Situs Citembong Agung Girang Desa Ganeas Sumedang
Berdasarkan sejarah kerajaan Galuh dan penuturan turun-temurun yang ada di Desa Cipancar Sumedang, setelah adanya suksesi raja-raja Galuh dan keruntuhan kerajaan Galuh di masa Prabu Purbasora antara 716-723 masehi yang diserang oleh Sanjaya, Prabu Purbasora dan putra-putrinya yaitu Wira Dikusuma atau Sunan Pamret, Dewi Komalasari atau Sunan Pancer atau Sunan Baeti dan Patih Galuh Aria Bimaraksa, mendirikan Padukuhan Cipancar di wilayah Sagara Manik, yang kini Padukuhan tersebut menjadi makam umum di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
Perkawinan Dewi Komalasari atau Sunan Pancer dengan Patih Kerajaan Galuh Aria Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung, melahirkan 6 orang anak, yaitu ; yang sulung bernama Aji Putih, kedua Darma Kusuma, ke tiga Asta Jiwa, ke empat Usuro, ke lima Siti Putih dan ke enam Lenggang Kencana.
Aji Putih dan adik-adiknya Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usuro, Siti Putih dan Lenggang Kencana, sewaktu kecil dididik dan diatik oleh kedua orang tuanya yaitu Dewi Komalasari atau Sunan Baeti atau Sunan Pancer dan Aria Bimaraksa atau Sanghiang Resi Agung di Sagara Manik Padukuhan Cipancar Hilir.
Setelah dewasa Prabu Aji Putih dan Aria Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung mendirikan Padukuhan mandala kawikwan di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang, yang kemudian dipindahkan lagi ke kampung Muhara, di Desa Leuwi Hideung, Kecamatan Darmaraja.
Sedangkan istrinya Aria Bimaraksa yaitu Dewi Komalasari alias Sunan Pancer dan kakaknya Wiradi Kusuma atau Sunan Pamret tetap berada di Padukuan asal Sagara Manik Cipancar Girang, bersama para abdi setianya. Padukuhan tersebut kini menjadi makam umum di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
Padukuhan di Leuwi Hideung banyak didatangi orang-orang, yang sengaja untuk belajar ilmu pengetahuan, para cantriknya diajari ilmu agama dan ilmu pertanian, agar bisa bertani atau berhuma bertanam padi, kacang, ketela pohon dan umbi-umbian, juga bisa beternak sapi, munding, domba, kambing dan sebagainya, akhirnya dusun-dusun tumbuh di sepanjang sungai Cihonje, Cibayawak, Cimanuk dan sungai lainnya. Tegalan-tegalan dibuat rumah, pasir-pasir ditanami bambu, tanah-tanah yang lengkob dibuat kolam, sungai-sungai dirumat, air dilokat agar bisa menyuburkan lahan-lahan pertanian.
Lalu Prabu Aji Putih menyatukan pedusunan-pedusunan di daerah Lemah Sagandu dan sekelilingya. Di saat waktu Purnama bulan Muharam Taun Saka, Prabu Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung, di wilayah Muhara Leuwihideung, tidak jauh dari sungai Cimanuk dan Sungai Cihonje. Bangunan karaton atapnya dari injuk, model susuhunan julang ngapak, bahan-bahannya tiangnya dari kayu menghadap alun-alun Mayadatar.
Dalam mengangkat para petinggi kerajaan, Prabu Aji Putih berdasarkan dari garis keturunan atau keluarganya. Astajiwa, adiknya diangkat menjadi patih Tembong Agung, Darma Kusuma adiknya diangkat menjadi ahli hukum kenagaraan, sedangkan Siti Putih dan Lenggang Kencana kedua adik peremmpuannya menjadi pengawas para emban di keputren.
Prabu Aji Putih mempersunting Ratna Inten Nawang Wulan yang bergelar Ronggeng Sadunya, putrinya Jagat Jayanata atau Jaksa Wiragati dan Sari Banon Kencana. Nawang Wulan adalah cucunya Prabu Demunawan atau Raden Hindi, Raja Indraprahasta Kuningan ke 1 antara 748–797 Masehi, dari ibunya Sari Banon Kencana.
Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Aji Putih adalah cucu dari Prabu Purbasora selain kedudukan ayahnya Aria Bimaraksa sebagai bekas Patih kerajaan Galuh di masa Prabu Purbasora mempunyai peranan penting di Galuh Pakuan, sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung.
Selain itu isterinya Ratna Inten Dewi Wulan adalah cucu Prabu Demunawan penguasa kerajaan Saunggalah Kuningan,
Perkawinan Prabu Aji Putih dengan Ratna Inten Nawang Wulan, mempunyai 4 orang anak, yaitu : yang sulung bernama Brata Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.
Setelah mendirikan kerajaan Tembong Agung diperintahkan pula oleh Prabu Aji Putih dan ayahnya Aria Bimaraksa kepada para cantrik dan ponggawanya untuk membangun padepokan yang berada di wilayah dusun Muhara Leuwihideung yang disebut Bagala Asih Panyipuhan. Bagala artinya tempat, Asih artinya silih asah, silih asuh dengan sesama. Panyipuhan artinya membersihkan batin dari rupa-rupa dosa.
Kerajaan Tembong Agung yang dipegang Prabu Aji Putih lalu diteruskan oleh putranya, yaitu Prabu Tajimalela dan Prabu Guru Aji Putih menjadi Maha Guru atau Guru Loka.
Agama jati sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuno sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Prabu Dewa Warman bertahta di Salakanagara antara 130–168 masehi, yang membawa ajaran Hindu lalu ajaran tersebut diteruskan ke jaman Tarumanegara, jaman Kerajaan Kendan dan jaman Kerajaan Galuh.
Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru yaitu Islam, maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang jawa yang masuk Islam dan berdakwah di wilayah bawahan kerajaan Sunda Galuh.
Prabu Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, di antaranya : Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Allah, Maring Malaikat, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh. Artinya : Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati atau Nurani.
Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru yaitu Islam, maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang jawa yang masuk Islam dan berdakwah di wilayah bawahan kerajaan Sunda Galuh.
Prabu Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, di antaranya : Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Allah, Maring Malaikat, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh. Artinya : Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati atau Nurani.
Setelah wafat Prabu Aji Putih dimakamkan di situs makam Astana Cipeueut yang terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Aji Putih tak jauh dari makam ayahnya yaitu Aria Bimaraksa alias Sanghyang Resi Agung dan isterinya Ratna Inten Nawang Wulan, yang kini telah terendam Bendungan Jatigede,
Salam Santun
Awal Berdirinya Kerajaan Sumedanglarang
Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung, Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur.
Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Prabu Wretikandayun. Prabu Wretikendayun penguasa Kerajaan Galuh Purwa mempersunting Minawati atau Minasih atau Puteri Candraresmi Resi Makandria, melahirkan tiga orang anak, yaitu :
Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik. Dan Mandimiyak seorang pemuda yang tampan rupawan, cerdas dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya, setelah Mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan.
1. Sempakwaja, yang menjadi penguasa Saunggalah, yang bermukim di Kabataraan Galunggung.
2. Jantaka, menjadi penguasa di Denuh.
3. Mandiminyak, menjadi penerus Kerajaan Galuh.
Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik. Dan Mandimiyak seorang pemuda yang tampan rupawan, cerdas dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya, setelah Mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan.
Untuk mengobati kecemburuan Sempakwaja dan Jantaka, maka Prabu Wretikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu atau Dewi Wulansari asal Kendan sebagai persembahan dari kerajaan Saunggalah dan setelah menikah Sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra : Purbasora, Demunawan dan Nur Ai Janah.
Sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri, setelah menikah Jantaka serta Dewi Sawitri mengikuti Sempakwaja bermukim di Galunggung, karena merasa tidak layak tinggal di istana dipindahkan ke Denuh dan melahirkan : Aria Bima Raksa atau Buna Raksa atau Ki Balagantrang nama yang termashur ditatar sunda, Jagat Jaya Nata dan Sari Legawa.
