nyieun padépokan nepi ka maotna. Méméh dipundut ku nu Maha Kawasa, nyieun lalayang wasiat. 

Ditulisna dina kulit uncal, meunang moro di éta pileuweungan. Eusina nyebutkeun ‘kakayaan urang Sunda nu ngahaja nyumput di pakidulan’ jeung wasiat pangwawadi, sakur ka anu bisa maca éta lalayang – anu ditulis ku aksara Arab, ‘kudu nyebarkeun agama Islam’. Éta wasiat bakal kabaca ku turunan Raja Sunda, kurang tujuh abad anu bakal datang. Jeung tujuh abad deui, pakaya Sunda baris kagali. 

Satemenna mah, karajaan Islam anu munggaran téh ayana di wewengkon basisir Kidul Pulo Jawa – Tatar Sunda. Gunung Nagara, tapi éta téh mung ukur karajaan leutik anu kaéréh ku Tarumanagara. Karatonna nelah : Suramandiri. Tatar Sunda mangsa harita, disebut: Parahyangan.

Baca Juga :