Photo Jadul Peralatan, Pekerjaan dan Perdagangan Urang Sunda Jaman Baheula
Beberapa foto “antik” jaman baheula mengenai berbagai hal tertemukan ketika sedang memirsa internet. Ada yang saya simpan, ada yang saya lewatkan begitu saja. Eh, “pikir punya pikir” (setelah dipikir ditimbang), kok rasanya ada pentingnya juga untuk dimunculkan. Siapa tahu memang ada yang sama sekali tidak tahu bahwa “jaman baheula” (yang mungkin juga sampai sekarang sebenarnya masih) ada yang seperti itu. Nah, ini dia berbagai foto-foto “jaman baheula.” Agak “chauvinistic” tapi, yang utama di Sunda, tapi yang lain yang antik tetap dimuat.
PEKERJAAN DAN PERALATAN
1. Menggergaji kayu
Nah ini kita mulai dengan orang menggergaji kayu gelondongan. Saya ingat, dulu sekali, ada tukang menggergaji itu tradisional seperti itu. Kerap pula dijadikan “tatarucingan” tebak-tebakan agak “saru” (kata wong Jogja) atau rada “jorang” (kata urang Sunda): “Yang di atas naik turun, yang di bawah berkedip-kedip (“melek-merem/peureum-beunta”). Hehehe… Iya, kan yang di atas menarik dan mengulur gergaji, sementara yang di bawah kan harus agak sering menutup dan membuka mata, karena tahi gergajian yang berjatuhan bisa masuk ke matanya.
PEKERJAAN DAN PERALATAN
1. Menggergaji kayu
Nah ini kita mulai dengan orang menggergaji kayu gelondongan. Saya ingat, dulu sekali, ada tukang menggergaji itu tradisional seperti itu. Kerap pula dijadikan “tatarucingan” tebak-tebakan agak “saru” (kata wong Jogja) atau rada “jorang” (kata urang Sunda): “Yang di atas naik turun, yang di bawah berkedip-kedip (“melek-merem/peureum-beunta”). Hehehe… Iya, kan yang di atas menarik dan mengulur gergaji, sementara yang di bawah kan harus agak sering menutup dan membuka mata, karena tahi gergajian yang berjatuhan bisa masuk ke matanya.
Menggergaji kayu gelondongan tradisional |
Biasanya tukang gergaji punya “penggaris” dari benang. Benang tersebut tergulung dalam gulungan yang bisa diputar dalam suatu kotak. Dalam kotak ada jelaga hitam kental, sehingga benang pun berlumuran jelaga tersebut. Benang keluar dari lubang kecil yang dibuat di depan kotak, ujungnya diberi pegangan kecil. Pegangan kecil itu ditarik untuk mengulur benag. Benang basah hitam diulur searah batang kayu yang sudah dikikis tepian bulatannya sehingga menjadi agak berbentuk balok, dipaskan tanda sentian yang sudah dibuat, lalu dijepretkan ke kayu. Terbentuklah garis hitam. Dibuatlah banyak garis di bagian atas dan di bagian bawah sesuai dengan lebar kayu. Benang pun ditarik kembali menggunakan alat pemutar, masuk dan terendam jelaga hitam lagi. Jelaganya, kalau tidak salah, dibuat dari silinder isi batu baterai.
Penggergaji di atas bertugas menggergaji sesuai garis, yang di bawah mengendalikan arah gigi gergaji di bagian bawah kayu agar pas dengan garis. Maka kayu pun terbelah rapih, rata, tepat.
Penggergaji di atas bertugas menggergaji sesuai garis, yang di bawah mengendalikan arah gigi gergaji di bagian bawah kayu agar pas dengan garis. Maka kayu pun terbelah rapih, rata, tepat.
2. Membajak Sawah
Besok lusa, entah tahun kapan, membajak sawah sudah akan banyak menggunakan traktor. Baheula mah membajak sawah di tatar Sunda pakai “wuluku” (wong Jogja menyebutnya “luku”). Hanya, bedanya, jika di Sunda yang dipakai penarik bajak itu umumnya kerbau, di Jogja sapi alias lembu. Urang Majalengka mah menyebut membajak sawah teh “nyambut.”
Etah ingat waktu kecil, tukang nyambut teh, kipembajak, suka mengomando sikebo sambil berlagu khas, “His … kia, kia …. mideur….!” menyuruh sikebo bergerak menarik bajak.
