Siapakah Resi Agung Dalam Kacipakuan dan Resi Agung Dalam Sejarah Tembong Agung?

Siapakah yang dimaksud Resi Agung dalam Buku Kacipakuan dan Resi Agung berdasarkan selusuran Sejarah? 

Dalam Buku Rucatan Budaya Sunda Kadarmarajaan, ada 2 nama yang disebut Resi Agung, yang masing-masing berlainan zaman atau masanya :

1. Resi Agung Dalam Jaman Lemah Sagandu
Dalam Buku Kacipakuan diceritakan di situs Cipeueut ada sumur Cikahuripan merupakan sumber mata air alami yang dibuat oleh Purbawisesa keturunanan Nabi Nuh AS pada zaman prasejarah jutaan tahun yang lalu, ketika Tanah Sunda/Sundaland (Lemah Sagandu) masih menyatu dalam "Satu Benua". Setelah ganti zaman diaspora dimana setelah banjir bandang berlalu, kemudian Lemah Sagandu (Benua Sunda) yang tadinya menyatu dalam satu benua menjadi terputus oleh selat-selat karena sebagian daratannya terendam, jadilah seperti sekarang ini.

Diceritakan dalam Buku Cipaku Resi Agung menyuruh ke tiga keturunan Nabi Nuh AS, Purbawisesa, Terahwisesa, dan Ratu Galuh berkontemplasi ke/di Lemah Sagandu selama 40 hari 40 malam, setelah berkontemplasi Resi Agung datang kembali memberi petunjuk untuk ke-3 keturunan Nabi Noh a.s tersebut Purbawisesa pergi ke sebelah Timur menurunkan raja-raja di Timur (*Kalingga hingga Bali, karena dalam kisah buku darmaraja lain, dikisahkan Terahwisesa berkelana dari dari daerah ke daerah lain yang lebih tinggi, karena air belum surut sepenuhnya, hingga akhir sampai di Gunung Agung/Bali), Terahwisesa ke sebelah barat menurunkan raja-raja di sebelah barat (*Salakanagara, Tarumanagara), dan Ratu Galuh  ke sebelah selatan menurunkan raja-raja disebelah selatan (*Kendan, Galuh, Sunda, Padjajaran).  

Masing-masing oleh RESI AGUNG diberikan tongkat sebagai simbol, setelah beres semua Purbawisesa kemudian menancapkan tongkat di tanah lalu keluar air dan kemudian mereka bertiga minum karena haus, karena saking hausnya airnya terasa sangat manis sehingga mereka menamakan tempat itu Cipeueut (Peueut adalah Nira Aren). Mata air yang kemudian menjadi sumur tempat Purbawisesa menancapkan tongkatnya sampai sekarang sudah tak ada karena terendam oleh waduk Jatigede dan diberi nama Sumur Cikahuripan. Setelah ketiganya minum dari sumur Cikahuripan mereka pergi ke tujuannya masing-masing dan menurunkan Raja-raja di Lemah Sagandu (Benua Sunda). 

Sumber informasi tentang Lemah Sagandu tersebut dapat di baca dalam buku karya Ki Wangsa, Budayawan Sunda Sumedang, judulnya Rucatan Budaya Sunda Kadarmarajaan, sumber utamanya adalah Buku Cipaku atau Buk Cipaku. 



2. Resi Agung (Aria Bima Raksa) Dalam Babad Tembong Agung
Prabu Wertikendayun penguasa kerajaan Galuh mempersunting Ratu Candraresmi melahirkan tiga putra yang bernama :
1. Sempak Waja
2. Jantaka
3. Mandiminyak

Setelah Wretikendayun lengser keprabon, Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik, Mandiminyak pemuda yang Tampan rupawan, cerdas dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya setelah Mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan.

Untuk mengobati kecemburuan putra Sempakwaja dan Jantaka maka Prabu Wretikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu persembahan dari kerajaan Saunggalah dan setelah menikah Sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra Purbasora, sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri.

Setelah menikah Jantaka serta Dewi Sawitri mengikuti Sempakwaja bermukim di Galunggung karena merasa tidak layak tinggal di istana dan melahirkan Bimaraksa alias Aki Balagantrang nama yang termashur ditatar sunda.

Prabu Mandiminyak lengser keprabon kemudian menobatkan "Bratasenawa" (Sangsena) menjadi pemangku kerajaan Galuh, penobatan tersebut mendapat reaksi dari kalangan pengagung, karena Bratasenawa lahir tidak melalui perkawinan yang syah, tetapi hasil perselingkuhan Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu istri Sempakwaja yang tidak lain kakak iparnya Prabu Mandiminyak sendiri.

Bimaraksa dan Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan sumedang larang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh, sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora.

Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari (Nini Balagantrang) dan hasil pernikahannya melahirkan :

1. Adji Putih
2. Usoro
3. Siti Putih
4. Sekar Kencana

Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara.

