Atsar/Makam Siapakah Yang Berada Di Puncak Gunung Tampomas?

Tampomas adalah sebuah gunung berapi yang terletak di Jawa Barat, tepatnya sebelah utara kota Sumedang (6.77° LS 107.95° BT). Stratovolcano dengan ketinggian 1684 meter ini juga memiliki sumber air panas.

Menurut buku Keturunan Tapel Adam dan Babu Hawa, ada  Gunung Tampomas adalah yang satu Gunung yang tidak tenggelam seluruhnya ketika Banjir Bandang di masa Nabi Nuh alahis salam, gunung-gunung tersebut adalah : Gunung Ciremai, Gunung Agung Tampomas, Gunung Galunggung dan Gunung Burangrang, karena sewaktu banjir Global terjadi level permukaan air laut hanya di Gunung Agung Tampomas hanya sampai ketinggian Gunung Karang  dan Gunung Kumbang, tidak sampai Puncak Manik Gunung Agung Tampomas, dulu banyak ditemukan fosil kerang laut di gunung karang ini,  atau dengan kata lain Gunung Tampomas salah satu  saksi bisu kunci "The Lost Land of Eden" di benua Sundaland yang kini menjadi Nusantara atau Indonesia.
 


Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Agung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik (tiga kali). Gunung Tampomas dengan kekuatan fenomena alamnya memang begitu indah, unik, penuh misteri dan mampu menggoda jiwa petualang bagi para petualang alam bebas untuk mendakinya.




Gunung Tampomas yang berdiri gagah dan indah yang terlihat di sekitaran kota Sumedang ini memang tidak setenar gunung-gunung lainnya di Indonesia khususnya di pulau Jawa, tetapi Gunung Tampomas,  mampu menghadirkan pesona alam yang indah dan memberikan kepuassan bagi para pendaki yang berpetualang di alam bebasnya, dan Gunung Tampomas juga melahirkan sejumlah cerita-cerita yang sarat akan sejarah. 






1. Gunung Tampomas  Jaman Pra Islam Dijadikan Pusat Spiritual
Pada awal abad ke 3 M, ketujuh wilayah Sumedang tersebut, dahulu masih hutan belantara. Para putra Raja Salakanagara ini mendirikan sebuah negeri yang bernama Medal Kamulyan, dimana Gunung Gede (Tampomas) dijadikan sebagai Kiblat atau Tanda atau Simbol atau Pusat Spiritual. Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang Raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.

Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas.
- Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru (Cisarua - Kec. Cimalaka Sumedang)
- Sukmana berdiam di Gunung Cupu (Tampomas Sumedang)
- Sari Hatimah ke arah timur, berkuasa di daerah Cieunteung (Kec. Conggeang) 
- Larasakti di Cisusuru (Cisarua Sumedang).
- Dan yang ke arah utara adalah Jayabuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten (Conggeang Sumedang).

Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya tidak memiliki istri dan suami (berdiri sendiri), tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu.


Kerajaan Medang Kahiangan atau Medang Kahyangan adalah salah satu kerajaan kuno yang ada di Tatar Sunda. Didirikan sekitar tahun 174 saka atau sekitar tahun 252 M di kaki Gunung Tampoomas (Tampomas) yakni terletak diantara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Kerajaan tersebut didirikan oleh seorang resi keturunan raja Tarumanagara ke lima.

Negeri ini lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. Di kawasan ini terdapat situs yang menghadap ke Gunung Tampomas dan sebagai bentuk peringatan yang dilanjutkan oleh keturunan Tarumanagara dari Kerajaan Kendan (keturunan Wretikandayun Raja Medangjati di abad ke-6 dengan lahirnya negeri Medang Kamulyan oleh Ratu Komara.


Menurut sejarah, orang yang pertama kali menapakan kaki di kawasan gunung Tampomas adalah Prabu Sokawayana, putra dari Prabu Guru Haji Adji Putih, adik kandung dari Prabu Tadjimalela. Meskipun penjelajahan Prabu Sokawayana belum diketahui waktunya, namun banyak para ahli sejarah yang menyepakati hal ini.

Dahulu, Prabu Sokawayana diperintahkan ayahnya untuk menjelajahi kawasan gunung Tampomas dalam rangka memperluas pemukiman di sekitar Tampomas.


Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahiyangan (252-290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari Raja Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa pemegang kekuasaan Kerajaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan.

Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahyangan merupakan keturunan Raja Tarumanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.

Namun sayangnya sumber sejarah Kerajaan Medang kahyangan/Medang kahiangan tidak banyak diceritakan dalam carita Parhyangan maupun dari sumber-sumber kuno lainnya yang ada di tatar Sunda.

 

2. Peninggalan Sejarah Kerajaan Pajajaran di Gunung Tampomas
Sejak dahulu, gunung Tampomas dipercaya memiliki kekuatan mistis yang kuat, banyak orang yang menjadikannya sebagai tempat bertapa (ngelmu), termasuk Prabu Siliwangi. Selain itu, gunung Tampomas pun memiliki sejumlah situs yang sarat akan sejarah berkuasanya kerajaan Pajajaran di Tatar Sunda.

Situs-situs itu di antaranya adalah tapak kaki Prabu Siliwangi, seorang yang menduduki kursi kepemimpinan di kerajaan Pajajaran, makam keramat Ranggahadi dan Istrinya, sepasang suami-istri yang diyakini masih bagian dari keluarga Prabu Siliwangi dan Batu Kasur, yang kabarnya merupakan tempat tidur Prabu Siliwangi ketika berada di kawasan gunung Tampomas.



3. Cerita Legenda Gunung Tampomas
Pada abad ke-18, tanah Sumedang digemparkan oleh suara gemuruh yang berasal dari gunung Tampomas, puncaknya mengeluarkan asap bercampur debu yang menyala, terlihat, gunung Tampomas akan segera meletus.

Setelah menerima wangsit dari pertapaannya, ditemani sebagian penduduknya, bupati kala itu, Pangeran Sumedang, pergi menuju puncak gunung Tampomas (Sanghyang Taraje) dan menancapkan kujang emas kesayangannya ke kawah yang berada di puncak. Seketika, gunung Tampomas kembali tenang dan penduduk bersuka cita, selamat dari bencana letusan gunung Tampomas.

Sejak kejadian itu, gunung yang semula bernama gunung Gede, berubah menjadi gunung Tampomas yang memiliki makna 'menerima emas'. dalam bahasa Sunda, tampa bermakna 'menerima' dan mas bermakna 'Emas'.



4. Puncak Gunung Tampomas Bernama Sanghyang Taraje
Berada pada ketinggian 1684 mdpl, puncak gunung Tampomas begitu kaya akan nilai estetika. Saat berada di sana, kamu dapat menyaksikan hamparan kota Sumedang yang sangat merona, lubang-lubang kawah dan serentetan batu-batu berwarna hitam yang mampu menggedor alam imajinasimu, begitu indahnya pemandangan di puncak gunung Tampomas.



5. Gunung Tampomas Dalam Budaya
Dalam naskah kuno Bujangga Manik yang ditulis pada abad ke-15, terdapat ulasan tentang gunung Tampomas. Hal ini mengisyaratkan bahwa gunung Tampomas sudah diketahui sejak abad itu. Seperti gunung-gunung lainnya yang disebutkan dalam naskah Bujangga Manik, gunung Tampomas pun menyimpan sejarah yang sangat luas dan dalam. Namun sayang, belum banyak sejarawan yang berniat menguliti gunung Tampomas.



6.  Kabuyutan dan Kemandalaan
Kamandalaan di tatar Pasundan adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama Jati Sunda dan dipimpin oleh seorang Resi Guru. Kabuyutan berasaldari bahasa Sunda yaitu Uyut (bait atau bayt dalam bahasa arab) yang dapat diartikan leluhur. Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut.

Adapun kata buyut mengandung dua pengertian :
- Pertama, sebagai turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek).
- Kedua, sebagai pantangan atau tabu alias cadu atau pamali. Kadang-kadang pengertian kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat.

Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antar generasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Ada juga istilah satru kabuyutan yaitu musuh kabuyutan (musuh bebuyutan) berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir. Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda.

Dalam pembahasan dalam artikel ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwi Damar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan. Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius.

Di kabuyutan lah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.

Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai "benda nyata".

Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru.

Kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan : menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


Pengaruh Agama Hindu dan Budha

Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Dalam praktiknya, mandala sudah menjadi nama umum untuk rencana yang mana pun, grafik, atau geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari perspektif manusiawi. Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru. kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


Kabuyutan atau Kamandalaan di Tatar Sunda
Kata mandala yang berarti “wilayah kekuasaan lembaga keagamaan” diserap dari bahasa Sanskerta dan berarti “lingkaran suci”. Bagi Urang Kanekes adalah melakukan tapa (bekerja, beraktivitas) di mandala. Hal itu karena, dalam sejarah masyarakat Sunda secara keseluruhan, masyarakat Baduy memunyai kedudukan sebagai mandala. Sedangkan, masyarakat Sunda lainnya di luar mandala berkedudukan sebagai

nagara dan semua warganya mengemban tugas untuk melakukan tapa di nagara. Tugas dan kedudukan masing-masing ini mereka emban secara turun-temurun.

Dalam kerajaan Sunda lama, mandala berarti tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan tempat para pendeta, murid-murid, atau bahkan pengikut mereka hidup untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi kepentingan kehidupan beragama. Ini artinya masyarakat hanya boleh tinggal di sana selama mematuhi seluruh aturan yang ada. Kawasan mandala juga berarti tidak boleh didatangi oleh sembarang orang.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad 15 - 16 M) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu (masih menganut ajaran Jati Sunda), hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara. Tidak hanya itu, Kelangsungannya dan keamanannya dijamin oleh Kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran.

Jati diri kesundaan sebaiknya bukan hanya tersaji dalam bentuk tampilan fisik berupa pakaian tradisional, atau simbol budaya lahiriah lainnya. Beragam nilai hidup yang telah diwariskan nenek moyang justru menjadi substansi jati diri Sunda serta menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda.

“Jauh lebih penting adalah substansi kesundaan. Seperti silih asah, silih asih, silih asuh. Itulah yang mencetak cara berpikir kita,” kata Dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum.

Nilai-nilai itu di antaranya tersirat dalam naskah-naskah Sunda kuno. Dr. Undang menjelaskan, melalui filologi, dipelajari perkembangan kebudayaan suatu masyarakat melalui konsep-konsep pemikirannya yang di antaranya tertuang dalam tradisi tulis, khususnya naskah.

“Jadi, mempelajari naskah itu bukan hanya menyalin, mengedisi, lalu disajikan untuk bacaan baru, tetapi jauh lebih dari itu,” tutur Kepala Program Studi Sastra Sunda FIB Unpad ini.

Menurut Dr. Undang, tidak semua unsur atau produk budaya memiliki kearifan lokal. Dengan mendalami naskah kuno, dapat dipelajari kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah terendap. Lebih dari itu, sebaiknya yang diangkat adalah local genius yang terkandungnya.

“Jadi, local wisdom mungkin tidak akan begitu bermanfaat kalau penyangga-penyangganya tidak memiliki local genius yang kuat. Local genius inilah yang mesti dicetak melalui sekolah dan perguruan tinggi untuk menykapi serta mengimplementasikan tata nilai,” paparnya.

Dr. Undang pun menyebut naskah-naskah kuno itu sebagai “produk kaum intelektual yang lahir lewat lembaga formal pendidikan pada tiap-tiap masanya”. Pria kelahiran Tasikmalaya 19 Oktober 1962 ini meyakini, penulis naskah bukanlah orang yang sembarangan. Mereka adalah orang-orang cerdas.

“Ada naskah, pasti ada yang menulis. Pertanyaan saya, di mana pabrik-pabrik orang cerdas itu? Ternyata, adalah ‘mandala’ sebagai lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kerajaan, dan pesantren merupakan lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kesultanan,” kata Dr. Undang.

Ia pun tergelitik untuk menelusuri, di mana Raja-raja Sunda zaman dahulu menempuh pendidikan formalnya. Dr. Undang meyakini, para Raja Sunda merupakan orang-orang berpendidikan. Menurutnya, saat ini belum banyak peneliti yang mendalami mengenai hal ini.

“Pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad 15 - 16 Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali,” ungkapnya.

Istilah belajar pendalaman ilmu itu pun disebut dengan “tapa”. Berbeda dengan pengertian “tapa” saat ini, yang bahkan banyak masyarakat mengaitkannya ke hal-hal bernuansa magis, “tapa” di sini berarti menuntut ilmu. Dr. Undang menjelaskan, bahwa kegiatan tapa dilakukan di sebuah lembaga pendidikan, yakni di mandala.