Prabu Mandi Minyak lengser keprabuan kemudian menobatkan putranya Brata Senawa atau Sang Sena, menjadi pemangku kerajaan Galuh.
Penobatan Brata Senawa tersebut mendapat reaksi dari kalangan pengagung Galuh, karena Brata Senawa lahir tidak melalui perkawinan yang syah, tetapi hasil perselingkuhan Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu atau Dewi Wulansari istri Sempakwaja yang tidak lain kakak iparnya Prabu Mandi Minyak sendiri.
Akhirnya sebagai tindakan protes karena merasa berhak juga atas tahta kerajaan Galuh Pakuan, maka Aria Bimaraksa dan Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat Galuh Pakuan dari Cipancar Girang Limbangan Garut dan dan Sumedang untuk bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Kerajaan Galuh. Sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Brata Senawa atau Sang Sena berhasil meloloskan diri ke daerah Gunung Merapi, sehingga selamat dari gempuran pasukan Purbasora.
Setelah istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh kemudian mengangkat Aria Bimaraksa menjadi patih dan Purbasora menikahkan putrinya yaitu Dewi Komalasari dengan Aria Bimaraksa dari hasil pernikahannya, melahirkan 4 orang anak, yaitu : Aji Putih, Usoro, Siti Putih dan Sekar Kencana.
Di awal kekuasaanya Prabu Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa atau Sang Sena. Sementara Brata Senawa atau Sang Sena mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga Utara, kemudian Candraresmi Makandria menobatkan Brata Senawa atau Sang Sena menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian menikah dengan Sanaha putrinya Mandi Minyak dari isterinya Dewi Parwati, putranya Maharani Sima. Perkawinan antara saudara antara Brata Senawa atau Sang Sena dengan Sanaha tetapi berlainan ibu tersebut (perkawinan manu) melahirkan Sanjaya.
Kelahiran Sanjaya setelah dewasa di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora, bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Brata Senawa atau Sang Sena sebagai penguasa sah Galuh.
Dugaan tersebut menjadi kenyataan istana Kerajaan Galuh diserang oleh pasukan Sanjaya di dalam pertempuran Prabu Purbasora di usia tuanya gugur ditangan Sanjaya. Sementara versi babon Cipancar hilir Sumedang, ketika penyerangan ke Istana kerajaan Galuh Pakuan, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Sanjaya, hingga akhirnya sampai ke daerah Cipancar di Sumedang Selatan.
Dugaan tersebut menjadi kenyataan istana Kerajaan Galuh diserang oleh pasukan Sanjaya di dalam pertempuran Prabu Purbasora di usia tuanya gugur ditangan Sanjaya. Sementara versi babon Cipancar hilir Sumedang, ketika penyerangan ke Istana kerajaan Galuh Pakuan, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Sanjaya, hingga akhirnya sampai ke daerah Cipancar di Sumedang Selatan.
Sedangkan menantunya Patih Aria Bimaraksa dan istrinya Dewi Komalasari, Wiradi Kusuma dan Wijaya Kusuma putra-putri nya Purbasora dari permaisurinya Citrakirana, berhasil meloloskan diri ke masuk dalam hutan belantara sehingga pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, lalu mereka berempat sampai di daerah Seger Manik atau Sagara Manik di Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan sekarang. Dan mendirikan Padukuhan Cipancar Hilir.
Perkawinan Aria Bimaraksa dengan Dewi Komalasari, melahirkan 6 orang anak, yaitu : Aji Putih, Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usoro, Siti Putih dan Lenggang Kencana atau Sekar Kencana. Semasa kecil Prabu Aji Putih dan saudarannya di daerah Sagara Manik ini.
Kemudian Aria Bimaraksa melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat sampai Citembong Agung Girang, lalu kemudian melintasi Gunung Penuh, Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya atau Gunung Nurmala dan berakhir di Kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja, disinilah Aria Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung mendirikan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan sekaligus mendidik putranya Aji putih yang akan dipersiapkan sebagai pemimpin Kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung menarik simpati para Resi di tatar Sunda, agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sanjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh di tatar Galuh Sunda.
