Sunan Kalijaga: Dalam Tarekat Tassawuf

Sunan Kalijaga, terlahir dengan nama Raden Sahid, putera Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Selain dikenal dengan nama Raden Sahid, Sunan Kalijaga dikenal pula dengan sejumlah nama lain yang termasyhur seperti Syekh Melaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti. Nama-nama tersebut memiliki kaitan erat dengan sejarah perjalanan hidup Sunan Kalijaga.

Menurut Babad Tuban, Sunan Kalijaga sejatinya adalah seorang keturunan Arab. Kakeknya yang bernama Abdul Rahman, adalah seorang keturunan Arab. Karena berhasil mengislamkan Adipati Tuban yang bernama Aria Dikara, maka Abdul Rahman mengawini putri Aria Dikara. Karena Aria Dikara tidak memiliki putera, maka Abdul Rahman selaku menantu menggantikan kedudukan Aria Dikara sebagai Bupati Tuban. Karena menjadi pejabat Negara bawahan Majapahit, maka Abdul Rahman pun dikisahkan mengganti namanya menjadi Aria Teja. Dari perkawinan dengan puteri Aria Dikara, Aria Teja dikisahkan memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Namun sebelum menikah dengan puteri Aria Dikara, Aria Teja telah menikah lebih dulu dengan puteri Raja Surabaya yang beragama Islam, bernama Aria Lembusura. Dari pernikahan dengan puteri Aria Lembusura ini Aria Teja memiliki seorang puteri yang dikenal dengan nama Nyai Ageng Manila yang kelak diperisteri Sunan Ampel.

Sejalan dengan Babad Tuban, C.L.N. Van Den Berg dalam "Le Hadhramaut et les colonies arabes dans l̢۪Archipel indien" (1886) menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang keturunan Arab. Dalam buku tersebut, Van Den Berg menggambarkan garis silsilah Sunan Kalijaga sebagai berikut:

Abdul Muthalib memiliki putera Abbas; Abbas berputera Abdul Wakhid berputera Mudzakir berputera Abdullah berputera Kharmia berputera Mubarrak berputera Abdullah berputera Madhra̢۪uf berputera Arifin berputera Hasanuddin berputera Jamal berputera Akhmad berputera Abdullah berputera Abbas berputera Kourames berputera Abdur Rakhim (Aria Teja, bupati Tuban) berputera Teja Laku (Bupati Majapahit) berputera Lembu Kusuma (Bupati Tuban) berputera Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) berputera Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).

H.J. De Graaf membenarkan Babad Tuban dan pandangan Van Den Berg bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) adalah orang Arab, yang memiliki silsilah segaris dengan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Sementara menurut Silsilah Sunan Kalijaga dari keluarga R.M. Mohammad Soedioko yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga dari galur Sunan Adi yang turun ke Pangeran Wijil, diperoleh urutan silsilah sebagai berikut:

Raden Sahid Sunan Kalijaga putera Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban putera Rangga Tejalaku Bupati Tuban putera Seh Djali putera Seh Abdul Rahman putera Seh Abdullah putera Seh Kurames putera Seh Mudakir putera Seh Wakid putera Seh Abdul Watis Karnain Baghdad putera Sayidina Abbas.

Silsilah dari R.M. Mohammad Soedioko ini bertemu dengan sumber Babad Tuban dan pendapat H.J. De Graaf maupun Van Den Berg, yang menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab dari galur Sayidina Abbas bin Abdul Munthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Namun terdapat perbedaan di antara silsilah-silsilah tersebut, di mana pada Babad Tuban dan silsilah yang diajukan H.J. De Graaf disebutkan kakek Sunan Kalijaga yang bernama Aria Teja adalah seorang tokoh berdarah Arab yang bernama Abdul Rahman, sementara menurut silsilah dari keluarga R.M. Mohammad Soedioko kakek Sunan Kalijaga adalah Bupati Tuban yang bernama Rangga Tejalaku sedang tokoh bernama Abdul Rahman adalah canggah dari Sunan Kalijaga, yaitu kakek dari kakeknya Sunan Kalijaga. Sementara menurut C.L.M. Van Den Berg, Kakek Sunan Kalijaga adalah Lembu Kusuma, putera Teja Laku.