“Kalau begitu, tempat bertapa itu mandala, tempat tolabul ilmu itu pesantren, dan Unpad ini pada dasarnya tiada lain adalah tempat bertapa alias tempat tolabul ilmu” imbuhnya.

Berbagai penelitian terkait naskah-naskah Sunda kuno sudah dilakukan Dr. Undang sejak ia menempuh Pendidikan Sarjana di Jurusan Sastra Daerah (Sunda) Fakultas Sastra Unpad. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan Magister dan Doktornya di Program Pascasarjana Unpad, dengan mendalami ilmu Filologi.

Dr. Undang memang tertarik untuk mendalami Ilmu Kesundaan. Bukan hanya mengenai bahasa, tetapi mengenai cara hidup orang Sunda sejak dulu, seperti bagaimana mereka mengatur sistem tata kelola pemerintahannya, bagaimana tata cara bersinergi dengan lingkungannya, bagaimana perkembangan kuliner dan teknik busananya, bagaimana mereka menjalani kehidupan keagamaan sehari-hari, dan sebagainya.

Saat ini, Dr. Undang pun ingin mewujudkan cita-citanya, yakni membangun laboratorium naskah kuno Sunda dalam bentuk digital. Laboratorium naskah digital ini diharapkan dapat turut membantu para peneliti lain dalam mempelajari naskah kuno Sunda tanpa harus mengunjungi langsung lokasi ditemukannya naskah. Digitalisasi ini juga diperlukan untuk menjaga agar naskah-naskah ini dapat terpelihara dengan baik dan tidak cepat rusak.

Menurutnya, Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi penyelamat naskah-naskah Sunda. Naskah-naskah Sunda ini merupakan salah satu tangible cultural heritage atau warisan budaya kebendaan yang bersifat kongkrit (material culture) dan sekaligus mengandung teks yang dapat dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage atau warisan budaya non kebendaan yang bersifat abstrak (immaterial culture).

“Itulah kewajiban kami di Prodi Sastra Sunda, untuk mendata, menginventasisasi, mencatat, mendigitalisasi, dan mengkaji sekaligus mengungkap kandungan naskah, juga mencetak kader-kader muda yang concern terhadap itu,” tuturnya.

Bagi Urang Sunda yang tinggal di Priangan Timur barangkali pernah mendengar Mandalaherang. Nama tersebut adalah satu satu kabuyutan di Tatar Pasundan. Namun berdasarkan informasi dari Naskah Sunda Kuno, kabuyutan ini termasuk Mandala, seperti terlihat dari namanya Mandala Mandalaherang.

Mandala Mandalaherang atau Kabuyutan Mandalaherang berada di tutugan (kaki gunung) Tampomas Sumedang. Mandala atau Kabuyutan ini, mungkin cikal bakal Kerajaan Medang Kahiyangan seperti tercantum dalam Perjalanan Bujangga Manik.

Setiap Mandala terdapat batu satangtung atau Lingga. Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang-Galuh” (Hukum Leluhur Galuh). Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat/ puseur (inti) pemerintahan disetiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).

Dari tempat Lingga (wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (‘Maharaja’) dan Rasi atau Resi (raja-raja kecil/karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri-Tangtu atau Tri-Su-La-Naga-Ra.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat suci) secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu ;
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)
Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada).


Atau dalam diri kita sendiri Lima Mandala tersebut bisa digambarkan dibawah ini :

Menurut budayawan Sumedang, di Jawa Tengah atau di Jawa Timur terdapat banyak Candi adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut bangunan atau tempat suci keagamaan, di Jawa Barat sesungguhnya ada dan banyak Candi (tempat ibadah suci keagamaan), terutama di wilayah Sumedang khususnya di Gunung Tampomas disebut dengan kabuyutan.

Di Gunung Tampomas terdapat banyak kabuyutan, salah satunya adalah kabuyutan Sahyang Taraje (berupa bangunan berundak terbuat dari batu berjumlah empat teras), terletak di kawasan hutan pinus dan termasuk kewilayah Desa Cibeureum, kecamatan Cimalaka, Sumedang.

