Pengertian Situs Dan Kabuyutan

Apakah yang disebut Situs?

Seorang pakar Arkeologi bernama Prof. Dr. Moendardjito  di dalam salah satu artikelnya berjudul “Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi” salah satu makalah di dalam Laporan Pelaksanaan Workshop Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kabupaten Karawang” (Cikampek, 15-19 April 2002), Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalan Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Mengemukakan secara rinci tentang apa dan bagaimana ketentuan suatu SITUS kedalam pengertian Arkeologi bahwa nama Situs di Indonesia umumnya diberikan menurut nama lokasi administratifnya, meskipun tidak konsisten. Kadangkala menurut nama kampung, atau nama desa, kecamatan, dst. Bahkan seringkali menurut nama diberikan penduduk, lalu perlukah memberi nama secara sistematis seperti sekarang, atau memberi nama dengan cara lain, atau membebaskannya menurut keinginan masing-masing peneliti, perencana, atau penduduk. Tingkat pengetahuan mengenai isi situs bertambah ketika mendalaminya, sehingga nama seringkali jadi berubah. Misalnya bukit yang dinamakan penduduk ‘Unur Jiwa’ oleh peneliti disebut Situs Unur Jiwa, setelah dilakukan penggalian dan ditemukan candi, peneliti menyebutnya Situs Candi Jiwa. Mungkin ada peneliti yang menamakan situs Segaran - I  karena berada di wilayah administratif Desa Segaran.

Ditinjau dari sudut pengelolaan secara administratif, mungkin menguntungkan; namun kerugiannya, jika desa itu berganti nama, akan menimbulkan permasalahan baru. Lebih lanjut dituturkan bahwa “Kata ‘situs’ di Indonesia menimbulkan kerancuan dalam pemakaiannya, karena tidak konsisten dengan prinsip taksonomi keruangan yang sifatnya hirarkial. Untuk kota kuno Trowulan, misalnya, dengan luas 9 x 11 km sementara peneliti menamakannya ‘situs’ dengan tambahan keterangan keistimewaannya sebagai situs sebesar kota, yaitu ‘situs kota’ (city-site, urban-site). 

Istilah ini memang tidak salah benar karena ada dalam kepustakaan arkeologi, semata  disebabkan selama peneliti masih menganut definisi situs sebagai ‘sebidang lahan yang mengandung atau diduga mengandung tinggalan arkeologi’, namun tanpa merinci kompleksitasnya, keluasannya (apakah 1m² atau 1ha²), kepadatan penduduknya, dsb. 

Definisi itu tidak hanya dipakai arkeolog-peneliti, juga arkeolog-pelestari sebagaimana tersurat dalam Undang Undang tentang Benda Cagar Budaya Tahun 1992. Satuan ruang dinyatakan undang-undang hanya ‘situs’, bukan ‘kawasan’. Kini, sudah ada upaya memasukkan istilah, pengertian dan konsep ‘kawasan’ dalam wacana para arkeolog Indonesia, walau belum dalam perundang-undangan”

Moendardjito (2002:4)  memperjelas bahwa pengertian ‘kawasan arkeologi’ secara sederhana diartikan ‘sebidang lahan yang relatif luas, yang mengandung sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan (spatial clustering sites). Misalnya seperti kawasan Batujaya dan Pakisjaya tidak hanya berdekatan dal hal keruangannya (space),  juga memiliki kedekatan dalam hal bentuk (form), dan waktu (time). 

Situs-situs yang berada dalam ‘kawasan’ itu dapat mengandung warisan aktivitas budaya (baca : arkeologi) yang sejenis atu aneka jenis, semasa atau lintas masa, tunggal atau banyak (multicomponent sites), besar atau kecil. Di sekitar situs juga terdapat sejumlah warisan aktivitas arkeologi berupa bangunan dan fitur, artefak, ekofak dan lingkungannya. Menurutnya, di belahan dunia lain (Amerika) ‘Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi’ dikatagorikan ke dalam empat satuan ruang berdasarkan kepada keluasan atau kompleksitasnya, yaitu :

1. satuan ruang ‘situs (site)’

2. satuan ruang yang lebih luas dari situs yaitu ‘locality’

3. satuan ruang yang lebih luas dari locality, yaitu ‘region’ 

4. satuan ruang yang lebih luas dari region, yaitu ‘area’.