“Kia” itu, katanya, artinya jalan. “Kiyahi” itu artinya orang yang selalu berjalan di jalan yang lempang. Nah, mungkin juga “bakia(k)” itu artinya kayu yang berjalan. Hehehe….
Ini foto tukang nyambut, pembajak, setelah wanci pecat sawed (saat bajak dilepas dari sikebo). Tukang nyambut pulang ke rumah, setelah selesai memandikan (“ngaguyang”) kerbaunya di sungai.
Besok lusa, entah tahun kapan, membajak sawah sudah akan banyak menggunakan traktor. Baheula mah membajak sawah di tatar Sunda pakai “wuluku” (wong Jogja menyebutnya “luku”). Hanya, bedanya, jika di Sunda yang dipakai penarik bajak itu umumnya kerbau, di Jogja sapi alias lembu. Urang Majalengka mah menyebut membajak sawah teh “nyambut.”
Etah ingat waktu kecil, tukang nyambut teh, kipembajak, suka mengomando sikebo sambil berlagu khas, “His … kia, kia …. mideur….!” menyuruh sikebo bergerak menarik bajak.
“Kia” itu, katanya, artinya jalan. “Kiyahi” itu artinya orang yang selalu berjalan di jalan yang lempang. Nah, mungkin juga “bakia(k)” itu artinya kayu yang berjalan. Hehehe….
Ini foto tukang nyambut, pembajak, setelah wanci pecat sawed (saat bajak dilepas dari sikebo). Tukang nyambut pulang ke rumah, setelah selesai memandikan (“ngaguyang”) kerbaunya di sungai.
“Pulang” selesai membajak sawah pakai bajak ditarik kerbau |
Membajak sawah dengan kerbau itu ternyata bukan hanya tradisi buhun di Jawa Barat, di Jawa Timur juga ada, misalnya di daerah lain.
Di Gayo, ceriteranya lain lagi. Membajak sawah bukan pakai kerbau atau sapi, tapi pakai kuda.
Membajak Sawah dengan Kuda, Gayo, 1948 |
PERDAGANGAN
Sampai saat ini masih ada, tapi sangat amat jarang sekali, di desa-desa pun, orang berjualan air nira pohon Enau (lahang, cikalahang). Ini sih penjualnya rada “gaya.” Pembelinya, anak-anak, “lucu” ya dalam pakaian “kuno” tahun 1922-1923-an. Diambil dari Come to Java 1922-1923.
Sampai saat ini masih ada, tapi sangat amat jarang sekali, di desa-desa pun, orang berjualan air nira pohon Enau (lahang, cikalahang). Ini sih penjualnya rada “gaya.” Pembelinya, anak-anak, “lucu” ya dalam pakaian “kuno” tahun 1922-1923-an. Diambil dari Come to Java 1922-1923.
Sore-sore, bunga pohon Enau dipotong tangkainya, lalu dimasukkan ke dalam bumbung bambu panjang yang sudah “dilubangi” tinggal “buku” bagian bawah sebagai penutup nbumbung. Esok paginya bumbung diambil, lalu disumbat pakai sumbatan dari daun pepaya kering (kararas, klaras). Dicangkleng dibawa turun. Air nira itu dijerang dijadikan gula jawa. Ada juga yang menjaulnya “mentah” sebagai minuman segar. Wah, siang-siang, minum “lahang” pasti nikmat.
Lukisan penjaja air nira dan serdadu Belanda, 1854 |
Penjaja barang anyaman Keperluan Dapur Tahun 1880-1920 |
Penjaja sarung batik tahun1860-1880 |
Penjaja makanan dan minuman Tahun 1890-1900 |
Penjual ayam Kampung Tahun 1860-1880 |
Pasar makanan dan minuman di kerindangan pohon Tahun 1910-1940 |
Penjaja Sayuran Tahun 1980 |
Tukang Jualam Es Puter Jaman Belanda |
Tukang Jualan Gula Aren Tahun 1980-an |
Penjual buah-buahan, Tahun 1860-1880 |
Penjual buah-buahan Keliling di depan toko Tahun 1880-1900 |
Tukang Patri |
SAWAH DAN PANEN
Padi sekarang batangnya pendek-pendek. Begitu selesai dipanen lalu dirontokkan, dengan digilas-gilas kaki atau pakai mesin perontok padi. Dulu, tanaman padi tinggi-tinggi. Orang menuainya dengan ani-ani. Bulir-bulir padi itu lalu diikat kecil-kecil (di-“pocong”). “Pocongan” padi ini lalu diikat lagi, pakai tali dari bambu, menjadi ikatan besar yang disebut “Geugeusan.” Geugeusan padi ini yang dijemur, lalu disimpan di “leuit” lumbung padi (bagi yang punya). Nah, lihat tumpukan “geugeusan” padi dalam foto di bawah ini.
