Saha Jeung Kumaha Sang Patanjala Teh???


Sampurasun...

Pangjejer bae, sunda mibanda ajen dina widang tata ruang/wilayah (planologi). Patanjala ngarupakeun cara atawa "metodologi" karuhun dina ngararancang pangwangunan, pangwangunan diri (salira), bangsa jeung nagara (balarea) malah dunya (buana). "Ku na urang lwirna patanjala-tuturkeun ku urang lajuna walungan" (Naskah Amanat Galunggung Abad 14) nu negeskeun walungan jadi dadasar dina ngararancang tur ngokolakeun pangwangunan.

Nyurup jeung dina catetan Pantun Bogor "Jaga, Sunda kabagean memeres jaman". Dina Pantun Bogor eta, karuhun negeskeun dua hal, bisa disebut oge amanat, nyaeta itungan kahareup jaman bakal keuna ku lara, kadua, kapercayaan jeung kayakinan karuhun ka turunannana (incu putuna) mibanda pancen keur memeresna. Itungan karuhun yen jaman bakal lara lain karuhun ngewa, da geus dibekelan panulak balana, di antarana amanat kolot "gunung ulah dilebur, lebak (sirah cai-walungan) teu meunang diruksak, larangan teu meunang dirempak jeung buyut teu meunang diobah".

Kiwari, balai dimana-mana, usum halodo kasaatan, usum ngijih kabanjiran, pancekadan dimana-mana, manusa nyanghareupan hirup lara balangsak. Kaayaan eta, tangtu balukar tina ngarempak atawa ngalangar kana amanat kolot. Carita kolot geus bukti tur nyata, ayeuna tinggal ngajalankeun amanat kadua "urang Sunda kabagean memeres jaman"

Urang guar sasarengan, da luang mah aya ti papada urang, sim kuring mung pamuka catur, manawa sareng manawi carios sepuh di luhur "urang kabagean memeres jaman" ngalangkungan guaran Patanjala "nu ditunda dina hanjuang siang" tiasa kateang "nu diteundeun di handeuleum sieum" tiasa kasampeur.

Masyarakat Jawa Barat mengenal istilah Sanghyang Patanjala dari keberadaan cerita Sri Maharaja Guru Resi Prabhu Sindu La Hyang/Sindhulang (Sanghyang Tamblegmeneng) sebagai Raja Kendan yang berada di Nagreg Perbatasan Sumedang - Garut. Dalam Cerita beliau memiliki 5 orang 'anak' yang dikenal sebagai "Panca Ku-Ci-Ka" yang terdiri dari :

1. SangHyang Nandiswara
2. SangHyang Garga
3. SangHyang Purusha
4. SangHyang Manisri
5. SangHyang Patanjala

Sesuai dengan cara, pola dan gaya penyimpanan data yang dilakukan oleh para leluhur bangsa bentuk "personifikasi" atas Sang Hyang Patanjala kerap-kali dianggap sebagai sosok manusia secara biologis...padahal mungkin saja hal tersebut dikemudian hari menjadi "gelar kehormatan" terhadap seseorang, seperti yang diberikan kepada Sang Tritrusta Ra-Hyang Tarusbawa raja Sunda Sembawa.  

Patanjala adalah landas pemikiran (konsep) mengenai pengelolaan air yang muncul dari sumber mata-air menuju sungai hingga bermuara di samudra. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan persoalan 4 inti kehidupan mahluk di bumi (khususnya bagi manusia) : Api, Air, Tanah dan Angin.

Pemikiran dalam Pikukuh Sunda mengenai "Ibu Agung / Ibu Pertiwi" rupanya bukan hanya slogan, sebab pada kenyataannya ibu / bumi ini benar-benar "hidup" (bernafas, bergerak dan tubuhnya dialiri berbagai unsur), jadi prinsip kerja tubuh bumi mirip dengan raga manusia atau setidaknya; kondisi bumi ditentukan oleh manusia dan juga sebaliknya kondisi manusia ditentukan oleh bumi (jagat alit - jagat agung).

Patanjala adalah urat-urat air yang mengaliri raga-tubuh Ibu Agung (bumi), dari hulu ke hilir dan kembali berulang, siklus tersebut telah terjadi sejak milyaran tahun yang lalu. Urat-urat bumi yang mengalir dari puncak-puncak gunung turun membawa berbagai mineral dan sari-pati makanan yang dibutuhkan oleh hewan, tumbuhan serta manusia, hingga kelak melahirkan berbagai "peradaban".

Maka teori yang menyebutkan bahwa seluruh bangsa yang memiliki peradaban adi-luhung berawal dari sungai itu "benar", seperti : Huang Ho dan Yang Tse Kiang, Amazon dan Misissipi, Gangga, Nil, Eufrat dan Tigris, dsb.

Namun demikian tentu semua perkembangan peradaban tersebut harus berlandas dan dipicu oleh ilmu pengetahuan yang luhur (kecerdasan, kebijakan serta kebajikan), tanpa hal tersebut mustahil terbangun tatanan peradaban.