Namun Di Indonesia ‘region’ dan ‘area’ disepadankan dengan istilah ‘kawasan’ atau ‘wilayah’ yang dipakai secara bergantian (rancu) di dalam tulisan-tulisan berupa laporan atau makalah / artikel, namun ‘daerah’ dipakai sebagaimana adanya kini, dan ada juga istilah ‘mintakat’ untuk menyepadankan ‘zona’, maka ada :

1. Zona I atau ‘Zona Inti’ yang merujuk kepada ’sanctuary area’

2. Zona II atau ‘Zona Penyangga‘ yang merujuk kepada ’buffer area’

3. Zona III atau ‘Zona Fasilitas’ yang merujuk kepada ‘facility area’ zona yang merupakan daerah sarana penunjang; di luar zona-zona atu mintakat-mintakat tersebut adapula

4. Zona IV atau ‘Zona Lansekap Sejarah’ yang merujuk kepada ’historical landscape’ tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan lingkungan.


Apakah yang di Sebut Kabuyutan?

Selaras pemilihan dan penmpatan lahan lingkungan (ecological factor: faktor ekologis) sebagian besar Kabuyutan Tatar Sunda menempati lahan gunung, bukit-bukit, atau dataran-dataran tinggi di lingkungan pegunungan; juga dekat aliran atau pertemuan sungai besar; juga bentuk dan konsep continuity, bangunan kabuyutan dilandasi kepercayaan yang dianut masyarakat dengan budaya tradisi Megalitik yakni penghormatan kepada leluhur. Lahan-lahan ekologis yang dipilih tersebut merupakan pusat atau sumber dan sarat dengan kandungan daya dalam menunjang sarana kehidupan manusia, tidak hanya berlaku bagi bangunan suci, juga hunian sekaligus landasan pokok keyakinan menghormati leluhur (Karuhun; Rumuhun) yang diistilahkan Hyang.

Para pakar sependapat bahwa pengaruh India di Nusantara identik dengan hadirnya agama Hindu-Budha, implikasinya kerap mengecoh seakan kekunaan sejarah Indonesia lalu harus diukur dan dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Budha. Mengesankan seakan-akan seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Budha padahal kenyataannya tidaklah demikian. Seorang sarjana Belanda bernama C.M. Pleyte (cf. Danasasmita l975:37) pernah menegaskan:

“Hinduisme  i.e. Sivaism made its entry into the Pasundan but wether  it  ever became  popular is rather doubtful, as not more about half a score of images belonging to the Sivaitic pantheon have been discovered, whilst such temples and monasteries as ain Middle and Eastern Java sought for in vain. It is fair to conclude therefore, that while a few of the native princes did perhaps adopt the foreign religion, the bulk of the population  remained true  to their original creed  founded on animism and ancestor worship”.

Sejak awal Masyarakat Sunda akrab dengan kehidupan berladang dan identik dengan sebutan masyarakat peladang tidak memberi peluang subur untuk pertumbuhan kultur Hindu melainkan sebaliknya tradisi megalitiklah yang bertahan sebagai esensi dari kehidupan spiritualnya. Leluhur (hyang) adalah unsur pemujaan tertinggi mewarnai pusat-pusat kabuyutan di Tatar Sunda. Dimana kabuyutan adalah khas carek masyarakat Tatar Sunda dan tidak pernah disebut ‘Candi’ itu dituliskan beberapa sumber tertulis, diantaranya karya sastra Kabuyutan ti Galunggung dan piagam resmi kerajaan sebagai Piteket dang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharajadhiraja Sri Sang Ratudewata. Raja yang untuk kesekian kalinya memimpin dan mempersatukan pusat Kerajaan Galuh (wetan–kidul) dengan pusat Kerajaan Sunda (kulon-kaler) ke dalam satu panji kekuasaan mutlak Pakwan Pajajaran. Kedudukannya sebagai ‘maharaja’ yang memiliki kedudukan mutlak sebagai pemimpin politik dan pemimpin keagamaan. Karenanya ia bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan rakyatnya, diantaranya membuat  ‘piteket’ mengamankan seluruh gunung sebagai sumberdaya alam dimana terdapat (ditempatkan) bangunan suci kerajaan ‘khas’ Sunda yakni Kabuyutan yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya sejak masa paling awal hingga masa pemerintahannya. Perilaku yang masih tercermin ketat pada komunitas Kanekes (Baduy di Banten Selatan) bahwa ngabaratapakeun nusa “apa yang telah dianugrahkan Sang Cipta tidak boleh dirubah melainkan harus diperlakukan dan dipulasara sebagaimana adanya, tanpa mengubah apalagi mengeksploitasinya”.