Panen padi “Gegeusan” |
Panen padi: Padi diikat dalam “pocongan” (ikatan kecil) |
Menumbuk padi pakai lesung batu, 1890-1920 |
Padi Ada yang ditumbuk, ada yang digiling secara Tradsional. Buah batu, Bandung, 1955 |
Upacara sedekahan kepada Dewi Sri, Tahun 1947 |
Upacara sedekahan kepada Dewi Sri di dusun Karangtengah dipimpin seorang spiritual wanita |
Juga upacara untuk Dewi Sri |
Upacara Dewi Sri lagi, di Karangtengah |
MENGAMBIL AIR
Dulu, orang umumnya tidak punya sumur. Untuk air minum mengambilnya di sungai, yang airnya jernih, tentu. Mandi, mencuci juga di sungai. Jika pulang membawa air pakai “buyung” tempayan terbuat dari tembaga.
Mengambil air pakai tempayan “buyung” tembaga, 1951. Seledang kecil dipakai untuk mengikat buyung, lalu diikatkan ke pundak. |
6. “Ngabuwu” Ikan
Menangkap ikan, sampai sekarang, tidak
selalu pakai jaring (“kecrik”), tapi sering juga hanya pakai bubu (buwu)
saja, seperti keluarga penangkap ikan ini. Ada beberapa buah bubu
tergeletak di depan mereka.
Jadi ingat waktu kecil. Disuruh masang “buwu” di sungai teh, salah masang. Bagian yang lebar berlubang diarahkan ke hulu, yang kecil ke hilir. Atuh, tak ada ikan yang masuk. Ikan itu suka menghulu, “kagirangkeun.”
Jadi, dipasangi bubu sambil kiri-kananya dibumpeti. Pasti akan harus
lewat masuk bubu, lalu tak bisa keluar lagi. Sebelah atas bubu ditutupi,
disumbat. Kembali ke “bawah” tidak bisa, sebab ada “katup” penghalang.
Bisa dimasuki, melentur, tapi tak bisa diterobos balik. Itu namanya
teknologi sederhana jebakan alias perangkap. Pintar juga ya orang tua
kita dahulu.
Keluarga penangkap ikan, 1930-1940
Bubu (buwu) penangkap ikan
7. Mencangkul
Mencangkul itu umumnya pakai cangkul
bergagang pendek. Yang suka bergagang panjang itu, yang pernah saya
lihat gambarnya, di Cina atau Vietnam. Eh, ternyata di Indonesia juga
digunakan cangkul tangkai panjang itu. Jadi, jika pakai cangkul pendek
harus sambil membungku, pakai cangkul panjang dengan berdiri tegak.
Lebih enak, kayanya, tak mudah sakit pinggang.
Mencangkul dengan cangkul panjang di Bah Birung Ulu
Rame-rame mencangkul pakai cangkul panjang di Bangka
8. Membuat Jalan
Baheula, membuat jalan itu dengan cara dan
alat sederhana. Belum ada model mengaspal dengan “hotmix.” Mengeraskan
jalan (meratakan pecahan bebatuan) menggunakan mesin gilas atau “setum”
(dari bahasa Belanda stoomploeg).
Mesin gilas stoomploeg di Deli, 1935
Mengaspal jalan Batavia-Bandoeng, 1947, dalam pengawasan mandor dan
tentara Belanda. Aspal diciduk dan diguyurkan pakai kaleng bertangkai
panjang.
RUMAH
1. Leuit lumbung padi
Ini contoh rumah kampung atau perkampungan
jaman baheula (1870-1900) di Indihiang. Ada rumah, dan, tampaknya, ada
“leuit” (lumbung padi?) yang bentuknya beda dari rumah. Diambil dari Come to Java 1922-1923.
Situasi kampung Indihiang 1870-1900
2. Rumah Sunda pakampungan
Rumah Sunda baheula, di kapung, macam-macam
bentuknya. Salahs atunya seperti di bawah ini. Ini bentuk rumah kuno
berteras di Priangan (1890-1900). Diambil dari Come to Java 1922-1923.