Menilik kemiripan nama Aria Teja dengan nama Rangga Tejalaku dan Teja Laku, dapat ditafsirkan nama itu sejatinya menunjuk pada satu tokoh sejarah yang sama dengan tiga nama berbeda, sehingga sangat mungkin tokoh sejarah yang disebut Aria Teja atau Rangga Tejalaku atau Teja Laku itu adalah tokoh bernama Abdul Rahman, yaitu tokoh yang memiliki nama sama dengan nama kakeknya karena nama-nama seperti Abdurrahman digunakan secara umum oleh penguasa-penguasa muslim pada era Demak, dimana Sunan Kalijaga sendiri selaku putera Bupati Tuban menggunakan nama Pangeran Abdurrahman. Yang pasti, semua sumber baik Babad Tuban maupun sumber yang digunakan Van Den Berg, De Graaf, dan R.M. Mohammad Soedioko menunjuk bahwa ayah Raden Sahid Sunan Kalijaga adalah Aria Wilatikta Bupati Tuban, yaitu bupati yang memiliki nama asli Abdul Syukur, yang menikah dengan puteri Nawangarum dan menurunkan Raden Sahid Sunan Kalijaga sebagaimana disebut dalam Babad Demak, Pupuh III Langgam Ron ing Kamal, sebagai berikut:

Nawangarum ingkang nama/
Raden Sukur garwa neki/
lama-lama apaputera/
kekalih kang sepuh esteri/
ingkang nama Dewi Sari/
ana dene kang weruju/
Raden Sahid nama nira/
Raden Sukur duk ingoni/
kang pilenggah tumenggung ing Wilatikta//

Masa Menutut Ilmu

Kisah hidup Raden Sahid yang kelak dikenal dengan gelar Sunan Kalijaga diawali dengan kisah masa mudanya yang dwarnai kisah-kisah kenakalan seorang Putera Bupati yang suka melakukan tindakan tercela seperti berjudi, minum minuman keras, berkelahi, mencuri sehingga memalukan orang tuanya yang merasa malu dengan kelakuan puteranya itu dan kemudian mengusirnya. Namun dengan diusir tidak menjadikan Raden Sahid baik, malah semakin nakal dengan menjadikan diri seorang perampok yang membuat kerusuhan di hutan Jatisari dan menebar ketakutan kepada semua orang. Serat Walisana dalam langgam Asmaradana pupuh XIX, menuturkan masa muda Sunan Kalijaga yang menggunakan nama Raden Sahid ditandai dengan tindak kenakalan-kenakalan, sebagai berikut:

Kang dadya sirah mengkoni/
pan tumenggung wilatikta/
adarbe putra sawiyos/
raden sahid namanira/
ingkang sampun kasura/
andugalira kalangkung/
karena madat ngabotohan//

keplek kecek dadu-posing/
karam nyebrot ngabotohan/
tinundung ing sudarma/
dadya tan suda pamursalipun/
mandar sangsaya andadra//

dadya wana jatisari/
tuntrim tan ana wong ngambah/
pan samya jrih sadayane/
sikaranira rahadyan/
amateni dedalan//

Dengan kenakalan yang tidak lazim, yang berlanjut menjadi perampok yang tidak segan membunuh orang, Raden Sahid dikenal dengan sebutan Lokajaya. Namun atas dakwah Sunan Bonang, yang saat dirampok mampu menunjukkan kesaktian mengubah buah aren menjadi emas, Raden Sahid bertobat dan berusaha keras menjadi manusia agung yang mulia, yang bahkan akhirnya menjadi salah seorang anggota Walisongo.

Gelar Lokajaya sendiri bermakna "penguasa wilayah" karena kata Loka (tempat, wilayah, daerah) dan Jaya (menang, menguasai). Dari satu sisi nama Lokajaya, dapat ditafsirkan memiliki kaitan dengan simbol-simbol tantrisme, karena sebutan Lokajaya semakna dengan Wisesa Dharani (penguasa bumi), Cakrabumi (pemimpin lingkaran cakra), Cakrabuwana yang lazim digunakan oleh pengamal ajaran bhairawa-tantra. Jika asumsi itu benar, maka sebutan Lokajaya sangat relevan berhubungan dengan Kalijaga, yakni nama salah satu dari tiga ksetra utama di pesisir utara Jawa, yaitu Kali Tangi (di Gresik, Jawa Timur), Kali Wungu (di Kendal, Jawa Tengah), dan Kali Jaga (di Cirebon, Jawa Barat) yang ketiga-tiganya memiliki makna "Dewi Kali (Sang Bumi) terbangun". 
Itu berarti, kisah di balik nama Lokajaya dan Kali Jaga lebih masuk akal dikaitkan dengan cerita perjalanan Sunan Kalijaga saat mengikuti Syekh Siti Jenar ke berbagai tempat di Jawa dalam rangka membuat "tawar" kekuatan ksetra-ksetra angker yang menjadi tempat upacara para pemuja Dewi Kali Sang Bumi.

