Nyucruk Galur Mapay Laratan Rundayan Kerajaan Sumedanglarang (Katilu)

PANGERAN SURIA KUSUMAH ADINATA (1836 – 1882).

Setelah Tumenggung Surialaga pesiun, pada tanggal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Suria Kusumah Adinata (1836 – 1882). Pangeran Suria Kusumah Adinata mewarisi karakter kakeknya Pangeran Kornel dalam hal kepemimpinan, kecerdasan, kepemimpinan dan kesetiaannya pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas.

Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuat jalan, pengairan, pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Segala bentuk kewajiban rakyat yang memberatkan di bidang pertanian dihapuskan pada 1885 seperti peraturan penanaman nila.

Pada tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan pemerintah Kerajaan Belanda no. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Adipati dan berdasarkan Surat Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 mendapat gelar Pangeran.

Pada tahun 1864 masa pemerintah Pangeran Suria Kusumah Adinata di wilayah priangan mengalami perubahan sistem pemerintahan Ibu Kota Residen Priangan berkedudukan di Cianjur sejak tahun 1829 dipindahkan ke Bandung berdasarkan besluit 17 Agustus 1864, Kota Bandung menjadi Ibukota Keresidenan Priangan. Keresidenan Priangan waktu itu terdiri atas lima Kabupaten meliputi 66 distrik dan 1717 desa, sedangkan Sumedang waktu itu terdiri dari 11 distrik dan 239 desa . Perubahan penting di wilayah priangan terjadi pada tahun 1871. Pada awal tahun 1871 Preangerstelsel dihapuskan kecuali penanaman wajib kopi dan sebelumnya juga Kultuurstelsel dihapuskan pada tahun 1870. Setelah itu pemerintah mengadakan Reorganisasi Priangan dimulai tanggal 1 Juni 1871. Substansi dari reorganisasi ini adalah peraturan-peraturan pemerintah kolonial diterapkan di priangan, kebijakan tersebut merupakan tindak lanjut dari penghapusan Kultuurstelsel dan Preangerstelsel. Realisasi dari kebijakan tersebut Kabupaten – Kabupaten Priangan di bagi ke dalam Sembilan afdeeling sedangkan Sumedang dibagi menjadi dua afdeeling yaitu : 1). Afdeeling Sumedang membawahi 6 distrik dan 2). Afdeeling Tasikmalaya membawahi 5 distrik. Pembagian wilayah administratif tersebut di atas berlangsung sampai akhir abad ke-19. Sejak itu Bupati dan pejabat bawahannya resmi menjadi pegawai pemerintah kolonial.

Pangeran Suria Kusumah Adinata merupakan Bupati mempunyai citra seni tinggi beberapa kesenian pada masa itu berkembang dengan baik salah satunya Wayang baik itu Wayang Kulit maupun Wayang Golek, biasanya digelar di pendopo . Cerita wayang golek yang sering ditunjukan biasanya cerita Ramayana dan Mahabrata. Pada awalnya pertunjukan wayang mengandung makna religious dan filsafat yang tinggi. Pada masa kemudian sebagai bentuk hiburan saja., selain itu Pangeran Suria Kusumah Adinata adalah pelopor wayang wong (orang) priangan dan Tari Tayub. Pangeran Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Ahli Sastra, Seni Degung dan menciptakan lagu Sunda salah satu karya adalah Lagu Sura Sari. Gamelan peninggalan beliau seperti Gamelan Sari Arum, Sanglir dan Gamelan Manggu.

Dalam memperluas perkembangan Agama Islam di Sumedang dan juga tempat belajarnya para putranya Pangeran Suria Kusumah Adinata salah satu putranya Aom Sadeli dikenal sebagai Pangeran Aria Suria Atmadja untuk menpendalam Agama Islam maka Pangeran Suria Kusumah Adinata memohon kepada K.R. Asyrofuddin keturunan dari Pangeran Syamsuddin I dari Keraton Kasepuhan Cirebon untuk memindahkan pondok pesantrennya yang didirikan pada tahun 1802 di Kampung Cikuleu Ujungjaya pindah ke kampung Cipicung Conggeang dan Pangeran Suria Kusumah Adinata mewakafkan tanahnya untuk mendirikan Pesantren tersebut pada tahun 1846. Selain itu Pangeran Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran Sugih, mendukung pula didirikannya Pesantren Mulabarak yang para santrinya tidak hanya dari kalangan rakyat biasa melainkan anak-anak menakpun banyak belajar.