Kemudian Candraresmi menobatkan Bratasenawa menjadi Pemangku kerajaan Kalinggautarakemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sondjaya. Kehadiran Sondjaya di Kalingga utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sondjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa. Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sondjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sondjaya. Sedangkan Patih Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sondjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa.

Patih Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Gunung Nurmala (Sangkanjaya sekarang) dan berakhir di kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja.

Disanalah Bimaraksa mendirikan "Padepokan Tembong Agung" sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.

Padepokan Tembong Agung Mendorong perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara perlahan-lahan Padepokan Tembong Agung menjadi Pusat penyebaraan Keagamaan dan kebudayaan Sunda.

Padepokan Tembong Agung setelah menjadi pusat penyebaran keagamaan dan budaya sunda kemudian bealih menjadi Kerajaan Tembong Agung yang didirikan ADJI PUTIH pada saat purnama bulan muharam dengan menobatkan PRABU GURU ADJI PUTIH sebagai Raja Tembong Agung.

Setelah Penobatan putranya Bimaraksa yang telah menjadi seorang Resi Bimaraksa pergi kedaerah utara ditepian sungai Cimanuk. Disana mendirikan "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" (Bagala = Tempat, Asih = Kasih sayang) yang bermakna tempat untuk menjalin kasih sayang antara sesama insan (tempat bersilaturahmi antara sang pencipta dan sesama insan)

(Panyipuhan = Membersihkan/penyucian jasmani dan rohani)

Kemudian "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" menjadi tempat bekumpulnya/tempat konsultasinya para Resi ditatar Sunda.

Para Resi bertujuan untuk meredakan perebutan kekuasaan/perang saudara dikerajaan Galuh dengan pendekatan melalui keagamaan dan budaya.

Berdirinyanya kerajaan Tembong Agung menarik Simpati para resi tatar sunda agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sondjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh ditatar sunda.

Dan Prabu Sondjaya berhasil menggabungkan kerajaan MedangJati, kerajaan Indraprahasta, dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat Patih Saunggalah (Kuningan) yaitu Wijayakusumah menjadi pemangku kerajaan Galuh namun tidak berlangsung lama berkuasa kemudian digantikan oleh Prabu Permadikusumah.

Kemudian diawal kekuasanya memindahkan kerajaan/keraton Galuh ke daerah Bojong Galuh Karang Kamulyan (Ciamis), kemudian mengangkat patih Agung Arya Bimaraksa dan mengangkat Tamperan Brawijaya (putra Raden Sondjaya) menjadi mentri muda kedudukanya sebagai Strategis Tempur/Perang.

Hubungan Prabu Permadikusumah dengan Patih Arya Bimaraksa bertambah dekat dan Harmonis setelah menikahkan Dewi Naganingrum keturunan Prabu Purbasora untuk mengikis persetruan saudara dimasa lalu.

Kehadiran Bimaraksa di istana Galuh punya peranan cukup besar dalam perkembangan kerajaan Galuh yang semakin besar besar pengaruh dan disegani kerajaan-kerajaan ditatar sunda, karena Arya Bimaraksa sangatlah matang dibidang ketatanegaraan, keagamaan dan budaya sunda dan mendapat anugerah dengan sebutan "TRI TANGTU".   Artinya Tiga Perkara yang dapat menentukan baik dan buruk sebuah negara/Kerajaan, yaitu :

1. Rama = Sosok yang dituakan sebagai penasihat kerajaan.

2. Resi = Sosok yang dipandang berwibawa dan menguasai ilmu hukum dan kepemimpinan, tugasnya mengawal dan mengarahkan jalanya pemerintahan.

3. Ratu = Sesosok Pemimpin / Raja.

Dari kedua kisah diatas siapakah yang dimaksud Resi Putih tersebut, yang mana menurut buk kacipakuan nama Resi Putih tercatat di jaman dalam jaman Ratu Galuh, Purbawisesa sareng Terahwisesa (katurunan Nabi Noh)


Siapakah yang dimaksud dalam kacipakuan Resi Putih pada zaman Lemah Sagandu dan zaman Tembong Agung??? Pada Zaman Lemah Sagundu /Sundaland, apakah sosok Nabi Syith a.s (Seth) ataukah Nabi Khidir balya bin Malkan (Haidir).  

Lihat silsilah Nabi dibawah ini :



Sedangkan dalam Babad Tembong Agung Sumedang yang dimaksud Resi Agung adalah Ayahnya dari Prabu Aji Putih Raja Tembong Agung Sumedang, yaitu Arya Bimarakya bin Jatnaka bin Wretikendayun, beliau sebenar mempunyai Istri yaitu Ratu Komalasari bin Purbasora bin Sempak Waja bin Wretikendayun (Sunan Pancer) yang makam ada di Pemakaman Umum Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.

Silsilahnya dapat dilihat dibawah ini :


  

Baca Juga :

Tidak ada komentar