Selain nama Lokajaya dan Raden Sahid, Sunan Kalijaga pada awalnya juga disebut dengan nama Syekh Melaya. Serat Walisana menjelaskan bahwa nama Syekh Melaya yang digunakan Sunan Kalijaga, berkaitan dengan fakta bahwa ia adalah putera Tumenggung Melayakusuma di Jepara. Tumenggung Melayakusuma, mulanya orang asing dari negeri Atas Angin yang datang ke Jawa dan diangkat menjadi Bupati Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya, sehingga menggunakan nama Wilatikta. Penyebutan nama negeri Atas Angin dalam Walisana, sangat menarik didalami karena menurut W.J. Van Der Meulen dalam Indonesia di Ambang Sejarah (1988) kata "Atas Angin" adalah salah ucap dari "atta-anggin" yaitu "yang kehilangan semua anggota badannya" (Rahu), yang berhubungan dengan bhairawa-tantrisme. Keterkaitan nama-nama yang digunakan Sunan kalijaga dengan simbol-simbol bhairawa-tantrisme, tampaknya berkaitan dengan guru ruhaninya, Sunan Bonang, yang sewaktu dakwah di Kediri berhadapan dengan tokoh-tokoh pemuka bhairawa-tantra yang berusaha menghalang-halanginya.

Serat Kandhaning Ringgit Purwa menggambarkan bahwa satu ketika Sunan Kalijaga meminta ijin ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah, karena Sunan Bonang meminta agar ia seyogyanya menjalani ibadah zhahir sesuai dalil Qur̢۪an dan hadits

he jebeng kurang utama/ yen sira durung netepi/ ing lair iki sedaya/ saujare dalil sami/ miwah ing sajroning kadis/ pratelakna puniku/ raden sahit tur sendika/ umatur dhateng sang yogi/ nuwun idin kawula arsa ing Mekah//

Namun sewaktu sampai di Pulau Pinang, Sunan Kalijaga ketemu dengan Maulana Maghribi yang memintanya untuk kembali ke Jawa, dengan alasan lebih baik membuat masjid-masjid untuk pengembangan dakwah Islam daripada sekedar melihat Mekkah zhahir bikinan Nabi Ibrahim, yang jika tidak bisa meninggalkan gambarannya malah akan menjadi kafir.

raden sahit mentar aglis/ ing marga datan winarni/ anumpang wong dagang iku/ prapta ing pulo pinang/ leren wau jraganeki/ raden sahit ing dalu apan kapanggya// lan seh sahit maulana/ mahribi wau kang nami/ seh mahribi angandika/ maring ngendi sira bayi/ kapanggih aneng ngriki/ raden sahit alon matur/ arsa kaji ing Mekah/ anglampahi ingkang lair/ seh mahribi mengsem wau angandika// ki bayi sira baliya/ tan ana ing Mekah iki/ Mekah ing kulon punika/ Mekah lair westaneki/ pra nata araneki/ nabi Ibrahim karya iku/ sing sapa atinggala/ sayekti puniku kapir/ yen tetepa munapek wong iku iya///

Sementara itu, sebagaimana Sunan Bonang yang dididik di dalam lingkungan keluarga ibunya yang berasal dari keluarga Bupati Tuban, Sunan Kalijaga pun mempelajari kesenian dan budaya Jawa, yang membuatnya memahami dan menguasai kesusasteraan Jawa beserta pengetahuan falak serta pranatamangsa dari keluarganya dan terutama dari Sunan Bonang.


Dakwah Sunan Kalijaga

Babad Demak menuturkan bahwa Raden Sahid putera Adipati Wilatikta mengawali dakwah di Cirebon, tepatnya di desa Kalijaga, untuk mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan

Raden Sahid kinon ngimani/ ing Dermayu lan Manukan/ ing Kalijaga pernahe/

Setelah lama dakwah, Raden Sahid kemudian melakukan laku ruhani dengan melakukan uzlah di Pulau Upih

sampun nira lama-lama/ Raden Sahid temanira/ tumulya ambentur laku/ ing Pulupeh gennya tapa/

Setelah melakukan uzlah selama tiga bulan lebih sepuluh hari, laku ruhani Raden Sahid diterima Tuhannya, ia diangkat menjadi wali dengan gelar Sunan Kalijaga

Sampun angsal tigang sasi/ lan punjul sedasa dina/ tinarima ing Gustine/ sinung derajat waliyullah/ nama Sunan Kalijaga/

Banyak orang menjadi pengikutnya dan mengabdi kepada Tuhan

akeh wadiya ingkang anut/ ngabekti maring Pangeran/

Babad Cerbon menuturkan bahwa Sunan Kalijaga tinggal selama beberapa tahun di desa Kalijaga dengan mula-mula menyamar sebagai pembersih Masjid Sang Cipta Rasa. Di masjid itulah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati yang kemudian menikahkannya dengan adiknya yang bernama Siti Zaenab. Isteri Sunan Kalijaga yang bernama Siti Zaenab, menurut sumber yang diyakini penganut Tarikat Akmaliyah yang ditulis Agus Sunyoto dalam Suluk Malang Sungsang (2004-2005) sesungguhnya adalah puteri dari Syekh Datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar. Dari pernikahan tersebut, Sunan Kalijaga memiliki tiga orang putera, seorang putera laki-laki bernama Watiswara yang dikenal dengan nama Sunan Panggung, seorang puteri kembarannya yang bernama Watiswari, dan seorang puteri bernama Ratu Campaka. Babad Demak menuturkan bahwa Sunan Kalijaga di Cirebon memiliki tiga putera, yaitu satu putera dan dua puteri: Raden Sangid, Dewi Ruqiyah dan Dewi Rufi̢۪ah