Patanjala secara mendasar terbagi dalam 3 kewilayahan yang sangat erat berkaitan dengan "Gunung dan Hutannya" :

1. Wilayah Larangan - Hutan Larangan => Sumber / Wiwitan

2. Wilayah Tutupan - Hutan Tutupan => Cadangan

3. Wilayah Baladaheun - Hutan Baladaheun/Hutan Olahan (Perkebunan dan Pertanian).

Ketiga wilayah ini harus dijaga dengan baik (terjaga "kesuciannya"), oleh sebab itu sering disebut sebagai "tanah suci" dan wilayah paling sakral (dikeramatkan) disebut sebagai "kabuyutan" (Wilayah Larangan) yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu saja (*orang 'suci'), pun jika terjadi kerusakan secara alami.

Maka dari itu setiap wilayah/tanah suci (Hutan Larangan) disebut sebagai Sa-Saka Domas yang ditandai oleh Arca Domas, dan seluruh kesatuan tanah suci disebut Sa-Laka Domas. Sayangnya pengertian istilah dalam suatu kewilayahan tersebut sudah semakin asing terdengar ditelinga generasi sekarang sehingga banyak wilayah larangan rusak dan hancur dengan tidak semestinya.

Berdasarkan tata-wilayah/tata-ruang, maka selayaknya aliran sungai itu dikelola oleh masing-masing kelompok masyarakatnya (tata-kelola/tata-kuasa) dan karena setiap daerah memilik ruang kebutuhan yang berbeda-beda maka tatanannya pun akan beragam, menyesuaikan diri dengan sendirinya. Oleh sebab itu penataan air yang paling ideal tentu tidak memusat, apalagi bersifat penguasa tunggal (monopoly) dengan demikian setiap kelompok masyarakat dituntut "bertanggung-jawab" terhadap wilayah airnya masing-masing.

Patanjala pada tubuh manusia setara dengan "Aliran Darah" yang mengalir dari sirah (hulu / kepala) hingga dampal (telapak kaki), tersumbatnya aliran darah karena 'kotor / rusak' dsb, tentu mengakibatkan masalah yang tidak diinginkan seperti "stroke, darah tinggi, jantung, kurang gizi, diabetes...dsb (tanya sama dokter). 

Dalam hal ini berkaitan dengan 7 Chakra atau Yoga yang kita kenal sekarang,,,padahal asli made in Indonesia Broo...nyata dari dulu orang Sunda suka tatapa/tirakat/uzlah, di Gunung atau tempat-tempat yang dianggap sakral, dengan berjalan ketempat-tempat yang tinggi juga sebelum melakukan uzlah/tirakat membuat badan kita menjadi sehat...heuu...heuu...heuu

Maka demikian pula hal nya aliran sungai pada tubuh bumi, jika terjadi "kerusakan" boleh jadi dampak yang ditimbulkan mirip dengan keadaan manusia yang bermasalah pada saluran darahnya... (belum lagi soal mutu air).

Karena manusia dan bumi merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan maka; rusaknya lingkungan hidup (Tanah dan Air) tentu akan menimbulkan dampak terhadap manusianya dan proses kerusakan (kehancuran) tersebut sedang terjadi saat ini artinya; jika kita tidak segera berbuat sesuatu terhadap lingkung kehidupan maka sama dengan menunggu pemusnahan masal. (*setidaknya dampak itu akan dirasakan oleh generasi yang akan datang /anak-cucu).

Seluruh bangsa Indonesia yang senyatanya tinggal di "Negeri Tirta Dewata" ini selayaknya turut berperan serta dalam menyelaraskan kehidupan bagi Tanah dan Air di masing-masing wilayah dan pada bidangnya masing-masing (*Perlu tindakan serentak dan bersama dalam memulihkan lingkungan). Turut menanam pohon, hemat air, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuat sampah (sampah kimia dan plastik) dll, menghormati dan menjaga kabuyutan di masing-masing wilayah, serta melakukan segala hal yang berguna bagi percepatan pemulihan tanah dan air akan sangat membantu bagi kehidupan manusia sekarang dan yang kelak akan datang.

Patanjala adalah tubuh kita sendiri dan tubuh kita adalah bagian dari Ibu Agung, jika bangsanya sehat maka negaranya kuat. Dengan demikian cerminan mengenai nilai-nilai Sanghyang Patanjala itu ada pada diri kita dan hal tersebut akan tercermin pada mutu aliran-aliran sungai yang ada di negara kita.

Dalam Pikukuh Sunda mengatakan :

"Tanda-tanda negara subur makmur gemah ripah loh jinawi adalah jika air sungainya dapat langsung diminum"

"Tanda-tanda kebersihan hati-nurani suatu bangsa terukur dari kejernihan air sungainya"

Air minum yang ada dihadapan kita yang kita gunakan untuk mandi dan mencuci, air yang telah berjasa memberikan kehidupan kepada raga-tubuh kita sesungguhnya telah berumur jutaan tahun bahkan milyaran tahun, maka sangat wajar jika kita menghormatinya dengan sepenuh hati.
 
Mugia bae.... 

RAHAYU Sagung Dhumadhi, RAHAYU Waluya Jati, RAHAYU Sapapaosna

Rampeeees.....

Baca Juga :

Tidak ada komentar