Pelet Marongge, Sugesti Diantara Perjalanan Spiritual Nyai Gabung

Makam Nyai  Gabung Marongge Sekarang
Kalau melihat sejarah yang perjalanan spiritual yang terkenal dengan nama desa di daerah perbatasan antara kabupaten Sumedang dan Majalengka di Kecamatan Tomo, yang terkenal dengan nama Desa/Dusun "Marongge" sampai keluar kota Sumedang. Di dusun tersebut ada 4 makam yaitu Nyai Gabung, Nyai Setayu, Nyai Naibah dan Nyai Naidah, padahal jikalau kita melihat perjalanan spiritualnya mungkin 4 orang nyai tersebut adalah 4 sufiesme, sebab tidak menikah selama hayatnya begitu juga nama Naibah dan Naidah nama berbau kearab-araban, tidak seperti nama sunda pada umumnya.

Seperti kisah perjalanan spiritual wanita islam Rabiatul Adawiah yang tidak menikah sampai akhir hayatnya. Tetapi kenapa daerah Marongge menjadi terkenal dengan nama "RATU PELET"nya, Apakah sugesti atau bagaimana? Soalnya kalau 4 Nyai (sebutan perempuan bahasa Sunda, seperti Nimas kalau bahasa Jawa) yang disakralkan tersebut mereka akan menikah sampai beberapa kali hingga akhir hayatnya karena mempunyai ilmu pelet yang sakral. Ataukah yang datang tersebut adalah yang ghaib datang dari Alam Larangan ketika mengadakan ritual membuang celana dalam, hii..hii..hii.


Silahkan membaca sejarahnya dibawah ini :

Asal Usul Pelet Marongge
Pelet Marongge memang dahsyat dan selalu diburu orang yang memerlukan. Pelet ini diyakini paling ampuh dalam memikat asmara lawan jenis. Ritual memperoleh pelet Marongge pun unik. Yakni dengan ziarah di makam Nyai  Gabung, lalu berendam di Sungai Cilutung dan membuang pakaian dalam. Aduh eta kudu miceun calana jero sagala xii..xii..xii eey ci eneng eta teu dicalana atawa ci akang mah teu dikolor ... geuning nyaah.

Ilmu pelet adalah ilmu yang sering diburu orang. Diantaranya oleh mereka yang sulit bertemu jodoh, usaha selalu rugi dan peruntungan negatif. Dan ilmu pelet Marongge, lebih dikenal sebagai pemikat asmara. Ilmu pelet ini didasar ilmu yang berasal dari Ajian Si Kukuk Mudik, milik Nyai Gabung yang terkenal pilih tanding.

Bila ditelusuri lebih jauh, Ajian Si Kukuk Mudik berasal dari legenda keramat Marongge. Marongge sendiri sebenarnya nama sebuah desa di Kecamatan Tomo, Kab Sumedang. Lokasinya di sebuah bukit yang berada di jalan raya Tolengas dan Cijeungjing, berbatasan dengan Kec. Kadipaten, Kab. Majalengka dan juga dekat bendungan Jatigede.

Menuju ke lokasi harus melalui jalan setapak yang cukup menanjak. Seratus meter kemudian terdapat kompleks pemakaman umum Desa Marongge. Di dalamnya terdapat tiga bangunan. Salah satunya paling dikeramatkan karena diyakini kuburan karuhun sebagai ujung dari asal-usul ilmu pelet Marongge. Tiada lain adalah makam Nyai Gabung, Nyai Setayu, Nyai  Naibah dan Nyai Naidah.

Setiap hari selalu saja ada yang berziarah ke lokasi ini, kecuali Selasa. Peziarah tampak membludak bila malam Jumat kliwon tiba. Saat itulah ritual nyacap ajian ilmu pelet Marongge dilakukan. Terkadang, pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan suatu kali pernah mencapai seribu orang ketika Jumat kliwon bertepatan dengan bulan Maulud.


Nyai  Gabung
Nyai Gabung adalah wanita ayu asal Mataram yang bermukim di Kampung Babakan, dekat Keramat Marongge sekarang. Di sanalah Nyai  Gabung dahulu tinggal bersama tiga saudara wanitanya, Nyai  Setayu, Nyai Naibah dan Nyai Naidah. Keempat bersaudara ini dianugerahi paras yang ayu. Bahkan kecantikan mereka terkenal ke penjuru negeri. Sehingga tidak sedikit raja, pangeran dan pemuda yang terpikat.

Namun, entah kenapa keempat gadis ayu rupawan ini senantiasa melajang. Dan itu pula yang mengundang rasa penasaran. Tersebutlah seorang raja bernama Gubangkala yang mengutus patih diiringi bala tentara untuk menemui dan melamar paksa Nyai Gabung. Tapi niat buruk itu tercium. Nyai Gabung lalu tapa-riyadoh-tirakat-uzlah dan mengerahkan segenap kesaktiannya.

Ketika rombongan tiba di gerbang dusun Babakan, mereka semua tertidur karena disirep Nyai Gabung. Tak berapa lama mereka dibangunkan kembali. Sang patih yang congkak, tak menyadari apa yang menimpa mereka dan pasukannya. Ia tetap bersikeras menyampaikan permintaan raja dan meminta Nyai Gabung sudi dipersunting Raja Gubangkala.

Menghadapi kepongahan sang patih, Nyai  Gabung tetap tenang. Ia menyatakan bersedia dipersunting Raja Gubangkala, namun dengan satu syarat. Syaratnya adalah Gubangkala sanggup mengembalikan kuku (sejenis buah labu air) yang dibawa arus deras sungai Cilutung yang bermuara di sungai Cideres.