Karena seringnya tamu-tamu dari Batavia berkunjung dan bermalam di Sumedang dan seringnya tamu bermalam di rumah Asisten Residen Sumedang maka atas saran Asisten Residen kepada Bupati Sumedang agar membangun Gedung untuk para tamu yang berkunjung ke Sumedang. Pada tahun 1850 Pangeran Suria Kusumah Adinata membangun Gedung diatas tanah sendiri, Arsitektur gedung tersebut adalah Raden Saleh, setelah selesai gedung tersebut diberi nama Gedung Bengkok karena dua gapura di kiri kanan gedung bengkok .Sekarang Gedung Bengkok disebut Gedung Negara yang terletak disamping Gedung Srimanganti dan setelah selesai Bupati tetap tinggal di Srimanganti dan untuk tempat tinggal keluarga Bupati pada tahun yang sama dibangun Gedung Bumi Kaler dan Bumi Kidul tetapi sekarang yang ada tinggal Bumi Kaler.

Selain itu Mesjid Agung yang dibangun pada masa Panembahan letaknya yang berdampingan disebelah barat dengan Gedung Bengkok (Jalan Empang/SD Sukaraja-sekarang) dinyatakan kurang tepat jika dipandang dari tata kota mendatang maka Mesjid Agung dipindahkan ke sebelah utara atau tepatnya disebelah barat alun-alun Sumedang (Mesjid Agung sekarang). Namun sebelum dipindahkan, daerah tempat di mana mesjid itu akan berdiri tanahnya berupa rawa-rawa.

Waktu empang (kolam besar) dibuat dibelakang gedung Bengkok (diperkirakan pembuatan empang bersamaan dengan dibangunnya Gedung Bengkok). Tanah galian dari empang tersebut kemudian dipergunakan untuk menimbun rawa, setelah padat dan rata baru Mesjid dipindahkan. Dalam pembangunan Mesjid tersebut Pangeran Suria Kusumah Adinata mendatangkan ahli seni pahat (ukir) bangsa Cina yaitu Cina Tartar yang beragama Islam, hasil ukiran Cina Tartar sekarang masih dapat dilihat pada sebagaian kusen jendela, pintu dan mimbar di dalam Mesjid Agung Sumedang.

Pangeran Suria Kusumah Adinata disebut juga sebagai Pangeran Pembangunan karena pada masa pemerintahannya banyak membuat jalan-jalan dan jembatan.

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada tanggal 22 September 1882 dimakamkan di Gunung Puyuh Desa Sukajaya Sumedang Selatan, Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran Sugih karena sugih harta, istri dan putera.


PANGERAN ARIA SURIA ATMADJA (1882 – 1919).

Setelah Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat digantikan oleh putranya Raden Sadeli dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari 1851 . Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling Sukapura – kolot di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi bupati memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat. Pangeran Aria Suria Atmadja memiliki jasa dalam pembangunan Sumedang di beberapa bidang, antara lain :

1. BIDANG PERTANIAN
Membangun aliran irigasi di sawah-sawah, penanaman sayuran, melakukan penghijauan di tanah gundul dan membangun lumbung desa. Pangeran Aria Suria Atmadja memberi ide bagaimana meningkatkan daya guna dan hasil guna pengolahan tanah, pembuatan sistem tangga (Terasering) pada bukit-bukit.

2. BIDANG PERTERNAKAN
Untuk meningkatkan hasil ternak yang baik di Sumedang, di datangkan sapi dari Madura dan Benggala dan kuda dari Sumba atau Sumbawa untuk memperoleh bibit unggul.

3. BIDANG PERIKANAN
Pelestarian ikan di sungai diperhatikan dengan khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya dan waktu penangkapannya agar ikan di sungai selalu
ada. Penangkapan ikan dengan racun atau peledak di larang.

4. BIDANG KEHUTANAN.
Daerah-daerah gunung yang gundul ditanami pohon-pohon agar tidak longsor., selain dibuat hutan larangan/tertutup yaitu hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat demi kelestarian tanaman dan binatangnya. Binatang dan pohon langka mendapat pelindungan khusus.

5. BIDANG KESEHATAN.
Penjagaan dan pemberantasan penyakit menular mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak diwajibkan mendapatkan suntikan anti cacar diadakan sampai ke desa-desa. Masyarakat dianjurkan menanam tanaman obat-obatan di perkarangan rumahnya.

6. BIDANG PENDIDIKAN
Pada tahun 1914 Pangeran Aria Suria Atmadja menghibahkan tanahnya seluas 6 bau untuk mendirikan sekolah pertanian di Tanjungsari mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dan wajib belajar diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada tahun 1915 di Kota Sumedang telah ada Hollandsch Inlandsche School, mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat Sumedang dan memberikan hadiah kepada siswa yang berprestasi begitu pula kepada gurunya.