Maka Kabuyutan di Tatar Sunda selalu mengimposisi kepada lingkungan dan bukan modifikasi, jikalaupun diperlukan perubahan, akan dilakukan seperlunya tanpa merusak tatanan asli. Kabuyutan dengan corak tradisi Megalitik adalah representasi pengulangan tingkah laku berpola ke dalam simbol-simbol keagamaan khas Sunda. Bangunan keagamaan dengan ciri dan karakter sesuai latar belakang budayanya. Sebagaimana istilah kabuyutan identik dengan istilah Sunda Wiwitan, ajaran yang menjadi  landasan dasar paling azasi dan mewarnai sebagian besar warisan aktivitas budaya Tatar Sunda.

Rangkaian tingkah laku yang secara ”nirsadar” telah terbentuk dari endapan pengalaman pribadi di masa lampau, dengan dipilihnya corak tradisi megalitik, tiada lain adalah penstrukturan kepribadian sejalan motivasi dan kemampuan. Di dalam upaya Masyarakat Tatar Sunda menjembatani diri,  memberi arah kehidupan sesuai tuntutan sosial budaya keagamaan. Continuity kentalnya tradisi megalitik pada hakekatnya mencerminkan perilaku kognitif kesinambungan pengakuan peran leluhur terhadap keberadaan kehidupan dunia. Dengan kata lain kabuyutan adalah kepribadian Masyarakat Tatar Sunda di dalam dimensi ruang, bentuk dan waktu.

Kiranya perlu dikemukakan bahwa tidak satu kata maupun istilah yang pernah disebut dalam seluruh sumber tertulis (textual data) yang berhasil ditemukan di Mandala Sunda (Tatar Sunda), yang mencantumkan kata “Candi” untuk menyebut bangunan suci atau pusat upacara keagamaan, melainkan Kabuyutan. Istilah logis mengacu konsepsi dasarnya yakni  penghormatan kepada leluhur, dengan aspek dan perangkat pusat upacara keagamaan termasuk faktor keselarasan lingkungan turut dipertimbangkan sehingga memperlihatkan ciri dan karakter khas sesuai lingkup lahannya. Bangunan keagamaan yang bentuk dan gayanya sangat jauh berbeda dengan bangunan suci pengaruh Hindu-Budha yang disebut Candi. Berhasil ditemukan dicirikan oleh kemegahan artefak-artefaknya yang artifisial, bentuk yang jauh berbeda dengan bangunan keagamaaan di Tatar Sunda yang sebagian besar warisan aktivitasnya ketika ditemukan itu tidak lebih daripada sejumlah besar bongkah dan kerakal andesit berserakan, tidak tampak sebagai bangunan melainkan lahan dipenuhi serakan batu. Inilah ciri atau variabel yang sekaligus menegaskan  khas bangunan Kabuyutan:

1. Selalu ditemukan pada suatu dataran tinggi, bukit atau gunung atau lahan–lahan tertinggi diantara sekitarnya yang sarat dengan sumberdaya alam;

2. Kabuyutan merupakan mandala gaib puseur dangiang, tahta para leluhur, atau karuhun, karenanya bukit atau gunung dimana pun berada dipercaya sebagai pusat paragi ngahiyang (parahiyangan)

3. Gunung, bukit atau dataran tinggi identik dengan kabuyutan itu sendiri umumnya terletak sebagai batas desa atau batas suatu pemukiman

Kabuyutan, di satu pihak secara tegas menggugurkan asumsi di Tatar Sunda tidak ada atau sangat jarang ditemukan bangunan keagamaan, dilain pihak memberi peluang intentitas budaya sesungguhnya bangunan suci masyarakat Tatar Sunda pada masa tatanan pemerintahan masih bercorak kerajaan (Monarki absolut).

Baca Juga :

Tidak ada komentar