Raden Sahid asesiwi/ tiga sami jalu nira/ kang sepah Raden Sangid namane/ pawesteri ingkang penengah/ Dewi Rukiyah kang nama/ isteri malih ragilipun/ Dewi Rufingah namanya/

Dalam menjalankan dakwah Islam, Sunan Kalijaga dikenal suka menyamar dan bertindak menampilkan kelemahan diri untuk menyembunyikan kelebihan yang dimilikinya. Bahkan tak jarang Sunan Kalijaga sengaja menunjukkan tindakan yang seolah maksiat untuk menyembunyikan ketaqwaannya yang tinggi sebagaimana dicatat dalam Sejarah Banten Rante-rante yang dikutip Hoesein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (1983) sebagai berikut:

Para wali sedaya sami maâlum/
jebeng Kalijaga/
masyhur akeh lelewane/
wali saturul 'adalah/
kang tinilad//

ngatokaken maâsiyat ginawe singlu/
mungguh kang bebasan/
pinter aling-aling bodoh/
jalma luwih alingan bidak walaka//

Seperti wali-wali lain, di dalam dakwah Sunan Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama. Dengan kemampuannya yang menakjubkan sebagai dalang yang ahli memainkan wayang, Sunan Kalijaga selama dakwah di Jawa bagian barat dikenal penduduk sebagai dalang yang menggunakan berbagai nama samaran. Di daerah Pajajaran, Sunan Kalijaga dikenal penduduk dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Di daerah Tegal, Sunan Kalijaga dikenal sebagai dalang barongan dengan nama Ki Dalang Bengkok. Di Daerah Purbalingga, Sunan Kalijaga dikenal sebagai dalang topeng dengan nama Ki Dalang Kumendung. Sedang di Majapahit dikenal sebagai dalang dengan nama Ki Unehan. Kegiatan dakwah memanfaatkan pertunjukan tari topeng, barongan dan wayang yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain itu digambarkan dalam Babad Cerbon dalam langgam Kinanthi, sebagai berikut:

Dadi dadalang kekembung/
anama Ki Seda Brangti/
apahe yen ababarang/
ika kalimah kakalih/
singa gelem ngucapena/
ya dadi tanggane nyuling//

sakedap dadalang pantun/
sang pajajaran dumadi/
akeh Islam dening tanggapan/
katelah dalang pakuning/
sakedap dadalang wayang/
maring Majapait dumadi//

akeh Islam dening iku/
katelah dalang kang nami/
sang Koanchara konjara purba/
tanggape bari gampil/
mung muni Kalimah Sahadat/
dadi akeh sami Muslim//

Menurut Babad Cerbon ini, diketahui bahwa selama menjadi dalang berkeliling ke berbagai tempat, Sunan Kalijaga kadang menjadi dalang pantun dan dalang wayang. Sunan kalijaga berkeliling dari wilayah Pajajaran hingga wilayah Majapahit. Masyarakat yang ingin nanggap wayang bayarannya tidak berupa uang melainkan cukup membaca dua kalimah syahadat, sehingga dengan cara itu Islam berkembang cepat.

Di antara berbagai lakon wayang yang lazimnya diambil dari epos Ramayana dan Mahabharata, salah satu yang paling digemari masyarakat adalah lakon Dewa Ruci, yaitu lakon wayang yang merupakan pengembangan naskah kuno Nawa Ruci. Lakon Nawa Ruci atau Dewa Ruci mengisahkan perjalanan ruhani tokoh Bima mencari Kebenaran di bawah bimbingan Bhagawan Drona sampai ia ketemu dengan Dewa Ruci. Sunan Kalijaga dikenal sangat mendalam memaparkan kupasan-kupasan ruhaniah berdasar ajaran tasawuf dalam memainkan wayang lakon Dewa Ruci, yang menjadikannya sangat masyhur dan dicintai oleh masyarakat dari berbagai lapisan. 

Bahkan tidak sekedar memainkan wayang sebagai dalang, Sunan Kalijaga juga diketahui melakukan reformasi bentuk-bentuk wayang yang sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif dengan proporsi tubuh tidak mirip manusia. Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh-tokoh kuno Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung sebagai punakawan yang mengabdi kepada para ksatria, di mana kesaktian punakawan ini melebihi dewa-dewa. 