Rumah kampung kuno (“een woning”), 1890-1900, di Priangan
3. “Saung ranggon” (gubuk panggung) di kebun
Para petani di sawah, sampai sekarang, suka
membuat gubu-gubukan untuk tempat istiratahat dan menjaga sawah atau
kebun. Jika sekarang umumnya tidak pakai pilar-pilar bambu atau kayu
(bentuk panggung), dahulu orang suka membuatnya pakai pilar, jadi gubuk
panggung. Urang Sunda menyebutnya saung ranggon. Ini salah satu gambarnya. Diambil dari Come to Java 1922-1923.
Saung ranggon di kebon
4. Mesjid dan “tajug” (surau)
Urang Sunda umumhya beragama Islam, samapi
ke pelosok-pelosok. Di mana-mana akan dijumpai banyak tajug (langgar,
musola), dan mesjid. Ini salah satu bentuk mesjid lama (1922-1923) yang
sudah modern. Modern untuk ukuran 1922-1923. Tidak jelas sebenarnya di
mana, yang memotret “oerang Garoet.” Diambil dari Come to Java 1922-1923.
Mesjid lawas (1922-1923)
5. Rumah Amtenar
Rumah yang satu ini kantor gubernuran (Gubernur Jenderal). Letaknya di Sindanglaya, Cianjur. Mewah sekali.
Kantor Dinas Gubernur Jenderal Belanda di Sindanglaya (1921-1922-an)
Rumah Bupati Sumedang Raden Aria Suriaatmaja, 1915-1922
Bentuk rumah Sunda ini agak aneh. Di TMII
ada profil rumah Sunda yang mirip dengan rumah Jawa. Ini rumahdi tatar
Sunda, sangat beda. Coba perhatikan ujung atapnya: tangan menyilang atau
tanduk kerbau. Nah bentuk ini apa namanya?
Rumah di Garut, 1925. Atap Tangan Menyilang. Kampung berpagar bambu.
Foto di atas aslinya menunjukkan pagar
perkampungan terbuat dari bambu. Saya ingat jaman baheula ketika kecil
masuk ke kampung Gunung Wangi akan naik ke Gunung Bongkok, di Maja,
Majalengka. Tepi kampung ada pagar tinggi model foto di atas. Kalau
malam pagar ditutup, dan dijaga di pos ronda di dekatnya. Sekeliling
kampung juga dipagar bambu.
Ini juga rumah model demikian. Berada di jalan menuju Talaga Bodas.
Jalan ke Talaga Bodas. Ada rumah Sunda di tepinya.
Berikut juga model rumah yang sama. Ujung atap berupa tangan menyilang.
Kampung Wiranjana, 1920-1922. Rumah beratap tangan menyilang
Yang berikut model “rumah Jawa.” Model rumah umum, bukan tradisional.
Rumah Jawa Umum, Bukan Tradisional
7. Dapur dan alat dapur
Rumah baheula tungku masak (“hawu”–Sunda)
biasa dibuat dari tumpukan batu, atau tatanan bata merah yang dilapisi
adonan tanah campur dedak.
“Hawu” tungku dapur
Hawu di atas berlubang tiga, masing-masing
mempunyai lubang untuk memasukkan kayu bakar. Ada yang berlubang tiga
tetapi dengan satu lubang untuk memasukkan kayu di bagian tengah saja.
Ada juga yang hanya berlubang dua, lubang kayu bakarnya satu saja.
Untuk menghidupkan kembali api kayu bakar
yang mati, hawu biasa ditiup pakai “songsong” terbuat dari buluh bambu
berlubang ujung dan pangkal. Puuuhhh…puuuhhhhh….. dan abu beterbangan ke
mana-mana.
Menghidupkan api yang mati pakai songsong
Dengan perkembangan elektronika, alat-alat masak (memanak nasi, membuat sayur, dsb) sekarang banyak menggunakan peralatan listrik. Dulu orang banyak menggunakan peralatan dari kuningan.
Dapur dan peralatannya. “Acting” di studio foto, 1880.
Seeng alias dandang untuk mengukus nasi
Seeng (dandang) dan aseupan (kukusan). Dandang pendek ini umum digunakan di mana, ya?
Seeng (dandang) dan ketel (ceret, cerek)
TRANSPORTASI
Orang-orang dulu umumnya bepergian jalan
kaki. Paling -paling, yang kaya, pakai kuda. Tapi, banyak alat
transportasi lain. Para putri raja biasanya ditandu.
1. Tandu
Nah, ini contoh “putri Walanda” ditandu. Tandunya dari bambu juga, ya. Lainnya naik kuda.