Prabu Sanjaya berhasil menggabungkan kerajaan Medang Jati, kerajaan Indraprahasta dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat Patih Saunggalah Kuningan yaitu Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh Pakuan di wilayah Limbangan Garut.
Kemudian Sanjaya pergi ke arah timur Bumi Mataram dan mendirikan kerajaan Wangsa Sanjaya.
Namun tidak berlangsung lama berkuasa kemudian Wijaya Kusuma digantikan oleh Prabu Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang.
Di awal kekuasaannya Prabu Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang. memindahkan kerajaan Galuh Pakuan ke Ciduging Darmaraja kemudian mengangkat Patih Agung Aria Bimaraksa dan mengangkat Tamperan Barmawijaya atau Sang Tamperan putranya Sanjaya, menjadi Mentri Muda kedudukanya sebagai ahli perang strategis perang tempur di Galuh Kawali.
Hubungan Prabu Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang dengan Patih Aria Bimaraksa bertambah dekat dan harmonis setelah Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang menikah dengan Dewi Naganingrum, putrinya Wiradi Kusuma dan Siti Putih, dimana Wiradi Kusuma adalah kakak ipar Aria Bimaraksa dari isterinya Dewi Komalasari.
Prabu Permana Dikusuma mempunyai dua orang permaisuri yaitu, Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Perkawinan Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang menikah dengan Dewi Naganingrum, melahirkan Raden Jaka Suratama atau Ciung Wanara atau Sang Manarah.
Namun karena Permana Dikusuma seorang Prabu yang gemar melakukan tapabrata di Gunung Padang Darmaraja, sehingga terjadi peristiwa ketika istana kerajaan tidak ada pemimpinnya, sehingga terjadi perselingkuhan antara Tamperan Barmawijaya atau Sang Tamperan dengan isterinya Permana Dikusuma yaitu Dewi Pangrenyep dan melahirkan Hariang Banga, selain itu ambisi Tamperan Barmawijaya atau Aria Kebonan untuk menguasainya Kerajaan Galuh dan melalui telik sandinya yaitu Patih Lembu Sangkala menyuruh membunuh Permana Dikusuma namun tak berhasil karena kesaktian Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang, namun akhirnya Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang berhasil dibawa ke Sang Tamperan atau Raja Bondan. Permana Dikusuma akhirnya melakukan aji ngawereng geni (membakar dirinya dirinya sendiri dengan keilmuannya).
Kehadiran Patih Bimaraksa di istana Galuh punya peranan cukup besar dalam perkembangan kerajaan Galuh yang semakin besar pengaruh dan disegani kerajaan-kerajaan di sekitar galuh. Karena terjadi pergantian kekuasaan oleh Sang Tamperan Barmawijaya atau Aria Kebonan, putranya Sanjaya.
Aria Bimaraksa kemudian menyusun kekuatan di Geger Sunten, sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis.
Aria Bimaraksa berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Kerajaan Galuh dari tangan keturunan Sanjaya.
Sebagai Patih kawakan Aria Bimaraksa dengan mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Aria Bimaraksa bersama cucunya Raden Jaka Suratama atau Sang Manarah atau Prabu Ciung Wanara berhasil merebut Kerajaan Galuh kembali, serangan dilakukan oleh Aria Bimaraksa ketika diadakan acara sabung ayam kerajaan, antara ayam Ciung Wanara dan ayam Tamperan Barmawijaya, putra Sanjaya.
Di dalam babad layang Darmaraja, ketika dilakukan penyerangan ke Galuh adalah pada jaman kerajaan Sumedanglarang dipimpin oleh Prabu Tajimalela, pasukan dari Sumedanglarang yang dibantu pasukan Limbangan Garut. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Prabu Ciung Wanara atau Sang Manarah dan Aria Bimaraksa pensiun sebagai patih Galuh. kemudian pulang lagi ke Tembong Agung di Darmaraja menjadi Sang Resi Agung.
Post a Comment