Letak kabuyutan Sahyang Taraje berada pada sebuah dataran disalah satu gugusan puncak Gunung Tampomas. Situs kabuyutan Sahyang Taraje terdiri dari tiga bagian, yaitu Batu kukus dan Pabeasan dengan teras yang berundak-undak.

Disebelah Selatan kabuyutan Sahyang Taraje terdapat situs kabuyutan Puncak Manik ditempat inilah pernah ditemukan arca Ganesha, arca binatang dan arca batu tumpeng


 

6. Situs Gunung Tampomas
Situs Gunung Tampomas terletak di hutan pinus, kampung Cibeureum Desa Cibeureum, Kecamatan Cimalaka, berada pada sebuah datara di badan dan Puncak Gunung Karang, salah satu Gunung Tampomas.

Menurut Prof. DR. Nina H Lubis, dkk dalam Sejarah Tatar Sunda 2003,  situs yang berada di Gunung Tampomas dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Batu Kukus dan Pabeasan di badan Puncak Gunung Tampomas dan teras berundak di puncak Gunung. Butu Kukus merupakan sisa sebuah gua (ceruk) berukuran tinggi 1 m dan lebar 75 cm. Bagian pintu masuk atau bagian muka gua sudah runtuh.


Masyarakat setempat menyebutnya kabuyutan Batu Kukus atau pertapaan Batu Kukus. Hingga sekarang masih digunakan oleh golongan tertentu untuk bertapa. Sementara itu pabeasan adalah batu besar yang pada bagian kini bawahnya berlubang membentuk pabeasan (tempat menyimpan beras).

2. Bangunan teras berundak terletak pada sebuah lahan di Puncak Gunung, terbuat dari balok dari balok batu berbentuk empat persegi panjang. Bangunan yang teramati adalah empat teras teratas, sementara tiga teras dibawahnya tertutup belukar. Pada teras teratas terdapat lingga yang sekarang menjadi "nisan" kuburan Islam.


3. Selain itu, di daerah bangunan teras berundak-undak, pada sebuah puncak bukit ditemukan "Batu Sandung" berbentuk kubus. Bagian atapnya sudah hilang antara kaki dan tubuh terdapat hiasan tengkorak. 


Situs Gunung Tampomas merrupakan sebuah karesian, dengan adanya sisa gua (pertapaan) dan bangunan teras berundak.

Diantaranya ada peninggalan Tapak (bekas) kakinya Prabu Siliwangi Raja Pajajaran yang terkenal akan kegagahan dan kesaktiannya, dan juga makam Ranggahadi dan istrinya yang menurut cerita mereka itu merupakan kerabat dari Prabu Siliwangi.   


Batu Kasur atau Batu Pasarean (tempat tidur) yang konon tempat atau sempat di pakai tempat istirahatnya / tidurnya Sang Prabu Siliwangi. Satu di antara tempat sejarah yang mungkin membuktikan cerita tentang masa lalu.


Batu Kasur yang konon merupakan tempat tidurnya Prabu Siliwangi dan Batu Padaringan yang konon di pakai tempat persembahan atau tempat musyawarah, ini membuktikan bahwa kawasan Gunung Tampomas kaya akan keindahan alam, cagar budaya serta sejarah dari keraja'an Pajajaran di masa ke-emasan-nya pada masa lalu di tataran sunda.

Di kawasan Sekitar Gunung Tampomas ditemukan juga situs peninggalan sejarah masa lalu, diantaranya seperti : Batu Lingga, Pecahan Arca, Pagar Batu, Piramida Kecil, dan Patung Mudra Tanpa Kepala.

Situs Purbakala tersebut ditemukan di timur lereng Gunung Tampomas di sekitaran Ciputrawangi, Leuweung Candi, Puncak Narimbang, Batu Lawang, Sawah Kalapa, Puncak Manik dan Blok Cibenteng. 

Pada lereng sebelah timur Gunung Tampomas terdapat lokasi yang disebut Blok Candi. Secara administratif lokasi tersebut merupakan wilayah Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di lokasi ini terdapat struktur teras batu berorientasi utara – selatan. Panjang 6,40 m dengan ketebalan 40 cm. Menurut keterangan masyarakat setempat pada sekitar tahun 1998 telah ditemukan arca batu.