Naik kuda atau tandu, 1890-an
Tandu terbuat dari bambu, 1890-an
2. Kereta Api
Kereta api dulu lokomotifnya masih berbentuk
silinder, hitam legam. Sekarang (2010-an) sudah berbentuk “kotak”.
Lokomotif hitam ini masih ada dan dipakai juga, tapi terbatas. Kereta
penumpang umumnya sudah tidak lagi.
Lokomotif Silinder Hitam
Lokomotif, 1936
Jika ada sepeda gunung, ada pula kereta api
gunung. Kereta api gunung itu kereta api yang naik turun gunung tanpa
harus takut melorot lagi ke bawah. Ini dimungkinkan karena di bagian
tengahnya ada rel dan gigi khusus. Kereta ini adanya di Ambarawa, Jawa
Tengah. Nah seperti ini wujudnya.
Lokomotif kereta api gunung di Ambarawa
Nah di tengah rel ada rel ketiga bergerigi, seperti gambar di bawah ini.
Rel bergigi dan roda bergigi kereta api gunung, Ambarawa
Gigi-gigi yang ada pada rel berfungsi
menahan gigi roda agar kereta tidak melorot ke bawah dia tanjakan
pegunungan. Oleh karena itulah maka gigi rel miring ke arah belakang.
Jika kereta akan mundur (melorot), maka gigi rodanya tertahan gigi rel.
Tetapi ektika maju, gigi roda itu tidak tertahan gigi rel.
Rel kereta api gunung, Ambarawa. Rel bergigi df bagian tengah. Jaman Belanda
Stasiun
Willem I, stasiun kereta api gunung Ambarawa, masa Belanda. Lebih bagus
dari stasiun kereta api Indonesiadesa-desa lainnya.
2. Dokar, Kahar, Andong, Sado, Delman, Kereta Kuda
Alat transportasi lainnya kereta ditarik
kuda. Ada beragam macam, dan sampai sekarang masih banyak digunakan.
Yang tidak digunakan lagi “kereta pos Majalengka-Kadipaten” di bawah
ini.
Kereta Pos Majalengka-Kadipaten Jaman Belanda
Andong, 1890-1920
Andong Belanda, 1800-1900
Pedati tertutup, 1880-1910
Delman, 1860-1880
Kereta Kuda, 1900-1940
Kereta Kuda, 1918
Kereta Kuda Tertutup, 1920-an
Pedati Kuda di Jalan Bandung-Solo
Pedati Kuda, Bandung 1949
Sado Medan, 1920
Kalau yang ini namanya lori. Di Kadipaten
(dari Kadipaten ke daerah-daerah di utaranya, misalnya ke Karangsambung)
dulu ada lori ditarik kuda. Para pedagang biasanya naik itu. Sayang
fotonya belum tertemukan.
Bos naik lori didorong para “bedende”
Lori angkutan tebu ditarik sapi
3. Memikul, menggendong
Di ketika orang sudah pakai alat
transporatsi, para pemikul tetap jalan seperti biasa. Ini foto di Bogor
1904. Perhatikan bentuk “keranjang” pikulannya yang khas.
Sang pemikul, Bogor 1904
Lebih kontradiksi lagi, di pinggiran rel
kereta api, jaman baheula, seorang anak kecil dan ibu serta kakaknya
menggendong gerabah.
Perjuangan hidup “anak gerabah” (pottenbakster), Solo, 1900-1940
Lihatlah betapa pahitnya hidup ini. Anak
yang seharusnya bersekolah, tidak bisa bersekolah, karena memang tidak
ada sekolah untuknya, dan hidup mengharuskannya berjuang tak kenal lelah
dan payah. Salut untukmu anakku, kau pejuang sejati kehidupan.
INDUSTRI
Ada banyak kegiatan industri tradisional
jaman baheula. Ini salah satu “tobong gamping” (tungku pembakaran batu
kapur) di Gempol, Palimanan.
Tungku pembakaran batu kapur, Gempol, Palimanan, Cirebon, 1927
Perajin pahat batu alam, Firma Buning, Palimanan, 1920-1933
Jika tahun 2010-2011 ini menjamur “industri”
layanan jasa cuci seterika pakaian (“laundry”), jaman dahulu ternyata
ada juga industri serupa. Ini contohnya di Sumber Porong, Jawa Timur.
Industri cuci (“washery, laundry”) di Sumber Porong, 1902-1922
Orang “bumiputra” itu kreatif juga. Ini contohnya, membuat pabrik penggilingan tebu sendiri.
