Kerajaan Medang Kahyangan Di Suku Gunung Tampomas

Kerajaan Medang Kahyangan
Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tampo Omas atau Tampomas terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahyangan, dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari bekas ibukota kerajaan Sumedanglarang yang pernah berlokasi ibukotanya di Cipameungpeuk kemudian dialihkan ke Ciguling Desa Margalaksana Kecamatan Sumedang Selatan, pemegang kekuasaan kerajaan Sumedanglarang pada waktu itu adalah Prabu Gajah Agung atau Prabu Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayudha dan dilanjutkan oleh putranya Prabu Pagulingan atau Prabu Jagabaya atau Sunan Guling, antara tahun 893-1530 masehi.

Kerajaan Medang Kahyangan adalah salah satu kerajaan kuno yang ada di Tatar Parahyangan Jawa Barat. Didirikan sekitar tahun 174 saka atau sekitar tahun 252 masehi di kaki Gunung Tampomas yakni terletak diantara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Kerajaan tersebut didirikan oleh Prabu Resi Dhaniswara putra Raja Salakanagara ke 5, yaitu Prabu Dharma Satya Waruna Dewa atau Prabu Jagat Jaya Ningrat, masa kerajaan antara tahun 252 - 290 masehi. 

Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan masanya dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan kronologi sejarah bahwa Kerajaan Medang Kahyangan yang bercorak agama Hindu, merupakan keturunan Raja Salakanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Waruna Dewa atau Prabu Jagat Jaya Ningrat, masa kerajaan antara tahun 252 - 290 masehi, putranya Prabu Dharma Satya Nagara masa kerajaan antara tahun 238-252 masehi dari permaisurinya Sanghyang Dewi Ningrum.

Adapun silsilah Prabu Daniswara dan ke enam saudara lainnya Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara putra-putranya Prabu Dharma Jaya Waruna Dewa atau Prabu Jagat Jaya Ningrat adalah sebagai berikut :

Prabu Darma Satya Nagara Raja Salakanagara ke 4 antara 238-252 Masehi, dari permaisurinya Sanghyang Dewi Ningrum, mempunyai anak : Prabu Darma Satya Jaya Waruna Dewa yang kelak akan menggantikannya sebagai Raja Salakanagara ke 5. 

Sanghyang Prabu Wisesa dari permaisurinya Sanghyang Dewi Kancana, mempunyai anak Sri Nur Cahya.

Prabu Darma Satya Waruna Dewa Raja Salakanagara ke 5 antara 252-290 Masehi mempunyai isteri lainnya yaitu Sri Nur Cahya, mempunyai anak : 
1. Prabu Danishwara atau Sumaradhira, menjadi Prabu Resi di suku Gunung Tampomas sebagai pusat kerajaan dan kenegaraan Kerajaan Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara di Sumedang, antara 252-290 Masehi atau antara abad ke 3 sampai dengan abad 4 Masehi, situs makamnya di Cilumping Desa Ciemutan Pangkalan Hariang Kecamatan Buah Dua.

2. Jaya Sampurna atau Jaya Sakti, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang ke sebelah Selatan, situs makamnya di Dusun Paragi Kecamatan Pasanggrahan Baru Kecamatan Sumedang Selatan.

3. Indra Sari atau Gajah Handaru, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagaraa bad ke 3-4 masehi di Sumedang ke sebelah Selatan, situs makamnya di Dusun Paragi Kecamatan Pasanggrahan Baru Kecamatan Sumedang Selatan.

4. Lara Sakti, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang ke arah Timur, situsnya di Cisusuru Cisahang Desa Ambit Kecamatan Situraja namun ada juga situs makamnya di Kampung Cieunteung Cidempet Conggeang Sumedang kilometer 16.

5. Sukmana atau Resi Cupu, menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang di sebelah Selatan, situs makamnya di Gunung Cupu, kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.

6. Banas Banten atau Jagat Buana Ningrat), menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang di sebelah utara, Situs makam Banas Banten di Dusun Banasbanten, Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang.