Dalam kisah Ramayana dan Mahabharata yang asli tidak dikenal tokoh-tokoh punakawan Semar beserta keempat orang puteranya itu. Bahkan dalam lakon wayang beber, tokoh-tokoh punakawan yang dikenal adalah Bancak dan Doyok. Sejumlah lakon wayang carangan seperti Dewa Ruci, Semar barang jantur, Petruk Dadi Ratu, Mustakaweni, Dewa Srani, Pandu Bergola, Wisanggeni, diketahui diciptakan oleh walisongo terutama Sunan Kalijaga.

Peranan besar walisongo terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi wayang dari bentuk sederhana berupa gambar-gambar mirip manusia di atas kertas, perangkat gamelan pengiringnya, tembang-tembang dan suluknya sampai menjadi seperti bentuknya sekarang yang sophisticate adalah sumbangan besar dalam proses pengembangan kesenian dan kebudayaan Nusantara. Th.G.Th. Pigeaud dalam Javaansche volkvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk (1938) menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar, karena semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Itu berarti, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para walisongo terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.

Menurut Primbon milik K.H.R.Mohammad Adnan, sebagaimana Sunan Bonang yang menyempurnakan ricikan gamelan dan menggubah irama gending, Sunan Kalijaga menciptakan lagu sekar ageng dan sekar alit serta menyempurnakan irama gending-gending sebagaimana sudah dikerjakan oleh Sunan Bonang

kanjeng susuhunan lepen jagi/ hamewahi lagunipun sekar hageng hutawi sekar alit/ kaliyan hamewahi lagunipun hing gending kados susuhunan bonang wahu/

Di antara tembang-tembang gubahan Sunan kalijaga yang termasyhur dan paling banyak dihafal oleh masyarakat Jawa adalah Kidung Rumeksa ing Wengi yang disampaikan dalam langgam dandhanggula, sebagai berikut:

Ana kidung rumeksa ing wengi/
teguh ayu luputa ing lara/
luputa bilahi kabeh/
jin setan datan purun/
paneluhan tan ana wani/
miwah panggawe ala/
gunane wong luput/
geni atemahan tirta/
maling adoh tan ana ngarah ing kami/
guna duduk pan sirna//

Sakehing lara pan samya bali/
sakehing ama sami miruda/
welas asih pandulune/
sakehing braja luput/
kadi kapuk tibanireki/
sakehing wisa tawa/
sato kurda tutut/
kayu aeng lemah sangar/
songing landak/
guwaning mong lemah miring/
myang pakiponing merak//

Tembang gubahan Sunan Kalijaga yang sederhana tetapi memuat ajaran spiritual yang juga banyak dihafal masyarakat Jawa adalah tembang Ilir-ilir, sebagai berikut:

Lir-ilir lir-ilir tandure wis sumilir/
sing ijo royo-royo/
tak sengguh penganten anyar/
cah angon cah angon/
penekna blimbing kuwi/
lunyu-lunyu penekna/
kanggo masuh dodotira/
dodotiro dodotiro/
kumitir bedah ing pinggir/
dondomana jlumatana/
kanggo seba mengko sore/
mumpung padhang rembulane/
mumpung jembar kalangane/
yo surako surak hore//

Di antara walisongo Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang paling luas cakupan bidang dakwahnya dan paling besar pengaruhnya di kalangan masyarakat. Sebab selain berdakwah dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sebagai dalang, penggubah tembang, pamancangah menmen (tukang dongeng keliling), penari topeng, desainer pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasehat sultan dan pelindung ruhani kepala-kepala daerah, Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarikat Syatariyah dari Sunan Bonang sekaligus tarikat Akmaliyah dari Syekh Siti Jenar, yang sampai saat sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di Nusantara.

Pelajaran tarikat dalam bentuk laku ruhani yang disebut mujahadah, muraqabah, musyahadah secara arif disampaikan Sunan Kalijaga baik secara tertutup (sirri) maupun secara terbuka. Pelajaran yang disampaikan secara tertutup diberikan kepada murid-murid ruhani sebagaimana layaknya proses pembelajaran di dalam sebuah tarikat. Sedang pelajaran yang disampaikan secara terbuka melalui pembabaran esoteris kisah-kisah simbolik dalam pergelaran wayang, sehingga menjadi pesona tersendiri bagai masyarakat dalam menikmati pergelaran wayang yang digelar Sunan Kalijaga. Di dalam pergelaran wayang lakon Dewa Ruci, misal, Sunan Kalijaga menggambarkan bagaimana tokoh Bima yang mencari susuhing angin (sarang angin) bertemu dengan tokoh Dewa Ruci yang bertubuh sebesar ibu jari tetapi Bima dapat memasuki tubuhnya. Selama berada di dalam tubuh Dewa Ruci itu Bima menyaksikan dimensi-dimensi alam ruhani yang menakjubkan tergelar, di mana Sunan Kalijaga secara dialogis dan sekaligus monologis, menggunakan tokoh Bima memberi paparan makna secara ruhani tentang dimensi ruhani mempesona yang disaksikan Bima.