Fragmen arca yang ditemukan di Blok Candi, lereng timur Gunung Tampomas. Arca ini sekarang disimpan Sdr. Ifan, warga Desa Narimbang.  Arca terbuat dari bahan batuan tufa berwarna kemerahan.  Kondisi arca sudah tidak lengkap, pada bagian kepala patah.  Ukuran tinggi 45 cm, lebar 25 cm, dan tebal 15 cm. Penggambaran sangat sederhana.  Kedua tangan digambarkan dalam sikap menyilang di dada.  Tangan kiri berada di atas tangan kanan. Bagian perut hingga kaki tidak digambarkan. 

Selain itu disekitar kaki Gunung Tampomas juga ada situs Batu Dalam Dusun Ciburuan Desa Jingkang Kecamatan Tanjungmedar Kabupaten Sumedang. Situs ini berupa punden berundak dan Batu balok persegi. Mirip batu Sandung yang ada di Puncak Gunung Tampomas.

Situs Batu Dalam di Dusun Ciburuan Desa Jingkang
Kecamatan Tanjungmedar Kabupaten Sumedang
Dolmen tempat berkumpul Para resi di sekitar Gunung Tampomas di Dusun Ciburuan Desa Jingkang
Kecamatan Tanjungmedar Kabupaten Sumedang

7. Beberapa pendapat mengenai Atsar/Makam yang berada di Puncak Gunung Tampomas 
Beberapa pendapat mengenai Atsar/Makam yang berada di Puncak Gunung Tampomas yang dikemukan dalam basa sunda oleh Tokoh, Nonoman, budayawan dan spiritual dari Sumedang adalah sebagai berikut :

Bayu Kusumah Adinata : ieu seratan aya beja-beja lisan ngeunaan makam jeung patilasan anu aya di ponclot Tampomas.

Bayu Kusumah Adinata : baheula dina taun 1789, ponclot Gunung Tampomas dipake ngurebkeun para patih ti Karajaan Sumedang, aya beja patih Sumedang lobana genepan anu dikurebkeun di dinya, nyaeta Umarta, Wretikandian, Resi Damiangsa, Galih Kumbian, Aria Damaksa, Sunggalah Jayadiraksa, jeung Gandring Jasi Rumasuk, naon sababna papada hayang dikurebkeun tidinya? sabab geus ti baheula eta tempat geus jadi kagiatan jalma-jalma sohor, Sri Baduga Maharaja katut ingkang garwa, kantos ka dinya nyandak "Hambala", naha naon anu disebut HAMBALA teh jeung kumaha rupana, heunteu eces.


Aji Guna : Ari HAMBALA/HAMBAL/AMBAL nyaeta al ketip tina Kulit anu disakak, ieu ampar mangrupa ajen kulungguhan sakaligus kaluhungan dina adeg-adeg kayakinan baheula,, lamun diuk diamparan, ciri pangajen keur tatamu atawa jalma anu dihurmat, tempat calik Raja / kepala suku / Puun / Datuk, biasana sok diamparan ku HAMBALA tina kulit Maung  jsb, Prabu Taji Malela nalika ngawedar Elmu diamparan ku Daun Cau Manggala, laju ku Boeh Larang, mun dina Sambeang cara Eslam nya ku sajadah, pareng aya tamu baheula can ilahar budaya korsi sok ngagelar samak atawa al ketip (karpet).

Aji Guna : sami sim kuring ge teu patos terang makam saha sahana anu aya di eta Pupuncak Manik margi can kenging katerangan nu jelas boh sacara lisan atanapi tulisan nu tiasa dijantenkeun dasar kayakinan, da teu kenging ngalelebah sagawayah, ngan tina konsep TRI-GUNA di mana dina jaman peradaban UNGGAH GUNUNG nalika Gunung ngajadi pusat peradaban, aya 3 Gugunung poponclot / 3 wilayah keur ngawilah wilayah Tattwa ~ Rajas ~ Tamas : Karesian ~ Karatuan ~ Karamaan, saperti di Gunung Gede : Gumuruh ~ Gede ~ Pangrango, ari di Tampomas (Gunung Gede Sumedang) :  Puncak Manik Karatuan,  Gunung Kumbang Karamaan,  Gunung Karang Karesian uga Sagara saat. Nya laju  turun Gunung nu tilu Jajar AmparanKidul, manggung Karamaan ayeuna lebah Ci-Timbun,  kalebet Jingkang. Di tengah ngadeg Karatuan Medang Kahyangan, sabudeureun Legok, ka Kalerna Karesian sabudeureun Blok Candi - Narimbang.