7. Sanyak - Sari Hatimah - Tumenggung Surabima menyebarkan ajaran Hindu di wilayah Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan dari Kerajaan Salakanagara abad ke 3-4 masehi di Sumedang di sebelah utara, situs makamnya di Makam Umum Kampung Cieunteung - Cidempet Desa Cipta Mekar, Kecamatan Conggeang 




Sedangkan yang menurunkan Kerajaan Sumedanglarang berasal dari Prabu Resi Manikmaya dari Kerajaan Kendan yang berdiri antara 568 - 597 masehi, yang menikahi Tirtha Kencana putrinya Prabu Suryawarman Raja Tarumanagara ke 7, dan kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.


Peninggalan Kerajaan Medang Kahyangan ini tersebar di sekitar Gunung Tampomas yakni, berupa : Makam-makam Kuno, Punden berundak, Lingga dan Arca. 




Penelitian terbaru berhasil menemukan sejumlah benda purbakala, mulai dari area Puncak Gunung Tampomas hingga sampai kaki Gunung Tampomas di sebelah Timur. 

Lokasi bersejarah tersebut berada di Blok Ciputrawangi, Leuweung Candi, Puncak Narimbang, Batulawang, Kabuyutan Sawah Kalapa, Kabuyutan Puncak Manik, dan Cibanteng. 


Kerajaan Medang Kahyangan kuno ini harus kembali diteliti lebih mendalam, mengingat banyaknya peninggalan kepurbakalaan yang berkaitan erat dengan kerajaan ini.

Bagi orang Sunda yang tinggal di Priangan Timur barangkali pernah mendengar Mandalaherang. Nama tersebut adalah satu satu kabuyutan di Tatar Pasundan. Namun berdasarkan informasi dari Naskah Sunda Kuno, kabuyutan ini termasuk Mandala. Mandalaherang ini termasuk dalam daftar Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.

Mandala Mandalaherang atau Kabuyutan Mandalaherang berada di kaki gunung Tampomas Sumedang. Mandala atau Kabuyutan ini, mungkin adalah cikal bakal Kerajaan Medang Kahyangan seperti tercantum dalam Perjalanan Bujangga Manik.

Setiap Mandala terdapat Batu Satangtung atau Lingga. Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La Hyang Galuh” (Hukum Leluhur Galuh). Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat atau puseur (inti) pemerintahan disetiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).

Dari tempat Lingga atau wilayah Rama inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara atau Ratu. Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama atau Manusia Agung, Ratu (‘Maharaja’) dan Rasi atau Resi (Raja-raja kecil atau karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tilu Tangtu atau Tiga-Su-La-Naga-Ra.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (Lingga) disebut obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat suci) secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu;
  1. Mandala Kasungka
  2. Mandala Seba
  3. Mandala Raja
  4. Mandala Wangi
  5. Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)
Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada).


Asal Usul Mandalaherang
Pada awal abad ke-3, ketujuh wilayah Sumedang tersebut, dahulu masih hutan belantara. Para putra Raja Salakanagara ini mendirikan sebuah negeri yang bernama Medal Kamulyan, dimana Gunung Gede (Tampomas) dijadikan sebagai kiblat/tanda/simbol/pusat spiritual. Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.

Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Larasakti di Cisusuru (Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas). Dan yang ke arah utara adalah Jayabuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten. Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya tidak memiliki istri dan suami (berdiri sendiri), tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu dan lahirnya sebuah ajaran yang disebut dengan istilah Insun Medal.

Negeri ini lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. Di kawasan ini terdapat situs yang menghadap ke Gunung Tampomas, dan sebagai bentuk peringatan yang dilanjutkan oleh keturunan Tarumanagara dari Kerajaan Kendan dari keturunan Wretikandayun Raja Medangjati di abad ke 6 dengan lahirnya negeri Galuh Medang Kamulyan Tembong Agung oleh Prabu Aji Putih putranya  Ratu Komara atau Dewi Komalasari dan Aria Bimaraksa


Baca Juga :

Tidak ada komentar