Pembabaran pengalaman ruhani yang disampaikan terbuka dalam pergelaran wayang, disampaikan pula secara tertutup oleh Sunan Kalijaga kepada murid-muridnya. Meski terdapat kemiripan cerita, tetapi dalam penyampaian tertutup itu para murid diberi tahu bahwa tokoh ruhani Dewa Ruci itu sejatinya adalah Khidlir yang akan dijumpai dalam perjalanan ruhani para murid, sebab apa yang disampaikan itu adalah pengalaman ruhani Syekh Malaya (Sunan kalijaga) sendiri sewaktu memasuki dimensi alam yang terbalik dengan alam dunia. Penyampaian pelajaran tarikat secara tertutup itu tertuang dalam naskah Suluk Linglung Pupuh IV Dhandhanggula, sebagai berikut:

Nabi Kilir angandika ris/
gedhe endhi sira lawan jagad/
kabeh iki sak isine/
alas samudra gunung/
nora sesak ing garba mami/
tan sesak lumebuwa/
ing jro garba ningsun/
Syeh Melaya duk miarsa/
langkung ajrih kumel sandika tur neki/
ningleng ma'biting rat//

Iki dalan talingan ngong iki/
Syeh Melaya manjing sigra-sigra/
wus prapta jro garbane/
andulu samudra gung/
tanpa tepi nglangut lumaris/
liyep adoh katingal/
Nabi Kilir nguwuh/
eh apa katon ing sira/
dyan umatur Syeh Melaya inggih tebih/
tan wonten kang katingal//

Awang uwung kang kula lampahi/
uwung-uwung tebih tan katingal/
ulun saparan parane/
tan mulat ing lor kidul/
kulon wetan datan udani/
ngandhap ing luhur ngarsa/
kalawan ing pungkur/
kawula boten uninga/
langkung bingung Nabi Khidir ngandikaris/
aja maras tyasira//

Byar katingal madhep Nabi Khidir/
Syeh Melaya Jeng Nabi kawang-wang/
umancur katon cahyane/
nalika wruh lor kidul/
wetan kilen sampun kaheksi/
nginggil miwah ing ngandhap/
pan sampun kadulu/
lawan andulu baskara/
eca tyase dene Jeng Nabi kaheksi/
aning jagat walikan//

Dalam bagian pupuh ini Syekh Malaya memaparkan bagaimana Nabi Khidlir memangkas keraguannya untuk memasuki tubuh Sang Nabi yang berisi alam raya, yang membuat Syekh Malaya ketakutan. Lalu Syekh Malaya masuk ke dalam Nabi Khidlir lewat telinga, dan menyaksikan samudera luas tanpa tepi (bahrul wujud) tidak terlihat sesuatu pun di situ serba luas tanpa batas sehingga tidak tahu arah mata angin, membuat Syekh Malaya bingung. Khidlir mengingatkan agar Syekh Malaya tidak bingung. Lalu tampaklah Nabi Khidlir laksana cahaya terang matahari, yang ternyata berada di dalam dimensi alam lain yang berbeda dengan alam dunia.

Bait-bait selanjutnya dalam Suluk Linglung pupuh ini menggambarkan empat jenis cahaya (hitam, merah, kuning, putih) yang disaksikan Syekh Malaya di dalam diri Nabi Khidlir, yang masing-masing diberi penjelasan maknawinya:

Kanjeng Nabi Khidir ngandika ris/
aja lumaku andeduluwa/
apa katon ing dheweke Syeh Melaya umatur/
wonten werni kawan perkawis/
katingal ing kawula/
sedaya puniku/
sampun datan katingalan/
anamung sekawan perkawis kaheksi/
ireng bang kuning pethak//

Angandika Kanjeng Nabi Khidir/
ingkang dihin sira anon cahya/
gumawang tan wruh arane/
panca maya puniku/
sejatine teyas sayekti/
pangarepe sarira/
Pancasonya iku/
ingaranan muka sipat/
ingkang nuntun maring sifat kang linuwih/
yeku asline sipat//

Maka tinuta aja lumaris/
awatana rupa aja samar/
kuwasane tyas empane/
ngingaling tyas puniku anengeri maring sejati/
eca tyas Syeh Melaya/
duk miyarsa wuwus/
lagiya medhep tyas sumringah/
dene ingkang kuning abang ireng putih/
yeku durga manik tyas//