7. BIDANG PEREKONOMIAN
Pada tahun 1901 membangun “Bank Prijaji” dan pada tahun 1910 menjadi “Soemedangsche Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 mendirikan Bank Desa untuk menolong rakyat desa.

8. BIDANG POLITIK
Pada tahun 1916 mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar rakyat diberi pelajaran bela negara / mempergunakan senjata agar dapat membantu pertahanan nasional. Ide ini dituangkan dalam buku ‘Indie Weerbaar” / Ketahanan Indonesia, tapi usul ini ditolak pemerintah Belanda. Pangeran Aria Suria Atmadja tidak mengurangi cita-citanya, disusunlah sebuah buku yang berjudul ‘ Ditiung Memeh Hujan” dalam buku itu dikemukakan lebih jauh lagi agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan dan mengusahakan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda memberi reaksi keras hingga dibuat benteng di kota Sumedang, benteng gunung kunci dan Palasari.

9. BIDANG KEAGAMAAN
Bidang keagamaan mendapat perhatian yang besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Mesjid dan pesantren mendapat bantuan penuh, peningkatan pendidikan agama mulai dini

10. BIDANG KEBUDAYAAN
Bidang kebudayaan dapat perhatian besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya Tari Tayub dan Degung. Selain ahli dalam sastra sunda, Pangeran Aria Suria Atmadja pun membuat buku dan menciptakan lagu salah satunya Lagu Sonteng.

11. BIDANG LAINNYA
Membangun rumah untuk para kepala Onderdistrik, dibangunnya balai pengobatan gratis, dan menjaga keamanan diadakan siskamling.

Masih banyak jasa lainnya dan atas segala jasanya dalam membangun Sumedang, baik itu pembangunan sarana fisik tetapi juga pembangunan manusianya. Pangeran Aria Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918, Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.

Pada masa Pangeran Aria Soeria Atmadja Sumedang dibagi atas Distrik Tanjungsari yang terdiri atas Onderdistrik Kota Sumedang, Pasanggrahan, Rancapurut dan Situraja, Distrik Cimalaka yang meliputi Onderdistrik Cijambu dan Cikeruh, Distrik Tomo yang meliputi Onderdistrik Conggeang, Buah Dua dan Darmawangi, serta Distrik Darmaraja yang meliputi Cadasngampar dan Wado.

Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Soeria Atmadja, pada akhir bulan Juli 1907 Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang oleh pemerintah kolonial, pada waktu itu Cut Nyak Dhien didampingi oleh dua orang yaitu Panglima (50 th) dan Teuku Nana (13 th), keadaan mata Cut Nyak Dhien waktu itu buta sebagai penderitaan bertahun-tahun tinggal dalam hutan Aceh .

Selama berada di Sumedang Cut Nyak Dhien di tempatkan oleh Pangeran Aria Soeria Atmadja di rumah Haji Sanusi dibelakang Mesjid Agung Sumedang dan semua kebutuhan beliau dicukupi dengan baik. Pengasingan Cut Nyak Dhien oleh pemerintah kolonial bermula di asingkan ke Batavia kemudian oleh Pangeran Aria Soeria Atmadja dibawa ke Sumedang karena waktu itu daerah Sumedang aman dan kondusif dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Sumedang waktu itu dipimpin oleh Bupati yang bijaksana, adil dan taat. Dalam masa pengasingan Cut Nyak Dhien dilarang oleh pemerintah Kolonial Belanda dekat dengan masyarakat Sumedang, walaupun sudah usia lanjut + 70 tahun selama di pengasingan tetap tidak mau tinggal diam, semangat untuk menyampaikan ajaran Islam tetap tinggi, biarpun sudah dilarang oleh pemerintah Belanda Cut Nyak Dhien selalu memberikan pengajaran agama Islam dan ngaji kepada para pengikutnya maupun rakyat Sumedang. Cut Nyak Dhien di hati masyarakat Sumedang di anggap seorang Ibu Suci atau Ibu Perbu disamping dikenal sebagai Srikandi Nasional. Pada tanggal 6 November 1908 Cut Nyak Dhien wafat dimakamkan di Gunung Puyuh sebelah barat.

Wibawa yang dimiliki Pangeran Aria Soeria Atmadja bersumber dari empat hal : Kedudukannya sebagai Bupati, Ketaatannya dalam melaksanakan ajaran agama, Kepemimpinannya dan Disiplin pribadinya yang tinggi. Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Suria Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka peninggalan leluhur dari ayahnya Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga keutuhan pusaka. Selain itu agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan, kesatuan dan persatuan wargi Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam Pangeran Aria Suria Atmadja mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang banda”, “kaoela pitoein”, “poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh” kepada Tumenggung Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang diwakafkannya itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan diganti. Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang atau wafat.