Mendapat tantangan itu, patih kembali menghadap Gubangkala. Sang raja yang angkuh itu pun bersedia meladeni tantangan kekasih hatinya, Nyai Gabung. Di sisi sungai Cilutung, keempat wanita ayu itu menyaksikan kesaktian raja Gubangkala. Nyai Gabung melempar buah kukuk ke sungai dan hanyut dibawa air deras. Gubangkala mengerahkan kesaktian untuk menarik kembali buah kukuk itu sehingga melawan arus.

Namun hingga seluruh kesaktiannya terkuras, buah itu tak kunjung kembali. Ia pun akhirnya mengaku kalah, sambil meminta Nyai Gabung untuk menarik buah kukuk yang hanyut itu. Nyai Gabung dengan tenang mengeluarkan lokcan (selendang) yang dijuluki cindewulung itu dan mengibaskannya tiga kali.

Sungguh menakjubkan, seketika buah kukuk yang telah hanyut dibawa arus itu kembali dan akhirnya loncat ke sebuah batu cadas yang berbentuk meja. Hingga kini, batu cadas ini dikenal dengan nama cadas meja dan masih bisa disaksikan di Kampung Parunggawul desa Bonang, Kecamatan Kadipaten, Kab. Majalengka, yang berbatasan dengan lokasi Keramat Marongge berada.

Situs/Makam Marongge atas sebelum dipugar dan bawah setelah dipugar

Nama Marongge
Seperti diceritakan kuncen Marongge, Abdul Halim, upaya menaklukkan dan mempersunting Nyai Gabung dan ketiga saudaranya ini terus berulang. Namun mereka selalu menang dan tetap ingin melajang. Konon, itu semua berkat selendang sakti berjuluk Cindewulung. Hingga suatu ketika, Nyai  Gabug pergi tanpa pamit. Selama tiga tahun 41 hari Nyai  Gabung menghilang.

Ketiga saudaranya mencari-cari hingga sampailah ke suatu hutan lebat. Di sana Nyai  Gabung ditemukan dalam keadaan tafakur, bahkan seperti sudah hendak meninggal. Dan pada saat bersamaan, terdengarlah suara gaib. Suara itu memerintahkan tiga adik Nyai Gabung untuk mencari kilaja susu munding (buah mirip melinjo yang bentuknya sebesar pentil kambing). “Buah itu diperuntukkan sebagai obat bagi nyai  Gabung. Mereka pun menemukannya, dan ramuannya diminumkan kepada nyai Gabung,” tutur Abdul Halim.

Perlahan nyai Gabung sembuh. Tapi terdengar lagi suara gaib. Kali ini empunya suara memperkenalkan diri dengan nama Haji Putih Jaga Riksa, penunggu Gunung Hade. Kemudian nyai Gabung menyuruh ketiga adiknya menggali tanah bekas nyai Gabung dahulu ditemukan terbaring. Setelah selesai, nyai Gabung masuk ke dalamnya dan memerintah ketiga adiknya untuk menutup lubang dengan rengge (sejenis ranting bambu haur), setelah itu ketiganya disuruh pulang.

Karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakaknya, ketiga saudara ini kembali ke tempat itu menjelang tengah malam. Dan mereka sungguh terkejut ketika dari tempat itu terlihat merong (cahaya memancar). Akan tetapi tubuh nyai mbah Gabug tidak kelihatan lagi. Akhirnya nama itu hingga kini disebut Marongge. Berasal dari kata merong dan rengge. Dan sejak itu pula tempat itu dikeramatkan dan dikunjungi banyak orang yang mengalami kesusahan.


Ajian Kukuk
Menurut kuncen Abdul Halim, mendapatkan ilmu pelet Marongge harus dengan mengikuti ritual yang berpuncak pada malam Jumat kliwon. Ritual itu disebut nyacap ajian (cara memperoleh ajian). Biasanya, sejak Kamis siang para peziarah sudah berdatangan. Mereka datang dari berbagai tempat. Menjelang malam mereka melakukan tawassul sambil mengungkap hajat masing-masing di sekitar makam Nyai Gabung dengan dipimpin kuncen.

Saat tengah malam, mereka berbaris dan berjalan menuju Sungai Cilutung. Jaraknya sekitar 400 meter dari makam keramat Marongge. Dalam kegelapan malam, mereka bergerak melintasi jalan Tolengas-Cijeungjing, menyusuri jalan setapak, hingga mencapai Sungai Cilutung yang lebarnya 50 meter.

Seluruh peserta turun ke sungai yang airnya tidak terlalu dalam. Sambil mandi dan berendam, mereka membaca mantera yang diberi kuncen diiringi ungkapan agar tercapai segala keinginan. Acara berendam ini, kata Abdul Halim, merupakan ritual yang paling penting dalam prosesi mendapatkan Ilmu Pelet Marongge.

Dan hingga mendekati akhir prosesi, mereka diharuskan melepaskan pakaian dalam, lalu dihanyutkan di sungai itu. Konon, ritual buang pakaian dalam itu sebagai bentuk membuang segala kesialan. Selepas itu, prosesi nyacap ajian ini pun selesai. Ketika keluar dari sungai, para peserta menganggapnya sebagai memasuki babak baru dalam hidupnya. “Ada semacam semangat dan keyakinan yang tumbuh. Kalau ingin jodoh mereka jadi percaya diri,” ungkap Abdul Halim.

Kabarnya, ketika berada di dalam air itu, seseorang yang beruntung kerap menemukan jodohnya seketika di tempat itu pula. Misalnya, entah kenapa tiba-tiba seseorang baik laki-laki atau perempuan bisa berkenalan dengan pasangannya. Dan selanjutnya mereka pun berjodoh.

Baca Juga :

Tidak ada komentar