Pan isining jagad amepeki/
iya iku kang telung prakara/
pamurunge laku kabeh/
kang bisa pisah iku yekti bisa amoring ghaib/
iku mungsuhe tapa/
ati kang tetelu/
ireng abang kuning samya/
angadhangi cipta karsa kang lestari/
pamore Sukma Mulya//

Lamun ora kawileting katri/
sida nama sirnane sarira/
lestari ing panunggale/
poma den awas emut/
dergama kang munggeng ing ngati/
pangwasane weruha/
wiji wijenipun/
kang ireng luwih prakosa/
panggawene serengen sebarang runtik/
dursila angambra-ambra//

Iya iku ati kang ngedhangi/
ambuntoni marang kabecikan/
kang ireng iku karyane/
dene kang abang iku/
iya tudhuh nepsu tan becik/
sakabehe pepinginan/
metu saking iku/
panas baran papinginan/
ambuntoni maring ati ingkang ening/
maring ing kawekasan//

Dene iya ingkang rupa kuning/
kuwasane neng gulang sebarang/
cipta kang becik dadine/
panggawe amrih hayu/
ati kuning ingkang ngadhangi/
mung panggawe pan rusak/
linantur jinurung/
mung kang putih iku nyata/
ati enteng mung suci tan ika iki/
prawira ing karaharjan/

Amung iku kang bisa nampani/
mring syahide sejatine rupa/
nampani nugrahan nggone/
ingkang bisa tumanduk/
kang lestari pamore kapti/
iku mungsuhe tiga/
tur sereng gung ngagung/
balane ingkang tetiga/
iku putih tanpa rewang mung sawiji/
mila ngagung kasoran//

Lamun bisa iya nyembadani/
mring sasuker kang telung prekara/
sida ing kana pamore/
tanpa tuduhan iku/
ing pamore kawula Gusti/
Syeh Melaya miharsa/
sengkut pamrihipun/
sangsaya birahi nira/
iya maring kawuwusing ingahurip/
sampurnaning panunggal//

Dalam bait-bait Suluk Linglung ini, Nabi Khidir menjelaskan makna ruhani dari cahaya hitam, merah dan kuning yang disaksikan Syekh Malaya itu adalah pancaran dari tiga hati manusia yang menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju Tuhan. Cahaya hitam cenderung marah, mudah sakit hati, angkara murka membabi-buta, yang menutup jalan menuju kebajikan. Cahaya merah pancaran nafsu tidak baik, sumber segala hasrat keinginan, mudah emosi dalam mencapai tujuan, sehingga menutupi hati yang sudah jernih menuju akhir hidup yang baik. Cahaya kuning potensial menghalangi timbulnya pikiran yang baik, cenderung merusak, menerlantarkan, membawa ke jurang kebinasaan. Sementara cahaya putih, itulah hati tenang yang suci yang membawa kedamaian. Jika ingin senantiasa dekat dengan Tuhan, maka seseorang harus selalu siaga menghadapi tiga nafsu tidak baik itu untuk memenangkan cahaya putih.

Di dalam tarikat Akmaliyah yang mengajarkan ajaran Sunan Kalijaga, bagian-bagian dari bait-bait Suluk Linglung ini dimaknai lebih tegas dengan istilah-istilah teknis ilmu tasawuf seperti cahaya hitam yang memancar dari hati berwarna hitam adalah sama dengan Nafsu Lwammah. Cahaya merah yang memancar dari hati berwarna merah adalah sama dengan Nafsu Amarrah. Cahaya kuning yang memancar dari hati berwarna kuning adalah sama dengan Nafsu Sufliyah. Demikian pun dengan cahaya putih yang memancar dari hati berwarna putih adalah sama dengan Nafsu Muthmainnah.

Puncak perjalanan ruhani Syekh Malaya yang menakjubkan di dalam diri Nabi Khidir, digambarkan secara mendalam di dalam Suluk Linglung sebagai hilangnya empat jenis cahaya (hitam, merah, kuning, putih) digantikan satu nyala cahaya dengan delapan warna, yang memancar lebih terang laksana permata berkilau-kilau. Itulah hakikat mikrokosmos diri manusia di dalam makrokosmos alam semesta, di mana seluruh isi semesta tergambar di dalam diri manusia. Semua cahaya yang empat (hitam, merah, kuning, putih) disatukan pada satu wujud rupa yang satu, bukan laki-laki dan bukan perempuan. 