Atsar Makam di Puncak Gunung Tampomas Dokumentasi Tahun 1921
Supian Apandi : Ieu dokumentasi tahun 1921 an. Dina buku het paradishe van java.

Supian Apandi : Nunutkeun sumber nu aya mah dina buku het paradisje van java yen eta diluhur gnung tampomas sanes makam. Mung patilasan atanapi totonden wirehna didinya kantos aya kahirupan kaagamaan nu terakhir panginten catetan perjalanan pujangga manik,
Diluhur tampomas mangrupikeun salah sawios bhakta Visnu sareng Ganesha. Rahayu.

Surya Pringga : Nu apal Pa Amin tah aya keneh di Taman Endog. anjeunna hoyong kalebetan asli teu ngarang, bahasana ge sangsekerta, lain kawas nu kasurupan prabu Siliwangi ari basa Indonesia di trans 7 ningan, bohong etamah, kuring keur leutik SD milu ka Tampomas muka awal deui jeung sesepuh ka puncak Tampomas, etateh para sahabat prabu siliwangi, cenah mah ngan poho deui ngaranna.

Supian Apandi : Muhun kang Surya Pringga, Seueur nu berdalih penelitian ... Tapi kanyataana eta ngaruksak.

Surya Pringga : Tah eta di urang mah tukang naliti geus teu pro ka sajarah sorangan, nu enya di lain-lain, ari nu lain di enya-enya..kakang

Supian Apandi : Leres kang ... mugia wae saparantos na uninga mah urang pada mafhum, Ulah dugikeun ka HISTORY janten HIS STORY.  He..he..he..he

Al Doel Latief : Sanes penelitian eta jelma nu fanatik agama berlebihan nu ngarusakna? Sanes situs dipuncak manik nu terancam rusak situs-situs nu dihandap ogel loba geus dirusak?

Al Doel Latief : Sebenar mah kawasan Gunung Tampomas bisa jadi asset wisata menjanjikan mulai kondisi alamnya dan sejarahnya tapi sayang sekarang kondisi Gunung Tampomas terancam karena galian pasir sampai orang fanatik berlebihan yang merusak situs sejarah. Situs tampomas merupakan peninggalan situs prasejarah yang ada di Sumedang, selain ditemukan berbagai artefak seperti arca, gerabah sampai pernah ditemukan berbagai benda jaman perunggu tapi sayang sekarang kawasan situs terbesar di Sumedang itu terancam hancur... #savetampomas.

Ki Raga Sukma : satu-persatu situs sejarah di sumedang hilang tanpa jejak, kita hanya bisa mengelus dada, karena keganasan para pemimpin yg serakah.

Al Doel Latief : Bener lur, demi lestari situs-situs Sumedang harus melibatkan masyarakat adat yang ada.

Ki Raga Sukma : intinya mah Hiji kakang dulur, nyaeta ngaleungitkeun heula EGO, kumargi katingalna masyarakat adat khususnya sabundeureun Sumedang, pa aing-aing, grup-grupan, sewang-sewangan....coba lamun eta EGO di leungitkeun, masyarakat adat dijantenkeun sabeungkeutan sasieureun sabeunjeureun, Insya Alloh pamarentah bakal di eundeuk-eundeuk.

Al Doel Latief : Bener pisan lur, sebenarnya situs tampomas bisa jadi kawasan Geopark jiga di Sukabumi masyarakat adat sekitar dinya nu kelolana.

Al Doel Latief : Salilana masih sok aing kabeh masyarakat adat aya di sumedang, sumedang moal bisa maju dunia pariwisatana.

Asep Sulaiman Fadil : Urang sadayana parebut bener, matak pa bedang-bedang .jeung pa girang-girang tampian, coba lamun marebutkeun kuring nu salah kuring nu lemah, tinangtos bakal silih pikaheman, lantaran calik dina makom, anu sami-sami saling katergantungan (mutualistis).

Al Doel Latief : Situs Gunung Tampomas bisa dijadikan kawasan Geopark seperti di Sukabumi, selain keberadaan situs-situs bersejarah, alam dan geologi gunung Tampomas.


Baca Juga :