Pada tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang dengan mendapat pensiun. Pada tanggal 30 Mei 1919 dilakukan penyerahan barang “Asal pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha kaula pribadi” kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang menggantikan Pangeran Aria Suria Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima barang-barang yang diwakafkan kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya dengan baik seperti dalam suratnya tertanggal 18 Juni 1919.

Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai Pangeran Mekah. Untuk menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25 April 1922 didirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock, Residen Priangan Eyken, Bupati Sumedang Tumenggung Kusumadilaga dan para Bupati se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.

Pada Lingga terdapat empat buah prasasti, pada tiap prasasti berisikan tulisan salah satunya berisikan “ Urang sadaya sami tunggal kaulaning Allah, saasal satekad keneh. Upami dikapalaan ku anu pangsampurnana wening galih sareng linuhung ajem tengtrem sadajana”.

Monumen Lingga dibangun oleh Pangeran Stichting dengan dilindungi oleh Gubernur Jenderal D. Fock. Dalam piagam pembuatan lingga, dapat dibaca susunan commission sebagai berikut (sesuai dengan ada di piagam yang telah terjemahkan) : “Monumen ini diresmikan pada hari selasa tanggal 25 April 1922, untuk memperingati Pangeran Aria Soeria Atmadja Bupati Sumedang 31 Januari 1883 – 5 Mei 1919. Ridder van de orde van den Nederlandschen leeuw, Offidier vande orde van oranje Nassau, payung song-song kuning dan dianugerahi bintang mas (Gouden Ster van treuw on ferdienste).

Dilahirkan di Sumedang 11 Januari 1851 wafat di Mekah 1 Juni 1921. Sebagai bukti penghargaan besar atas pengabdiannya terhadap pekerjaannya dan terhadap penghormatan atas jasa-jasanya sebagai manusia”.


TUMENGGUNG ADIPATI KUSUMADILAGA (1919 – 1937)

Pangeran Aria Suria Atmadja digantikan oleh Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937) dikenal juga sebagai Dalem Bintang merupakan saudaranya.

Pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), partai politik dan pemberontakan komunis di Jawa Barat. Setelah wafat dimakamkan di Makam Jambansari Ciamis.


TUMENGGUNG ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA (1937 – 1946)

Tumenggung Adipati Kusumadilaga digantikan oleh Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria, setelah menjadi bupati memakai gelar Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (1937 – 1946) Dalem Aria merupakan bupati tiga jaman, pertama jaman Hindia Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia. Setelah wafat dimakamkan di Tanjungsari kemudian dipindahkan ke makam Gunung Puyuh Sumedang


RADEN HASAN SURIA SACAKUSUMAH (1946 – 1947) & (1949 -1950).

Raden Hasan Suria Sacakusumah/“Bung Hasan” (1946 – 1947) diangkat sebagai bupati perjuang oleh Republik indonesia. Masa pemerintahannya ditandai perkembangan gerakan Darul Islam (DI) dan Infansi militer Belanda ke dua ke Indonesia, bupati dan rakyat Sumedang berangkat mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung kabupatian dan Srimanganti ditempati tentara Belanda. Pada masa jabatannya terdapat tiga macam pemerintahan di Sumedang, pemerintahan Belanda, pemerintahan Negara Pasundan dan Republik Indonesia.

Berhubung Bung Hasan belum kembali dari pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang.

Pada masa Muhamad Singer, Raden Hasan Suria Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada tahun 1949 menggantikan Muhamad Singer berangkat ke Belanda, masa jabatannya hanya satu tahun kemudian diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suriasaputra. Setelah wafat dimakamkan di Bandung.


TUMENGGUNG MUHAMAD SINGER (1947 – 1949)

Tumenggung Muhamad Singer (1947 – 1949) merupakan keponakan dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati Sumedang tahun 1938 adalah seorang Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat, Australia, Sulawesi dan Kalimantan Timur di keresidenna. Pada tanggal 5 Desember 1947 diangkat menjadi Bupati Sumedang.

Masa jabatannya Tumenggung Muhamad Singer banyak menghadapi banyak masalah salah satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan pertempuran antara RI dan Belanda. Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan akhir masa jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda untuk mengikuti usaha pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia ke-2, sekembalinya dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Setelah wafat dimakamkan di Gunung Puyuh.

Baca Juga :

Tidak ada komentar