Ketika Syekh Malaya bertanya, apakah cahaya benderang melingkar mirip pelangi yang ganti-berganti itu wujud dari Dzat yang didambakan, yang merupakan hakikat Al-Wujud Sejati? Nabi Khidir digambarkan menyatakan bukan! Sebab yang didambakan tidak dapat dilihat, tidak berbentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkapn indera penglihatan, tidak bertempat tinggal, hanya dapat dirasakan oleh orang yang tajam penglihatan mata hatinya, yang hanya menyaksikan dalam wujud lambang-lambang yang memenuhi alam semesta, yang tidak tersentuh indera, sebagai berikut:

Sirna patang prakara na malih/
urip siji wewolu warnanya/
Syeh Melaya lon ature/
punapa wastanipun/
urip siji wewolu warni/
pundi ingkang sanyata/
urup kang satuhu/
wonten kadi retna muncar/
wonten kadi maya-maya ngebati/
wonten abra markata//

Marbudengrat Nabi Kilir angling/
iya iku sejatine tunggal/
sarira marta tegese/
iya aneng sireku/
tuwin iya isining bumi/
ginambar angga nira/
lawan jagad agung/
jagad cilik tan prabeda/
purwane ngalor kulon kidul puniki/
wetan ing luhur ngandhap//

Miwah ireng abang kuning putih/
iya iku panguriping bawana/
jagad cilik jagad gedhe/
pan padha isenipun/
tinimbang keneng sira iki/
yen ilang warna ningkang/
jagad kabeh suwung/
sesukere datan ana/
kinumpulken marang rupa kang sawiji/
tan kakung tan wanodya//

Kadi ta wangunana puniki/
kang asawang peputeran danta/
tak payo dulunen kiye/
Syeh Melaya andulu/
kang kadya peputeran gadhing/
cahya mancur gumilang/
neneja ngenguwung, punapa inggih puniku/
rupaning dzat kang pinerih pun ulati kang sejatining rupa//

Nabi Kilir angandika aris/
iku dudu ingkang sira sedya/
kang mumpuni ambeg kabeh/
tan kena sira dulu/
tanpa rupa datan pawarni/
tan gatra tan satmata/
iya tanpa dunung/
mung dumunung mring kang awas/
mung sasmita aneng jagad angebaki/
dinumuk datan kena//

Ajaran Sunan Kalijaga seperti termaktub dalam Suluk Linglung di atas ini kita jumpai lagi dalam Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen, terbitan Tan Khoen Swie (1931), secara lebih ringkas sebagai berikut:

Ndjeng Soenan Kalidjaga ngling/
amedar ing pangawikan/
den waspada ing mangkene/
sampoen ngangge koemalamar/
den awas ing Pangeran/
kadya paran awasipoen/
Pangeran pan nora roepa//

Nora arah nora warni/
tan ana ing woedjoedira/
tan mangsa tanpa enggon/
sadjatine nora ana/
lamoen nora ana'a, dadi djagadipoen soewoeng/
nora ana woedjoedira//

Berdasar paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan dakwah Islam yang dilakukan Sunan Kalijaga memiliki bidang garapan dan cakupan sangat luas. Sebab Sunan Kalijaga tidak sekedar menggarap bidang pendidikan anak-anak melalui tembang-tembang dolanan dan jenis-jenis permainan untuk anak-anak, melainkan menggarap pula pendidikan bagi orang dewasa, baik melalui penanaman nilai-nilai lewat tembang-tembang macapatan yang berisi doa-doa, menggubah cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam, melakukan pelatihan membuat alat-alat pertanian bagi penduduk desa, mengadakan pelatihan membuat pakaian yang sesuai untuk masyarakat Islam di Jawa, menyelenggarakan pendidikan politik dan ketata-negaraan yang baik dan benar bagi penguasa, membentuk nilai-nilai etis kemasyarakatan yang bersumber dari ajaran Islam, dan pendidikan ruhani yang bersumber dari ilmu tasawuf.

Oleh karena luasnya cakupan bidang yang digarap Sunan Kalijaga, maka menjadi wajar jika tokoh asal Tuban itu kisah hidupnya mengisi banyak cerita legendaris di berbagai tempat di Jawa seperti kisah antara Sunan Kalijaga dengan Ki Ageng Pandanarang, Sunan Kalijaga dengan tiang saka dari tatal dalam pembangunan Masjid Demak, Sunan Kalijaga menjadi Brandal Lokajaya, Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga bertapa di pinggir sungai, Sunan Kalijaga menjadi dalang wayang dengan nama Ki Sida Brangti, Sunan Kalijaga menjadi dalang wayang dengan nama Ki Bengkok, Sunan Kalijaga menjadi dalang wayang dengan nama Ki Kumendung, Sunan Kalijaga dengan rancangan tatakota pemerintahan Islam, Sunan Kalijaga mengislamkan Prabu Brawijaya Majapahit, dan sebagainya. Bahkan Sunan Kalijaga dikenal sebagai pelindung ruhani Kerajaan Mataram yang ditegakkan Panembahan Senapati.

Baca Juga :

Tidak ada komentar