Industri tradisional gula tebu, Kediri
nah, kalau yang berikut ini tradisional sudah sejak lama dilakukan bangsa kita. Membuat gula aren atau gula kelapa.
“Pabrik” gula jawa
“Pabrik” gula merah di Tanah karo, 1915-an
PERALATAN RUMAH TANGGA
1. Seterika
Sekarang ini, tahun 2000-an, di kota-kota orang menyeterika baju
sudah menggunakan seterika listrik. Dulu, dan mungin sampai sekarang di
desa-desa yang tidak ada listrik, orang menyeterika menggunakan seterika
“jago.” Seterikaan itu diisi arang, lalu dibakar. Kemudian “handel”
yang berbentuk ayam jago, dipasang. Tutup seterika terpasang, arang
tidak berhamburan ke mana-mana. Karena seterika tersebut panas,
diletakkanlah seterikaan itu pada landasan berkaki.
Seterika arang dan landasannya
“Kunci” jago seterikaan arang
Jika seterikaan akan diisi arang, maka “ayam
jago” itu didorong ke depan. Jika ditutup dan agar terkunci, maka ayam
jago itu didorong ke belakang. Pentolan yang ada di bawahnya akan
mengait pada tepi depan seterikaan yang dibuat ada jorokannya ke dalam.
Banyak macam seterikaan arang. Tidak
semuanya berpengunci bentuk ayam jago. Ada yang bentuk bola, ada pula
yang berbentuk lubang yang dikunci dengan “palang.”
Seterika arang berlubang 5, dua-dua di samping, satu di belakang.
Seterika arang bukan jago berlubang banyak
Seterika arang berlubang pagar
BANGUNAN BELANDA
Banyak bangunan tinggalan Belanda di
Indonesia yang sampai sekarang masih ada. Beberapa diantaranya, tentu
pada masa lalu alias jaman baheula, saya coba kumpulkan dan tayangkan.
1. Villa Isola (Rektorat UPI) 1938
Di bawah ini gedung Villa Isola pada tahun
1938. Sekarang gedung ini menjadi kantor pusat (Rektorat) Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Villa Isola Bandung, 1938
Alangkah jauh berbeda dengan keadaan
sekarang (2011). Sekeliling villa sudah dipenuhi oleh gedung-gedung
kampus UPI. Sudah tidak ada lagi sawah-sawah dan kerimbunan taman
seperti tampak dalam foto.
PENDIDIKAN
Mencari gambar-gambar lama tentang sekolah
ternyata tidak mudah. Kebetulan saja tertemukan buku-buku pelajaran
(bacaan) lama. Yakin di Museum Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
juga belum ada. Ini pun hanya foto sampulnya saja. Atau sebagian
ilustrasi di dalamnya. Tapi lumayan, daripada tidak tahu sama sekali.
Buku bacaan bahasa Belanda. Ilustrasi dalam.
Panyungsi Basa, buku pelajaran bahasa Sunda untuk Sekolah Rendah Kelas V, Jilid IV, 1936
Maca Titi, Basa Lan Carita, buku pelajaran bahasa Jawa dengan aksara Jawa, 1939
“In en om de desa” (Di dalam dan di luar desa), buku pelajaran bahasa Belanda, 1923
Buku pelajaran bahasa Melayu (Indonesia), terjemahan dari In en om de desa), 1928-1933
“Umar dan Min di Desa,” buku pelajaran bahasa Belanda, 1924
“Ot dan Sien”, buku pelajaran bahasa Belanda, 1915
“Jauh dari Rumah,” buku pelajaran bahasa Belanda, 1918
“Kembang Setaman,” buku pelajaran bahasa Jawa
“La Mappa,” buku pelajaran bahasa Bugis, 1946
Buku pelajaran bahasa Melayu untuk Sekolah Madura, 1929
Jalan ke Barat (“Weg tot het Western”), pelajaran bahasa Melayu, 1923
Rumah dan Halaman,” buku pelajaran bahasa Melayu (Indonesia), 1950, asli buatan orang Indonesia
Buku pelajaran bahasa Melayu (Indonesia) ,1923-1924
“Pelita,” buku pelajaran bahasa Melayu huruf Arab, 1924
Panglipur Galih” (Pelipur Hasti), Buku pelajaran (bacaan) bahasa Sunda, 1923
Di Pedesaan,” buku pelajaran bahasa Sunda, 1926
Isi buku pelajaran bahasa Belanda
Murid dan guru berfoto di depan sekolah
Murid dan guru berfoto bersama
Post a Comment